Skip to main content

Plutokrasi, Anti Logika

Mereka menyebutnya demokrasi. Tetapi, yang sebenarnya berjalan adalah plutokrasi. Pemerintahan yang mengabdi pada mereka yang berpunya, daulat uang. Hukum tertinggi adalah koneksi. Keputusan untuk rakyat banyak ditentukan oleh konsensus orang-orang tidak beradab. Negara adalah manifestasi keserakahan. (Rahasia Meede, Misteri Harta Karun VOC, E.S. Ito, halaman 34)


NOVEL thriller sejarah ini, saya rasa, mengantar kita sejenak mengenali kembali kemerdekaan dan setumpuk utang. Novel ini dibuka dengan kalimat: "Tidak bisa, bung. Bukan kita, tetapi mereka yang seharusnya membayar. Kita berhak atas Batig Slot". Sepenggal percakapan antara seorang pemuda yang digambarkan revolusioner berperawakan tinggi kurus dan berkacamata tebal, Sumitro Djojohadikusumo, dengan Bung Hatta, di Den Haag, November 1949. Kita pun tahu, ini babak akhir perundingan maraton Konferensi Meja Bundar. Belanda menyodorkan klausul, pihak Indonesia menanggung beban utang Hindia Belanda. Sebuah syarat berkait kedaulatan. Novel ini menyebutnya sebagai: kesepakatan celaka. Tujuh puluh persen beban utang itu, adalah utang kolonial. Empat puluh dua persen dari utang kolonial itu, adalah utang yang ditimbulkan oleh biaya operasi militer Belanda untuk memberangus revolusi Indonesia.
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/7/71/KaartNederlandsekolonien.jpg

Novel Rahasia Meede dicetak pertama kali, Agustus 2007. Dua tahun setelah Menteri Luar Negeri Belanda, Bernard Rudolf Bot berpidato dalam sebuah acara yang cukup menguras perasaan. Sehari sebelum peringatan 60 tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia. Di gedung departemen luar negeri di Jakarta. Pidato tertulis Bot cukup panjang lebar dan sarat kalimat diplomatis. Bot menyebutkan, kehadirannya akan ikut merayakan peringatan pada esok hari, 17 Agustus, mengekspresikan penerimaan secara politik dan moral pemerintah Belanda untuk yang pertama kalinya sejak Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan. E.S. Ito, sang penulis novel Rahasia Meede, piawai merekat potongan-potongan event sejarah lantas dijalinkan dengan kisah fiksi. Novel ini nampak percaya, pengetahuan sejarah menjadi prasyarat melihat masa depan, sekaligus membentuk kesadaran baru. Mungkin saja novel ini ditulis, bersamaan dengan rasa gelisah yang tak bertepi mengenai ke-indonesia-an. 
Dan, saya pikir, sejarah ekonomi-politik kemudian menjadi dasar dalam mengkonstruksi kisah. Misalnya saja, salah satu tokoh rekaan, Cathleen Zwinkel, perempuan muda Belanda yang digambarkan sedang meneliti sejarah ekonomi kolonial. Mungkin mengingatkan kita akan seorang mahasiswi Belanda yang menulis skripsi, pada pertengahan 1990an, yang mengkalkulasi berapa keuntungan yang diraup kolonial Belanda, dari hasil perbudakan di Hindia Belanda, yang harus dikembalikan ke Indonesia. Pembacaan sejarah dalam novel ini juga penuh daya kejut, mungkin pula menyegarkan kembali hal-hal yang pernah kita ketahui. Seperti, melekatkan hubungan antara Luca Bortolomeo de Pacioli, ahli matematika Italia, dengan Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Keduanya hidup pada masa yang berbeda. 
Pacioli adalah orang pertama menggambarkan sistem pembukuan (akuntansi) double-entry, lajur debet dan lajur kredit yang harus seimbang. Sementara Coen di masa mudanya, pergi jauh belajar ke tempat Pacioli membukukan karyanya, untuk menjadi seorang akuntan. Di kemudian hari, sebagaimana dikisahkan dalan novel ini, Coen dengan tekun mencatat setiap transaksi, uang ia catatkan sebagai debet dan darah ia catatkan sebagai kredit dalam buku besar bernama Nusantara. Coen dikenali menaklukan dan menghancurkan Jayakarta, lantas mendirikan kota Batavia di atas puing-puing Jayakarta. Sebuah kota baru, dengan jiwa baru, yang penuh dengan kalkulasi ekonomi untung-rugi.
Membaca kisah Coen sebagai seorang akuntan dalam novel ini, mengingatkan saya pada seorang politisi Senayan, yang saat ini masuk dalam tahanan KPK. Dia juga seorang lulusan akuntansi sebuah universitas di Jakarta. Kehidupan politiknya penuh kontroversi. Beberapa diantaranya, pencatutan nama presiden Jokowi dalam rekaman perusahaan tambang Amerika Serikat di tanah Papua, dan menghadiri jumpa pers Donald Trump, sewaktu masih menjadi calon presiden Amerika Serikat. Hebatnya lagi, Trump yang justru memperkenalkan si politisi ini di podium: "one of the most powerful men and a great men". Seseorang yang paling berkuasa dan hebat. Mereka lalu berjabat tangan. The Straits Times, suratkabar Singapura menggambarkan, jam tangan emas buatan Swiss yang mahal itu tersingkap dari balik baju si politisi ini.
Namun, saya tidak ingin membahas karir politiknya. Saya cukup tertarik bagaimana cara publik merespon segala tindak-tanduknya terutama di media sosial. Bahkan makin kuat, setelah mobil yang ditumpanginya menabrak tiang listrik. Atau, sebaliknya, cara si politisi ini merespon, cara menghindar dari tuduhan. Sakit serius, lupa ingatan, bungkam, kerapkali dipertunjukan sebagian terdakwa korupsi di negeri. Sementara publik meresponnya dengan cara memproduksi atau mereproduksi meme (baca, mim) dan menyebarkan melalui internet, bahkan menjadi viral. Meme adalah praktik budaya, seringkali diartikan mimikri. Konsep atau istilah mimikri mengingatkan kita pada Homi K Bhabha, pemikir kelahiran Mumbai, India, yang dikenali dalam kajian paska-kolonialisme. Kata Bhabha, serupa tapi tidak sama. Mimikri adalah metonimia kehadiran, boleh jadi, lebih dekat dengan ejekan atau mengolok-olok. Boleh jadi juga, kita sedang mengenali ambivalensi. Bahkan, situasi yang anti-logika. Lewat meme, kita seperti diingatkan oleh Bhabha, di tempat kekuasaan kolonial, sejarah diubah menjadi lelocon dan kehadirannya adalah sosok kembar narsisme dan paranoia yang berulang-ulang tak terkendali. Dalam penggalan kalimat percakapan dalam novel Rahasia Meede: "kau akan kehilangan logika bila percaya demokrasi dan perwakilan. Dan yang paling bodohnya, kau akan kehilangan akal sehat bila memberikan mandat pada badut-badut di Senayan sana".

Tamalanrea, 20 Desember 2017

Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Narmada dan Bili-bili

DESA Narmada, di India dan Bili-bili, di Indonesia, dua tempat berjauhan dengan satu kisah yang sama: soal pengorbanan dan proyek bendungan. Arundhati Roy, perempuan pemikir kelahiran India dan seorang sarjana arsitektur, dalam ”The Cost of Living”, menggambarkan dua perkara tersebut dapat dipersinggungkan, dirajut, dan dipertalikan: mistisfikasi nasionalisme dan eskalasi bantuan dari Lembaga Keuangan Internasional. Di Indonesia, “The Cost of Living” sudah dialih-bahasakan dan diedarkan sekitar dua tahun lalu, dalam bentuk novel non-fiksi (berisi fakta dan perasaan Arundhati Roy).

Pangan, Antibiotika, Oligarki

" ANTIBIOTICS off the menu ", demikian kampanye yang diluncurkan organisasi konsumen internasional pada tahun ini. Penggunaan antibiotika yang berlebihan menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan global, kita akan berhadapan dengan bakteri (mikroba) yang resisten (kebal) terhadap antibiotika. Hingga pada suatu hari, kita menjumpai kenyataan, antibiotik tidak lagi bisa melawan bakteri. Hanya sedikit goresan saja, orang bisa saja mati terbunuh. Boleh jadi, Alexander Fleming penemu antibiotika penisilin, yang mengobati infeksi, tidak menyangka kalau produksi antibotika tidak saja berada lini industri farmasi, namun berlipat ganda dengan industrialisasi pertanian dan peternakan. Fleming pun menyebutnya sebagai penemuan secara kebetulan. " Ketika saya bangun tidur, setelah fajar menyingsing, 28 September 1928, saya sama sekali tidak berniat merevolusi semua obat dengan penemuan antibiotik atau bakteri pembunuh ,"ujarnya. Sekitar setengah dari produk antibi...

Negeri Pelepah Sagu

“ The beginning of the conquest and looting of East Indies … signalized the rosy dawn of the era capitalist production ”[1] SETUJU berlari kencang menembus kegelapan. Saya dibuatnya sesekali terguncang-guncang. Angin malam menyergap masuk melewati rongga atas pintu belakang. Setuju, demikian nama otobis kelas ekonomi, non-AC, berwarna putih kusam, melayani trayek Malili-Makassar. Bis berangkat jam lima   sore dari Malili, Luwu Timur, tiba di perempatan lampu-merah Pasar Daya, Makassar, jam empat pagi esok harinya.   Saya dan seorang kawan   naik   bis Setuju   d ari   Senga, Belopa, malam itu . Sebelumnya, kami   baku-tawar ongkos dengan kenek bis, dari 80 ribu turun menjadi 60 ribu   rupiah   sampai   ke   Makassar. Sebagian besar bangku bis diisi   orang   Pangkep. Mereka, para pekerja tambak di pesisir Teluk Bone yang mengapit Tana Luwu. Sedikit diantaranya, adalah kerabat pemilik warung sop   daging sapi ...

Nduga

INSIDEN kekerasan bersenjata itu kembali meletup, beberapa pekan lalu. Di Nduga, di sebuah tempat yang bertengger di punggung pegunungan tengah yang membelah Papua. Insiden yang membuat saya lagi-lagi menyerngitkan dahi. Untuk kesekian kalinya darah tumpah. Terasa getir tak berkesudahan. Seperti membekukan perjalanan sebuah negeri, lebih dari setengah abad, berhenti di tubir sejarah. Insiden itu berada di jalan raya Trans Papua. Jalan raya yang melewati Taman Nasional Lorentz. Sebuah situs  warisan dunia, yang memiliki spektrum ekologi menakjubkan, akan tetapi rentan terdegradasi. Sekaligus, menjadi ruang hidup bagi delapan etnis Papua, Nduga salah satunya. Situs itu selemparan batu jaraknya dengan wilayah operasi tambang emas dan tembaga terbesar, tambang Grasberg. Tambang yang dikelola Freeport Indonesia, anak raksasa tambang asal Phoenix, Amerika Serikat, Freeport McMoRan Inc. Sejak awal, kehadirannya kerapkali merepotkan, menjadi sumber gesekan dan perseteruan. www.kabarin...