Skip to main content

Presiden, Budaya Pop

"Politics is just like show business" -Ronald Reagan, http://quotationsbook.com/quotes/author/6022/

SORE menjelang magrib. Dalam sebuah konser, di sebuah stadion olahraga yang dibangun dengan uang pinjaman dari Uni Soviet. Seorang calon presiden berlari ke ujung panggung, yang menjorok di depan, tepat dihadapan massa yang tumpah ruah. Suara gitar mengelegar, mengiringi Si Bung, calon presiden itu, ketika hendak menyapa massa. Riuh massa memekak telinga. Belasan bendera bergambar kupu-kupu, dikibarkan para penggemar sebuah group band, nampak melambai-lambai di udara. Yup, sebuah group band rock, yang bersinar di negeri ini lantaran predikat berbayaran tinggi dan memiliki jutaan penggemar fanatik anak muda. Sebelumnya, mereka telah menciptakan dan merekam sebuah lagu kampanye sang calon presiden. Lagu ini lantas disebar melalui jaringan televisi dan media-sosial. Si Bung, kabarnya, juga seorang penyuka musik rock Metallica, group band asal L.A California. And Justice for All, saya tiba-tiba teringat sepenggal lirik lagu dari Metallica yang bertempo cepat itu: 
The ultimate in vanity/Exploiting their supremacy/I can't believe the things you say/I can't believe the price you pay/Nothing can save you//Justice is lost/Justice is raped/Justice is gone/

photo credit: Chris Devers via photopin cc 
Konser musik, elan massa berbagai kelompok sosial, euforia media sosial, efek industri media massa. Sejumlah titik atau kode yang dapat diidentifikasi, diinvestigasi, saling berangkaian dalam perjalanan seseorang menjadi presiden. Saya pikir, mungkin hal ini terinspirasi usaha Barack Obama ketika menggunakan cara yang berbeda atau yang belum pernah digunakan para presiden Amerika sebelumnya. Dia membawa politik dan budaya pop secara bersama-sama, tanpa garis demarkasi. Obama tidak sekedar melawan doxa, akal sehat kebanyakan orang, tapi sekaligus melawan dogma, representasi Barat mengenai imajinasi identitas Afro-Amerika yang diikat di dalam keranjang sejarah dan ingatan. 
Jika Obama menghiasi sampul depan majalah musik Rolling Stone edisi Oktober 2008, Tony Blair, ketika menjabat perdana menteri Inggris, memetik gitar listrik, laksana musisi pop-rock Eric Clapton, bermain bersama dalam sebuah band musik. Potret aktivitas bermusik Blair ini disebarkan media massa, sepekan sebelum Inggris mengumumkan kebijakan luar-negerinya mengenai masalah Irak. Atau, Bill Clinton, sewaktu menjadi kandidat Presiden Amerika Serikat, memainkan saxophone dalam sebuah program acara talk-show televisi, The Arsenio Hall Show, yang kemudian oleh sejumlah kalangan dianggap sebagai momen penting mendongkrak popularitas Clinton di kalangan minoritas dan anak muda. Keduanya memang menyeberangkan politik ke budaya pop, namun berada dalam batas-batas tertentu. Sejumlah kalangan menyatakan sebagai fenomena "politisi-selebriti". Boleh jadi, mereka mengkreasi komunikasi politik guna meningkatkan dukungan politik, atau malah sebaliknya mendangkalkan (banalistas) sebagai "hiburan" (pencitraan) belaka tanpa keterberpikiran dan imajinasi politik secara serius.
photo credit: PropagandaTimes via photopin cc 
"Politik adalah budaya pop,"kata sohib saya mengawali diskusi malam itu, di sebuah warung kapurung (hidangan khas Luwu, makanan berkaldu ikan beraroma asam patikala, sayuran dan udang bercampur bersama bola-bola sagu), dekat kampus Universitas Islam Makassar. Mula-mula dia menggelisahkan terhadap pertanyaan-pertanyaan baru dalam keseharian: pemilihan presiden tanpa presensi avant-garde. Tafsir avant-garde sohib saya ini, seperti mengajak untuk menyatakan kesenian menjadi alat paling cepat mereformasi ekonomi politik. Agak revolusioner. Tidak sekedar mengubah watak wilayah estetik. 
Kita seperti menemukan kembali situs passion, bahkan front perlawanan organisasi situationiste internationale (SI), yang dibentuk di sebuah desa kecil di Perancis pada 1957. Atau, menghadirkan kembali kegelisahan Guy Debord, seorang pemikir Perancis, salah satu pendiri SI, soal: spectacle (dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan secara sederhana sebagai, tontonan). Debord membuka argumentasinya, dalam society of spectacle, yang kurang lebih seperti ini: masyarakat telah didominasi kondisi-kondisi produksi modern, segala sesuatu yang sebelumnya dihidupi, telah disusutkan ke dalam sebuah representasi. Dunia dijungkir-balikan, sehingga kebenaran dijadikan momen kepalsuan. 
Kita dapat mengurainya, dengan kembali membaca orang-orang yang pertama kali mempersoalkan budaya pop. Para intellektual yang bergabung dengan Mazhab Frankfurt. Budaya pop yang semula budaya "rakyat-kebanyakan", telah dilucuti, dilebur ke dalam "industri budaya massa". Istilah yang dapat ditelusuri dalam pemikiran Karl Marx, jika boleh saya sederhanakan, perkara: "sirkuit-uang", akumulasi kapital. Produk budaya pop disebar secara masif, dengan memakai kekuatan ekonomi, bertali-temali dengan industri media massa, dan dikonsumsi para konsumen yang pasif, tanpa pilihan.
Bahkan, budaya "rakyat-kebanyakan" itu sejatinya dirampas, diculik oleh industri budaya massa, lantas dikemas sebagai representasi, dan dijual kembali ke masyarakat. Imajinasi-imajinasi arsitektur, tata kota, pendidikan, kesehatan, hubungan sosial, dalam kepala orang-orang yang didominasi dan ditindas, dibentuk, dibangun, melalui momen kepalsuan yang dikemas industri budaya massa. Imajinasi-imajinasi itu yang dikonstruksi melalui iklan, sinetron, buku-buku bacaan, mesti diinvestigasi lebih lanjut, boleh jadi hanya menjadi bagian dari escapisme. Atau, kalau boleh meminjam istilah George Lukacs: reifikasi, yang membekap hubungan harmonis antar manusia, direduksi menjadi relasi alat produksi. Saya jadi ingat, bagaimana orang-orang yang diajak, dibujuk, untuk kredit sepeda motor, mereka dilayani dengan keramahtamahan dan senyuman. Akan tetapi, ketika mereka menunggak, maka mereka akan berhadapan dengan debt-collector yang bertubuh gempal dan bermuka sangar. So, keramahtamahan tiada tara dan senyuman yang mengembang itu digerakan oleh relasi alat-produksi, tidak sama sekali bermuara dari ketulusan atau hubungan manusiawi, sifat asali manusia.
photo credit: Alan Denney via photopin cc 
Spirit in the material world. Sebuah lagu dari  The Police, group band bergenre new wave, yang ditulis Sting, yang mengelorakan hati saya, ketika saya mulai belajar mendengar musik punk-rock atau ska pada saat duduk di bangku sekolah menengah atas, pada 1982. Di sebuah kota kecil, dekat Surabaya. Meski rasanya, saya agak terlambat dalam belajar mendengar musik genre new wave. Sepenggal lirik pembuka lagu ini, agak luar biasa bagi saya, dalam pembacaan dinamika politik tahun 1980an:
There is no political solution/To our troubled evolution/Have no faith in constitution/There is no bloody revolution//We are spirit in the material world/Are spirit in the material world/ 

Lapadde, Pare Pare, 16 Agustus 2014



Popular posts from this blog

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis...

Kuasa-Kata, Semangkuk Pallubasa

KARENA Jawa adalah kuncinya.  Frasa politik ini begitu populer. Hal yang sama juga terjadi saat percakapan tentang elektoral, yang bertautan dengan pemilih. Jawa menjadi tulang punggung demografis Indonesia. Juga dianggap sebagai jantung kebudayaan dan politik. Kalau begitu, agak lebih jauh lagi, apakah budaya Jawa turut mengkonstruk imaji politik dalam frase tersebut. Saya agak tergoda mencari tahu. Apalagi mesin politik sudah menyala. Kick off, partai-partai politik mengajukan kandidat. Komunikasi politik mulai berjalan, terkadang menimbulkan ambiguitas, tak jarang menciptakan kesadaran magis. Itu pula yang membuat saya membaca kembali buku ini, buku tua. Tapi saya rasa, dapat memandu untuk keperluan itu. Diterjemahkan dari buku: Language and Power, Exploring Political Culture in Indonesia. Diterbitkan pertama kali, lebih dari 30 tahun lalu. Penulisnya, Benedict Anderson. Seorang antropolog sekaligus sejarawan politik. Buku ini kumpulan esainya.  Salah satu pencarian Anderso...

Makassar, Subaltern

BETAPA sulitnya menulis masa lalu. Abdul Rasyid Idris, seorang kawan, memberi saya tiga buku berharga di ujung Syaban. Salah satu buku, dari tiga buku karyanya, bertajuk: Anging Mammiri, Jejak Makassar Tempo Dulu. Rasanya, buku ini bukan sebuah produk industri nostalgia yang dimaksudkan memicu perasaan melankolik setiap orang. Saya sendiri tak hendak mencari tahu dalam buku ini, ketika memenuhi kerinduan akan sebuah lapak kopi di selasar Pasar Cidu'. Sebuah lapak yang menjual kopi yang lebih enak dan harganya lebih murah berkali-kali lipat dari Starbucks. Secangkir kopi yang bikin mata melek, yang bisa menghidupkan ekonomi orang pasar siang malam. Saya pikir, kawan saya ini tidak terperangkap ke dalam kerinduan masa lalu. Akan tetapi, ia melakukan pembacaan kembali, hal-hal apa yang hadir menjadi ingatan. Apa yang dialaminya dalam ruang temporal (masa lalu). Hanya saja, bahasa menyimpan problem internal, ketika menghadirkan kembali (re-presentasi). Coba kita membayangkan denga...

Lord of War

There are over 550 million firearms in worldwide circulation. That's one firearm for every twelve people on the planet. The only question is: How do we arm the other 11? (Yuri Orlov-diperankan aktor Nicolas Cage, dalam film “Lord of War”, produksi 2005) FARIZ Panghegar, seorang kawan, menyusupkan sejumlah film bioskop ke dalam laptop saya, di tengah-tengah keseriusan membaca buku Panen Lontar karya James J. Fox sampai larut malam. Semula, saya hanya memintanya menyimpan sebuah film tua yang populer saja, seperti " The Insider " atau " Fair Game ". Esok paginya, saya sungguh terkejut, laptop saya seperti gudang penyimpanan film. Namun, koleksi film yang disimpan Fariz, saya pikir, bukanlah bersifat manasuka, melainkan memiliki jalinan yang mungkin tidak dibayangkan sebelumnya. Mulai dari film pemogokan buruh Inggris pada masa ortodoksi neo-liberal Margaret Thatcher, hingga rekonsiliasi Nelson Mandela alias Madiba. Tidak seluruhnya film bikinan Hollywood, te...