Skip to main content

Negeri Pelepah Sagu

The beginning of the conquest and looting of East Indies … signalized the rosy dawn of the era capitalist production”[1]

SETUJU berlari kencang menembus kegelapan. Saya dibuatnya sesekali terguncang-guncang. Angin malam menyergap masuk melewati rongga atas pintu belakang. Setuju, demikian nama otobis kelas ekonomi, non-AC, berwarna putih kusam, melayani trayek Malili-Makassar. Bis berangkat jam lima sore dari Malili, Luwu Timur, tiba di perempatan lampu-merah Pasar Daya, Makassar, jam empat pagi esok harinya. Saya dan seorang kawan naik bis Setuju dari Senga, Belopa, malam itu. Sebelumnya, kami baku-tawar ongkos dengan kenek bis, dari 80 ribu turun menjadi 60 ribu rupiah sampai ke Makassar.
Sebagian besar bangku bis diisi orang Pangkep. Mereka, para pekerja tambak di pesisir Teluk Bone yang mengapit Tana Luwu. Sedikit diantaranya, adalah kerabat pemilik warung sop daging sapi dan ikan bakar, yang menjadi pengingat (penanda) akan Pangkep: warung Sop Saudara. Kawan saya setengah bercanda mengatakan, kalau harga ikan tambak di Sulawesi Selatan, ikan bandeng atau bolu, diatur dari Pangkep. Mereka turun sebelum bis mencapai kota Pangkep: di Segeri, Mandale, Ma’rang, dan Labakkang. Sebagian lagi, perantau Jawa yang tengah mencari peruntungan dengan bekerja di perkebunan kelapa sawit, buruh-tani, atau sebagai penjual makanan kaki-lima (food-street vendor). Selebihnya, mereka yang naik dari Suli dan Larompong, pedagang-kelontong Luwu yang kerap berhubungan dengan Pasar Terong, Makassar. “Saya selalu naik bis ini, makanya kukenal sopirnya, bisa kasih naik banyak barang, murah, dan bisa merokok,” kata seorang pedagang Luwu yang duduk di samping saya. Kelihatan ada benarnya.
Perjalanan dengan Setuju tiba-tiba memberi insight pada saya. Tana Luwu, bak besi-sembrani (magnet). Wilayah Sulawesi Selatan ini memiliki karakteristik khas. Dalam imajinasi paling liar, saya mengkaitkannya dengan peristiwa turbulensi awal Sulawesi, mengkonstruk Tana Luwu sebagai tempat  pertemuan tiga mandala geologi (barat, tengah dan timur), ketika terjadi penunjaman, tumbukan, antara lempeng besar Eurasia dengan lempeng Pasifik pada jutaan tahun silam. Letaknya berada di  pinggang Sulawesi, dataran yang berkerut, kaya akan lipatan gunung, sungai, danau, dan deposit mineral dalam perut bumi, seperti emas dan bijih besi-nikel. East Sulawesi Ophiolite, kerak samudra yang terangkat ke atas akibat tumbukan lempengan, singkapan bebatuan yang kaya dengan mineral.
Dalam wilayah sosial, sebagaimana kenangan saya, 17 tahun silam, di Mangkutana, di ujung utara Luwu (saat ini, masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Luwu Timur). Di Wonorejo, sebuah kampung transmigran Jawa, saya menikmati klenengan pertunjukan wayang kulit usai panen padi. Sebuah jeda, setelah letih berjalan dari kampung transmigran Bali. Malamnya, losmen tempat saya menginap menjadi target operasi polisi, operasi anti minuman-keras dan pekerja seksual komersial (PSK), mereka menggeledah setiap kamar losmen. Di Mangkutana, terdapat dua losmen, Melati dan Si Kumbang, yang biasa menjadi tempat menginap para sopir truk dan “kampas”, julukan mobil box pengangkut distribusi makanan olahan dan barang campuran. Esok harinya, saya dan seorang sohib menyimak cerita getir pencaharian-kehidupan orang Pamona di kampung Kayulangi, sekitar 10 kilometer dari perbatasan Sulawesi Tengah: dimana pemukiman, tanah dan hutan rotan mereka sedang dikepung, di-enclave, oleh sebuah maskapai perkebunan besar, Sindoka.[2] Juga berbagai peristiwa yang menyertainya, seperti rob yang berasal luapan Sungai Kalaena, menghanyutkan kayu hitam (eboni), sekaligus sebagai salah satu petanda adanya operasi pembalakan. Seorang pegawai PSDA setempat menuturkan, tidak sekedar eboni yang hanyut, juga jenis-jenis kayu di cagar alam Kalaena, seperti Kalapi, Nato, dan Betao.[3]
Mangkutana saat itu memang sedang melakukan lompatan besar menjadi raksasa perkebunan. Pembukaan areal lahan perkebunan, secara faktual berkorelasi dengan penurunan lahan hutan sagu.[4] Pemain kunci perkebunan besar kelapa sawit di Luwu adalah PT Perkebunan XXVIII.[5] Peredaran racun pestisida yang agresif dan meluas dapat menjadi indikasi terjadinya perluasan areal perkebunan. Pasar-pasar desa di Mangkutana dan sekitarnya, termasuk di Wotu, Tomoni, sampai Malili, menjadi “pasar-bebas” penjualan pestisida, terutama racun-rumput/gulma (herbisida). Merek-merek dagang herbisida Para-col* dan Gramaxone* (tanda asteriks/bintang ini menurut peraturan pemerintah berisiko tinggi dan terbatas pakai) dijual secara eceran dan atau di-pindah-wadah-kan, bahkan tidak jarang ditemukan dijual di dekat dan atau bersamaan penjualan bahan pangan atau makanan.[6]
Sejumlah temuan arkeologis dan linguistik memperkirakan peradaban di Tana Luwu lahir sekitar 2.000 tahun silam dengan mengirimkan beberapa penanda penting seperti kuburan tua pra-islam, jejak-jejak diaspora nenek-moyang, epos Galigo, kerajaan Luwu tua dan situs tambang bijih besi berbalut nikel.[7] Saya menduga, metalurgi menjadi bagian sejarah peradaban yang penting dengan melihat artifak dan situs tambang yang ada. Besi dari Danau Matano, salah satu danau besar di Tana Luwu, yang mengandung nikel, diperdagangkan ke seluruh Nusantara, sampai Sumatra, semenjak ratusan tahun silam. Besi-nikel ini dipakai untuk pembuatan senjata keris atau parang. “Nama Matano, selain berarti mata-air, juga berarti mata-parang,” kata antropolog Kathryn Robinson.[8]  Cerekang dan Ussu, dua lokasi penting perdagangan besi, yang dikenal sebagai besi Luwu atau besi To Ussu,  dari pedalaman ke dunia luar.
Di Sokoio dan Nuha, di tepian Danau Matano, sudah ada peleburan besi sejak 1500, tetapi sebenarnya sudah ramai sejak abad ke-14, dan dipercaya punya koneksi dengan Kerajaan Majapahit, yang mengambil besi untuk produksi keris (berpamor Luwu) dari tempat tersebut. Kegiatan peleburan itu dimulai tahun 1000-an, dan intensif setelah tahun 1500 sampai pada abad ke-17 ke atas. Dalam sejarah kolonialisme, potensi tambang di Tana Luwu, di sekitar pegunungan Verbeek Sorowako, baru pada 1915 dan 1920 dieksplorasi oleh Dienst van het Mijnwezen (Jawatan Pertambangan Belanda).

Pemerintah Hindia-Belanda sendiri mulai mengintervensi-langsung Tana Luwu ketika fajar menyingsing pada abad 20, selain ke wilayah lain di Sulawesi pedalaman seperti Bone. Gubernur Jenderal Van Heutsz, yang berbekal pengalaman Perang Aceh, mengirim ekspedisi militer yang agresif ke Tana Luwu lewat jalur laut di Teluk Bone dan mendarat di pantai Palopo. Mereka mematahkan perlawanan Andi Tadda, hulubalang Kedatuan Luwu, di Ponjalae. Peristiwa (event) tersebut sesungguhnya mungkin dapat ditelusuri lebih jauh lagi: apakah event tersebut tidak sama sekali atau kemudian malah menjadi presensi (hadir) terhadap representasi militansi di kalangan aristoktasi? Militer kolonial Belada masuk Kota Palopo pada Oktober 1905. Luwu kemudian dikonstruk ke dalam struktur wilayah administratif Afdeling Gouvernement Celebes en Onderhoorigheden di bawah asisten residen Belanda.
Catatan ini memberikan penanda mengenai Tana Luwu sebagai lokus produksi dan pertukaran (pasar). Namun, bagi saya, pada relasi pertukaran itu sendiri, dimanakah tahapan peralihan kapitalisme itu sesungguhnya berlangsung? Lebih kongritnya, alur sejarah antagonisme derajat pemilikan, formasi sosio-ekonomi? Jika kemudian VOC  (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, kongsi dagang Hindia-Timur Belanda, yang didirikan pada 20 Maret 1602 dengan modal 6,5 juta gulden) menimbang geopolitik jalur rempah-rempah, maka Tana Luwu relatif tidak sestrategis Makassar sebagai pintu gerbang menuju Maluku. Saya pikir ini sebagai perihal yang tidak berdiri sendiri, tidak bersifat serta-merta atau serba kebetulan, mengapa intervensi-kolonial di Tana Luwu justru pada awal abad 20. Maka, pembacaan saya kemudian, yang mesti dicari adalah perubahan-perubahan atau tahapan atas corak, mode, atau cara produksi dan pertukaran yang terjadi. Ringkasnya, membincangkan kembali makna “pasar (market) dalam kapitalisme, sekaligus kaitan cara (mode) produksi.[9] Bagaimanapun, intervensi-kolonial ini yang berkaitan dengan akumulasi kapital di tanah jajahan berkorelasi dengan perkembangan borjuisasi di negara-induk. Maka menjadi pertanyaan menggoda: kasus Tana Luwu dapatkah menolong kita memberikan penjelasan atau argumentasi penetrasi mode produksi atau tahapan kapitalisme?
Dari catatan sejarah, memang benar digambarkan, semenjak kapal-kapal VOC itu mulai berlayar hingga senjakala abad 19, secara fisik tidak seluruh tempat di Nusantara yang dapat direbut, diambil-alih lewat jalan kekerasan, dan atau tunduk tanpa pertumpahan darah dengan perjanjian sepihak. Letak geografis menjadi bagian penting pembacaan dalam strategi penguasaan geopolitik. Makassar –tidak seluruh wilayah kuasa dari Kerajaan Gowa tersebut takluk, selain sebagai gerbang jalur rempah-rempah juga karena eksistensi kantor perwakilan Portugis, pesaing terbesar VOC. VOC adalah perusahaan saham-gabungan (joint-stock company) pertama dalam sejarah bisnis, sekaligus memiliki otoritas quasi-negara dalam melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah.[10] Aktivitas ini dalam kenyataannya telah melipat-gandakan keuntungan yang diraup negara-induk bersamaan dengan risiko permintaan yang tidak pernah terpuaskan. Maka pembacaannya kemudian, kolonialisasi  VOC di Hindia-Timur menjadi basis kebangkitan kaum borjuis di negara-induk. Bagi saya, yang mesti diusut lebih jauh kemudian, adalah Belanda sebagai negeri yang miskin akan prasyarat pembentukan industri manufaktur, yang berbeda dengan Inggris, memiliki sumberdaya metalurgi atau tambang mineral lainnya yang lantas menjadi pemicu revolusi-industri. Perspektif yang lainnya, mungkin agak spekulatif, adalah, kaum borjuis nampaknya enggan melakukan pembentukan industri manufaktur, akan tetapi justru bergerak membangun basis modal-keuangan.
Kebangkrutan dan pembubaran VOC akhir 1799, berkomplikasi dengan miskinnya prasyarat pembentukan industri manufaktur yang kuat, akhirnya memicu krisis ekonomi negeri Belanda. Pemikiran yang berkembang selanjutnya, krisis ini dapat dipulihkan jika menjadikan Hindia Belanda sebagai kantong surplus ekonomi. Berbekal pengalaman cara kerja VOC, sistem cultuurstelsel (sejarahwan Indonesia menyebutkan sebagai sistem tanam-paksa) diperkenalkan dan diyakini Raja William, sebagai model terbaik menanggulangi krisis ekonomi.[11] Sistem tanam-paksa, yang dipelopori Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada 1830, itu mengokohkan sistem pajak-tanah (land-rent), penduduk dianggap sebagai penyewa atau penggarap karena yang dianggap pemilik tanah adalah negara, kewajiban karena sebagai penyewa, penduduk yang mengelola lahan pertanian harus mengalokasikan seperlima lahan pertaniannya untuk menanam komoditi ekspor yang laku di pasaran Eropa, sekaligus menjual dengan harga yang ditetapkan pemerintah kolonial, dan bagi penduduk yang tidak memiliki tanah harus menyisihkan waktu-kerja di perkebunan milik pemerintah kolonial.
Ekonomi negara-induk mulai mengeliat dan memperkuat kelas menengah sebagai pemilik modal atau borjuasi di negeri Belanda. Secara menakjubkan, hasil sistem tanam-paksa memulihkan keseimbangan neraca keuangan negara-induk Belanda dan Hindia Belanda. Pada 1860-an, 72 persen penerimaan kas kerajaan Belanda berasal dari Hindia Belanda. Kesuksesan sistem tanam-paksa dalam memulihkan krisis ekonomi itu telah mengubah formasi modal yang semula merkantilis tertransformasi pada penguatan kalangan borjuasi. Merkantilisme negara kolonial, dalam tanam-paksa, menjadi semacam langkah awal dalam melambungkan tanaman yang semula produk subsistensi seperti gula, tembakau, dikomersialkan menjadi produk ekspor yang diintegrasikan dalam pasar internasional. Berkat tanam-paksa, Belanda paling tidak, dapat membangun jaringan kereta api dan jalan-air (Noordzeekanaal dan Nieuwe Waterweg). Namun tidak bagi para petani, mereka sama sekali tidak merasakan surplus itu, kecuali kelaparan dan kemiskinan yang merajalela akibat terabaikan atau tidak tergarapnya tanaman pangan mereka.
Akumulasi modal yang berkembang di sektor industri telah membuka jalan bagi golongan borjuasi Belanda untuk menengok tanah koloni Hindia Belanda sebagai tempat investasi yang menguntungkan. Mereka memperoleh momentumnya ketika kaum humanis di negeri Belanda melancarkan serangan strategis terhadap sistem tanam-paksa. Isu kelaparan dan kemiskinan akhir 1840 di Grobogan, Demak dan Cirebon menjadi kritik keras mereka. Pada 1870, sistem tanam-paksa dihapuskan, seiring diterbitkannya Undang Undang Agraria, Agrarische Wet, dan Undang Undang Gula (Suiker Wet). Bagi golongan borjuasi, momen  Agrarische Wet 1870 menjadi terobosan agenda liberalisasi ekonomi. Isu penting dalam Undang Udang Agraria 1870 adalah pemberian hak erfpacht, semacam hak guna usaha, kepada partikelir (swasta) yang mengusahakan perkebunan dan pertanian besar. Partikelir dapat menyewa tanah milik negara selama 70 tahun. Kepemilikan tanah oleh negara, dapat saja dilakukan pemerintah kolonial dengan meng-klaim tanah rakyat yang tidak memiliki cukup bukti kepemilikan. Dibalik logika itu, adalah partikelir melalui kekuatan modal, menyandera negara dalam kuasa atas tanah, bahkan penyewaaan-desa dan menarik penghasilan desa. Dalam sejumlah studi menggambarkan, rejim perundang-undangan pemerintahan kolonial itu menjadi pintu terbuka bagi beroperasinya para partikelir. Faktanya, terjadi penetrasi modal di sektor perkebunan.  Indishe Mijn Wet (Undang Undang Pertambangan) yang terbit 1899, semakin melengkapi kuasa partikelir terhadap sumberdaya agraria.
Konsentrasi segelintir partikelir (oligarki) dapat dibaca dibalik logika politik etis kolonial pada awal abad 19. Pemerintah kolonial memperkenalkan emigrasi (transmigrasi) yang memindahkan penduduk Jawa ke beberapa tempat di luar-Jawa, pada 1920. Awalnya, Lampung, kemudian menyebar ke tempat lainnya, termasuk di Tana Luwu, salah satunya di Lamasi. Seorang kawan mengartikan Lamasi, wilayah di utara Kota Palopo, sebagai singkatan “Lamongan, Malang, Sidoarjo”, asal para kolonis Jawa, yang dipindahkan pemerintah kolonial dalam penerapan Politik Etis. Di Lamasi, terdapat suatu tempat yang bernama Karetan, yang menurut orang Luwu, semula adalah tanah perkebunan karet milik partikelir Jerman. Partikelir butuh tenaga kerja, menggarap sektor perkebunan dan pertanian besar. Basis produksi perkebunan di Hindia Belanda, terutama gula, didukung pabrik-pabrik gula, menjadi pilar ekonomi kolonial ketika booming di pasar internasional, sehingga menempatkan terutama Jawa sebagai tempat produksi gula dunia.
Penting diingat pula, sejarah tanam-paksa menjadi modus atas perubahan atau penyingkiran proses pertukaran sebelumnya, sesuatu yang tidak terpikirkan sebelumnya: produk komoditi, pembayaran uang tunai (cash-money), dan tenaga kerja-sewa. Sampai di sini, transisi (peralihan) kapitalisme itu benar-benar terasa. Alur peralihan itu sendiri, tidaklah benar-benar berjalan liner atau bersifat serta-merta.  Diwarnai dengan pasang-surut resistensi atau perlawanan. Sejarah resistensi adalah patahan sejarah pemikiran mainstream, bahkan di-kriminalisasi dalam wahana kapitalisme. Pola-pola produksi kapitalisme di era kolonialisme semakin ditegaskan sejak pagi-pagi pemerintah Orde Baru berkuasa. Pertengahan 1970-an,  sebuah proyek besar bergerak dari ujung selatan ke ujung timur Tana Luwu, orang mengenalnya sebagai: Proyek Luwu. Sebuah proyek yang diprakarsai dan didanai Bank Dunia dan USAID, badan kerjasama pembangunan luar-negeri Amerika Serikat.
Proyek ini, sepertinya mempertegas bagian dari Politik Etis kolonial: transmigrasi dan irigasi. Tanaman komoditi ekspor kelapa sawit dan tambang nikel, serta lahan-lahan pertanian padi dan kebun coklat, tengah terkonsentrasi di Tana Luwu. Hutan-hutan sagu pun, sumber pangan orang Luwu,  mulai berkurang, tatkala proyek ini memicu perluasan perkebunan kelapa sawit. Sebuah studi yang menarik hati saya adalah, soal kebudayaan air dalam pertanian. Para transmigran di Tana Luwu, bukan saja orang Jawa, melainkan Bali dan juga transmigran lokal, Toraja. Ketika irigasi modern dibangun, sebagai bagian intesifikasi pertanian demi terciptanya surplus pangan atas nama Revolusi Hijau, sesungguhnya melahirkan goncangan kebudayaan. Kebudayaan pertanian Bali adalah subak, berbeda pula dengan Toraja dengan kebudayaan pertanian di dataran tinggi (highland). Konflik yang terjadi kemudian justru dibaca oleh rejim berkuasa, dengan cara simplifikasi sebagai konflik etnisitas atau “perkelahian anak muda”. Motif produksi kapitalisme justru disembunyikan di belakang.
Saya kembali mengingat 17 tahun silam. Tidak jauh dari Tarengge, Wotu, saya dan seorang sohib menginap di rumah salah satu keluarga transmigran. Rumah sederhana berdinding kayu, beralas tanah. Jauh dari sanitasi yang sehat. Air untuk mandi dan minum diambil dari sumur, berwarna keruh kekuning-kuningan, harus diendapkan terlebih dahulu. Bersama keluarga trasmigran ini, sehari-hari, kami makan dengan nasi putih, sedikit garam, dan sedikit sayur. Tana Luwu, adalah tanah yang kaya raya dengan hasil perkebunan dan tambang. Kakao dan nikel dari Luwu memberikan kontribusi pendapatan terbesar bagi Sulawesi Selatan. Suatu malam, sehabis pengajian di rumah keluarga transmigran lainnya, sohib saya bercerita soal komunisme yang di-stigma-kan pada sejumlah keluarga transmigran. Saya jadi teringat pada ucapan Suharto, ketika para penduduk Kedung Ombo tidak mau pindah ketika proyek pembangunan waduk sedang berjalan, dengan pernyataan: komunisme. Proyek sejarah kapitalisme di negeri ini seperti keniscayaan. Dan, kata-kata mantera: komunisme atau penculikan atau penghilangan paksa, dilabelkan pada sejarah penentangan kapitalisme.

Belopa, Desember 2012


[1] Pernyataan Karl Marx dalam Das Kapital berdasar kutipan dari  tulisan Ted Sprague, lihat: “History of Capitalist Development in Indonesia”, http://redstaroverasia.wordpress.com
[2] Sindoka (PT Sinar Indonesia Merdeka) mulai beroperasi tahun 1987, dengan izin prinsip perkebunan kelapa hibrida yang dikelola menggunakan hak guna usaha (HGU).
[3] Catatan kecil saya sebagai bahan pendukung dalam studi-kasus dampak-samping pestisida dalam perkebunan kelapa sawit di Luwu, lihat: “Kelapa Sawit, Membangun Wilayah Keracunan” dalam Judy Rahardjo, ”Revolusi Hijau, Musuh Rakyat: Dari Pestisida Hingga Rekayasa Genetika”, Lembaga Penerbitan Unhas, 2001
[4] Pembukaan areal perkebunan kelapa sawit relatif mengakibatkan penurunan konsentrasi  pohon sagu. Sagu menjadi makanan pokok dan populer bagi orang Luwu, namun tidak ada sumber tertulis luasan areal tanaman sagu dalam papan monografi kecamatan Mangkutana dan Tomoni. Seorang pejabat PT Perkebunan XXVIII menceritakan ambisi pemerintah untuk menghijaukan Teluk Bone dengan kelapa sawit.
[5] PT Perkebunan XXVIII (persero) mulai beroperasi 1983 memiliki 3 unit usaha: di Luwu, Minahasa, dan Halmahera dan Seram. Di Luwu, perusahaan ini mengelola perkebunan dan satu pabrik kelapa sawit. 11 Maret 1996, pemerintah melakukan merger sejumlah PT Perkebunan, PT Perkebunan XVIII yang dilebur ke dalam PT Perkebunan Nusantara XIV (persero).
[6] Merek dagang herbisida Paracol dan Gramaxone berbahan aktif paraquat. Nama paraquat menjadi populer menjadi “mesin pembasmi” tanaman mariyuana di Amerika Latin, sampai digunakan sebagai racun paling ampuh dalam kasus bunuh-diri di Jepang. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan paraquat ke dalam kelas cukup berbahaya (kelas II). Dalam jumlah yang sedikit, jika terhirup paraquat, dapat menyebabkan sakit perut, muntah-muntah, diare, dan sakit otot. Secara spesifik, paraquat sangat berbahaya baik dalam keracunan akut maupun kronis. Paraquat melakukan penetrasi pada kulit dan pernafasan. Jika cairan paraquat masuk ke dalam mata, maka mata akan sakit dan memerah, bahkan jika terjadi kontaminasi dapat merusak kornea mata dan menyebabkan kebutaan. Pada Pebruari 1997, sebuah koran lokal melaporkan, dua petani jagung di Gowa, Sulawesi Selatan, M. Said dan Banna, terancam kebutaan akibat terkena pecikan paraquat dengan merek dagang Paracol pada mata mereka, ketika membasmi gulma untuk membuka lahan jagung. Keracunan paraquat dalam aras yang rendah umumnya terjadi perubahan pada warna dan bentuk kuku yang tidak rata, bahkan sampai lepas atau copot. Dalam keracunan kronis, paraquat dapat menyebabkan mutasi genetis.
[7] Penambangan tua besi-nikel nampaknya berkaitan dengan tipe deposit nikel yaitu laterit (oxide). Deposit ini umumnya terdapat di permukaan tanah akibat proses pelapukan mineral limonit dan saprolit yang disebabkan proses oksidasi dengan adanya oksigen, panas, hujan dan proses kimia lainnya. Metode penambangan deposit tipe laterit digunakan dengan metode pertambangan terbuka (open pit method). Endapan nikel di Sulawesi bersumber dari bantuan ultrabasa yang terdapat di jalur tunjangan yang berhubungan dengan kerak Samudera Pasifik. Lihat, salah satu artikel dalam Majalah Inkomunikasi, media internal PT INCO, September 2007.
[8] Sejumlah kutipan antropolog Kathryn Robinson, “Stepchildren of Progress: The Political Economy of Development in an Indonesian Mining Town” dapat dilihat dalam Majalah Inkomunikasi, media internal PT INCO, September 2007.
[9] Pemaknaan “pasar” kapitalisme  secara komprehensif dapat didekati melalui penjelasan Karl Marx. Menurut Marx dalam Das Kapital, pasar dalam sejarah ekonomi masyarakat terdiri dari dua jenis pertukaran, yang pertama kali adalah pertukaran langsung komiditi (C) ditukar dengan komoditi (C) atau C-C yang berlangsung dalam masyarakat pra-kapitalis. Lazim disebut orang sebagai barter. Jenis kedua, adalah perkembangan pertukaran dengan kehadiran uang (money).Rumusan yang pertama oleh Marx sebagai: C-M-C. Dimana seseorang menjual komoditi (C) kepada pembeli untuk mendapatkan uang (M), dan pembeli tersebut menjual komoditi (C) tersebut kepada pembeli lainnya, begitu seterusnya dimana komoditi tersebut berputar pada masyarakat. Marx menamakan rumusan ini sebagai “sirkuit-komoditi”. Dalam rumusan ini uang (M) tidak lebih hanya sebagai perantara atau medium(benda) untuk melancarkan proses pertukaran komoditi. Pasar dalam rumusan C-M-C  tersebut, dianggap oleh Marx, sebagai pemenuhan kebutuhan anggota masyarakat dan tidak dimaksudkan untuk mengejar akumulasi tanpa batas. Atau, proses pertukaran yang bersifat alamiah dan berada dalam masyarakat non-kapitalis. Berbeda dengan masyarakat kapitalis, Max mengajukan formula: M-C-M, Marx menyebutnya sebagai: “sirkuit-uang”. Formula ini beroperasi dalam dua tahap, M-C sebagai tahap kapital-pendahuluan dan tahap kedua, C-M sebagaikapital-kerja. Uang (M) menjadi perekat keberlangsungan sistem kapitalisme. Marx memberikan penjelasan, bagaimana uang (M) bertransformasi dari semula hanya sebuah benda (things) dalam formula C-M-C, menjadi kapital (social relation) dalam formula M-C-M’.
[10] Paling tidak ada tiga perkara utama, mengapa Belanda harus terlibat dalam perdagangan rempah-rempah inter-kontinental (antar-benua). Sepanjang abad 16, perdagangan rempah-rempah didominasi Portugis yang menggunakan Lisbon sebagai bandar-utama. Portugis menjadi “penemu jalur-alternatif” ke Asia melalui Tanjung Harapan, Afrika, ketika berusaha keras melepaskan diri dari jalur-utama ke Asia yang didominasi para pedagang Arab. Sebelum revolusi Belanda meledak pada 1568-1648, kota  Antwerp memainkan peran penting sebagai distributor di Eropa Utara. Akan tetapi, setelah 1591, Portugis menggunakan sindikasi dagang dari Jerman, Spanyol dan Italia, yang menggunting jalur dari Belanda, dengan menggunakan Hamburg untuk mendistribusikan barang di Eropa Utara. Pada saat yang sama, sistem perdagangan Portugis tidak efesien dan tidak mampu memasok permintaan terutama lada, sehingga harga lada meroket tajam. Selain itu, unifikasi Portugis dan Kerajaan Spanyol sedang berperang melawan Belanda pada 1580. Ketiga hal ini sejatinya menimbulkan kekuatiran bagi Belanda. Namun tidak mudah merebut perdagangan di Asia dari tangan Portugis yang menguasai samudra selama satu abad. Saat itu, populasi penduduk Belanda kurang dari satu juta jiwa, dengan cara apa harus mengumpulkan kapital yang diperlukan. Peristiwa pemberontakan Belanda (Dutch Revolt, Nederlandse Opstand) yang mengakhiri elit politik aristokrasi salah satu hal yang memicu kebangkitan borjuasi dalam akumulasi kapital. Belanda bangkit mengambil cara pandang yang berbeda dengan gilda-gilda pedagang sebelumnya, mengatasi “kekurangan kapital” melalui penerapan organisasi-bisnis yang baru: perusahaan saham-gabungan (joint-stock company). Mereka menempuh dua cara, bekerjasama dengan pedagang lainnya sebagai perdagangan bersama, atau membujuk orang luar untuk menaruh uangnya dengan menawarkan sebagian laba yang diperoleh. Dengan demikian, VOC menjadi perusahaan saham-gabungan multinasional pertama di dunia yang mengelontor saham publik. Saat pembentukannya, VOC membuka bursa saham (stock-exchange) modern pertama di dunia, Bursa Saham Amsterdam, yang memperdagangkan saham dan surat obligasi. VOC memiliki otoritas quasi-negara: memiliki kekuatan militer tersendiri, melakukan peperangan, merundingkan perjanjian damai, mencetak uang, memungut pajak, dan membuat koloni. Amsterdam, dimana kantor pusat VOC berdiri, menjadi bandar penting di Eropa.
[11] Berbeda dengan sistem monopoli yang digerakan kongsi-dagang VOC, sistem tanam-paksa dioperasikan oleh lembaga perbankan yang bernama Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM), yang pendiriannya diprakarsai Raja William I dan sebagai salah satu pemegang saham. NHM berdiri pada 1824 dengan modal awal 37 juta gulden, dan menjadi cikal-bakal salah satu bank besar di Eropa saat ini yaitu ABN AMRO. Menurut sejarahnya, NHM merger dengan Twentsche Bank pada 1964 menjadi Algemene Bank Nederland (ABN). Pada tahun yang sama,  Amsterdamsche Bank yang berdiri 1871, merger dengan Rotterdamsche Bank yang berdiri 1873 (sebagian merupakan merger Determeijer Weslingh & Zn pada 1765), membentuk AMRO Bank. Pada 1991, ABN dan AMRO sepakat merger dan membentuk ABN AMRO. NHM menandai simbiosa-mutualisme antara pemodal dan negara dalam wahana kapitalisme negara.

Popular posts from this blog

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis

Gudo, Lasem. Perjumpaan Negeri yang Berbeda

SAYA beruntung dapat menjejaki dua tempat: Gudo, Jombang dan Lasem, Rembang. Nah, bersiaplah dengan kisah perjalanan saya kali ini, menembus lorong waktu. Gudo dan Lasem, dua  tempat yang sebelumnya telah menggoda perhatian saya. Boleh jadi, karena keinginan perjumpaan akan ruang geografis etnis dan penghayatan subyektifnya yang berbeda dengan tempat lain di negeri ini, dalam memahami hubungan pasang-surut akibat pertikaian sosial. Atau , tertarik dengan kalimat akhir sebuah artikel yang mengutip tulisan para pecinta pemikiran Gus Dur di klenteng (untuk menyebut rumah ibadah Tionghoa) Gudo: "semakin kita berbeda, semakin jelas dimana titik persamaan kita". Di kedua tempat ini, Gudo dan Lasem, klenteng menjadi landmark (mercu-tanda) . Jarak keduanya,  cukup berjauhan. Jalan pintas terdekat, sekitar 180 kilometer, membelah punggung pegunungan kapur Kendeng. Dari Gudo menuju ke utara, lewat Tuban. Lalu ke arah barat, berjalan di atas jalanan warisan Gubernur Jenderal Hindia Bel

Kampiri, Ekonomi Kakao

AMELIA setengah berbisik di belakang punggung saya. “Itu yang katanya putus,” ujarnya. Saya menengok sekilas. Jarinya menunjuk sebuah kawat besi, yang terlilit pada penopang jembatan gantung. Sepeda motor kami berjalan tertatih, mengikuti pelat baja berlandas pada kayu-kayu yang menua.  Jembatan itu hanya selebar satu mobil. Terasa sedikit bergoyang, saat berpapasan dengan pengendara motor yang membawa ikatan besar rumput pakan sapi. Ketegangan baru terurai, lepas dari ujung jembatan, di Kampiri. Jembatan itu, orang menyebutnya: Jembatan Pacongkang, menghubungkan Desa Barang dan Desa Kampiri yang melintasi Sungai Walennae. Sungai besar yang sarat jejak arkeologis. Jembatan ini diresmikan Zaenal Basri Palaguna semasa menjadi Gubernur Sulawesi Selatan. Tanda tangan mantan Panglima Komando Daerah Militer Wirabuana itu tertera dalam prasasti, yang tertanam di sebuah beton tak jauh dari tiang penyangga jembatan. Kampiri adalah sejarah pemukiman tua. Sejauh apa yang saya pahami, ketika

Buru

BURU. Sebuah nama, lekat dalam ingatan sejarah. Buru mengingatkan kita pertama pada, tahanan politik (Tapol) paska peristiwa 1965. Terakhir, para penambang liar yang memburu emas. Untuk pertama kalinya, saya menjejakan kaki di tanah Buru, di Namlea. Sebelum subuh tiba.  Sehabis melaut delapan jam dari Galala, Ambon. Tidak semua orang bisa naik kapal laut. Kita seperti dikocok-kocok. Selepas Tanjung Allang, di Laut Banda, kapal besi yang saya tumpangi mulai berjalan terhuyung dihantam gelombang besar. Sekitar 49 tahun silam, dari cerita-cerita yang ada. Sebuah kapal apkiran Perang Dunia II yang berkarat, hampir karam di laut ini. Kapal itu yang mengirim "orang-orang merah" dari dermaga Sodong, Nusakambangan ke Pulau Buru, pada 17 Agustus 1969. Mereka diasingkan, dibuang begitu saja, tanpa pernah diadili. "Aku menuju ke happy land somewhare,"  tulis Pramoedya Ananta Toer dengan nada satire, dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. " Kami berangkat bersama lebih delapan

Saat Korporasi Mengatur Perut Kita

SAHABAT saya, Al Mujahid Akmal, menulis di halaman  facebook -nya: "jika setiap orang berpikir, siapa dan dengan cara seperti apa makanan diproduksi sebelum mereka konsumsi ... ada baiknya kalau saya coba belajar menanam sendiri". Aneka tanaman sayuran dan tanaman pangan, tumbuh sehat di halaman belakang rumahnya. Rasanya, kata "halaman belakang" sudah lama menghilang di setiap-kali pameran rumah di Kota Makassar. Orang di kota ini, terlanjur hidup diantara tembok yang bersekat-sekat, tanpa halaman. Beruntung sahabat saya ini, dapat berkebun di halaman belakang, yang bukan dimaksudkan bagian dari estetika atau keindahan, apalagi guna memenuhi kebutuhan cerita cerdas sebuah proyek. Akan tetapi, dibaca sebagai bagian sikap dan kritik dia atas sistem produksi pangan, selain untuk keperluan konsumsi sendiri. Atau, dalam bahasa ideologisnya, sebagai "konsumsi berkelanjutan". Sekitar 13 ribu kilometer dari tempat sahabat saya menulis sikapnya, tengah terj