Skip to main content

Gudo, Lasem. Perjumpaan Negeri yang Berbeda

SAYA beruntung dapat menjejaki dua tempat: Gudo, Jombang dan Lasem, Rembang. Nah, bersiaplah dengan kisah perjalanan saya kali ini, menembus lorong waktu. Gudo dan Lasem, dua tempat yang sebelumnya telah menggoda perhatian saya. Boleh jadi, karena keinginan perjumpaan akan ruang geografis etnis dan penghayatan subyektifnya yang berbeda dengan tempat lain di negeri ini, dalam memahami hubungan pasang-surut akibat pertikaian sosial. Atau, tertarik dengan kalimat akhir sebuah artikel yang mengutip tulisan para pecinta pemikiran Gus Dur di klenteng (untuk menyebut rumah ibadah Tionghoa) Gudo: "semakin kita berbeda, semakin jelas dimana titik persamaan kita". Di kedua tempat ini, Gudo dan Lasem, klenteng menjadi landmark (mercu-tanda). Jarak keduanya, cukup berjauhan. Jalan pintas terdekat, sekitar 180 kilometer, membelah punggung pegunungan kapur Kendeng. Dari Gudo menuju ke utara, lewat Tuban. Lalu ke arah barat, berjalan di atas jalanan warisan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels, yang berkuasa 1808 hingga 1811. Orang mengenal Jalan Raya Pos (Grotepostweg Daendels) itu sebagai jalur jalan pantai utara Jawa atau Pantura. Kawan saya di Lasem bercerita, Daendels tidak membuat jalan baru, ia hanya melebarkan jalan yang sudah ada di Lasem. Kabarnya, tatkala itu tempat peribadatan Hindu Budha di Lasem dihancurkan, batu-batunya dijadikan tanah urug untuk proyek jalan tersebut. Mungkin karena itu, kita tidak menemukan petilasan Hindu Budha, padahal Lasem merupakan tanah perdikan Majapahit. Dalam sejarahnya, pada 1351, Lasem dipimpin seorang perempuan, keluarga dekat Hayam Wuruk, raja Majapahit ketika itu.
Pekan awal November. Seusai ziarah di pemakaman Tebu Ireng, Jombang. Makam pendiri pondok pesantren Tebu Ireng: Hadrotusyekh Kyai Haji Hasyim Asy'ari. Di tempat yang sama juga terdapat makam anak dan cucunya: Wahid Hasyim dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), presiden keempat negeri ini, pada masa transisi 1999 hingga 2001. Ratna, seorang kawan lama, pernah satu kelas semasa sekolah, kemudian mengajak saya ke kampung Tukangan, Gudo. Letaknya tidak jauh dari Cukir (Tjoekir). Ke arah selatan. Searah jalan menuju Pare, Kediri. Jalanan beraspal membelah ladang tebu. Saya teringat dengan landskap ekonomi gula semasa kolonial. Keberadaan pabrik-pabrik gula di Hindia Belanda menghidupkan industri mesin uap dan dinamo di negara induk, Belanda. Sekaligus menjadi cara mereka menurunkan tingkat pengangguran di Belanda.
Saya menyempatkan diri memandang pabrik gula tua, Tjoekir, tak jauh jaraknya dari pondok pesantren Tebu Ireng. Pabrik ini didirikan oleh Coaster van Voorhout & Co pada 1883 yang berkantor di Surabaya. Tjoekir adalah satu dari belasan pabrik gula (suikerfabriek) semasa kolonial yang berlokasi di Jombang. Pada 1895, Kediri Stoomtram Maatschappij, sebuah perusahaan kereta api swasta di Hindia Belanda, yang berkantor di Pare, membangun jaringan rel kereta api dan trem uap menghubungkan pabrik gula dan ladang tebu yang berada di Kediri dan Jombang. Termasuk melewati pabrik gula Gudo. Tidak saja mengangkut tebu, tapi juga melayani penumpang. Jaringan ini terkoneksi dengan jalur kereta api negara (Staatspoorwegen). Kereta api relasi Kediri-Pare-Jombang itu mulai beroperasi pada 7 Januari 1897. Hal ini tidak sekedar menjadi petunjuk akan potensi penanaman tebu di Kediri dan Jombang. Melainkan juga sebagai penanda pergerakan bisnis gula. 
Belakangan hari, ladang tebu ternyata tidak sepenuhnya menjadi kenyataan manis, bahkan berujung dengan tragedi. Pada 13 September 1909, Frits Jansen menarik pelatuk revolver, ia menembak mati Samin di ladang tebu. Keduanya, sama-sama pekerja pabrik gula Tjoekir. Kasus ini menarik perhatian koran di Eropa, kekuatiran akan meningkatnya sentimen pada populasi yang berlawanan. Saya juga teringat  dengan disertasi Hermawan Sulistyo, seorang peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang melukiskan cerita horor di seputar ladang tebu berkait peristiwa 1965. Disertasi itu diterjemahkan dan dibukukan dengan judul: Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966).
Hampir sore kami tiba di klenteng Hong San Kiong. Sekitar 15 kilometer dari pusat kota Jombang. Tak jauh letaknya dari Pasar Gudo. Posisi bangunan klenteng berhadapan tepat dengan pertigaan jalan. Sebagaimana kita membayangkan sebuah rumah tusuk sate. Pintu masuk altar klenteng menghadap arah mata angin utara. 
Pertanyaan penting yang kerap kali diajukan orang, keberadaan diaspora etnis Tionghoa di pedalaman seperti Gudo. Ada tiga kata kunci: perdagangan beras, penanaman tebu, dan pabrik gula, yang sering diungkap guna menjelaskan hal itu. Namun, boleh jadi jauh sebelum masa itu, mereka sudah berada di Gudo. Dari sebuah artikel mengenai kuburan Tionghoa di Gudo, menunjukan adanya tulisan di batu nisan (epitaf) yang berhubungan dengan pejabat Dinasti Ming. Dalam sejarah China, dinasti yang bermula dari pemberontakan petani ini, hidup dalam kurun waktu 1368-1644. Kita boleh menegok kembali catatan kronik Ma Huan, juru bahasa yang ikut mendampingi Laksamana Cheng Ho (Zheng He), dalam ekspedisi laut Dinasti Ming yang melawat ke negeri-negeri di Samudera Barat (Samudera Hindia). Tahun 1413, pelayaran tersebut tiba di Jawa, dalam perjalanan menuju Majapahit, Ma Huan menyebut tempat berlabuh: Tuban, Gresik (Xincun), dan Surabaya. Di tempat-tempat ini, Ma Huan menulis mengenai orang-orang China yang berasal dari Guangdong, Zhangzhou, Quanzhou, dan daerah lainnya yang kabur dan tinggal di sini, dan banyak dari mereka menganut Islam. Kalau boleh saya menebak, mereka adalah imigran awal dari daratan China di Nusantara.
Kita kembali ke kisah mengenai Gudo. Kampung Tukangan atau Petukangan dikenali sebagai asal "Pecinan" di Gudo. Nama kampung ini diyakini sebagai toponimi guna mengurai tempat tinggal orang Tionghoa yang menjadi tukang atau mekanik pabrik gula Gudo sebelum pabrik itu ditutup pada 1930. Lokasi pabrik tidak jauh letaknya dari pasar Gudo dan klenteng Hong San Kiong. Pabrik tersebut kabarnya memiliki hubungan dengan pabrik gula Meritjan di Kediri.



Sore itu, di klenteng Hong Sian Kiong, saya menikmati  tontonan wayang Potehi. Untuk pertama kalinya bagi saya, sebelumnya saya hanya melihat dari foto-foto berwarna pada halaman dalam sebuah majalah penerbangan. Seni pertunjukan  boneka berkantong kain, yang beberapa bagiannya terbuat dari kayu, digerakan lewat jari tangan yang bersembunyi dalam kantong. Pertunjukan ini ramai dengan bunyi-bunyi tambuhan tambur, simbal dan gong, kadang diselingi bunyi alat gesek atau tiup, silih berganti menghentak memecahkan kesunyian. Panggung wayang Potehi penuh aroma warna merah menyala sebagai warna simbolik kebahagian atau kegembiraan. Panggung itu berdiri di halaman menghadap ke arah bangunan klenteng. Seolah menghibur para dewa yang berada di klenteng. Boleh jadi, pementasan wayang Potehi berlangsung berhari-hari tanpa penonton. Memang tidak seaktraktif  pertunjukan barongsai. Durasi pementasan wayang hanya dua jam. Tidak semalam suntuk. Waktu pertunjukan pada sore dan malam hari. Saya rasa, apresiasi pemetasan ini kelihatannya tidak berpatokan pada ada tidaknya penonton, melainkan penghayatan para penanggap. Mereka yang berpartisipasi menggelar pementasan. 
Wayang Potehi, warisan kesenian yang dibawa para perantau China Selatan ke Nusantara sekitar abad 16. Kabarnya, lebih dari seribu tahun silam, sudah ada seni pertunjukan boneka semacam ini. Boleh jadi sezaman Dinas Tang, pada 618-907, dalam sejarah China. Tradisi seni pertunjukan ini hanya bisa dipentaskan di klenteng. Tapi Potehi bukan sebagai bagian ritual keagamaan. Awalnya sebagai wayang berdialek Hokkian, dalam perjalanannya bercampur dengan bahasa Melayu pasar. Banyak orang mengatakan, mula-mula dipentaskan di wilayah pantai utara Jawa, dimana umumnya perantau Tionghoa menetap di sana. Lalu berbaur dengan budaya Jawa, menjadi wayang China Jawa yang disebut orang sebagai wayang Thi-Thi yang menggunakan pengantar bahasa Jawa, demikian juga penamaan Jawa bagi tokoh wayang. Seperti lakon Sie Djin Koei, seorang jenderal di masa Dinasti Tang, dalam balutan Jawa bernama Joko Sudiro. Sie Djin Koei memang mengendap dalam kesusasteraan populer China, sebagaimana cerita tragedi romantika cinta, Sampek Engtay, yang dianggap Romeo dan Juliet versi China. Saya juga mendengar Koran Tempo pernah menurunkan tulisan mengenai Baco Puraga, wayang berdialek Hokkian di Makassar.
Ratna menghubungkan saya dengan Toni Harsono. "Kakek dan ayah saya, dalang," ujarnya  membuka percakapan, sebelum menceritakan pada saya pengalamannya ketika mementaskan wayang Potehi di Makassar pada 2011. Toni adalah pemilik paguyuban (museum) wayang Potehi, Fu He An. Saat saya datang, menurut Toni, tidak sedang ada pembuatan wayang Potehi. Potehi bukanlah seni pertunjukan semata,  atau pengetahuan dan ketrampilan dalang memainkan sembari mengeluarkan suara dalam mereka. Akan tetapi,  juga pemaknaan peran pengerajin yang menatah kayu, mewarnai karakter, hingga membuat kostum wayang Potehi. Saya rasa, di sini letak apresiasi keseniannya. Seusai peristiwa 1965, kesenian ini menjadi senyap. Dianggap rezim Orde Baru, punya kaitan dengan komunisme. Lewat instruksi presiden tahun 1967. Perayaan-perayaan, pesta agama, dan adat istiadat China,  itu dilarang. "Tapi tidak di Gudo ini, semua jalan, tidak harus pakai izin Koramil," tutur Toni. Toh, bisa jadi wayang Potehi benar-benar akan hilang, kalau boleh meminjam perkataan Toni Harsono, bila sudah tidak ada lagi penanggap. Dan, barangkali kita pun sekaligus kehilangan narasumber Potehi.
Pementasan wayang Potehi sudah berada di ujung akhir. Kami beranjak menuju deretan bangunan rumah-rumah lama berarsitektur oriental. Kebanyakan beratap seperti pelana kuda. Di seberang jalan, Pasar Gudo. Saya diperkenalkan dengan seorang pendeta. Gerejanya masuk lorong, tak jauh letaknya dari Pasar Gudo. Kami banyak bercerita legenda sepeda motor Honda tahun 70an yang dikendarainya. Ya, sepeda motor bebek seri Super Cub, yang mulai diproduksi awal 1960an setelah si empu ide Soichiro Honda, yang semasa kecil menghabiskan waktu di bengkel reparasi sepeda, habis melawat dari Eropa. Lebih dari 87 juta unit beredar di dunia. Magrib hampir tiba. Gudo, kota kecil tua di pedalaman Jawa, tempat dari berbagai perjumpaan, mengenali hidup yang lebih berwarna.
Pekan akhir Desember. Saya menuju Lasem dari Semarang. Mampir di Kudus, menikmati sate daging kerbau yang dialas dengan daun jati. Biasanya, warung sate kerbau terbuka malam hari, beruntung saya menemukan warung mas Zuhri, yang terbuka siang hari. Di Kudus, daging kerbau tidak saja disajikan pada menu sate, juga soto Kudus. Kabarnya, tradisi kuliner olahan daging kerbau dimulai  ketika Sunan Kudus (Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan), yang menyebarkan Islam di Kudus, melarang para pengikutnya menyembelih dan mengkonsumsi sapi pada saat hari raya Idul Adha, dan menggantinya dengan kerbau, guna menghormati para penganut Hindu saat itu yang menganggap sapi sebagai hewan suci. Saya tiba-tiba teringat dengan tradisi kuliner olahan daging kuda di Jeneponto, Sulawesi Selatan. Saya teringat dengan Gantala Jarang, daging kuda yang direbus, yang biasanya menu ini disajikan pada pesta pernikahan di Jeneponto. Tentu saja, ingat juga dengan aroma coto dan konro daging kuda yang khas memikat hati.
Saya tiba hampir sore di pantai Kartini, Rembang. Sebelum masuk kota Rembang, saya merasa nuansanya seperti Jeneponto yang saya kenali. Hamparan tambak garam, kincir-kincir angin yang memindahkan air laut di antara petak-petak lahan, dan gubuk bambu tempat menyimpan garam. Angka statistik memang menempatkan Rembang sebagai penghasil garam terbesar di Jawa Tengah. Saya sedang menunggu seorang kawan lama, kawan yang pernah satu kelas semasa kuliah dulu. Saya biasa memanggil Gus Azhim, nama lengkapnya Abdul Azhim. Ia mendirikan sebuah madrasah di Sulang, Rembang, pada 2011, di bawah naungan pondok pesantren Binnur. Juga, seorang anggota serikat petani Rembang. "Saya ini masih kerja tani, lihat kulit saya,  saya kerja di sawah," katanya membuka percakapan saat kami bertemu. Di madrasah kawan saya ini, siswa tidak diwajibkan pakai seragam, tidak ada pembayaran uang sekolah, dan diajar juga praktik pertanian. Kalau dikemudian hari, Ganjar Pranowo, gubenur Jawa Tengah, membebaskan uang sekolah, kawan saya hanya tertawa saja, ia sudah melampauinya.
Kami kemudian menuju ke Lasem. Tak jauh dari pintu masuk pantai Kartini. Gus Azhim menunjuk sebuah gedung. "Saya pernah berkantor di situ," ujarnya pendek. Kawan saya ini memang pernah menjadi anggota parlemen lokal di Rembang. Bahkan, ia menjadi ketua Pansus Hak Angket. Ia kala itu menjadi legislator dari sebuah partai Islam. Belakangan, saya menerka-nerka, mungkin saja kawan saya ini berubah haluan ke sebuah partai nasionalis. "Dapil 3 ini, penduduknya sedikit, tapi politik uang kencang sekali," tuturnya menjelaskan konstelasi politik lokal di Rembang, Pati, Blora, dan Grobogan. Saya sebenarnya tidak hendak mendiskusikan secara serius politik yang benar-benar praktis itu. Saya jadi kuatir, akan meminjam gaya bertanya filsuf Slovenia, Slavoj Zizek: apa yang kita pahami dari fakta itu bahwa kita adalah agen etika. Nanti jawabannya bisa seperti cara bicara arek Surabaya sehari-hari: jancuk. 
Kami tiba di Lasem. Hampir petang. Gus Azhim membawa saya ke Lawang Ombo (pintu besar), gudang candu (opium) pada masa kolonial. Di dalam bangunan itu, terdapat lubang sumur yang terhubung dengan sungai Lasem. Dari gudang ini, candu-candu itu diturunkan ke dalam sumur, lalu didorong, mengapung dan mengalir melalui lorong di bawah tanah hingga ke bibir sungai Lasem. Di sana perahu-perahu pembawa candu sudah bersiap menunggu untuk didistribusi. Ini adalah pasar gelap bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, karena candu adalah komoditi penting yang dimonopoli dan masuk obyek pajak. Kami lalu beranjak ke arah klenteng yang dekat dan menghadap sungai Lasem. Klenteng Cu An Kiong. Klenteng tertua di Lasem, dulu sempat menjadi pusat hunian orang Tionghoa, sekaligus dapat menjelaskan mengapa hunian tersebut memadati sekitar sungai Lasem.
Cu An Kiong, tidak sepenuhnya berwarna merah menyala. Banyak orang berfoto di sana. Saya sendiri sudah bersiap dengan t-shirt merah bertulis: amazing monday. Tidak terlampau jelas, kapan klenteng itu berdiri. Bukti awal pendirian klenteng, terutama di pantai Utara Jawa, menghilang bersamaan terjadinya huru-hara sosial. Akibatnya, sebuah klenteng boleh jadi mengalami peristiwa penjarahan dan penghancuran lalu didirikan kembali dalam keadaan yang memungkinkan. Sebuah literatur menunjukan prasasti tertua Cu An Kiong diperbaiki kembali pada 1838. 
Di halaman klenteng terdapat prasasti yang menghubungkan Lasem dengan peristiwa geger Pecinan di Batavia (orang juga biasa menyebut, tragedi Angke, sebagaimana dicatat dalam Babad Tanah Jawi), Oktober 1740. Peristiwa ini tidak lepas dengan jatuhnya harga gula di pasar dunia dan menipisnya kas keuangan VOC. Diperkirakan lebih 10 ribu orang Tionghoa terbunuh. Gubenur Jenderal VOC (1731-1741), Adriaan Valckenier, berdalih orang Tionghoa melanggar keimigrasian dan perpajakan. Valckenier menanggapinya dengan kekerasan yang mematikan. Geger Pecinan, membuat migrasi besar-besaran orang Tionghoa ke Semarang dan Lasem. Di Lasem, mereka disambut oleh Adipati Lasem, Oei Ing Kiat, seorang Tionghoa yang mengimani Islam keturunan Bi Nang Un, orang Campa yang menjadi nahkoda armada kapal Laksamana Cheng Ho.  Oei Ing Kiat dilantik menjadi Adipati Lasem oleh Sunan Pakubuwana II, pada 1727. Semula Adipati Lasem harusnya dipegang oleh Raden Panji Margana, menggantikan ayahnya Pangeran Tejokusuma V yang mengundurkan diri. Tapi, Raden Panji Margana memilih menjadi petani dan berdagang bersama orang Tionghoa di Lasem.
Pengungsian besar-besaran dari Batavia, memicu Perang Kuning, pemberontakan terhadap VOC di Lasem. Ada tiga pelaku utama dalam pemberontakan ini: Raden Panji Margana (dengan nama samaran, Tan Pan Tjiang, dalam Babad Tanah Jawi dicatat sebagai Encik Macan), Oei Ing Kiat, dan Tan Kee Wei (juragan batu bata dan guru beladiri kungfu). Orang menyebutnya sebagai Laskar Dampo Awang Lasem. Ketiganya tewas di laga pertempuran. Perlawanan rakyat Lasem sempat redup, setelah kapal jung Tan Kee Wei ditembak meriam kapal VOC di Selat Ujung Watu, Jepara. Kemudian menyala kembali, pada 1750, setelah Kyai Ali Badawi, ulama besar Lasem dan pengasuh pondok pesantren Purikawak, seusai shalat Jumat di Masjid Jami' Lasem, menyerukan perang jihad (Perang Sabil) terhadap pemerintah kolonial. Dan, bergabung dengan para pemberontak Tionghoa.


Gus Azhim kemudian mengajak saya minum kopi lelet Lasem di Roemah Oei. Nah ini yang saya suka, ajakan serius minum kopi. Saya memasuki rumah yang dibangun Oei Am, pada 1818. Rumah berarsitektur oriental, dengan dua daun pintu berwarna coklat tua. Di halaman depan di bawah naungan pohon mangga dijadikan kafe sederhana. Saya melangkah masuk ke dalam rumah yang berlantai terakota ini. Interior rumah nampak dijaga keasliannya, seperti perabot rumah, selain dilengkapi koleksi keluarga si empu rumah. Saya sungguh tertarik dengan papan petuah nasehat beraksara China berwarna kuning keemasan dari empu rumah: Xing Shi Wan He Jia (keluarga harmoni seluruh urusan jaya). Dalam sebuah artikel Tempo disebutkan, rumah ini sempat beku pada masa Orde Baru dan identitas sebagai bangunan China dilucuti. Lasem baru hidup kembali beberapa tahun ini. Pada akhir 1980an, dikabarkan hanya ada satu dua penjual bakso berjualan di alun-alun Lasem. Pada pertengahan dekade 2000, rumah-rumah tua di Pecinan sebagian besar kosong, tidak terawat. Juga menyebut, Lasem adalah kota kecil di lintasan jalan pantai utara Jawa, yang sepi dan tidak dikenal orang. Sejarah Lasem hampir pudar saat itu. Kami kemudian beranjak ke kampung batik Lasem.
"Batik Lasem itu merah," kata Gus Azhim. Kata-kata yang agak magis, mengingatkan seperti sebuah dialog dalam film yang berkait peristiwa 1965. Seni batik Lasem dikisahkan dibawa oleh Na Li Ni, isteri nakhoda Bi Nang Un, leluhur Adipati Lasem Oei Ing Kiat. Bu Nang Un melabuhkan jung di pantai Regol, Lasem, 1413. Batik Lasem adalah wujud perjumpaan Jawa, Tionghoa, Arab, dan Belanda. Orang menyebut, motif tiga negeri atau empat negeri. Sementara warna motif merah adalah perpautan budaya Jawa China. Di depan sebuah toko batik, seorang anak muda memakai sarung menghentikan sepada motor metiknya di samping saya. Ia anak Kyai Lasem, memberi saya dua bungkus kopi Lasem. "Dia ini keturunan Arab Jawa, kalau saya keturunan Cina Arab," ujar Gus Azhim.
Sayangnya, saya harus kembali malam itu ke Semarang. Tapi, saya masih penasaran. Saya benar-benar kesemsem sama Lasem, Gus. Tapi kalau masih berumur panjang, saya berniat akan kembali. Saya juga akan kembali ke Sulang. Juga ke Blora, ke tempat kelahiran sastrawan Pramudya Ananta Toer. Dalam catatan Pram, disebut Lasem sebagai titik penyelundupan senjata api dari Singapura, selanjutnya dikirim ke pasukan Pangeran Diponegoro yang mengobarkan Perang Jawa. Serius, saya masih penasaran dengan percakapan mengenai orang Samin (sedulur sikep) dan tanahnya, Gus. Tentu saja, menafsir Dapil 3 sebagai medan perebutan sumberdaya, di Kendeng itu, Gus.

Paccerakang, 25 Januari 2020

Popular posts from this blog

Long Loreh, Batubara

HAMPIR tengah malam, telepon genggam saya bergetar. Di seberang sana, terdengar suara isteri saya bertanya, "lagi dimana ini". "Malinau," kata saya pendek. "Apa ada dalam peta," tanyanya lagi. Saya tak menjawab. Saya lalu hentikan percakapan. Melalui whatsapp, saya kirim peta Malinau padanya. Ia membalas dengan emoji senyum. Malinau berada di jantung Borneo. Sebuah kabupaten di Kalimantan Utara, berbatasan dengan Serawak, negara bagian Malaysia. Garis batas yang mengikuti punggung sebuah taman nasional, Kayan Mentarang. Rimba menghijau yang kaya spesies di Malinau sangat berarti bagi penghidupan berkelanjutan. Selain, memberi sokongan dalam menyerap karbon dioksida, salah satu gas rumah kaca yang mempengaruhi perubahan iklim global. Namun, orang-orang Malinau mesti kerja keras menjaga peradaban mereka dalam ekologi hutan hujan tropis yang khas itu. Sebagai bagian dari Kalimantan yang merupakan penghasil kayu terbesar di Indonesia,  dimana lebih 10 juta he

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis

Kampiri, Ekonomi Kakao

AMELIA setengah berbisik di belakang punggung saya. “Itu yang katanya putus,” ujarnya. Saya menengok sekilas. Jarinya menunjuk sebuah kawat besi, yang terlilit pada penopang jembatan gantung. Sepeda motor kami berjalan tertatih, mengikuti pelat baja berlandas pada kayu-kayu yang menua.  Jembatan itu hanya selebar satu mobil. Terasa sedikit bergoyang, saat berpapasan dengan pengendara motor yang membawa ikatan besar rumput pakan sapi. Ketegangan baru terurai, lepas dari ujung jembatan, di Kampiri. Jembatan itu, orang menyebutnya: Jembatan Pacongkang, menghubungkan Desa Barang dan Desa Kampiri yang melintasi Sungai Walennae. Sungai besar yang sarat jejak arkeologis. Jembatan ini diresmikan Zaenal Basri Palaguna semasa menjadi Gubernur Sulawesi Selatan. Tanda tangan mantan Panglima Komando Daerah Militer Wirabuana itu tertera dalam prasasti, yang tertanam di sebuah beton tak jauh dari tiang penyangga jembatan. Kampiri adalah sejarah pemukiman tua. Sejauh apa yang saya pahami, ketika

Buru

BURU. Sebuah nama, lekat dalam ingatan sejarah. Buru mengingatkan kita pertama pada, tahanan politik (Tapol) paska peristiwa 1965. Terakhir, para penambang liar yang memburu emas. Untuk pertama kalinya, saya menjejakan kaki di tanah Buru, di Namlea. Sebelum subuh tiba.  Sehabis melaut delapan jam dari Galala, Ambon. Tidak semua orang bisa naik kapal laut. Kita seperti dikocok-kocok. Selepas Tanjung Allang, di Laut Banda, kapal besi yang saya tumpangi mulai berjalan terhuyung dihantam gelombang besar. Sekitar 49 tahun silam, dari cerita-cerita yang ada. Sebuah kapal apkiran Perang Dunia II yang berkarat, hampir karam di laut ini. Kapal itu yang mengirim "orang-orang merah" dari dermaga Sodong, Nusakambangan ke Pulau Buru, pada 17 Agustus 1969. Mereka diasingkan, dibuang begitu saja, tanpa pernah diadili. "Aku menuju ke happy land somewhare,"  tulis Pramoedya Ananta Toer dengan nada satire, dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. " Kami berangkat bersama lebih delapan