Skip to main content

Sunda Kelapa, Paotere, Kontestasi Ruang

APA yang masih menjadi ingatan kita akan Sunda Kelapa? Bandar tua yang merupakan situs prakolonial, cikal bakal Jakarta, sungguh menarik minat saya siang itu. Saya berjalan menyelusuri lingkar situs itu dengan memutar terlebih dahulu dari pasar ikan Muara Baru. Pasar yang ramai saat malam hari, tidak terlampau jauh letaknya dari tempat pendaratan dan pelelangan, serta pengolahan ikan,  masih berada dalam kawasan pelabuhan perikanan samudra (PPS) Nizam Zachman. Sebelumnya, Presiden Soeharto memberi nama Jakarta Fishing Port. Pelabuhan kapal penangkap dan pengangkut ikan ini, memiliki sejarah panjang bantuan pinjaman pemerintah Jepang baik dari Overseas Economi Coporation Fund of Japan maupun Japan Bank of International Corporation (JBIC), dalam kurun waktu 1980 hingga 2012. Kalau dijumlah semuanya, nilai utang itu mencapai 15.870 juta Yen, atau dengan memakai kurs hari ini Bank Indonesia, sekitar dua triliun rupiah, belum termasuk bunga pinjaman. Pembangunan pelabuhan itu diawali dengan pengurugan tanah untuk reklamasi di bagian utara Jakarta. Luas PPS sekitar 100 hektar, setiap hari terdapat 600 kapal ikan bersandar, memiliki ambisi hendak mengikuti jejak Tsukiji di Tokyo, pasar grosir ikan terbesar dunia. 
Lantas, saya berjalan melewati jalan masuk Masjid Jami Luar Batang,  mesjid yang dibangun Habib Husein bin Abubakar Alaydrus, seorang Arab Hadhramaut, yang datang pada 1736 melalui pelabuhan Sunda Kelapa. Sang Habib kemudian menetap lama di Kampung Luar Batang. Sebuah kampung yang semula tumbuh di atas tanah endapan hasil sedimentasi muara sungai. Sebuah cerita menuturkan penamaan kampung ini berkait lokasi di luar batas batang kayu yang pada saat itu menjadi penutup muara sungai waktu malam hari. Di zaman kompeni kampung ini menjadi tempat tinggal para pekerja kasar pelabuhan Sunda Kelapa. Segregasi pemukiman berdasar etnis di Batavia waktu itu, membuat mereka yang miskin terdesak menetap di kampung ini.
Luar Batang mengingatkan kita juga akan cerita suram pada masa pemerintahan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. Ketika ratusan rumah dirobohkan, dibongkar paksa di kawasan pasar ikan Luar Batang, di luar tembok bekas gudang rempah-rempah VOC yang menjadi Museum Bahari, sekitar 4 ribu tentara, polisi dan polisi pamong praja diturunkan mengawal penggusuran itu. Penggusuran yang diwarnai kericuhan, bentrokan itu memang menuai kontroversi. Sementara Gubernur Basuki berdalih, bagian dari normalisasi hilir pantai utara Jakarta, guna menghalau banjir air pasang laut, mencegah Jakarta tenggelam. Sejumlah pihak melihat sang Gubernur tidak memiliki pendekatan yang baik,  sehingga menimbulkan resistensi dan menyisakan kekecewaan teramat dalam. Pemukiman padat penduduk antara pasar ikan Muara Baru sampai Pelabuhan Sunda Kelapa saya saksikan dalam perjalanan ini. Namun, bagi saya,  rasanya cukup ironis menatap sejumlah apartemen mewah itu berdiri menjulang tinggi dekat pantai di antara lokasi penggusuran dan rumah-rumah yang berpetak sempit dan rapat, serta isu penurunan tanah di Jakarta Utara.  
Di Pelabuhan Sunda, boleh jadi,  sebagian orang juga masih ingat peristiwa sekitar empat tahun silam. Selasa malam, 22 Juli 2014, di atas sebuah kapal pinisi. Jokowi menyampaikan pidato kemenangan bersama pasangannya, Jusuf Kalla, dalam pemilihan presiden. Dua kata kunci: Sunda Kelapa dan perahu pinisi, saya pikir, mestinya bukan sekedar modal simbolik mereka. Di Sunda Kelapa itulah, pelayaran rakyat yang ditandai perahu layar bermotor termasuk pinisi berlabuh. Namun di kemudian hari, kapal-kapal besi dengan skema tol laut itu dinilai sedang menyurutkan kejayaan pelayaran rakyat. Meski kita tahu benar,  pelayaran rakyat memainkan peran besar saat bongkar muat di pulau-pulau kecil dan terluar yang tak terjangkau kapal besi. 
Di Paotere, Makasar, sama halnya Sunda Kelapa, tempat kapal layar bermotor itu berlabuh. Tak jauh dari sana, sedang bekerja sebuah proyek besar, New Port Makassar. Sebuah pelabuhan baru dan kawasan peti kemas seluas 16 hektar dengan nilai investasi 1.890 miliar rupiah. Lokasinya menjorok di depan Pelabuhan Paotere, seperti hendak mengurung, mengunci (enclave) pelabuhan tua ini. Di sisi lain, pemukiman padat penduduk mengepung pelabuhan dan tempat pelelangan ikan Paotere. Seperti Sunda Kelapa, di Paotere kita juga dapat merasakan gelombang migrasi dan kaum miskin yang terperangkap menetap berhimpitan di sana. Rumah kayu berpetak-petak tanpa halaman yang berdiri berdesakan. Lorong-lorong sempit mengular dengan pola yang rumit. Adakah yang salah dengan pemukiman itu. 
Sunda Kelapa, juga Paotere, menjadi situs penyaksi atas sejarah kontestasi ruang. Penguasaan ruang adalah kunci akumulasi kapital. Dalam situs ini pula, kita dapat paham, bagaimana pergerakan kapital berdialektika dengan logika kuasa teritorial. Di lingkar  situs Sunda Kelapa dan Paotere sedang mengalami reorganisasi ruang. Maka,  risiko perebutan ruang bukan sekedar soal tempat bermukim, akan tetapi juga berkait cara hidup dan kuasa atas alat produksi. 
Pagi itu, di depan Pelabuhan Paotere. Di lantai atas rumah panggung di sebuah lorong yang menyisakan ruang satu orang dewasa berjalan. Saya menikmati tabuhan gendang dan gong, dipadukan suara dari alat tiup. Serasa sedang berkisah perebutan ruang sosial. 

Tamalanrea, 28 Pebruari 2018

Popular posts from this blog

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis

Gudo, Lasem. Perjumpaan Negeri yang Berbeda

SAYA beruntung dapat menjejaki dua tempat: Gudo, Jombang dan Lasem, Rembang. Nah, bersiaplah dengan kisah perjalanan saya kali ini, menembus lorong waktu. Gudo dan Lasem, dua  tempat yang sebelumnya telah menggoda perhatian saya. Boleh jadi, karena keinginan perjumpaan akan ruang geografis etnis dan penghayatan subyektifnya yang berbeda dengan tempat lain di negeri ini, dalam memahami hubungan pasang-surut akibat pertikaian sosial. Atau , tertarik dengan kalimat akhir sebuah artikel yang mengutip tulisan para pecinta pemikiran Gus Dur di klenteng (untuk menyebut rumah ibadah Tionghoa) Gudo: "semakin kita berbeda, semakin jelas dimana titik persamaan kita". Di kedua tempat ini, Gudo dan Lasem, klenteng menjadi landmark (mercu-tanda) . Jarak keduanya,  cukup berjauhan. Jalan pintas terdekat, sekitar 180 kilometer, membelah punggung pegunungan kapur Kendeng. Dari Gudo menuju ke utara, lewat Tuban. Lalu ke arah barat, berjalan di atas jalanan warisan Gubernur Jenderal Hindia Bel

Saat Korporasi Mengatur Perut Kita

SAHABAT saya, Al Mujahid Akmal, menulis di halaman  facebook -nya: "jika setiap orang berpikir, siapa dan dengan cara seperti apa makanan diproduksi sebelum mereka konsumsi ... ada baiknya kalau saya coba belajar menanam sendiri". Aneka tanaman sayuran dan tanaman pangan, tumbuh sehat di halaman belakang rumahnya. Rasanya, kata "halaman belakang" sudah lama menghilang di setiap-kali pameran rumah di Kota Makassar. Orang di kota ini, terlanjur hidup diantara tembok yang bersekat-sekat, tanpa halaman. Beruntung sahabat saya ini, dapat berkebun di halaman belakang, yang bukan dimaksudkan bagian dari estetika atau keindahan, apalagi guna memenuhi kebutuhan cerita cerdas sebuah proyek. Akan tetapi, dibaca sebagai bagian sikap dan kritik dia atas sistem produksi pangan, selain untuk keperluan konsumsi sendiri. Atau, dalam bahasa ideologisnya, sebagai "konsumsi berkelanjutan". Sekitar 13 ribu kilometer dari tempat sahabat saya menulis sikapnya, tengah terj

Kampiri, Ekonomi Kakao

AMELIA setengah berbisik di belakang punggung saya. “Itu yang katanya putus,” ujarnya. Saya menengok sekilas. Jarinya menunjuk sebuah kawat besi, yang terlilit pada penopang jembatan gantung. Sepeda motor kami berjalan tertatih, mengikuti pelat baja berlandas pada kayu-kayu yang menua.  Jembatan itu hanya selebar satu mobil. Terasa sedikit bergoyang, saat berpapasan dengan pengendara motor yang membawa ikatan besar rumput pakan sapi. Ketegangan baru terurai, lepas dari ujung jembatan, di Kampiri. Jembatan itu, orang menyebutnya: Jembatan Pacongkang, menghubungkan Desa Barang dan Desa Kampiri yang melintasi Sungai Walennae. Sungai besar yang sarat jejak arkeologis. Jembatan ini diresmikan Zaenal Basri Palaguna semasa menjadi Gubernur Sulawesi Selatan. Tanda tangan mantan Panglima Komando Daerah Militer Wirabuana itu tertera dalam prasasti, yang tertanam di sebuah beton tak jauh dari tiang penyangga jembatan. Kampiri adalah sejarah pemukiman tua. Sejauh apa yang saya pahami, ketika

Buru

BURU. Sebuah nama, lekat dalam ingatan sejarah. Buru mengingatkan kita pertama pada, tahanan politik (Tapol) paska peristiwa 1965. Terakhir, para penambang liar yang memburu emas. Untuk pertama kalinya, saya menjejakan kaki di tanah Buru, di Namlea. Sebelum subuh tiba.  Sehabis melaut delapan jam dari Galala, Ambon. Tidak semua orang bisa naik kapal laut. Kita seperti dikocok-kocok. Selepas Tanjung Allang, di Laut Banda, kapal besi yang saya tumpangi mulai berjalan terhuyung dihantam gelombang besar. Sekitar 49 tahun silam, dari cerita-cerita yang ada. Sebuah kapal apkiran Perang Dunia II yang berkarat, hampir karam di laut ini. Kapal itu yang mengirim "orang-orang merah" dari dermaga Sodong, Nusakambangan ke Pulau Buru, pada 17 Agustus 1969. Mereka diasingkan, dibuang begitu saja, tanpa pernah diadili. "Aku menuju ke happy land somewhare,"  tulis Pramoedya Ananta Toer dengan nada satire, dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. " Kami berangkat bersama lebih delapan