Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2018

Sunda Kelapa, Paotere, Kontestasi Ruang

APA yang masih menjadi ingatan kita akan Sunda Kelapa? Bandar tua yang merupakan situs prakolonial, cikal bakal Jakarta, s ungguh menarik minat saya siang itu. Saya berjalan menyelusuri lingkar situs itu dengan memutar terlebih dahulu dari pasar ikan Muara Baru. Pasar yang ramai saat malam hari, tidak terlampau jauh letaknya dari tempat pendaratan dan pelelangan, serta pengolahan ikan,  masih berada dalam kawasan pelabuhan perikanan samudra (PPS) Nizam Zachman. Sebelumnya, Presiden Soeharto memberi nama Jakarta Fishing Port. Pelabuhan kapal penangkap dan pengangkut ikan ini, memiliki sejarah panjang bantuan pinjaman pemerintah Jepang baik dari Overseas Economi Coporation Fund of Japan maupun Japan Bank of International Corporation (JBIC), dalam kurun waktu 1980 hingga 2012. Kalau dijumlah semuanya, nilai utang itu mencapai 15.870 juta Yen, atau dengan memakai kurs hari ini Bank Indonesia, sekitar  dua triliun rupiah, belum termasuk bunga pinjaman. Pembangunan pelabuhan itu diawali den

Long Loreh, Batubara

HAMPIR tengah malam, telepon genggam saya bergetar. Di seberang sana, terdengar suara isteri saya bertanya, "lagi dimana ini". "Malinau," kata saya pendek. "Apa ada dalam peta," tanyanya lagi. Saya tak menjawab. Saya lalu hentikan percakapan. Melalui whatsapp, saya kirim peta Malinau padanya. Ia membalas dengan emoji senyum. Malinau berada di jantung Borneo. Sebuah kabupaten di Kalimantan Utara, berbatasan dengan Serawak, negara bagian Malaysia. Garis batas yang mengikuti punggung sebuah taman nasional, Kayan Mentarang. Rimba menghijau yang kaya spesies di Malinau sangat berarti bagi penghidupan berkelanjutan. Selain, memberi sokongan dalam menyerap karbon dioksida, salah satu gas rumah kaca yang mempengaruhi perubahan iklim global. Namun, orang-orang Malinau mesti kerja keras menjaga peradaban mereka dalam ekologi hutan hujan tropis yang khas itu. Sebagai bagian dari Kalimantan yang merupakan penghasil kayu terbesar di Indonesia,  dimana lebih 10 juta he

Orang Meratap di Negeri Seribu Sungai

LOK Baintan, selepas subuh. Saya menuju kampung di Sungai Tabuk itu dari arah Banjarmasin. Kota yang dipilah jalanan lebar dari bandar udara, kendaraan yang melaju kencang, melewati sebuah jalan layang yang memanjang, perumahan mewah yang dibangun raksasa bisnis properti, diskotik dan mall yang menyala ketika malam tiba. Kota ini terasa mulai memadat. Boleh jadi, keuntungan atas tambang batu bara, sawit, dan kayu mencuri perhatian orang bergerak masuk ke kota ini. Mercu tanda (landmark) yang dilekatkan pada kota ini, kota seribu sungai. Boleh jadi, akan membuat orang tergoda berpikir. Kota itu mulai terasa rakus akan lahan di darat. Bersamaan dengan berkembangnya pemukiman yang menjorok memadati di atas maupun di tepian sungai. Mercu tanda itu tak sekedar sebuah fitur geografis, yang menjadi navigasi bagi orang akan sebuah kota, akan tetapi apakah justru berarti akan mengasingkan ruang hidup sebagian orang. Jadi, apa pemaknaan akan sungai? Tentu saja, membuat kita kemudian menginvesti