Skip to main content

Badai dalam Perjumpaan Budaya

PIDATO Sri Mulyani di sebuah kampus, sehari sebelum dilantik kembali menjadi Menteri Keuangan, mengusik perhatian saya. Mantan pejabat teras Bank Dunia ini membicarakan badai yang sempurna. Sebuah badai yang sedang melumpuhkan negara-negara yang semula menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia. Di sisi lain, kita mendiami sebuah dunia yang paradoks. Dunia yang kini banjir informasi, akan tetapi cenderung tidak membuka pikiran dan wawasan kita, bahkan memudahkan kita memuntahkan prasangka, menghilangkan sisi lain yang berseberangan dengan kita. Sri Mulyani juga membicarakan ketimpangan di luar kendali korban. Kesenjangan, baginya, bukan sekedar ketimpangan pendapatan, melainkan ketimpangan peluang. Apa yang menarik perhatian saya. Dia mempercakapkan ketimpangan itu, berada di tempat dimana kita lahir dan orang tua kita. Tentu saja, yang dimaksud bukan karena kita lahir di tempat yang salah, atau bukan pula karena salah bunda mengandung kita.
Baiklah, kita membuka kembali peta negeri ini. Indonesia adalah masyarakat multi-etnik dan beragam budaya. Semakin ke timur, nampak seperti mozaik. Hasil sensus penduduk tahun 2000 terdaftar lebih 1000 etnis dan sub-etnis (BPS, 2000). Sensus penduduk ini merupakan terobosan penting dalam sejarah Indonesia merdeka. Gus Dur, yang ketika itu menjadi presiden keempat, mengizinkan BPS mengumpulkan informasi dimana responden mengidentifikasi dirinya berbasis etnis dalam sensus penduduk tahun 2000. Pada masa Orde Baru (1966-1998), etnisitas merupakan politik tabu. Meski hasilnya dinilai sensitif menimbulkan reaksi di beberapa tempat, namun sensus ini merupakan sebuah usaha serius membaca identitas keragaman etnis. Paling tidak, menyumbang materi analisis bagi para ahli demografi, sosial, antropologi, boleh jadi menjadi analisis studi multi-kultural yang penting. Dalam sebuah jurnal Asian Population Studies, kita menemukan terma yang berkaitan dengan indeks fraksi dan polarisasi etnis, dengan menghitung hasil sensus tersebut secara kuantitatif.
Kita kerap kali merayakan akan keniscayaan keragaman sebagai identitas kebangsaan. Akan tetapi, dalam sejumlah fakta, identitas berbasis keragaman etnis, keragaman budaya itu, rupanya belum selesai. Benar, kita belum selesai dengan identitas kultural. Desentralisasi yang lahir dalam era reformasi, yang dipahami sebagai pemekaran, justru menyusutkan ruang keragaman. Proses segregasi etnis dan separasi agama muncul dalam isu pemekaran wilayah administrasi. Dalam konflik sosial yang manifest pun, antagonisme etnis bermunculan dimana-mana, kita seperti hidup dalam prasangka etnis yang tumbuh demikian subur. Apakah representasi perbedaan identitas etnis tersebut diidentifikasi dengan sejumlah faktor kunci yang bersifat kategorial: insiden kemiskinan, ketimpangan ekonomi secara ekstrim, literasi yang rendah, meluasnya aktivitas kriminal dan penyebaran penyakit infeksi. Kita seperti gagal, kita seperti tanpa persiapan, kita mungkin saja tidak memiliki strategi kebudayaan, sosial, dan politik berkaitan etnisitas.
Saya pikir, di sisi ini pidato Sri Mulyani menemukan relevansi, soal dimana tempat kita dilahirkan. Pertanyaan penting, menurut saya, yang patut diajukan, bagaimana dengan keberadaan kaum muda, jika dikaitkan dengan fenomena bonus demografi atau jendela peluang demografi tahun 2020. Bonus demografi yang dimaksud, adalah proyeksi dimana populasi kaum muda sangat besar, melebihi angka kelahiran dan generasi yang  menua, sehingga negeri ini bisa mengkalkulasi kembali anggarannya secara lebih efisien dan menerima manfaat atas partisipasi yang lebih produktif. Sepertiga populasi di negeri ini adalah kaum muda. Mereka yang lahir ketika gerakan reformasi menggelinding. Pertanyaan berikutnya, bagaimana perjumpaan budaya kaum muda itu terjadi di negeri ini. Dimanakah kaum muda itu dalam sebaran geografis berbasis etnis. Kita tahu pada saat ini: urbanisasi, media digital, transportasi, menjadi akselerasi perjumpaan budaya. Apakah akan melahirkan formasi positif bahwa keragaman etnis merupakan kontribusi yang bersifat sepadan mengikat identitas kultural, identitas kebangsaan.
Mungkin saja, saya terlampau banyak membawa ekspektasi terhadap pidato tersebut. Saya membayangkan suatu arena hibrid kebudayaan yang sementara dikerjakan. Saya membayangkan soal kerja-kerja membuat segitiga permata. Saya terinspirasi dengan sketsa segitiga permata yang dibuat oleh seorang sahabat, seorang akademisi di sebuah kampus di Makassar, di atas papan tulis. Kita sedang move-on. Bahwa kita sedang bekerja bersama kaum muda melumerkan prasangka etnis. Kita sedang bekerja bersama kaum muda menembus batas kesenjangan fisik, dengan perbaikan nutrisi, ketahanan pangan, keanekaragaman hayati. Terakhir, kita sedang bekerja bersama kaum muda menanam kuat-kuat budaya akademis. Bahwa kita butuh kekuatan ilmu pengetahuan dalam membereskan carut-marut masalah di negeri ini. Bukan dengan penggunaan hard-power, istilah seorang sahabat saya. Ah, jangan-jangan ekspektasi saya terlampau kuat. Mungkin saja, saya terlampau bawa perasaan.


Tamalanrea, 3 Agustus 2016

Sumber peta:

https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Indonesia_Ethnic_Groups_Map_id.svg

Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Narmada dan Bili-bili

DESA Narmada, di India dan Bili-bili, di Indonesia, dua tempat berjauhan dengan satu kisah yang sama: soal pengorbanan dan proyek bendungan. Arundhati Roy, perempuan pemikir kelahiran India dan seorang sarjana arsitektur, dalam ”The Cost of Living”, menggambarkan dua perkara tersebut dapat dipersinggungkan, dirajut, dan dipertalikan: mistisfikasi nasionalisme dan eskalasi bantuan dari Lembaga Keuangan Internasional. Di Indonesia, “The Cost of Living” sudah dialih-bahasakan dan diedarkan sekitar dua tahun lalu, dalam bentuk novel non-fiksi (berisi fakta dan perasaan Arundhati Roy).

Pangan, Antibiotika, Oligarki

" ANTIBIOTICS off the menu ", demikian kampanye yang diluncurkan organisasi konsumen internasional pada tahun ini. Penggunaan antibiotika yang berlebihan menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan global, kita akan berhadapan dengan bakteri (mikroba) yang resisten (kebal) terhadap antibiotika. Hingga pada suatu hari, kita menjumpai kenyataan, antibiotik tidak lagi bisa melawan bakteri. Hanya sedikit goresan saja, orang bisa saja mati terbunuh. Boleh jadi, Alexander Fleming penemu antibiotika penisilin, yang mengobati infeksi, tidak menyangka kalau produksi antibotika tidak saja berada lini industri farmasi, namun berlipat ganda dengan industrialisasi pertanian dan peternakan. Fleming pun menyebutnya sebagai penemuan secara kebetulan. " Ketika saya bangun tidur, setelah fajar menyingsing, 28 September 1928, saya sama sekali tidak berniat merevolusi semua obat dengan penemuan antibiotik atau bakteri pembunuh ,"ujarnya. Sekitar setengah dari produk antibi...

Negeri Pelepah Sagu

“ The beginning of the conquest and looting of East Indies … signalized the rosy dawn of the era capitalist production ”[1] SETUJU berlari kencang menembus kegelapan. Saya dibuatnya sesekali terguncang-guncang. Angin malam menyergap masuk melewati rongga atas pintu belakang. Setuju, demikian nama otobis kelas ekonomi, non-AC, berwarna putih kusam, melayani trayek Malili-Makassar. Bis berangkat jam lima   sore dari Malili, Luwu Timur, tiba di perempatan lampu-merah Pasar Daya, Makassar, jam empat pagi esok harinya.   Saya dan seorang kawan   naik   bis Setuju   d ari   Senga, Belopa, malam itu . Sebelumnya, kami   baku-tawar ongkos dengan kenek bis, dari 80 ribu turun menjadi 60 ribu   rupiah   sampai   ke   Makassar. Sebagian besar bangku bis diisi   orang   Pangkep. Mereka, para pekerja tambak di pesisir Teluk Bone yang mengapit Tana Luwu. Sedikit diantaranya, adalah kerabat pemilik warung sop   daging sapi ...

Nduga

INSIDEN kekerasan bersenjata itu kembali meletup, beberapa pekan lalu. Di Nduga, di sebuah tempat yang bertengger di punggung pegunungan tengah yang membelah Papua. Insiden yang membuat saya lagi-lagi menyerngitkan dahi. Untuk kesekian kalinya darah tumpah. Terasa getir tak berkesudahan. Seperti membekukan perjalanan sebuah negeri, lebih dari setengah abad, berhenti di tubir sejarah. Insiden itu berada di jalan raya Trans Papua. Jalan raya yang melewati Taman Nasional Lorentz. Sebuah situs  warisan dunia, yang memiliki spektrum ekologi menakjubkan, akan tetapi rentan terdegradasi. Sekaligus, menjadi ruang hidup bagi delapan etnis Papua, Nduga salah satunya. Situs itu selemparan batu jaraknya dengan wilayah operasi tambang emas dan tembaga terbesar, tambang Grasberg. Tambang yang dikelola Freeport Indonesia, anak raksasa tambang asal Phoenix, Amerika Serikat, Freeport McMoRan Inc. Sejak awal, kehadirannya kerapkali merepotkan, menjadi sumber gesekan dan perseteruan. www.kabarin...