Skip to main content

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group band yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom. Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi".
Saya menyenangi percakapan saat itu. Saya juga menyukai musik rock, saya juga mengkoleksi album kaset Deep Purple semasa duduk di bangku SMA. Bagi saya, Deep Purple termasuk grup band yang awet, sekalipun dua kali bubar. Album terakhir mereka: Whoosh. Dilepas tahun 2020. Tahun ini, karena meluasnya pandemi, mereka membatalkan sejumlah pertunjukan musik rock.
Perjumpaan dengan kerabat saat itu, membuat saya tiba-tiba teringat dengan super grup ini. Saya mengulik di internet, jangan-jangan ada film dokumentasi mereka di Jakarta ketika itu. Nah, saya menemukan di kanal youtube, sebuah trailer film dokumenter: "Deep Purple 1975 (A Work in Progress)". Saya tidak tahu kapan film itu dirilis. Namun, yang menarik bagi saya, film ini tidak sekedar mempertontonkan sebuah pementasan musik rock, melainkan interpretasi terhadap jalinan peristiwa yang menyertai dan situasi politik yang berkembang saat itu. "Deep Purple mengalami teror selama 48 jam," lapor seorang reporter majalah musik berbahasa Jerman, POP. "Jakarta adalah neraka," lanjutnya.
Mereka datang pada hari-hari pertama Desember 1975. Suhu politik di Jakarta masih terasa panas. Sekitar satu tahun kejadian kerusuhan besar di Jakarta. Orang menyebut, peristiwa Malari. Pada Agustus 1975, keluar undang-undang dimana partai politik dipangkas menjadi dua saja, ditambah dengan Golkar. Pegawai negeri sipil boleh jadi anggota Parpol dan Golkar asalkan diketahui pihak yang berwenang. Pada masa itu juga, negeri ini dilimpahi keuntungan harga minyak yang naik empat kali lipat. Karena boikot negara-negara Arab yang kaya minyak terhadap Amerika Serikat, yang mendukung perang Yom Kippur Israel, serangan militer ke Mesir. 
Sekalipun Indonesia sedang menikmati bonanza minyak, orang mulai kasak-kusuk. Soal dugaan korupsi Pertamina. Pertamina di zaman keemasan Orde Baru seperti raksasa yang menyilaukan mata. Kekayaan Pertamina memang menggunung, tulis buku Cerita di Balik Dapur Tempo. Di laut, ada puluhan tangker. Di udara, ada puluhan pesawat dan helikopter. Akhir 1974, Pertamina membeli pesawat jet Boeing, yang dilengkapi ruang rapat dan kamar kecil. 
Sebelumnya, Harian Indonesia Raya, yang dipimpin Mochtar Lubis, paling gencar menyorot dugaan korupsi di tubuh Pertamina, terkhusus terhadap Ibnu Sutowo, Dirut Pertamina waktu itu. Tapi, usai peristiwa Malari meletus. Harian Indonesia Raya dilarang terbit, bersama dengan sepuluh surat kabar lainnya dan satu majalah. Mochtar Lubis ditahan dan dituduh berencana menggulingkan pemerintahan yang sah. Di kemudian hari, tuduhan ini tidak terbukti. Mochtar Lubis, bebas. Sementara itu, Ibnu Sutowo dicopot pada 1976, diganti Piet Haryono. Ibnu Sutowo telah menyeret, dan membuat utang Pertamina sebesar 10,5 milliar. Pada Januari 1976, Presiden Soeharto dalam pidatonya di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, mengakui kisruh utang Pertamina berdampak buruk program pembangunan nasional.
Deep Purple mendarat di Halim Perdana Kusuma, Jakarta, dari Australia. Deep Purple dengan formasi band yang ke IV: David Coverdale (vokal), Tommy Bolin (gitar), Ian Paice (drum), Glenn Hughes (bas), dan Jon Lord (kibor). Dua tahun sebelumnya terjadi pertengkaran, membuat vokalis Ian Gillan dan gitaris Richie Blackmore kemudian keluar. David Coverdale, pengganti Ian Gillan, kemudian hari dikenal penyanyi di group band Whitesnake. Inilah tur pertama mereka sejak Tommy Bolin bergabung dengan band ini. Tommy Bolin, gitaris jazz rock yang berbakat, dengan masalah heroin yang serius. 
Mereka memang disambut meriah setiba di bandara sampai di Hotel Sahid Jaya dan Mandarin, tempat mereka menginap. Tapi majalah mingguan berbahasa Jerman, Der Spiegel, menangkap kegugupan mereka. Dua hari sebelum kedatangan grup band ini, sekelompok teroris menduduki konsulat Indonesia di Amsterdam. Juga keriuhan pembunuhan lima jurnalis televisi Australia di Timor Portugis. Deep Purple menggelar konsernya di Stadion Senayan (sekarang, Stadion Utama Gelora Bung Karno). Dua hari mereka pentas, ditonton 150 ribu orang. Di stadion ini, berapa pekan sebelumnya, terjadi kericuhan dalam pertandingan final sepakbola Kerjurnas PSSI antara Persija melawan PSMS. Dihentikan pada menit 40. Kedudukan sementara, skor imbang 1-1. Kericuhan antar pemain, pembangkangan terhadap wasit.
Film itu, kemudian mengaitkan peristiwa sebuah pertemuan penting Presiden Amerika Serikat, Gerald Ford, dan Menteri Luar Negeri Henry Kissinger dengan Presiden Soeharto di Jakarta, yang bersamaan waktunya dengan hinggar bingar pentas musik Deep Purple di Senayan. Barat memang mendukung pemerintahan Soeharto yang anti-komunis. Selain itu, film ini juga mengaitkan situasi di Timor Timur. Dalam sebuah dokumen yang dirilis Indoleaks mengenai pembicaraan Soeharto-Ford. Soeharto menyinggung pengaruh komunisme yang masuk di Timor Portugis. Jadi satu-satunya cara mengintegrasikan ke Indonesia, kata Soeharto. Sehari setelah pesawat kepresidenan Amerika Serikat tinggal landas dari Jakarta, dimulai operasi militer dengan sandi Seroja di Timor Portugis. Dua hari setelah konser Deep Purple.
Konser mereka di Jakarta kelihatan memang berujung tragedi dan kekacauan. Penonton menjebol pagar pembatas, merangsek ke depan panggung. Tepat saat lagu Smoke on the Water menderu.  Histeria massa. Rusuh. Tentara dikerahkan. Polisi dipersenjatai dengan senapan mesin dan pentungan. Anjing polisi berjaga-jaga. Tendangan dan pukulan polisi seperti menjadi bagian dari pementasan Deep Purple. Patsy Collins, pengawal Tommy Bolin, mati mengenaskan. Dia jatuh, terjun dari lantai enam hotel di bawah lift yang sedang diperbaiki dan menabrak pipa air panas, sempat dirawat tapi tidak tertolong karena luka bakarnya sudah parah. Manajer band Deep Purple dan dua kru, ditahan di kantor polisi, diinterogasi, dengan dugaan pembunuhan. 
Sebuah artikel yang ditulis Peter Crescenti untuk Majalah Rolling Stone, menyebut konser ini: The Indonesian Nightmare. Film ini, boleh jadi, titik paling gelap bagi perjalanan sebuah super grup musik cadas di pertengahan dekade tujuh puluh. Sebuah kematian tragis, penahanan di kantor polisi, dugaan pembunuhan, ketakutan para musisi di panggung, seperti membakar uang konser sebesar 75 ribu dollar Amerika Serikat. Sebagaimana lagu pembuka Deep Purple pada hari pertama konser di Jakarta: Burn. Sebuah film yang unik bagi penggemar Deep Purple. 

(Artikel ini telah mengalami penyuntingan dari artikel aslinya yang ditulis di Kebayoran Baru, 4 Maret 2016)

Popular posts from this blog

Negeri Kopra, Galela Utara

SERIBU ton kopra yang kita kirim ke istana mengapa tak punya harga. Sebait sajak yang ditulis Dino Umahuk, seorang penyair kelahiran Maluku, berjudul "Tentang Tanah yang Tak Berpusat di Jawa". Bait sajak yang memikat hati, saya temukan ketika mencari tahu perkara kopra di Halmahera. Sepulang saya dari Galela Utara, tempat para petani kelapa (Cocos nucifera) itu menjalani hidup. Hampir sepekan saya tinggal Desa Salimuli, di rumah sebuah keluarga yang mengandalkan sumber penghidupan dari kopra. Saya pikir, ini bukan soal keelokan nusantara, seperti dilukiskan dalam lagu Rayuan Pulau Kelapa. Tapi, harga kopra saat ini sedang terjun bebas.  Tuan rumah mengatakan pada saya,"satu kuintal kopra dulu itu 900 ribu, sekarang turun sampai 400 ribu". Ia mengisap rokok kreteknya dalam-dalam, seperti menahan amarah. "Di sini, satu karung beras, harganya 300 ribu," lanjutnya untuk menyakinkan saya, turunnya harga kopra turut menghajar habis penghidupan mereka. Kopra ...

Ratu Belanda di Titik Pusat Indonesia

RATU Belanda nampak bersiap menguruk tanah di titik pusat Indonesia ( center point of Indonesia- CPI) , demikian tempat yang kerap kali disebut. Potretnya terpampang dalam poster berukuran besar di samping pintu masuk, lengkap dengan lampu sorot yang menyala setiap malam. Ratu Belanda, Queen of the Netherlands , adalah nama kapal keruk, yang dimiliki Royal Boskalis Westminister, sebuah maskapai yang berasal dari Negeri Belanda. Mereka memenangkan kontrak dari salah satu tentakel kelompok bisnis properti Ciputra, dengan nilai yang diperkirakan menghampiri 90 juta dollar Singapura, untuk mengerjakan proyek reklamasi di lepas pantai Kota Makassar. Kapal Queen of the Netherlands sendiri dikenal sebagai kapal keruk terbesar di dunia, yang mengerjakan operasi pengerukan mulai dari pembangunan pelabuhan di Dubai, Busan, Singapura, hingga reklamasi di Maladewa. Pada 2008, Herald Sun memberitakan kapal keruk ini menuai protes dengan masalah lingkungan yang hendak dikeruk, ketika bersandar di ...

Narmada dan Bili-bili

DESA Narmada, di India dan Bili-bili, di Indonesia, dua tempat berjauhan dengan satu kisah yang sama: soal pengorbanan dan proyek bendungan. Arundhati Roy, perempuan pemikir kelahiran India dan seorang sarjana arsitektur, dalam ”The Cost of Living”, menggambarkan dua perkara tersebut dapat dipersinggungkan, dirajut, dan dipertalikan: mistisfikasi nasionalisme dan eskalasi bantuan dari Lembaga Keuangan Internasional. Di Indonesia, “The Cost of Living” sudah dialih-bahasakan dan diedarkan sekitar dua tahun lalu, dalam bentuk novel non-fiksi (berisi fakta dan perasaan Arundhati Roy).

Badai dalam Perjumpaan Budaya

PIDATO Sri Mulyani di sebuah kampus, sehari sebelum dilantik kembali menjadi Menteri Keuangan, mengusik perhatian saya. Mantan pejabat teras Bank Dunia ini membicarakan badai yang sempurna. Sebuah badai yang sedang melumpuhkan negara-negara yang semula menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia. Di sisi lain, kita mendiami sebuah dunia yang paradoks. Dunia yang kini banjir informasi, akan tetapi cenderung tidak membuka pikiran dan wawasan kita, bahkan memudahkan kita memuntahkan prasangka, menghilangkan sisi lain yang berseberangan dengan kita. Sri Mulyani juga membicarakan ketimpangan di luar kendali korban. Kesenjangan, baginya, bukan sekedar ketimpangan pendapatan, melainkan ketimpangan peluang. Apa yang menarik perhatian saya. Dia mempercakapkan ketimpangan itu, berada di tempat dimana kita lahir dan orang tua kita. Tentu saja, yang dimaksud bukan karena kita lahir di tempat yang salah, atau bukan pula karena salah bunda mengandung kita. Baiklah, kita membuka kembali peta negeri i...