Skip to main content

Air Ledeng, 90 Tahun Menara Air Ratulangi


SUATU hari, menjelang magrib. Telepon genggam saya bergetar. “Pak Judy, ini Danny Pomanto,” demikian suara dari seberang sana. Danny Pomanto, lengkapnya, Mohammad Ramdhan Pomanto, Walikota Makassar yang baru saja dilantik 8 Mei 2014. “Bantu saya, Pak Judy, masuk dalam tim penyehatan PDAM,”pinta Walikota Makassar. Saya lantas mengiyakan permintaan ini. Azan magrib berkumandang. Saya adalah pelanggan PDAM Makassar lebih dari 10 tahun. Setiap paruh bulan, saya setia membayar tagihan rekening PDAM.  Meski, beberapa tahun terakhir ini, pelayanan mereka itu selalu mengecewakan hati.  Syukur-syukur, jika satu-dua hari dalam sebulan, air ledeng tersebut mengalir.
Saya membayangkan tahun 1930-an. Sepotong sejarah yang membuat saya terheran-heran. Kota Makassar kala itu sudah dilayani fasilitas kota yang baik. Di masa itu, paling tidak, seperempat penduduk kota, sudah menikmati aliran listrik selain gas.[1] Ada 4.342 pelanggan listrik di Kota Makassar yang menggunakan 4,7 juta kilowatt jam tenaga listrik. Sejak 1924, pemerintah kota menyediakan waterleideng (bangunan-air) yang dikelola Gemente Water Leideng Bechrief. Di Gowaweg (sekarang, Jalan Ratulangi), mereka membangun satu menara air, guna mendistribusikan air-bersih ke rumah penduduk dengan kapasitas 50 liter per detik, kemudian ditingkatkan menjadi 100 liter per detik pada 1939. Sumber air bakunya diambil dari Sungai Jeneberang, dengan menggunakan pipa transmisi sepanjang tujuh kilometer dari Sungguminasa.
Coba bandingkan. Rumah saya sekitar 12 kilometer dari instalasi pengolahan air (IPA) Panaikang yang memiliki kapasitas 1.300 liter per detik. Toh, pipa ledeng saya nyaris mengering. Tetangga kanan-kiri rumah saya, sudah melakukan pemutusan sementara. Alasannya sederhana, mereka tidak mau bayar uang beban dan administrasi, sementara air tidak mengalir. Akan tetapi, mereka juga kerap kali dihantui kekuatiran: jangan-jangan kalau mau menyambung kembali air ledeng, mereka tersandung masalah. Makan waktu lama dan bertele-tele. Mereka membayangkan seperti laiknya pelayanan di Badan Pertanahan Nasional (BPN), susahnya urus sertifikat tanah.
Maka, perkara air bukan hanya soal pasang pipa. Urusan air, sejatinya urusan demokrasi. Alam diciptakan Tuhan dengan sangat bijak. Sebagaimana kata Vandana Shiva, filsuf eko-feminis asal India, yang menjadi penyebar gagasan demokratisasi air. Alam memang tidak mendistribusikan air secara seragam, tapi merata (equitably) sehingga seluruh spesies mendapatkan jatah sesuai kebutuhan masing-masing. Tidak ada yang kekurangan, tidak ada pula yang berlebihan. Kehidupan kita saling terhubung melalui air. Air tidak bisa digantikan dengan materi atau zat lain. Karena itulah, air menjadi hak milik publik, karena itu pula air harus dijaga, dikonservasi.
Perkaranya kemudian menjadi runyam, tatkala air dikomoditifikasi. Badai privatisasi benar-benar sedang menyekap harmoni alam. Apa boleh buat, orang lalu berpikir kembali soal hak. Agar tidak sesat pikir, kita musti membedakan dua istilah dalam Bahasa Inggris: water right dan the right to water.[2] Secara gramatikal sekilas tidak ada perbedaan, tapi berbeda dalam kaidah hukum. Water right berasal dari tradisi hukum kepemilikan (property right), yang melihat air sebagai komoditi sehingga dapat dipertukarkan, atau ringkasnya soal: jual-beli. Sangat berbeda, dengan the right to water (hak atas air) yang tidak terpisahkan atau melekat dalam hak azasi manusia. Di sinilah, peran negara sebenar-benarnya. Pengertian hak atas air memperhatikan ketersediaan (availability), dimana negara menjamin dan menyediakan kebutuhan minimal setiap warganya atas air. Kedua, kualitas (quality), bukan hanya soal jumlah, tapi juga kualitas air yang disediakan memenuhi standar kesehatan. Ketiga, aksesbilitas, termasuk di dalamnya kemampuan (affordabiility) warga dalam membayar harga-air. Negara mesti menjamin tidak terjadi ketimpangan harga-air, agar Si Miskin tidak kehilangan harapan mendapatkan air-bersih.
Kita mesti belajar bagaimana ketika korporasi swasta itu mengambil-alih air dengan bersembunyi di balik alasan ketidakmampuan pemerintah menyediakan air bagi warganya. Jakarta, salah satu kasus yang baik untuk dikaji ulang. Andreas Harsono, seorang jurnalis investigatif, secara baik dan gamblang menceritakan pada kita dalam tulisan “Dari Thames ke Ciliwung”: pada Juni 1997 ... Thames Water mendapat kontrak selama 25 tahun untuk membentuk usaha modal bersama dengan perusahaan air milik negara di Jakarta, Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya). Saat itu Thames Water menggandeng Sigit Harjojudanto, putra sulung Presiden Suharto. Tapi Jakarta dianggap terlalu besar untuk dikelola satu perusahaan saja. Presiden Suharto kemudian membagi Jakarta dengan mengikuti aliran Sungai Ciliwung. Thames Water mendapat bagian timur Ciliwung. Lyonnaise des Eaux milik konglomerat Prancis Suez (belakangan ganti nama menjadi Ondeo Service) kebagian jatah di sebelah barat. Suez bekerjasama dengan Salim Group, yang ketika itu adalah konglomerat terbesar di Indonesia.[3]
Jika kita menelusuri nasib PDAM di Indonesia, kita akan kerap menemukan kata-kata ketidakmampuan: pembiayaan, tingkat kehilangan air dan kesulitan air baku. Sayangnya, seringkali diselesaikan melalui jalan pintas: utang dan privatisasi. Kita tidak diajak untuk berpikir dan bertindak serius untuk, misalnya, membenahi organisasi PDAM agar lebih sehat melalui partisipasi dan kontrol warga, mencegah kecenderungan korup, atau menghentikan prilaku menjadikan PDAM sebagai “sapi-perah”. Jalan pintas dengan utang dan privatisasi, membuat warga membayar dua kali: membayar utang dan pada saat yang sama membayar keuntungan bagi pengelola swasta.
Istilah privatisasi mungkin kita tidak akan temukan dalam bahasa resmi di badan usaha milik daerah atau negara. Bank Dunia lebih menyukai istilah populer Public Private Partneship (PPP-Kemitraan Publik Swasta) atau partisipasi sektor swasta (PSP) jika suatu aset atau perusahaan yang status kepemilikan (ownership) masih milik negara atau daerah. Model privatisasi dalam PPP/PSP biasanya adalah: Leasing/kontak-sewa dan konsensi baik yang bersifat konsensi-penuh maupun konsesi-sebagian. Model konsensi menjadi model paling lazim di PDAM di Indonesia.
Model konsensi-penuh, tanggung jawab pengoperasian dan manajemen seluruh sistem termasuk aset peralata/jaringan dialihkan pada swasta.  Secara sederhana dalam skema konsensi-penuh, mulai dari air baku, pengolahan air di IPA, sampai distribusi ke konsumen dikerjakan swasta. Istilahnya, PDAM hanya jadi “anak kos-kosan” saja. Kontrak konsensi biasanya berlangsung antara 25-50 tahun, setelah masa kontrak selesai baru diserahkan kembali ke PDAM. Sementara konsesi-sebagian, terdapat sejumlah varian seperti Build-Operation-Transfer (BOT-Bangun, Kelola, Alih); Rehabilitate-Upgrade-Operation-Transfer (RUOT-Rehab, Peningkatan, Kelola, Alih);  Rehabilitate-Operation-Transfer (ROT-Rehab, Kelola, Alih). Varian pengaturan ini menggambarkan, tanggung jawab swasta hanya pada porsi tertentu. Jika disederhanakan dalam skema BOT dan atau ROT/ROUT, biasanya hanya pada pengolahan air di IPA, kemudian produksi air ini dibeli PDAM, dan didistribusikan PDAM melalui pipa distribusi/transmisi ke konsumen.
Apakah ini menguntungkan? Kita bisa menengok lagi kasus Jakarta, ketika dua korporasi air mendapatkan konsesi-penuh. Antara Menteng dengan Muara Baru. Harga air di Menteng Rp 1.250, sementara di Muara Baru Rp 10.000 per 100 liter. Ini berarti, orang di pemukiman miskin di Muara Baru justru mensubsidi orang di kawasan elit Menteng. Banyak warga miskin tidak mampu membeli air bersih. Faktanya, hanya 45 persen warga Jakarta terlayani air bersih, sisanya mengandalkan sumur. Tapi, air tanah ada batasnya, di Jakarta. Privatisasi air, pada akhirnya, hanya bikin banyak perkara. Bisnis air, selain padat-modal, harus pakai kekuatan politik. Itu sebabnya, mengapa urusan air adalah, urusan demokrasi. Sederhana saja, air menyangkut hajat hidup orang banyak. Bukankah, para pendiri republik ini sudah menitipkan pesan tersebut.

Paccerakang, 8 Juli 2014


[1] "Penduduk Kota, Warga Kota, dan Sejarah Kota: Kisah Makassar", Dias Pradadimara, Juli 2004
[2] "Sesat Pikir Hak Atas Air", Benny D. Setianto, www.kruha.org
[3] Thames Water berubah menjadi Aetra Air Jakarta (shareholder: Acuatico Pte Ltd 95 % dan Alberta Utilities 5%), sedangkan Ondeo Service menjadi Palyja (shareholder: Suez Environment 51% dan Astratel Nusantara 41%)

Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Gudo, Lasem. Perjumpaan Negeri yang Berbeda

SAYA beruntung dapat menjejaki dua tempat: Gudo, Jombang dan Lasem, Rembang. Nah, bersiaplah dengan kisah perjalanan saya kali ini, menembus lorong waktu. Gudo dan Lasem, dua  tempat yang sebelumnya telah menggoda perhatian saya. Boleh jadi, karena keinginan perjumpaan akan ruang geografis etnis dan penghayatan subyektifnya yang berbeda dengan tempat lain di negeri ini, dalam memahami hubungan pasang-surut akibat pertikaian sosial. Atau , tertarik dengan kalimat akhir sebuah artikel yang mengutip tulisan para pecinta pemikiran Gus Dur di klenteng (untuk menyebut rumah ibadah Tionghoa) Gudo: "semakin kita berbeda, semakin jelas dimana titik persamaan kita". Di kedua tempat ini, Gudo dan Lasem, klenteng menjadi landmark (mercu-tanda) . Jarak keduanya,  cukup berjauhan. Jalan pintas terdekat, sekitar 180 kilometer, membelah punggung pegunungan kapur Kendeng. Dari Gudo menuju ke utara, lewat Tuban. Lalu ke arah barat, berjalan di atas jalanan warisan Gubernur Jenderal Hindia Bel...

Media Baru, Muslihat Lama

REVOLUSI datang secara mengejutkan. Revolusi adalah pementasan dramatik, waktunya cepat, dan mudah diingat. Seperti kata sosiolog Piort Sztompka: bak ledakan dinamit di tengah aliran lambat proses historis. Kita juga sering diingatkan agar tidak gegabah atau sembrono dengan ungkapan "revolusi", karena studi revolusi memiliki batasan-batasan mengenai basis dan komponen utamanya [*]. Revolusi mengacu pada perubahan fundamental. Bahkan, dalam sejumlah kenyataan di paska-revolusi, cara kita memandang sesuatu atau cara kita berpikir pun turut berubah. Saya sendiri seringkali terusik mengamati revolusi kontemporer, revolusi yang meletup pada abad 21, pada peranan media yang memanfatkan sentimen gerakan sosial yang spektakuler itu. Meski hal itu, saya sadari, bukan faktor tunggal lahirnya sebuah revolusi. Ketika benih revolusi mulai berkecambah, media bisa jadi membawa ancaman, bahkan mengakhiri rezim yang berkuasa, mengakselerasi transisi demokrasi, atau malah sebaliknya bersifa...

Gagasan Anarkisme Terhadap Ilmu Komunikasi

“ Apa skripsi saudara benar-benar merupakan skripsi ilmu komunikasi? ” [1] SAYA pikir ini bukan pertanyaan bodoh. Sejauh apa yang saya bayangkan kemudian terhadap pertanyaan tersebut adalah: apakah komunikasi itu pengetahuan [2] ? Dalam tradisi pemikiran Yunani purba, pengetahuan (“pengetahuan” yang dimaksud ketika itu bukan berada di dalam pengertian ilmu pengetahuan seperti yang saat ini) [3]  berpautan dengan kepentingan yang berhubungan dengan cita-cita etis, hal-ikhwal kebajikan atau kebijaksanaan. Pengetahuan ( theorea ) diyakini mendorong atau tidak terpisahkan dengan tingkah-laku praktis ( praxis ) dalam kehidupan kongrit.

Plutokrasi, Anti Logika

Mereka menyebutnya demokrasi. Tetapi, yang sebenarnya berjalan adalah plutokrasi. Pemerintahan yang mengabdi pada mereka yang berpunya, daulat uang. Hukum tertinggi adalah koneksi. Keputusan untuk rakyat banyak ditentukan oleh konsensus orang-orang tidak beradab. Negara adalah manifestasi keserakahan. ( Rahasia Meede, Misteri Harta Karun VOC, E.S. Ito, halaman 34 ) NOVEL thriller sejarah ini, saya rasa, mengantar kita sejenak mengenali kembali kemerdekaan  dan setumpuk utang. Novel ini dibuka dengan kalimat: "Tidak bisa, bung. Bukan kita, tetapi mereka yang seharusnya membayar. Kita berhak atas Batig Slot". Sepenggal percakapan antara seorang pemuda yang digambarkan revolusioner  berperawakan tinggi kurus dan berkacamata tebal, Sumitro Djojohadikusumo, dengan Bung Hatta, di Den Haag, November 1949. Kita pun tahu, ini babak akhir perundingan maraton Konferensi Meja Bundar. Belanda menyodorkan klausul, pihak Indonesia menanggung beban utang Hindia Belanda. Sebuah syarat be...