Skip to main content

Saat Korporasi Mengatur Perut Kita

SAHABAT saya, Al Mujahid Akmal, menulis di halaman facebook-nya: "jika setiap orang berpikir, siapa dan dengan cara seperti apa makanan diproduksi sebelum mereka konsumsi ... ada baiknya kalau saya coba belajar menanam sendiri". Aneka tanaman sayuran dan tanaman pangan, tumbuh sehat di halaman belakang rumahnya. Rasanya, kata "halaman belakang" sudah lama menghilang di setiap-kali pameran rumah di Kota Makassar. Orang di kota ini, terlanjur hidup diantara tembok yang bersekat-sekat, tanpa halaman. Beruntung sahabat saya ini, dapat berkebun di halaman belakang, yang bukan dimaksudkan bagian dari estetika atau keindahan, apalagi guna memenuhi kebutuhan cerita cerdas sebuah proyek. Akan tetapi, dibaca sebagai bagian sikap dan kritik dia atas sistem produksi pangan, selain untuk keperluan konsumsi sendiri. Atau, dalam bahasa ideologisnya, sebagai "konsumsi berkelanjutan".
Sekitar 13 ribu kilometer dari tempat sahabat saya menulis sikapnya, tengah terjadi negosiasi mengenai perubahan iklim di Paris, ada 159 negara berkumpul. Dua pekan setelah ledakan bom dan letusan senjata yang menyalak dalam keramaian di sana. Dihitung dari perundingan yang sama di Kopenhagen, Denmark, 2009, maka tahun 2015 merupakan tahun terpanas. Saya tidak membicarakan soal kegaduhan siapa yang berpidato dan yang batal berpidato di dalam salah satu forum KTT tersebut. Toh, seperti biasa, para pemimpin menghabiskan waktunya untuk berpidato. Orang justru menunggu apa yang dibicarakan para negosiator itu di balik pintu tertutup hingga larut malam. Bagi masyarakat sipil, kesepakatan Paris mestinya menjadi bagian aksi global guna mendukung pembangunan berkelanjutan paska 2015.
Kita tahu, kesenjangan semakin melebar. Negara-negara miskin, biasanya menjadi tempat bagi industri ekstraktif, pembalakan hutan guna memperluas area perkebunan besar, penghancuran keanekaragaman hayati, masyarakat adat banyak kehilangan tanah, hingga dijadikan tempat awal produksi untuk konsumsi bagi negara-negara kaya. Tidak saja berdampak pada penghidupan banyak orang, juga mempengaruhi iklim. Sahabat saya ini paham betul, dahulu para petani mempelajari "ilmu" bio-dinamika, memanfaatkan harmoni penanggalan dan musim dengan tanaman yang ditanam hingga dipanen. Mereka tidak sekedar merawat alam, dengan sistem pertanian yang dipahami itu, juga memelihara hubungan sosial dan cara kerja kebudayaan. Kita paham, urusan sistem pertanian bukan direduksi menjadi teknik pertanian belaka.
Korporasi raksasa telah mengubah tatanan ini, mengatur tanah dan perut kita. Mereka seperti berada di atas piramida sebuah "negara". Saya tidak membicarakan sebuah rekaman yang membuat gaduh, dimana menggambarkan bahwa para korporat itu punya kuasa istimewa mengatur sebuah negeri, sekaligus menghempaskan masyarakat adat yang sejak berabad-abad lamanya merawat alam. Di tengah titik ekstrim perubahan iklim, sebagaimana dibicarakan dalam konperensi Paris, sekelompok kecil korporasi raksasa juga semakin menunjukan prilaku ekstrimnya. Mereka adalah korporasi yang tengah mengatur perut kita. Orang mengenalnya, sebagai "Big Six", yang melakukan mega-merger, sehingga mereka leluasa mengendalikan benih, lahan pertanian, rekayasa genetik, sampai di meja rumah kita. Apabila kita melacaknya, jaringan mereka meluas dari industri farmasi yang mengatur kesehatan kita hingga lembaga keuangan yang mengatur dompet kita.
Pembicaraan dalam konferensi di Paris itu, yang paling mudah dicerna adalah: "clean energy, low carbon, green business". Nah, korporasi raksasa itu, yang mula-mula menguasai benih mulai bergerak ke arah biologi-sintetik (syn-bio). Mereka ingin menyakinkan pada publik bahwa mereka komitmen pada energi bersih, karbon rendah, dan bisnis hijau. Saya sendiri sangat apresiatif pada anak-anak muda yang sedang mengembangkan riset biologi sintetik, bahkan mungkin tengah mengikuti iGEM, semacam olimpiade biologi-sintetik. Namun, masalahnya, ketika hasil riset itu masuk dalam jaringan korporasi raksasa, maka netralitas ilmu pengetahuan tidak ada artinya, ilmu pengetahuan untuk kemanusiaan tidak ada maknanya. Kuasa korporasi sejatinya dapat melipat kedaulatan sebuah negeri, kedaulatan atas pangan kita, menggerus harmoni alam.
Dalam suatu Jumat, saya terkesan dengan khutbah seorang khatib shalat Jumat di Mesjid Raya, Enrekang. Khutbahnya berkaitan dengan "halalan thoyyiban" (halal dan baik), sebagai perintah agama yang jelas dan tegas. Tidak sekedar halal apa yang kita konsumsi, melainkan juga cara mendapatkannya, selain baik karena tidak merusak, membahayakan kesehatan kita. Bagaimana mungkin kita bisa mengkonsumsi, katakan makanan, yang berbulan-bulan tidak membusuk. Atau, bagaimana mungkin kita mengkonsumsi beras, yang kita tahu siapa petani yang menanamnya, yang kita juga tidak tahu, apakah anak-isterinya tidak kesusahan atau anaknya bisa sekolah baik-baik. 

Tamalanrea, 10 Desember 2015

Popular posts from this blog

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis...

Kuasa-Kata, Semangkuk Pallubasa

KARENA Jawa adalah kuncinya.  Frasa politik ini begitu populer. Hal yang sama juga terjadi saat percakapan tentang elektoral, yang bertautan dengan pemilih. Jawa menjadi tulang punggung demografis Indonesia. Juga dianggap sebagai jantung kebudayaan dan politik. Kalau begitu, agak lebih jauh lagi, apakah budaya Jawa turut mengkonstruk imaji politik dalam frase tersebut. Saya agak tergoda mencari tahu. Apalagi mesin politik sudah menyala. Kick off, partai-partai politik mengajukan kandidat. Komunikasi politik mulai berjalan, terkadang menimbulkan ambiguitas, tak jarang menciptakan kesadaran magis. Itu pula yang membuat saya membaca kembali buku ini, buku tua. Tapi saya rasa, dapat memandu untuk keperluan itu. Diterjemahkan dari buku: Language and Power, Exploring Political Culture in Indonesia. Diterbitkan pertama kali, lebih dari 30 tahun lalu. Penulisnya, Benedict Anderson. Seorang antropolog sekaligus sejarawan politik. Buku ini kumpulan esainya.  Salah satu pencarian Anderso...

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Makassar, Subaltern

BETAPA sulitnya menulis masa lalu. Abdul Rasyid Idris, seorang kawan, memberi saya tiga buku berharga di ujung Syaban. Salah satu buku, dari tiga buku karyanya, bertajuk: Anging Mammiri, Jejak Makassar Tempo Dulu. Rasanya, buku ini bukan sebuah produk industri nostalgia yang dimaksudkan memicu perasaan melankolik setiap orang. Saya sendiri tak hendak mencari tahu dalam buku ini, ketika memenuhi kerinduan akan sebuah lapak kopi di selasar Pasar Cidu'. Sebuah lapak yang menjual kopi yang lebih enak dan harganya lebih murah berkali-kali lipat dari Starbucks. Secangkir kopi yang bikin mata melek, yang bisa menghidupkan ekonomi orang pasar siang malam. Saya pikir, kawan saya ini tidak terperangkap ke dalam kerinduan masa lalu. Akan tetapi, ia melakukan pembacaan kembali, hal-hal apa yang hadir menjadi ingatan. Apa yang dialaminya dalam ruang temporal (masa lalu). Hanya saja, bahasa menyimpan problem internal, ketika menghadirkan kembali (re-presentasi). Coba kita membayangkan denga...

Presiden, Budaya Pop

" Politics is just like show business " -Ronald Reagan, http://quotationsbook.com/quotes/author/6022/ SORE menjelang magrib. Dalam sebuah konser, di sebuah stadion olahraga yang dibangun dengan uang pinjaman dari Uni Soviet. Seorang calon presiden berlari ke ujung panggung, yang menjorok di depan, tepat dihadapan massa yang tumpah ruah.  Suara gitar mengelegar, mengiringi Si Bung, calon presiden itu, ketika hendak menyapa massa. Riuh m assa memekak telinga. Belasan bendera bergambar kupu-kupu, dikibarkan para penggemar sebuah group band, nampak melambai-lambai di udara. Yup, sebuah group band rock, yang bersinar di negeri ini lantaran predikat berbayaran tinggi dan memiliki jutaan penggemar fanatik anak muda. Sebelumnya, mereka telah menciptakan dan merekam sebuah lagu kampanye sang calon presiden. Lagu ini lantas disebar melalui jaringan televisi dan media-sosial. Si Bung, kabarnya, juga seorang penyuka musik rock Metallica, group band asal L.A California. And Justice fo...