Skip to main content

Petobo, Tragedi

BUNG ada dimana pada saat 28 September 2018. Apa yang bung saksikan. Saya bertanya pada seorang lelaki di salah satu sudut ruangan. Umar, namanya. Rumah di Petobo. Bung, boleh ceritakan itu. Pinta saya melanjutkan pertanyaan awal. Enam bulan setelah terjadi bencana yang menghebat di ujung senja di Palu, Sulawesi Tengah. Umar, adalah seorang penyintas, orang yang selamat dari kejadian bencana. Bencana gempa bumi yang menewaskan ratusan orang, meratakan pemukiman. Gempa bumi berkekuatan 7,5 pada skala richter. Gempa yang sekaligus mengirim gelombang tsunami dan likuifaksi. Dengan kecepatan sekitar 800 kilometer per jam, tsunami setinggi  5 meter dari tengah laut itu melumat pantai Talise, hanya dalam hitungan detik saja. Gempa itu pula yang mencairkan tanah (likuifaksi), melumerkan, kemudian menenggelamkan Petobo dan Balaroa, juga Jono Oge dan Sibalaya. Ketika pertama kali saya mendengar likuifaksi di Palu, rasanya langsung teringat akan kalimat dalam bahasa sansekerta yang membatin. Sirna ilang kertaning bumi, hilang lenyap ditelan bumi. Kalimat yang ditafsir dari angka-angka mistis candrasengkala, tahun yang dihitung berdasar perputaran bulan. Tafsiran itu seringkali dipakai menandai keruntuhan Kerajaan Majapahit, 1400 Saka (1478 Masehi). Sekalipun masih menuai perdebatan, kapan kerajaan tersebut benar-benar berakhir.
Saya lalu menuju Petobo. Di selatan kota Palu. Dari arah Jalan Dewi Sartika, belok kiri masuk ke sebuah jalan. Nama jalannya sudah rebah menempel di tiang listrik. Sebuah jalan yang bernama daripada nama bekas presiden di negeri ini: Haji Muhammad Suharto. Jalan itu memiliki ruas cukup pendek, kira-kira tidak sampai 500 meter. Sampai batas tumpukan balok-balok kayu melintang mirip barikade. Kita hanya bisa jalan kaki menuju gundukan tanah yang meninggi sekitar 3-5 meter. Anwar, sopir kami, lantas menepikan mobil di depan sebuah rumah bersalin. "Likuifaksi itu sampai pas di sini itu batasnya," tutur Anwar sembari menunjuk tembok samping bangunan rumah bersalin. Tembok itu utuh. Saya pun menjadi mengerti. Rupanya, hampir sepanjang Jalan Suharto beserta pemukiman disekitarnya, digulung likuifaksi saat itu. Menyeretnya jauh, hingga berakhir di sisi tembok samping bangunan rumah bersalin. Gundukan tanah berlumpur itu menjadi monumen ingatan. Saya kemudian menapaki jalan terjal di atas tanah berlumpur yang telah lama mengering itu. Puing rumah-rumah yang terhampur, bertumpuk tak beraturan. Jasad-jasad manusia yang masih terpendam. Bangkai mobil, bangkai sepeda motor, berserakan dimana-mana. Juga, terdapat cekungan tanah berair berwarna hitam.
 
 
Sebelum magrib, sudah terjadi gempa. Umar mengawali ceritanya pada saya mengenai likuifaksi di Petobo. Betul-betul gempa yang dahsyat, lebih dahsyat daripada 2004. Sangat spontan, tidak ada jeda, langsung retak tanah, terus naik lumpur. Rumah kami berada di bawah tanggul (saluran irigasi Gumbasa). Tanggul sudah penuh berisi air, waktu itu. Saat gempa, air naik dari dalam tanah. Seperti lumpur. Saya teriak pada anak isteri, untuk keluar jangan ada dalam rumah. Rumah saya mulai retak. Lumpur mulai naik. Tanah mulai bergerak. Saya jatuh bangun. Enam meter jaraknya dari saya, tanah bergelombang. Masih ada seorang anak saya dalam rumah. Isteri saya masuk kembali ke dalam rumah, menolong si bungsu yang terjepit. Saya langsung jemput anak saya, saya gendong. Sementara, tanah itu bergerak, tanah itu berjalan. Saya bilang sama anak isteri, tetap jalan saja, jangan injak lubang atau lumpur. Jadi, kami diseret tanah yang bergerak hampir satu kilometer. Saya hampir tenggelam, sebatas paha, tapi saya berhasil naik lagi. Saya menoleh ke belakang, terdengar suara gemuruh air. Rupanya, tanggul itu jebol. Kita harus cari tempat yang lebih tinggi, saya bilang sama anak isteri. Sampai di tempat yang tinggi, saya lihat lumpur itu lewat. Saya mendengar banyak orang minta tolong. Tapi, saya tidak bisa bikin apa-apa. Sedikit saja kita melangkah, kita tenggelam, dihisap lumpur. Umar mengakhiri ceritanya. Tapi, dari raut mukanya, nampak kesedihan itu belum berakhir.
Di negeri ini, sebagian besar dari kita memang hidup di atas patahan. Kita berdiam di lingkar gunung-gunung api. Kita dekat, dekat sekali dengan tragedi. Saya kemudian, bertanya hal yang sama, seperti dengan Umar, pada Risma, seorang ibu dari Jono Oge. Ia bercerita mengenai anaknya: "Masih trauma betul dengan kejadian itu. Waktu itu, dia ada dalam klinik. Tiba-tiba tanah ambruk, turun ke bawah. Dia tidak bisa keluar. Pintu klinik tertutup, tidak bisa terbuka. Waktu dia dapat keluar, lihat motor sudah terbanting semua. Anak saya lari sambil menangis. Lapangan depan klinik, tanahnya bergelombang seperti air". Tragedi kerapkali disandingkan dengan kata-kata tragis, kemalangan, trauma, atau apapun situasi yang tak terkatakan lainnya. Seorang ibu, yang duduk di samping Umar, matanya berkaca-kaca, hanya terisak. Saya pun menangguhkan sementara pertanyaan padanya mengenai peristiwa bencana itu. Bagaimana cara kita sesungguhnya memahami tragedi. 
Asal kata "tragedi" itu merujuk pada genre drama (atau, semacam ritus di mezbah atau altar) Yunani. Boleh jadi, ketika mendengar lagu yang dirilis grup band rock God Bless, dimana liriknya ditulis penyair Taufik Ismail: Panggung Sandiwara. Disebut, tragedi dari Yunani. Atau mungkin, dari buku "Lahirnya Tragedi" yang ditulis filsuf Friedrich Nietzche. Drama atau teater Yunani yang paling kuno, tragedi Athena, sekitar abad 5 sebelum Masehi. Dalam ingatan kita yang populer adalah, tragedi dalam trilogi Oidipus. Tokoh yang membunuh ayahnya, dan menikahi ibunya sendiri. Pertanyaan agak serius selanjutnya, apa yang dipikirkan orang Yunani saat itu tentang kata "tragedi"? Penjelasan paling awal mengenai tragedi dilakukan oleh Aristoteles, filsuf Yunani murid Plato. "Tragedi adalah mimensis (tiruan) dari tindakan yang membangkitkan belas kasihan dan ketakutan," kata Aristoteles. Tragedi menjadi kartasis, dengan cara mengalami dan menyelesaikan. Baginya, yang terpenting dari semuanya adalah struktur insiden. Lanjut Aristoteles lagi, tujuan tragedi bukanlah penderitaan, akan tetapi mentransformasi pengetahuan yang muncul darinya, sebagai peristiwa pencerahan.
Saya pikir, bagi mereka yang hidup di atas patahan Palu Koro, sesar yang membelah jantung kota Palu, tragedi tsunami bukanlah kejadian yang pertama kali. Jejak sejarah tsunami di Palu, juga terekam pada 1927. Saya sangat tertarik ketika mengetahui, lokasi peristiwa tsunami pada saat itu menjadi tanda semiotik nama tempat: Kaomboa (tanah runtuh, tanah hilang). Atau, Balaroa dulunya bernama Lonjo (terbenam). Dalam bahasa Kaili, masyarakat tempatan yang mendiami sebagian besar Sulawesi Tengah, likuifaksi memiliki nama lain nalodo (terbenam) Juga, asal-usul nama kota Palu, Topalu'e, tanah yang terangkat. Toponimi, menelusuri nama tempat atau entitas geografis, akan sangat membantu mengidentifikasi jejak bencana. Saya rasa, toponimi tidak hanya mengandalkan, peta dan sejarah, akan tetapi juga kisah yang dituturkan rakyat. Karena, kisah mengandalkan ingatan yang hidup dan otentitik. Ingatan sebagai literasi. Literasi menawarkan pada kita, penghayatan subyektif atas ruang geografis. Dalam situs Mongabay, saya menemukan artikel mengenai kampung tua Kinta. Kinta dimaknai sebagai serambi, teras. Kampung yang telah menjadi bagian dari Petobo. Hanya saja yang membedakan, kampung ini utuh, tidak tergulung likuifaksi, tidak ada yang retak, tidak ada jalan yang terbelah. Hanya, 60 orang saja yang bisa mendiami kampung ini. Artinya, ini adalah pola pemukiman etnis yang dapat kita temukan dalam pembacaan literasi, selain cerita migrasi. Sore itu hampir di penghujung, saya masih di Petobo, saya masih melihat sejumlah orang selfie, welfie, atau groupfie di atas timbunan lumpur, di atas puing. Saya pun bertanya-tanya, apa yang mereka pahami soal tragedi.

Paccerakkang, 26 Juni 2019 


Popular posts from this blog

Long Loreh, Batubara

HAMPIR tengah malam, telepon genggam saya bergetar. Di seberang sana, terdengar suara isteri saya bertanya, "lagi dimana ini". "Malinau," kata saya pendek. "Apa ada dalam peta," tanyanya lagi. Saya tak menjawab. Saya lalu hentikan percakapan. Melalui whatsapp, saya kirim peta Malinau padanya. Ia membalas dengan emoji senyum. Malinau berada di jantung Borneo. Sebuah kabupaten di Kalimantan Utara, berbatasan dengan Serawak, negara bagian Malaysia. Garis batas yang mengikuti punggung sebuah taman nasional, Kayan Mentarang. Rimba menghijau yang kaya spesies di Malinau sangat berarti bagi penghidupan berkelanjutan. Selain, memberi sokongan dalam menyerap karbon dioksida, salah satu gas rumah kaca yang mempengaruhi perubahan iklim global. Namun, orang-orang Malinau mesti kerja keras menjaga peradaban mereka dalam ekologi hutan hujan tropis yang khas itu. Sebagai bagian dari Kalimantan yang merupakan penghasil kayu terbesar di Indonesia,  dimana lebih 10 juta he

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis

Kampiri, Ekonomi Kakao

AMELIA setengah berbisik di belakang punggung saya. “Itu yang katanya putus,” ujarnya. Saya menengok sekilas. Jarinya menunjuk sebuah kawat besi, yang terlilit pada penopang jembatan gantung. Sepeda motor kami berjalan tertatih, mengikuti pelat baja berlandas pada kayu-kayu yang menua.  Jembatan itu hanya selebar satu mobil. Terasa sedikit bergoyang, saat berpapasan dengan pengendara motor yang membawa ikatan besar rumput pakan sapi. Ketegangan baru terurai, lepas dari ujung jembatan, di Kampiri. Jembatan itu, orang menyebutnya: Jembatan Pacongkang, menghubungkan Desa Barang dan Desa Kampiri yang melintasi Sungai Walennae. Sungai besar yang sarat jejak arkeologis. Jembatan ini diresmikan Zaenal Basri Palaguna semasa menjadi Gubernur Sulawesi Selatan. Tanda tangan mantan Panglima Komando Daerah Militer Wirabuana itu tertera dalam prasasti, yang tertanam di sebuah beton tak jauh dari tiang penyangga jembatan. Kampiri adalah sejarah pemukiman tua. Sejauh apa yang saya pahami, ketika

Gudo, Lasem. Perjumpaan Negeri yang Berbeda

SAYA beruntung dapat menjejaki dua tempat: Gudo, Jombang dan Lasem, Rembang. Nah, bersiaplah dengan kisah perjalanan saya kali ini, menembus lorong waktu. Gudo dan Lasem, dua  tempat yang sebelumnya telah menggoda perhatian saya. Boleh jadi, karena keinginan perjumpaan akan ruang geografis etnis dan penghayatan subyektifnya yang berbeda dengan tempat lain di negeri ini, dalam memahami hubungan pasang-surut akibat pertikaian sosial. Atau , tertarik dengan kalimat akhir sebuah artikel yang mengutip tulisan para pecinta pemikiran Gus Dur di klenteng (untuk menyebut rumah ibadah Tionghoa) Gudo: "semakin kita berbeda, semakin jelas dimana titik persamaan kita". Di kedua tempat ini, Gudo dan Lasem, klenteng menjadi landmark (mercu-tanda) . Jarak keduanya,  cukup berjauhan. Jalan pintas terdekat, sekitar 180 kilometer, membelah punggung pegunungan kapur Kendeng. Dari Gudo menuju ke utara, lewat Tuban. Lalu ke arah barat, berjalan di atas jalanan warisan Gubernur Jenderal Hindia Bel

Buru

BURU. Sebuah nama, lekat dalam ingatan sejarah. Buru mengingatkan kita pertama pada, tahanan politik (Tapol) paska peristiwa 1965. Terakhir, para penambang liar yang memburu emas. Untuk pertama kalinya, saya menjejakan kaki di tanah Buru, di Namlea. Sebelum subuh tiba.  Sehabis melaut delapan jam dari Galala, Ambon. Tidak semua orang bisa naik kapal laut. Kita seperti dikocok-kocok. Selepas Tanjung Allang, di Laut Banda, kapal besi yang saya tumpangi mulai berjalan terhuyung dihantam gelombang besar. Sekitar 49 tahun silam, dari cerita-cerita yang ada. Sebuah kapal apkiran Perang Dunia II yang berkarat, hampir karam di laut ini. Kapal itu yang mengirim "orang-orang merah" dari dermaga Sodong, Nusakambangan ke Pulau Buru, pada 17 Agustus 1969. Mereka diasingkan, dibuang begitu saja, tanpa pernah diadili. "Aku menuju ke happy land somewhare,"  tulis Pramoedya Ananta Toer dengan nada satire, dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. " Kami berangkat bersama lebih delapan