Skip to main content

Telur, Jalan Cumi Cumi

UNTUK kesekian kali, kami melewati kios atau toko kelontong yang menjual telur, malam itu. Tapi, isteri saya tetap saja tak bergeming. Sampai pada akhirnya, isteri saya berkata,"Kita cari telur di penjual beras, nyata itu, pasti penjualnya itu orang Sidrap." Nah, ini membuat saya agak tercengang sesaat mendengarnya. Bagaimana dia bisa mengasosiasikan orang Sidrap (Sidenreng Rappang), salah satu daerah di Sulawesi Selatan, itu adalah pedagang beras sekaligus telur. Lalu, saya pun terkekeh. Sekena-kena saja saya berpikir, isteri saya rupanya sedang mencari titik persingungan antara studi ekonomi dengan relasi etnisitas. Barangkali, semacam antropologi ekonomi.
6-Pack-Chicken-Eggs  
Boleh jadi juga, dia tidak sejauh itu berpikir. Hanya semacam preferensi saja dalam berbelanja. Tapi hal ini yang pasti mengingatkan kembali saya pada Jalan Cumi-Cumi. Nama sebuah ruas jalan di Bontoala, Makassar, yang menghubungkan Jalan Mesjid Raya, Laccukang, dan Pongtiku. Lebih tiga puluh tahun lalu, semasa masih duduk di bangku kuliah, saya tergoda mengamati pergerakan ekonomi dengan relasi etnisitas di jalan tersebut. Seperti, keberadaan tukang cukur Madura, para penjahit pakaian dari Soppeng dan Banjar, penjual Sop Saudara dari Pangkep, juga coto Mangkassara di bawah asuhan orang Makassar, toko kelontong milik orang Cina, hingga para penjahit sepatu sandal yang berasal dari Tana Toraja. Dan di kemudian hari, di ujung jalan itu, di sudut Jalan Pongtiku, berdiri satu kantor unit BUMN pegadaian. Saya agak takjub melihat pertukaran ekonomi di jalan yang berjarak pendek ini. Ada sejumlah pertanyaan penting yang mengusik dan menggeliat dalam kepala saya, pada masa itu. Salah satunya, apakah hal ini diterima sebagai kenyataan sosial pada etnis tertentu sebagai bagian strategi adaptasi atau negosiasi terhadap ekonomi kota atau perubahan sosial yang terjadi. Bagaimana kisahnya, ruang-ruang ekonomi kota yang saling berdekatan itu diisi etnis yang berbeda.
Dalam pertanyaan sejarah atau riwayat hidup, bagaimana ceritanya, ketika mereka menemukan kata "Makassar" dalam perantauannya, untuk memulai usaha ekonomi tertentu. Bagaimana mereka terwariskan keterampilan tertentu itu. Misalnya, mengapa mereka bekerja sebagai tukang cukur, mengapa tidak menjual sate atau soto daging Madura. Atau, bagaimana cerita para perantau dari Tana Toraja kemudian menjadi penjahit sepatu dan sandal. Kalau tak salah ingat, ada lima lapak penjahit sepatu dan saling berdekatan. Seperti tidak ada pertaruhan kompetisi diantara mereka, ataukah ini bagian dari siasat "berbagi risiko" sebagai reaksi atas ekonomi kota. Atau boleh jadi, ini bagian dari kekuatan jaringan keluarga, seperti lazimnya dilakukan orang Cina yang disebut: Guanxi atau kongsi. Di kemudian hari, saya baru tahu, tukang cukur Madura itu memiliki "asosiasi" guna mengatur ongkos pangkas rambut, yang berdasar teretori administratif dimana usaha mereka berada. Kita juga bisa membayangkan, bagaimana kuatnya organisasi para tukang cukur ini, yang ditunjang dengan kesetiaan mengikuti rutin majelis pengajian di antara mereka. Saya sendiri tak terlampau menginvestigasi lebih lanjut titik persingungan ini. Saya hanya, lagi-lagi, tergoda saja melihat satu jalan memiliki etnis yang beragam yang masing-masing mengisi ruang ekonomi yang tidak sama dan bertahan. Bagaimanapun juga, kita mesti berhati-hati, argumentasi titik persingungan ini berlangsung unik, tidak bisa dipukul rata di setiap tempat.
Percakapan semacam ini rupanya berlanjut. Ketika saya baru bertemu kembali dengan sejumlah kawan di bangku kuliah yang sekian lama tak bersua, beberapa hari lalu. Seorang kawan, seorang pejabat di sebuah kantor pegadaian, menyebut Makassar memiliki andil besar dalam mendorong laba di BUMN pegadaian. "Ini karena orang Makassar suka mengadaikan emas,"tuturnya pada saya. Kata "emas" mengingatkan saya, mengutip apa yang dinyatakan orang ramai, perempuan Bone dengan perhiasan emasnya. Saya lalu bertanya pada seorang kawan perempuan di samping saya, yang belajar antropologi waktu di kampus,"Kenapa perempuan Bone suka dengan perhiasan emas, kalau sudut pandang dirimu sebagai antropolog, seperti apa penjelasannya." Dia tidak menjawab, hanya tertawa lepas, sembari menyeruput minuman jeruk hangatnya. Saya jadi ingat kata kawan saya seorang pengacara, kalau perhiasan emas itu sebagai bagian yang melekat di tubuh, tidak bisa jadi bagian dari harta gono-gini jika terjadi perceraian. Atau, dengan kalimat lain, boleh jadi, sebagai "coping strategy" bagi perempuan.
Apakah hal-hal semacam ini dipikirkan calon presiden kita. Di timur Indonesia, memiliki jumlah etnis yang lebih banyak daripada di barat, tetapi dengan populasi yang lebih kecil. Di samping kawasan ini kerapkali menyimpan potensi cincin api konflik. Lantas, bagaimana relasi etnis itu merespon pasar yang semakin terbuka, ketika rantai pasok global telah sampai di desa-desa, di kampung-kampung. Ketahanan ekonomi, misalnya. Dalam debat pertama calon presiden malam itu, rasanya kita tidak diajak mengarungi pikiran dan kesadaran baru. Hanya sekedar debat saja. Esok petangnya, kawan saya, seorang jurnalis senior di salah satu jaringan media nasional, mengirimkan pesan melalui whatsapp mengenai kurs dan indeks harga saham. Intinya, baik-baik saja, tidak terganggu dengan debat semalam. Ya, sudahlah. 

Paccerakkang, 19 Januari 2019

Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Narmada dan Bili-bili

DESA Narmada, di India dan Bili-bili, di Indonesia, dua tempat berjauhan dengan satu kisah yang sama: soal pengorbanan dan proyek bendungan. Arundhati Roy, perempuan pemikir kelahiran India dan seorang sarjana arsitektur, dalam ”The Cost of Living”, menggambarkan dua perkara tersebut dapat dipersinggungkan, dirajut, dan dipertalikan: mistisfikasi nasionalisme dan eskalasi bantuan dari Lembaga Keuangan Internasional. Di Indonesia, “The Cost of Living” sudah dialih-bahasakan dan diedarkan sekitar dua tahun lalu, dalam bentuk novel non-fiksi (berisi fakta dan perasaan Arundhati Roy).

Pangan, Antibiotika, Oligarki

" ANTIBIOTICS off the menu ", demikian kampanye yang diluncurkan organisasi konsumen internasional pada tahun ini. Penggunaan antibiotika yang berlebihan menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan global, kita akan berhadapan dengan bakteri (mikroba) yang resisten (kebal) terhadap antibiotika. Hingga pada suatu hari, kita menjumpai kenyataan, antibiotik tidak lagi bisa melawan bakteri. Hanya sedikit goresan saja, orang bisa saja mati terbunuh. Boleh jadi, Alexander Fleming penemu antibiotika penisilin, yang mengobati infeksi, tidak menyangka kalau produksi antibotika tidak saja berada lini industri farmasi, namun berlipat ganda dengan industrialisasi pertanian dan peternakan. Fleming pun menyebutnya sebagai penemuan secara kebetulan. " Ketika saya bangun tidur, setelah fajar menyingsing, 28 September 1928, saya sama sekali tidak berniat merevolusi semua obat dengan penemuan antibiotik atau bakteri pembunuh ,"ujarnya. Sekitar setengah dari produk antibi...

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis...

Negeri Pelepah Sagu

“ The beginning of the conquest and looting of East Indies … signalized the rosy dawn of the era capitalist production ”[1] SETUJU berlari kencang menembus kegelapan. Saya dibuatnya sesekali terguncang-guncang. Angin malam menyergap masuk melewati rongga atas pintu belakang. Setuju, demikian nama otobis kelas ekonomi, non-AC, berwarna putih kusam, melayani trayek Malili-Makassar. Bis berangkat jam lima   sore dari Malili, Luwu Timur, tiba di perempatan lampu-merah Pasar Daya, Makassar, jam empat pagi esok harinya.   Saya dan seorang kawan   naik   bis Setuju   d ari   Senga, Belopa, malam itu . Sebelumnya, kami   baku-tawar ongkos dengan kenek bis, dari 80 ribu turun menjadi 60 ribu   rupiah   sampai   ke   Makassar. Sebagian besar bangku bis diisi   orang   Pangkep. Mereka, para pekerja tambak di pesisir Teluk Bone yang mengapit Tana Luwu. Sedikit diantaranya, adalah kerabat pemilik warung sop   daging sapi ...