Skip to main content

Posts

Showing posts from 2010

Gagasan Anarkisme Terhadap Ilmu Komunikasi

“ Apa skripsi saudara benar-benar merupakan skripsi ilmu komunikasi? ” [1] SAYA pikir ini bukan pertanyaan bodoh. Sejauh apa yang saya bayangkan kemudian terhadap pertanyaan tersebut adalah: apakah komunikasi itu pengetahuan [2] ? Dalam tradisi pemikiran Yunani purba, pengetahuan (“pengetahuan” yang dimaksud ketika itu bukan berada di dalam pengertian ilmu pengetahuan seperti yang saat ini) [3]  berpautan dengan kepentingan yang berhubungan dengan cita-cita etis, hal-ikhwal kebajikan atau kebijaksanaan. Pengetahuan ( theorea ) diyakini mendorong atau tidak terpisahkan dengan tingkah-laku praktis ( praxis ) dalam kehidupan kongrit.

Sektor Informal

KORAN Tribun Timur (25/3/2010) mewartakan mengenai satu kabupaten di Sulawesi Selatan, satu industri. Berikut tulisan lama saya –saya sendiri sudah lupa jika tidak mampir di blog sohib saya yang memuat tulisan saya tersebut, yang mungkin dapat mempautkan soal industrialisasi dengan sektor informal. Senin lalu, para pedagang kaki lima di pintu II Universitas Hasanuddin (Unhas) akhirnya digusur dengan cara represif, dan menelan lima orang korban luka (Pedoman Rakyat, 31 Mei 2005). Peristiwa ini tentu paradoksal jika direlasikan dengan aikon universitas, yang semestinya ditafsir sebagai pilar pembebasan bagi kemiskinan, tirani, dan represi politik. Atau dalam tafsir orang awam dengan penuh rasa geram, bagaimana mungkin orang sekolahan dapat melukai rasa keadilan. Pertanyaan yang mucul mengapa orang sekolahan itu tidak dapat memoderasi masalah ini. Mengapa para ilmuwan Unhas membiarkan masalah pedagang kaki lima pintu II sampai mengkristal dan bereskalasi pada ujung konflik, mengingat

Narmada dan Bili-bili

DESA Narmada, di India dan Bili-bili, di Indonesia, dua tempat berjauhan dengan satu kisah yang sama: soal pengorbanan dan proyek bendungan. Arundhati Roy, perempuan pemikir kelahiran India dan seorang sarjana arsitektur, dalam ”The Cost of Living”, menggambarkan dua perkara tersebut dapat dipersinggungkan, dirajut, dan dipertalikan: mistisfikasi nasionalisme dan eskalasi bantuan dari Lembaga Keuangan Internasional. Di Indonesia, “The Cost of Living” sudah dialih-bahasakan dan diedarkan sekitar dua tahun lalu, dalam bentuk novel non-fiksi (berisi fakta dan perasaan Arundhati Roy).

Siasat dari Halaman Belakang Makassar

“ Siasat adalah seni melawan kaum papa ” SULAWESI SELATAN memiliki angka-angka surplus beras yang dapat menguatkan target lumbung pangan nasional.[1] Sebuah pesan pendek yang terus-menerus menjadi pengetahuan yang telah terlembagakan dan menyakinkan, meminjam istilah Alain Badiou, sebagai peristiwa-kebenaran (truth-event). Surplus beras, pertama-tama, memberitahu kita tentang cadangan pangan. Pembingkaian target surplus beras itu dijelaskan melalui kacamata statistik mengenai laju produksi beras, serta penggunaan kaca pembesar masalah perlakuan tanaman. Peningkatan produksi, melalui mobilisasi kekuasaan, menjadi pendekatan kunci surplus beras. Tidak terlalu sulit untuk mendapatkan angka statistik mengenai luas areal sawah dan produksi padi. Akan tetapi, bagaimana mungkin, membicarakan kemajuan atas angka-angka surplus beras, tanpa mengetahui data penyakapan ( land-tenure ) lahan sawah yang telah dikonversi. Berapa jumlah petani (tuna-kisma) yang kehilangan lahan pertanian. Berapa oran