Skip to main content

Kedermawanan Ala Kartel

"The new technologies like the technologies of the green revolution and bio technologies, devalue the cultural and traditional knowledge embodied in the seed, and erode the holistic knowledge of the seed from the community" (The right to save and share seed - http://www.navdanya.org/)

INI negara Res Publica, bukan Res Privata. Begitu pesan kuat yang saya baca dalam pledooi terdakwa Kunoto alias Kuncoro bin Mirin. Nota pembelaan perkara pidana ini dibacakan tim kuasa hukum Kunoto di Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri, Jawa Timur, 24 Mei 2010. Kunoto, seorang petani, dicokok polisi, 16 Januari 2010, di teras rumah di Desa Toyoresmi, ketika sedang menimbang benih jagung dan menjualnya dalam bentuk curah pada seseorang. Jaksa mendakwa Kunoto, terbukti bersalah, melakukan tindak pidana mengedarkan benih bina yang tidak sesuai dengan label, melanggar Undang Undang Sistem Budidaya Tanaman. 
Lima tahun sebelumnya, Tukirin, seorang petani dan penangkar benih jagung asal Nganjuk, Jawa Timur, ditangkap polisi dan diseret ke pengadilan. Sepanjang perkaranya digelar sampai vonis dijatuhkan hakim Pengadilan Negeri Nganjuk, Tukirin sama sekali tidak didampingi pengacara. 15 Pebruari 2005, Tukirin divonis melanggar UU Sistem Budidaya Tanaman, dijatuhi hukuman pidana 6 bulan penjara, denda 200 ribu rupiah, dan selama satu tahun masa percobaan dilarang menanam dan menangkar jagung. Kunoto dan Tukirin, termasuk sedikitnya 15 petani lainnya di Kediri dan Nganjuk, dikriminalisasi, dikucilkan dan mengalami pemenjaraan, lantaran dianggap melanggar UU Sistem Budidaya Tanaman. 
Kasus-kasus ini kemudian mendorong sejumlah organisasi mengajukan UU Sistem Budidaya Tanaman ke Mahkamah Konstitusi pada September 2012, sekaligus membuka kembali lembar ingatan kita soal: benih. Kita sadar benar bahwa, makanan dimulai dari benih. Benih merupakan tradisi panjang para petani: koleksi, seleksi, pertukaran, menangkar (on-farm), jauh dari komersialisasi, termasuk sebagai tempat menyimpan budaya, pengetahuan masyarakat dan sejarah. 
"Tindakan sederhana menabur benih, menyimpan benih, menanam benih, menanam tanaman untuk sebuah benih adalah mengembalikan ingatan abadi kesatuan bumi dan kreasi semesta," tutur Vandana Shiva, seorang filsuf India, kepada Sarah van Gelder, dari Majalah YES! [1] Shiva tengah mengkampanyekan dan mengorganisir gerakan pelestarian keanekaragaman benih di seluruh dunia. Dalam kunjungannya ke Inggris, Shiva menggambarkan gerakan ini sebagai "benih open sources (sumber-terbuka)", seperti menggemakan piranti-lunak open sources. Semenjak Revolusi Hijau disebarkan di seluruh penjuru dunia, para petani mengalami serangan serius terhadap tradisi panjang mereka.[2]
Berawal pada 1943, dari sebuah kantor penelitian khusus pertanian Pemerintah Meksiko. Namun, berada di bawah arahan Yayasan Rockefeller, organisasi filantropi yang didirikan keluarga Rockefeller. Henry Wallace, wakil presiden Amerika Serikat, memiliki peran besar dalam proses pendirian kantor tersebut. Wallace sendiri sebelumnya diketahui sebagai pendiri perusahaan benih jagung Hi-Bred -kemudian, berubah menjadi  Pioneer Hi-Bred dan diakuisisi DuPont, 1999. Jacob George Harrar, pemimpin proyek Yayasan Rockefeller tersebut, memanggil ahli genetika dan patologi tanaman Norman Borlaug untuk bergabung.[3] Pilihan Harrar rupanya tidak salah.
Tahun 1963, 95 persen lahan gandum di Meksiko menggunakan varietas gandum semi-kerdil yang dikembangkan Borlaug. Hasil produksi panen raya tahun itu, dilaporkan enam kali lipat dibandingkan tahun kedatangan Borlaug ke Meksiko. Pemerintah Meksiko lantas mengklaim sepenuhnya mandiri dalam produksi gandum, bahkan menjadi eksportir gandum. Tahun 1966, kantor itu berubah menjadi Centro Internacional de Mejoramiento de Maiz y Trigo (CIMMYT), pusat penelitian jagung dan gandum internasional. Dekade 1960 dan awal 1970an, CIMMYT di El Batan, Meksiko, memainkan peran-kunci menyebarkan Revolusi Hijau, atas nama perang melawan kelaparan.
Di wilayah Asia Timur, yang sebagian besar penduduknya mengkonsumsi beras, pada Juni 1959, Yayasan Rockefeller dan Yayasan Ford mulai membahas pendirian International Rice Research Institute (IRRI), lembaga penelitian padi internasional, dengan Universitas Filipina di Los Banos, Laguna. April 1960, pendirian IRRI disetujui di Manila. Salinan sertifikat tanah untuk lahan uji-coba, atas nama Universitas Filipina, yang dibeli dengan dana hibah Yayasan Ford, diterbitkan oleh Kantor Komisi Asuransi Filipina sebagai: "trust for charitable uses". Akhir tahun 1966, IRRI mengumumkan dan menyebarkan varietas padi pertama yang mereka rakit dan diberi nama: IR8, yang digambarkan seperti mobil T-Ford.[4] 
Kerjasama IRRI dan pemerintah Indonesia dimulai sejak Desember 1972. IRRI kemudian membuka kantor perwakilannya, menempati sebuah bangunan kolonial di tempat yang rindang, di Jalan Merdeka, Bogor. Kerjasama dengan pemerintah di Asia, memungkinkan IRRI beroperasi secara efektif mengumpulkan plasma nutfah padi. Saat ini, di International Rice Gene Bank IRRI tersimpan koleksi lebih 110 ribu aksesi plasma nutfah padi. Dalam periode 1970-1999, Badan Litbang Kementerian Pertanian Indonesia, telah mengumpulkan 11.700 aksesi padi lokal, padi dari dataran rendah dan tinggi, juga padi rawa pasang surut.[5]
Benih adalah kuncinya. Empat dekade Revolusi Hijau menyisakan catatan yang ternoda. Jumlah petani makin susut. Revolusi Hijau telah membawa anak-anak petani dari kampung-kampung, menjadi para pekerja urban, dan sebagian besar tidak kembali lagi ke sawah. Sebaliknya, korporasi raksasa agri-bisnis justru semakin terkonsentrasi, melalui berbagai proses merger dan akuisisi. Mereka sedang menuju ke arah kartel. Mereka yang memiliki kantor pusat di Utara, semakin agresif mengepung persediaan benih di Selatan. Tiga korporasi raksasa benih pada saat ini, sedikitnya menguasai 53 persen pangsa pasar benih dunia.[6]
Menurut laporan ETC group, sebuah kelompok aksi monitoring dan rekam-jejak teknologi, korporasi raksasa itu tengah meluncurkan berbagai insiatif di tingkat global, paska rejim regulasi paten, Sederhananya, agar mereka tidak terlihat mencolok sebagai oligarkis: meredakan regulator antitrust (berkaitan dengan persaingan usaha), melunakan para oposisi transgenik, sembari memajukan penguasaan pasar kolektif mereka. Sementara dua orang terkaya, Bill Gates dan Carlos Slim, juga melakukan tawar-menawar berkaitan aksesi plasma nutfah yang disimpan lembaga penelitian pertanian internasional. Enam korporasi -istilah ETC group "Big Six", melakukan manuver dengan membangun kesepakatan: menakuti-nakuti para pesaing, mengacaukan regulator, lulus praktik dari oligopoli dan dianggap sebagai tindakan amal, kedermawanan ala kartel. Mereka berlagak menjadi budiman di hadapan para petani. 
Kita mesti mengontrol dan tidak membiarkan hal ini terjadi. Dunia membutuhkan keanekaragaman hayati untuk mencapai hak atas pangan dan menggapai ketidakpastian perubahan iklim. Kita juga mesti menghargai, mendukung tindakan lokal seperti dilakukan Mbah Suko. Mbah Suko, seorang petani sekaligus kolektor benih padi lokal tradisional. Dengan lahan terbatas 0,3 hektar, dia telah melakukan pemuliaan benih selama bertahun-tahun, dan menghasilkan beras terbaik. Mbah Suko dihormati berbagai kalangan. Koleksi benihnya menjadi rujukan penting dunia.
Dalam film pendek "Kisruh Benih Padi", dengan produser Dede Ariwibowo, yang mendapatkan penghargaan dari Asia Pacific Rice Film Award 2008/2009, inisiatif tidak saja dilakukan Mbah Suko, akan tetapi kita juga mendapatkan berbagai insiatif mengokohkan benih di tangan komunitas.[7] Seperti, dari Ibu Inkan Harapan, seorang warga Bandung. Arsitek ini memanfaatkan loteng rumahnya untuk menanam padi. Tidak berlimpah hasilnya, tapi mencukupi kebutuhan dan mengeyangkan. Dan, juga seorang anak muda, Rizky, namanya. Bersama dengan para petani, dia bercocok-tanam padi organik. Targetnya, produk organik dengan harga terjangkau. "Makanan sehat, tidak mesti mahal," kata Rizky. 
Sementara di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, 18 Juli 2013, sembilan hakim konstitusi yang dipimpin Akil Mochtar, menjatuhkan putusan berkaitan uji materi UU Sistem Budidaya Tanaman.[8] Mereka mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian. Dalam amar putusannya, pasal 9 dan 12 dalam undang-undang tersebut, mesti mengecualikan perorangan petani kecil dalam negeri. Maka, para petani kecil tidak dapat dikriminalisasi dengan tuduhan tanpa izin, dalam melakukan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah, serta melakukan pemuliaan varietas.

Paccerakkang, 6 Agustus 2014


[1] "Vandana Shiva On Seed Saving and The Fight For Biodiversity". Wawancara Sarah van Gelder untuk edisi Musim Dingin, 2014, "How To Eat Like Our Lives Depend On It", Majalah YES!
[2] Istilah "revolusi hijau" pertama kali dinyatakan William Gaud, mantan direktur USAID, badan kerjasama pembangunan luar negeri Amerika Serikat, pada 1968: "ini merupakan perkembangan di sektor pertanian yang punya karakter revolusi. Bukan kekerasan seperti Revolusi Merah Soviet, bukan pula Revolusi Putih seperti Shah Iran. Saya menyebutnya, Revolusi Hijau". Revolusi Hijau merujuk pada serangkaian penelitian, pengembangan, dan pemindahan teknologi modernisasi pertanian di dunia sejak 1940-an: benih, perluasan irigasi, penggunaan pestisida kimiawi dan pupuk sintetik, dan distribusi benih hibrida.
[3] Juli 1944, Norman Borlaug Ernest (1914-2009), agronom Amerika Serikat, keturunan imigran Norwegia, mengakhiri karirnya di korporasi kimia DuPont, meninggalkan isterinya yang tengah hamil tua, terbang ke Meksiko dan bergabung di kantor di bawah sekretariat pertanian Meksiko itu. Hasil kerja Bourlaug merakit varietas semi-kerdil yang mendorong panenan berlimpah, menciptakan ketenaran akan inisiatif Revolusi Hijau dalam memberi makan dunia. Namun, benih ajaib Bourlaug tetap menimbulkan kontroversi, bahkan paradoks. Nama Bourlaug melesat bersamaan dengan angka statistik, namun tidak bagi mereka yang  berada di altar pengorbanan. Praktik monokulturisasi varietas tanam, di Indonesia dulu dikenal Komando Bimas, tidak berjalan bersama dengan ketulusan para petani. Mereka yang dipaksa, tidak terpublikasi secara luas. Konflik air dan erosi ekologis akibat pestisida dan pupuk kimia, tidak cukup terkontrol lewat angka statistik. Di beberapa tempat, masalahnya bukan kekurangan-pangan akibat sistem budidaya, namun pada soal land-reform.
[4] Mobil model-T produksi perusahaan otomotif Ford, merupakan inovasi yang diperkenalkan Henry Ford, pemilik Ford Motor Company. Inovasi Ford (Fordisme) berkenaan dengan manajemen organisasi: lini perakitan (assembly line) dan program "five dollar day", sebagai respon ketidakmampuan perusahaan menghadapi permintaan pasar yang melonjak. Metode lini-perakitan didorong dengan strategi fragmentasi dan simplifikasi, setiap rangkaian memiliki buruh masing-masing sehingga dapat terukur tempo dan ritme kerjanya. Program "five dollar day" adalah strategi menarik buruh dengan upah dua kali lipat agar terpenuhi ketersediaan jumlah buruh, sekaligus intensif bagi produktivitas kerja. Pada akhirnya, Ford dapat memproduksi mobil model-T secara massal. Analogi IR8 dengan model-T Ford, berkaitan dengan inovasi yang merespon produksi massif dan permintaan pasar.
[5] "Padi untuk Ketahanan Pangan", Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, International Rice Research Institute, 2010
[6] Laporan ETC Group, Communique September 2013. http://www.etcgroup.org
[7] Lihat, http://www.panap.net/en/r/post/rice-awards-aprfa-2008-09/556
[8] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 99/PUU-X/2012

Popular posts from this blog

Long Loreh, Batubara

HAMPIR tengah malam, telepon genggam saya bergetar. Di seberang sana, terdengar suara isteri saya bertanya, "lagi dimana ini". "Malinau," kata saya pendek. "Apa ada dalam peta," tanyanya lagi. Saya tak menjawab. Saya lalu hentikan percakapan. Melalui whatsapp, saya kirim peta Malinau padanya. Ia membalas dengan emoji senyum. Malinau berada di jantung Borneo. Sebuah kabupaten di Kalimantan Utara, berbatasan dengan Serawak, negara bagian Malaysia. Garis batas yang mengikuti punggung sebuah taman nasional, Kayan Mentarang. Rimba menghijau yang kaya spesies di Malinau sangat berarti bagi penghidupan berkelanjutan. Selain, memberi sokongan dalam menyerap karbon dioksida, salah satu gas rumah kaca yang mempengaruhi perubahan iklim global. Namun, orang-orang Malinau mesti kerja keras menjaga peradaban mereka dalam ekologi hutan hujan tropis yang khas itu. Sebagai bagian dari Kalimantan yang merupakan penghasil kayu terbesar di Indonesia,  dimana lebih 10 juta he

Kampiri, Ekonomi Kakao

AMELIA setengah berbisik di belakang punggung saya. “Itu yang katanya putus,” ujarnya. Saya menengok sekilas. Jarinya menunjuk sebuah kawat besi, yang terlilit pada penopang jembatan gantung. Sepeda motor kami berjalan tertatih, mengikuti pelat baja berlandas pada kayu-kayu yang menua.  Jembatan itu hanya selebar satu mobil. Terasa sedikit bergoyang, saat berpapasan dengan pengendara motor yang membawa ikatan besar rumput pakan sapi. Ketegangan baru terurai, lepas dari ujung jembatan, di Kampiri. Jembatan itu, orang menyebutnya: Jembatan Pacongkang, menghubungkan Desa Barang dan Desa Kampiri yang melintasi Sungai Walennae. Sungai besar yang sarat jejak arkeologis. Jembatan ini diresmikan Zaenal Basri Palaguna semasa menjadi Gubernur Sulawesi Selatan. Tanda tangan mantan Panglima Komando Daerah Militer Wirabuana itu tertera dalam prasasti, yang tertanam di sebuah beton tak jauh dari tiang penyangga jembatan. Kampiri adalah sejarah pemukiman tua. Sejauh apa yang saya pahami, ketika

Gudo, Lasem. Perjumpaan Negeri yang Berbeda

SAYA beruntung dapat menjejaki dua tempat: Gudo, Jombang dan Lasem, Rembang. Nah, bersiaplah dengan kisah perjalanan saya kali ini, menembus lorong waktu. Gudo dan Lasem, dua  tempat yang sebelumnya telah menggoda perhatian saya. Boleh jadi, karena keinginan perjumpaan akan ruang geografis etnis dan penghayatan subyektifnya yang berbeda dengan tempat lain di negeri ini, dalam memahami hubungan pasang-surut akibat pertikaian sosial. Atau , tertarik dengan kalimat akhir sebuah artikel yang mengutip tulisan para pecinta pemikiran Gus Dur di klenteng (untuk menyebut rumah ibadah Tionghoa) Gudo: "semakin kita berbeda, semakin jelas dimana titik persamaan kita". Di kedua tempat ini, Gudo dan Lasem, klenteng menjadi landmark (mercu-tanda) . Jarak keduanya,  cukup berjauhan. Jalan pintas terdekat, sekitar 180 kilometer, membelah punggung pegunungan kapur Kendeng. Dari Gudo menuju ke utara, lewat Tuban. Lalu ke arah barat, berjalan di atas jalanan warisan Gubernur Jenderal Hindia Bel

Atambua

MOTA AIN, 22 kilometer. Begitu yang saya baca, tulisan papan petunjuk jalan, selepas menyelusuri jalan berkelok-kelok tajam menuruni punggung perbukitan dari Kota Atambua. Pohon-pohon asam besar berjejer di tepian jalan, tapi terik matahari Timor masih terasa menyengat. Di atas mobil, musik dangdut koplo belum juga habis menghentak-hentak. Berlari kencang di atas jalanan mulus, melewati Atapupu, pelabuhan kontainer di utara Belu, menuju garis depan negeri ini. Kawan saya, seorang anak muda keturunan Timor Leste, bilang kalau kapal-kapal yang sedang merapat itu, membawa beras dan semen dari Makassar. Mota Ain, titik paling ramai, diantara jalanan ke tapal batas Timor Leste lainnya, termasuk daerah eksklave, Oecusse. Seingat saya, ketika saya masuk dari desa Fatuketi, jalanan menuju pintu masuk Oecusse, tidak seramai Mota Ain. Beberapa ruas jalannya pun buruk. Kalau pun Mota Ain ramai, karena lebih dekat dengan Dili, hanya butuh waktu 2-3 jam saja. Menuju titik batas, jalan seki

Buru

BURU. Sebuah nama, lekat dalam ingatan sejarah. Buru mengingatkan kita pertama pada, tahanan politik (Tapol) paska peristiwa 1965. Terakhir, para penambang liar yang memburu emas. Untuk pertama kalinya, saya menjejakan kaki di tanah Buru, di Namlea. Sebelum subuh tiba.  Sehabis melaut delapan jam dari Galala, Ambon. Tidak semua orang bisa naik kapal laut. Kita seperti dikocok-kocok. Selepas Tanjung Allang, di Laut Banda, kapal besi yang saya tumpangi mulai berjalan terhuyung dihantam gelombang besar. Sekitar 49 tahun silam, dari cerita-cerita yang ada. Sebuah kapal apkiran Perang Dunia II yang berkarat, hampir karam di laut ini. Kapal itu yang mengirim "orang-orang merah" dari dermaga Sodong, Nusakambangan ke Pulau Buru, pada 17 Agustus 1969. Mereka diasingkan, dibuang begitu saja, tanpa pernah diadili. "Aku menuju ke happy land somewhare,"  tulis Pramoedya Ananta Toer dengan nada satire, dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. " Kami berangkat bersama lebih delapan