Skip to main content

Pulau Tunda, Keruk Pasir Reklamasi

SAYA sungguh terkejut membaca berita, para pengembang proyek reklamasi teluk Jakarta itu mengeruk pasir dari Pulau Tunda. Sebuah pulau kecil yang mengapung di atas Laut Jawa. Letaknya sekitar 16 mil, sekitar dua setengah jam perjalanan, kalau kondisi laut sedang teduh, dari pelabuhan Karangangtu, Banten Lama, Kabupaten Serang. Sebuah kabupaten di Banten, 70 kilometer dari Jakarta. Saya bersyukur mendapat kesempatan pergi ke Pulau Tunda atau Pulau Babi, pada tahun 2007, ketika bekerja dengan sebuah LSM internasional. Saya menangkap nuansa Tunda, sebagai sebuah pulau yang rentan, dengan suasana inferior yang suram. Setahun sebelum saya tiba di sana, terjadi peristiwa rawan pangan dan kelaparan, akibat musim barat yang berat membuat para nelayan tidak bisa melaut. Selain itu, teror bajak laut menjadi momok, yang merampas tangkapan laut mereka dan tak segan-segan melukai bahkan membunuh nelayan dengan senjata organik. Saya pun tersenyum getir, ketika suatu sore sebelum matahari tenggelam di ujung barat, seorang kawan saya di Pulau Tunda, Jarot, bertutur: "Tunda, bukan pulau penting, kapal-kapal besar itu hanya lewat-lewat saja", sembari menunjuk sebuah kapal peti kemas yang melaju ke timur. Ruang diskusi dengan pemerintah setempat pun, terasa seperti ruang hampa. Dinas kelautan setempat ketika menenggelamkan rumpon di sekitar pesisir Tunda tanpa melalui diskusi dengan orang-orang Tunda.
Pulau kecil ini terbagi atas dua kampung: Kampung Barat dan Kampung Timur. Jumlah penduduknya, sekitar seribu lebih. Sebagian besar kepemilikan tanah bukan dikuasai orang Tunda, melainkan milik orang dari Kepulauan Seribu, Jakarta. Sebagian besar laki-laki pulau ini, menggantungkan hidup dari hasil tangkapan laut. Kecuali hari Jumat, mereka tidak melaut. Mereka hanyalah pekerja nelayan, tanpa memiliki perahu atau kapal. Mereka tergantung pada para juragan, yang memiliki sebagian besar kapal. Orang Tunda menyebut mereka dengan sebutan panggilan "bos". Para juragan ini juga menjadi tempat berutang bagi orang Tunda, misalnya untuk ongkos operasional mereka melaut. Syaratnya sederhana, semua hasil tanggapan harus disetor ke juragan, tempat mereka meminjam. Pada saat saya berada di Tunda, ada empat juragan, masing-masing punya lapak, tempat pengumpulan hasil tangkapan. Di lapak ini, ikan yang disetor ditimbang, dicatat siapa yang setor, ikan di-sortir dan dimasukan dalam kotak gabus yang berisi es. Sementara para perempuan Tunda, mengail uang dengan menjadi tenaga kerja di Arab. Hasil kerja mereka di Arab, biasanya untuk ongkos membikin rumah batu di Tunda.
Para juragan itu mengeluhkan pada saya, betapa suramnya TPI, tempat pelelangan ikan, Karangantu, Serang.  Mereka menganggap TPI itu bukan, tempat lelang. Lantaran, harga ikan terlampau rendah, apalagi kerap kali sepi pembeli. Pembelinya pun individual, suka tidak langsung memberi uang tunai, suka berutang. Maka, mereka lebih suka merapat ke TPI di Muara Syahban, Tangerang. Mereka memberangkatkan hasil tangkapan pada dini hari, sekitar empat jam dari Tunda. Salah satu jurangan, "Bos" Sanusi punya pola berbeda, dia memang merapatkan kapal di Muara Syahban, tapi di sana mobil pick-up-nya sudah siap menunggu, untuk mengangkut hasil tangkapan  di Kamal dan Muara Baru, Jakarta. Alasannya sederhana, sudah ada kontak dengan pembeli di sana, selain itu kalau Muara Syahban, pembeli tidak langsung bayar tunai, apalagi ada potongan enam persen untuk disetor ke pemerintah setempat. Biasanya, hasil tangkapan nelayan Tunda, adalah jenis ikan dasar atau ikan karang. Harganya seringkali fluktuatif. Tapi, kalau hari raya Cina tiba, ikan tenggiri harganya menjadi cukup mahal.
Pulau Tunda, tempat yang membuat saya lebih bisa menghayati, betapa krusialnya kehidupan orang-orang pulau, di tengah ketimpangan relasi kuasa, kemiskinan, juga isu-isu perubahan iklim. Di pulau ini, LIPI, lembaga ilmu pengetahuan indonesia, mendatangkan bantuan listrik tenaga matahari untuk rumah tangga, dengan aki buatan korea. Namun, hanya cukup untuk menyalakan dua bola lampu dan televisi. Suatu malam, saya meminta bantuan Slamet, seorang kawan di Pulau Tunda, untuk menyewa gengset guna menyalakan laptop saya guna membuat laporan. Paginya, Slamet mengatakan pada saya,"mas, para tetangga sebelah menyampaikan terima kasih". Saya agak kaget, terima kasih untuk apa. "Iya mas, tadi malam, mereka menyambung listrik ke gengset itu, supaya mereka bisa nonton televisi berwarna, karena kalau pakai listrik tenaga matahari, televisi mereka menjadi hitam-putih", lanjut Slamet. Maka, saya benar-benar merasa risau, dengan para pengembang reklamasi itu yang mengeruk pasir di Pulau Tunda.
Boleh jadi agak berbeda dengan tempat lain. Tiga bulan sebelum penanggalan 2015 habis, seorang kawan saya di Pare-Pare, Haji Amin, mengajak saya untuk menyaksikan "gunung yang dipindahkan ke laut". Saya waktu itu tertawa saja, sembari mengingat potongan cerita epos Ramayana, ketika kera Hanoman memindahkan gunung. Esok harinya, Haji Amin mengantar saya ke Kantor BPS Pinrang. Tidak jauh dari perbatasan Pare-Pare dan Pinrang, Haji Amin menunjukan saya di sisi kanan jalan,"dulu ini gunung, kemudian tanahnya dikeruk dengan ekskavator, untuk menimbun laut di sebelah kiri jalan", katanya. Saya memperhatikan secara seksama, perumahan yang dulu tertutupi bukit itu memang terlihat jelas, dan pesisir laut di sebelah kiri jalan itu terlihat rata dengan timbunan tanah. Tapi tidak semuanya, bukit itu terkelupas. Masih tersisa tanah kuburan yang menjulang ke langit, tetapi sisi-sisinya terkelupas. Saya lalu menanyakan hal ini pada Haji Amin. "Waktu mau dikeruk tanahnya, sampai dekat kuburan, ekskavator itu mendadak mati, macet, rusak, jadi tidak diteruskan", tuturnya. Lalu, apa yang saya bayangkan kemudian. Bagaimana orang mau berziarah ke kuburan itu, apa mesti pakai tangga?

Tamalanrea, 20 April 2016

Popular posts from this blog

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis...

Kuasa-Kata, Semangkuk Pallubasa

KARENA Jawa adalah kuncinya.  Frasa politik ini begitu populer. Hal yang sama juga terjadi saat percakapan tentang elektoral, yang bertautan dengan pemilih. Jawa menjadi tulang punggung demografis Indonesia. Juga dianggap sebagai jantung kebudayaan dan politik. Kalau begitu, agak lebih jauh lagi, apakah budaya Jawa turut mengkonstruk imaji politik dalam frase tersebut. Saya agak tergoda mencari tahu. Apalagi mesin politik sudah menyala. Kick off, partai-partai politik mengajukan kandidat. Komunikasi politik mulai berjalan, terkadang menimbulkan ambiguitas, tak jarang menciptakan kesadaran magis. Itu pula yang membuat saya membaca kembali buku ini, buku tua. Tapi saya rasa, dapat memandu untuk keperluan itu. Diterjemahkan dari buku: Language and Power, Exploring Political Culture in Indonesia. Diterbitkan pertama kali, lebih dari 30 tahun lalu. Penulisnya, Benedict Anderson. Seorang antropolog sekaligus sejarawan politik. Buku ini kumpulan esainya.  Salah satu pencarian Anderso...

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Makassar, Subaltern

BETAPA sulitnya menulis masa lalu. Abdul Rasyid Idris, seorang kawan, memberi saya tiga buku berharga di ujung Syaban. Salah satu buku, dari tiga buku karyanya, bertajuk: Anging Mammiri, Jejak Makassar Tempo Dulu. Rasanya, buku ini bukan sebuah produk industri nostalgia yang dimaksudkan memicu perasaan melankolik setiap orang. Saya sendiri tak hendak mencari tahu dalam buku ini, ketika memenuhi kerinduan akan sebuah lapak kopi di selasar Pasar Cidu'. Sebuah lapak yang menjual kopi yang lebih enak dan harganya lebih murah berkali-kali lipat dari Starbucks. Secangkir kopi yang bikin mata melek, yang bisa menghidupkan ekonomi orang pasar siang malam. Saya pikir, kawan saya ini tidak terperangkap ke dalam kerinduan masa lalu. Akan tetapi, ia melakukan pembacaan kembali, hal-hal apa yang hadir menjadi ingatan. Apa yang dialaminya dalam ruang temporal (masa lalu). Hanya saja, bahasa menyimpan problem internal, ketika menghadirkan kembali (re-presentasi). Coba kita membayangkan denga...

Presiden, Budaya Pop

" Politics is just like show business " -Ronald Reagan, http://quotationsbook.com/quotes/author/6022/ SORE menjelang magrib. Dalam sebuah konser, di sebuah stadion olahraga yang dibangun dengan uang pinjaman dari Uni Soviet. Seorang calon presiden berlari ke ujung panggung, yang menjorok di depan, tepat dihadapan massa yang tumpah ruah.  Suara gitar mengelegar, mengiringi Si Bung, calon presiden itu, ketika hendak menyapa massa. Riuh m assa memekak telinga. Belasan bendera bergambar kupu-kupu, dikibarkan para penggemar sebuah group band, nampak melambai-lambai di udara. Yup, sebuah group band rock, yang bersinar di negeri ini lantaran predikat berbayaran tinggi dan memiliki jutaan penggemar fanatik anak muda. Sebelumnya, mereka telah menciptakan dan merekam sebuah lagu kampanye sang calon presiden. Lagu ini lantas disebar melalui jaringan televisi dan media-sosial. Si Bung, kabarnya, juga seorang penyuka musik rock Metallica, group band asal L.A California. And Justice fo...