Skip to main content

Posts

Showing posts from 2019

Bangsa yang Ringkih dan Sensitif

KALAU kita bisa melipat sisi kiri-kanan peta Indonesia menjadi dua bagian. Maka di timur Indonesia, merupakan kawasan yang paling majemuk. Dibanding di wilayah barat, lebih beragam bahasa dan jumlah etnis dengan populasi yang lebih sedikit. Ibarat mozaik kebudayaan yang disusun beragam perbedaan. Namun, sesungguhnya sangat rapuh, ringkih, sekaligus sensitif. Selain, secara geografis kawasan ini merupakan cincin api, hidup di atas patahan dan lingkar gunung api. Fakta lainnya, situasi paradoks juga dapat disaksikan di kawasan ini. Tempat masuk para pendatang memulai hidup, tapi di sisi lain sekaligus menjadi tempat keluarnya para pengungsi akibat konflik. Pengungsian itu sendiri sudah ada sejak pada masa awal kemerdekaan. Sayangnya, pengungsian di negeri sendiri sering gagal dipahami. Tempat ini juga kerapkali diandaikan seperti hidup di atas padang ilalang, dipenuhi rumput kering, gampang sekali terbakar dengan sedikit semburan lidah api. Buku yang ditulis Gerry van Klinken, Perang Ko

Petobo, Tragedi

BUNG ada dimana pada saat 28 September 2018. Apa yang bung saksikan. Saya bertanya pada seorang lelaki di salah satu sudut ruangan. Umar, namanya. Rumah di Petobo. Bung, boleh ceritakan itu. Pinta saya melanjutkan pertanyaan awal. Enam bulan setelah terjadi bencana yang menghebat di ujung senja di Palu, Sulawesi Tengah. Umar, adalah seorang penyintas, orang yang selamat dari kejadian bencana. Bencana gempa bumi yang menewaskan ratusan orang, meratakan pemukiman.  Gempa bumi berkekuatan 7,5 pada skala richter. Gempa yang s ekaligus mengirim gelombang tsunami dan likuifaksi. Dengan kecepatan sekitar 800 kilometer per jam, tsunami setinggi  5 meter dari tengah laut itu melumat pantai Talise, hanya dalam hitungan detik saja. Gempa itu pula yang mencairkan tanah (likuifaksi), melumerkan, kemudian menenggelamkan Petobo dan Balaroa, juga Jono Oge dan Sibalaya. Ketika pertama kali saya mendengar likuifaksi di Palu, rasanya langsung teringat akan kalimat dalam bahasa sansekerta yang membatin.

Ladang Tebu, Jalan Tol, Mojokerto

MOJOKERTO seperti borjuis kecil. Rasanya, saya tidak memiliki ungkapan yang lebih tepat. Perjalanan kembali ke kampung halaman, seperti menggeledah keranjang ingatan. Lebih sepekan, saya tinggal di sebuah tempat yang berada dalam narasi "sejarah besar" di republik ini. Tapi, saya tidak hendak bercerita soal itu. Lupakan sejenak mengenai  penemuan fosil tengkorak kanak-kanak purba, di Perning, sebuah desa kecil di timur laut Mojokerto, pada 1936. Atau, repihan kota tua Majapahit, di desa Trowulan (sebelumnya, bernama Trangwulan), di sebelah barat Mojokerto.  Saya penasaran mencari tahu lebih jauh. Saat bertemu sejumlah kawan lama semasa sekolah. Ketika percakapan yang tiba-tiba melompat pada: pabrik-pabrik mulai pindah ke tempat yang lebih rendah upah para pekerjanya.   Saya mendadak teringat akan penjelasan David Harvey, seorang geografer sekaligus antropolog. Aliran modal seperti proses molekuler, katanya. Dalam suatu percakapan mengenai buku yang ditulisnya: The New Imp

Telur, Jalan Cumi Cumi

UNTUK kesekian kali, kami melewati kios atau toko kelontong yang menjual telur, malam itu. Tapi, isteri saya tetap saja tak bergeming. Sampai pada akhirnya, isteri saya berkata,"Kita cari telur di penjual beras, nyata itu, pasti penjualnya itu orang Sidrap." Nah, ini membuat saya agak tercengang sesaat mendengarnya. Bagaimana dia bisa mengasosiasikan orang Sidrap (Sidenreng Rappang), salah satu daerah di Sulawesi Selatan, itu adalah pedagang beras sekaligus telur. Lalu, saya pun terkekeh. Sekena-kena saja saya berpikir, isteri saya rupanya sedang mencari titik persingungan antara studi ekonomi dengan relasi etnisitas. Barangkali, semacam antropologi ekonomi.    Boleh jadi juga, dia tidak sejauh itu berpikir. Hanya semacam preferensi saja dalam berbelanja. Tapi hal ini yang pasti mengingatkan kembali saya pada Jalan Cumi-Cumi. Nama sebuah ruas jalan di Bontoala, Makassar, yang menghubungkan Jalan Mesjid Raya, Laccukang, dan Pongtiku. Lebih tiga puluh tahun lalu, semasa