Skip to main content

Media Baru, Muslihat Lama

REVOLUSI datang secara mengejutkan. Revolusi adalah pementasan dramatik, waktunya cepat, dan mudah diingat. Seperti kata sosiolog Piort Sztompka: bak ledakan dinamit di tengah aliran lambat proses historis. Kita juga sering diingatkan agar tidak gegabah atau sembrono dengan ungkapan "revolusi", karena studi revolusi memiliki batasan-batasan mengenai basis dan komponen utamanya [*]. Revolusi mengacu pada perubahan fundamental. Bahkan, dalam sejumlah kenyataan di paska-revolusi, cara kita memandang sesuatu atau cara kita berpikir pun turut berubah. Saya sendiri seringkali terusik mengamati revolusi kontemporer, revolusi yang meletup pada abad 21, pada peranan media yang memanfatkan sentimen gerakan sosial yang spektakuler itu. Meski hal itu, saya sadari, bukan faktor tunggal lahirnya sebuah revolusi. Ketika benih revolusi mulai berkecambah, media bisa jadi membawa ancaman, bahkan mengakhiri rezim yang berkuasa, mengakselerasi transisi demokrasi, atau malah sebaliknya bersifat ambigu: memutilasi demokrasi partisipatif. Apa yang saya maksud adalah: "revolusi-berwarna" di Eropa Timur, dan "Arab Spring" (Musim Semi Arab) di tanah Arab, elan revolusi bak gelombang domino di negara-negara sekitarnya, yang dapat menjelaskan mengenai peranan media.


Sejak revolusi Serbia menyala pada tahun 2000, yang membuat presiden Slobodan Milosevic terjungkal, negara-negara bekas Uni Sovyet gaduh dengan “revolusi-berwarna”: Revolusi Mawar (Rose Revolution) di Georgia, Revolusi Jingga (Orange Revolution) di Ukraina dan Revolusi Tulip atau Revolusi Merah Jambu di Kirgizstan. Revolusi-berwarna, demikian media massa internasional menyebutnya. Mengapa berwarna, boleh jadi, berkaitan dengan kata "merah" yang kerap kali dikaitkan dengan komunisme, seperti hendak mematikan komunisme. Para analisis menyebutkan, media independen atau media oposisi memiliki peran pemicu transisi kekuasaan dan mencuri perhatian internasional, serta memperoleh dukungan diplomatik dan keuangan. 
Kasus "Arab Spring" menarik diamati dalam mempelajari kekuatan media sosial, terutama kejadian yang menimpa dua anak muda. Bouazizi dan Khaleed Saed, dua anak muda Arab, belum cukup berusia 30 tahun, barangkali tidak pernah berpikir menjadi martir dalam gelombang perubahan. Bouazizi adalah pedagang kaki-lima di Tunisia, sementara Khaleed Saed, anak muda Mesir yang suka berselancar internet. Bouazizi menyulut api, membakar dirinya, ketika lapaknya digaruk pamong praja setempat, dia dihinakan, dan dimatikan harga dirinya. Khaleed Saed dicokok polisi di warung internet, dipukuli hingga berdarah-darah, dan tulangnya remuk. Kejadian menimpa mereka tersebar luas lewat jejaring media sosial: youtube, facebook dan twitter. Orang ramai menyebut informasi atas kejadian itu: memobilisasi sentimen gerakan sosial atau menyulut letupan emosi massa dalam sebuah revolusi di tanah Arab. 
Pertanyaannya kemudian, apakah media memang melahirkan sebuah “revolusi”. Tentu saja, saya sepakat bahwa kita tidak boleh gegabah atau sembrono memandang soal revolusi. Kalau boleh saya mengutip istilah Yanuar Nugroho, “aktivisme klik” (clique activism) yang lahir dan tumbuh di ruang virtual, rasanya terlampau memaksakan jika aktivitas sosial-politik dan aksi lapangan bisa dilaksanakan lewat kegiatan on-line. Revolusi butuh ideologi, butuh keprihatinan bersama, butuh pengorganisasian, butuh agen di dunia kongrit, bukan hanya di dunia maya. 
Jejaring media sosial dalam internet, boleh juga disebut semacam “revolusi”, pada saat kita membicangkan “media baru”, guna menyatakan “kebaruan” dari kemajuan teknologi komunikasi daripada sebelumnya. Apa yang dapat kita pelajari. Lebih dari sekedar soal teknologi sebenarnya, lagi-lagi kalau boleh saya mengutip Manuel Castell, soal masyarakat jejaring (network society). Bayangkan, kumpulan node (simpul, titik) yang tersebar melintasi di berbagai belahan dunia, yang saling terhubung satu dengan yang lainnya melalui "klik". Kekuatan informasi akan meluas apabila suatu node menjadi core ketika terhubung dengan satu node ke node lainnya. 


Pertengahan november lalu, saya berdiskusi dengan kawan-kawan muda, di sebuah perumahan dekat kampus sebuah universitas. Kami juga mempercakapkan Castell, jika kata "society" itu diganti dengan kata "corporate", melalui model jejaring, kumpulan node yang saling terhubung dan tersebar. Kita juga membayangkan, apakah network of corporate, juga memiliki gelombang kejut seperti revolusi. Paling tidak, seperti apa yang sedang kami percakapkan; menanam, mempengaruhi, mengubah pola konsumsi. 
Sederhana saja, bagaimana mungkin sebuah perusahaan susu formula dapat mengetahui riwayat ibu yang baru saja melahirkan dan mengirimkan pesan promosi mereka sampai di rumah sang ibu. Boleh jadi, mereka memiliki keterhubungan dengan klinik, rumah bersalin, atau toko retail. Atau, sebuah perusahaan asuransi memiliki riwayat nasabah kartu kredit sebuah bank, sehingga dengan mudah mereka merayu para nasabah melalui telepon genggam. Boleh jadi juga, korporasi makanan memiliki relasi dengan badan dunia untuk bantuan pangan, yang mengirim makanan tambahan ke sekolah. Mereka dengan mudah melakukan uji-coba, mulai dari rasa, warna, sampai dengan bentuk, sebagai bagian dari marketing-plan mereka. Atau, kita juga dapat mendengar seloroh dari sebagian kawan: bagaimana kalau kita memetakan dimana saja show-room otomotif, apakah bersamaan tempatnya dengan proyek percepatan infrastruktur pembangunan, karena di sanalah ganti-rugi lahan itu berlangsung.

Paccerakkang, 1 Desember 2015


[*] Jika diklasifikasikan teori-teori revolusi didasarkan dari model yang digunakan, maka paling tidak terdapat empat model. Namun masing-masing hanya memahami sebagian kebenaran, lagi-lagi penting bagi sebuah teori yang lebih komprehensif untuk memahami revolusi. Model yang paling tradisional adalah “model ledakan”, model yang diilhami psikologi sosial, revolusi yang berkobar dari bawah, yang dilakukan oleh massa yang putus asa, akibat akumulasi ketegangan dan ketidakpuasan melampaui ambang batas. Kemudian, “model persekongkolan”, sebagaimana halnya teori konspirasi, revolusi yang diciptakan agitator luar, sebagai “karya subversif”, sehingga massa termanipulasi dan bertindak secara kolektif. Dua model lainnya, terilhami dari teori struktural, Pendekatan pertama, yang diistilahkan sebagai “model katup pengaman”, menyatakan revolusi hanya akan meletup jika kontrol pemerintah melemah dan kekuatan koersifnya mengendor. Pendekatan yang lainnya, disebut “model kantong terbuka”, revolusi akan meletus jika tercipta sumberdaya dan peluang struktur yang kondusif untuk memobilisasi tindakan revolusioner.


Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Ratu Belanda di Titik Pusat Indonesia

RATU Belanda nampak bersiap menguruk tanah di titik pusat Indonesia ( center point of Indonesia- CPI) , demikian tempat yang kerap kali disebut. Potretnya terpampang dalam poster berukuran besar di samping pintu masuk, lengkap dengan lampu sorot yang menyala setiap malam. Ratu Belanda, Queen of the Netherlands , adalah nama kapal keruk, yang dimiliki Royal Boskalis Westminister, sebuah maskapai yang berasal dari Negeri Belanda. Mereka memenangkan kontrak dari salah satu tentakel kelompok bisnis properti Ciputra, dengan nilai yang diperkirakan menghampiri 90 juta dollar Singapura, untuk mengerjakan proyek reklamasi di lepas pantai Kota Makassar. Kapal Queen of the Netherlands sendiri dikenal sebagai kapal keruk terbesar di dunia, yang mengerjakan operasi pengerukan mulai dari pembangunan pelabuhan di Dubai, Busan, Singapura, hingga reklamasi di Maladewa. Pada 2008, Herald Sun memberitakan kapal keruk ini menuai protes dengan masalah lingkungan yang hendak dikeruk, ketika bersandar di ...

Negeri Kopra, Galela Utara

SERIBU ton kopra yang kita kirim ke istana mengapa tak punya harga. Sebait sajak yang ditulis Dino Umahuk, seorang penyair kelahiran Maluku, berjudul "Tentang Tanah yang Tak Berpusat di Jawa". Bait sajak yang memikat hati, saya temukan ketika mencari tahu perkara kopra di Halmahera. Sepulang saya dari Galela Utara, tempat para petani kelapa (Cocos nucifera) itu menjalani hidup. Hampir sepekan saya tinggal Desa Salimuli, di rumah sebuah keluarga yang mengandalkan sumber penghidupan dari kopra. Saya pikir, ini bukan soal keelokan nusantara, seperti dilukiskan dalam lagu Rayuan Pulau Kelapa. Tapi, harga kopra saat ini sedang terjun bebas.  Tuan rumah mengatakan pada saya,"satu kuintal kopra dulu itu 900 ribu, sekarang turun sampai 400 ribu". Ia mengisap rokok kreteknya dalam-dalam, seperti menahan amarah. "Di sini, satu karung beras, harganya 300 ribu," lanjutnya untuk menyakinkan saya, turunnya harga kopra turut menghajar habis penghidupan mereka. Kopra ...

Narmada dan Bili-bili

DESA Narmada, di India dan Bili-bili, di Indonesia, dua tempat berjauhan dengan satu kisah yang sama: soal pengorbanan dan proyek bendungan. Arundhati Roy, perempuan pemikir kelahiran India dan seorang sarjana arsitektur, dalam ”The Cost of Living”, menggambarkan dua perkara tersebut dapat dipersinggungkan, dirajut, dan dipertalikan: mistisfikasi nasionalisme dan eskalasi bantuan dari Lembaga Keuangan Internasional. Di Indonesia, “The Cost of Living” sudah dialih-bahasakan dan diedarkan sekitar dua tahun lalu, dalam bentuk novel non-fiksi (berisi fakta dan perasaan Arundhati Roy).

Badai dalam Perjumpaan Budaya

PIDATO Sri Mulyani di sebuah kampus, sehari sebelum dilantik kembali menjadi Menteri Keuangan, mengusik perhatian saya. Mantan pejabat teras Bank Dunia ini membicarakan badai yang sempurna. Sebuah badai yang sedang melumpuhkan negara-negara yang semula menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia. Di sisi lain, kita mendiami sebuah dunia yang paradoks. Dunia yang kini banjir informasi, akan tetapi cenderung tidak membuka pikiran dan wawasan kita, bahkan memudahkan kita memuntahkan prasangka, menghilangkan sisi lain yang berseberangan dengan kita. Sri Mulyani juga membicarakan ketimpangan di luar kendali korban. Kesenjangan, baginya, bukan sekedar ketimpangan pendapatan, melainkan ketimpangan peluang. Apa yang menarik perhatian saya. Dia mempercakapkan ketimpangan itu, berada di tempat dimana kita lahir dan orang tua kita. Tentu saja, yang dimaksud bukan karena kita lahir di tempat yang salah, atau bukan pula karena salah bunda mengandung kita. Baiklah, kita membuka kembali peta negeri i...