Skip to main content

Bangsa yang Ringkih dan Sensitif

KALAU kita bisa melipat sisi kiri-kanan peta Indonesia menjadi dua bagian. Maka di timur Indonesia, merupakan kawasan yang paling majemuk. Dibanding di wilayah barat, lebih beragam bahasa dan jumlah etnis dengan populasi yang lebih sedikit. Ibarat mozaik kebudayaan yang disusun beragam perbedaan. Namun, sesungguhnya sangat rapuh, ringkih, sekaligus sensitif. Selain, secara geografis kawasan ini merupakan cincin api, hidup di atas patahan dan lingkar gunung api. Fakta lainnya, situasi paradoks juga dapat disaksikan di kawasan ini. Tempat masuk para pendatang memulai hidup, tapi di sisi lain sekaligus menjadi tempat keluarnya para pengungsi akibat konflik. Pengungsian itu sendiri sudah ada sejak pada masa awal kemerdekaan. Sayangnya, pengungsian di negeri sendiri sering gagal dipahami. Tempat ini juga kerapkali diandaikan seperti hidup di atas padang ilalang, dipenuhi rumput kering, gampang sekali terbakar dengan sedikit semburan lidah api. Buku yang ditulis Gerry van Klinken, Perang Kota Kecil, dapat membantu kita memahami asal-usul konflik, yang biasanya diawali kericuhan kecil di suatu tempat. Namun, kericuhan kecil itu bukanlah penyebab tunggal dari konflik yang kemudian membesar dengan skala meluas.

Kita kembali dulu ke masa lampau. Di Bawah Bendera Revolusi, Soekarno membawa gagasan sastrawan Perancis, Ernest Renan. Apa itu Bangsa. Sebuah esai Renan yang dirayakan pertama kali di Sorbonne, 1882. Berjarak waktu 63 tahun, ketika teks proklamasi itu dibacakan di Pegangsaan Timur, Jakarta. Teks yang hadir ketika itu sebagai suatu petanda identitas: kita menjadi "sebuah bangsa". Seusai berseru, Nasionalisme! Kebangsaan! Soekarno berikutnya menulis gagasan Renan. "Bangsa" itu menurut pujangga ini ada suatu nyawa, suatu asas akal, yang terjadi dari dua hal: pertama-tama rakyat itu dulunya harus bersama-sama menjalani suatu riwayat; kedua rakyat itu sekarang harus mempunyai kemauan, keinginan hidup menjadi satu. Bukannya jenis (ras), bukannya pula batas-batas negeri yang menjadikan "bangsa" itu. 
Tapi, sebagaimana dalam catatan sejarah dikemudian hari, percakapan ras dan batas-batas oleh para pendiri republik sempat mengundang perdebatan panjang, sebelum diakhiri keputusan mayoritas. Bangsa nyatanya memang bukan negara. Bangsa nampak lebih kultural daripada "negara" yang terbentuk secara politis. Lalu, apa sebenarnya yang mengikat menjadi "suatu bangsa". Renan mendaku: le désir d'être ensemble. Hasrat untuk bersama. Apakah hasrat itu sesuatu yang alami dan abadi. Ataukah, bangsa itu lahir di ruang hampa. Apakah nasionalisme terbentuk secara spontan dan manasuka. Darimana muasal nasionalisme.
Satu hal yang kemudian mengusik sejarahwan Benedict (Ben) Anderson untuk menjelajah dan mempelajari sebaran nasionalisme (ke-bangsa-an), terutama di kawasan yang majemuk. Kata nasionalisme bukan ideologi politik, akan tetapi orang  rela mengorbankan nyawa demi kata tersebut. Karyanya, dikutip banyak orang, Imagined Communities, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai: Komunitas Komunitas Terbayang, memiliki kontribusi besar dalam memahami spektrum "bangsa". Kata Ben Anderson,  bangsa adalah komunitas politik yang terbayang secara terbatas-inheren dan berdaulat. Dalam benak masing-masing para anggota bangsa itu, hidup akan bayangan kebersamaan mereka. Sekalipun mereka tidak saling kenal, tidak pernah bertatap muka, bahkan mungkin tidak pula pernah saling  mendengar satu dengan yang lain. 
Kesadaran ini muncul dalam ruang dan waktu tertentu, beserta peristiwa yang dapat mengikat ingatan atau pengalaman kolektif. Bahasa dan sistem penandaan budaya lainnya memainkan peran penting dalam konteks ini. Adalah keajaiban nasionalisme, ujar Ben, yang mengubah kesempatan menjadi takdir. Maka, kita dapat menafsirkan setiap bangsa punya takdir masing-masing. Takdir bangsa itu partikular, unik, sui generis. Kapan kita menjadi sebuah bangsa, kapan kita berhenti menjadi satu. 
Renan mendaku, bangsa adalah jiwa. Jika jiwa itu lelah dan terluka, karena kefakiran, ketimpangan, kekerasan, penyingkiran, maka kita tengah mengakhiri takdir kita.  Seperti,  mengutip kata seorang sahabat saya, jiwa yang merana yang segera meninggalkan tubuh. Apa yang kita bayangkan, jika meneguhkan nasionalisme dengan cara "penaklukan" atas identitas multikultural. Atau, menguatkan oligarki, ketika kita berada pada masa bonus demografi. Ketika, tempo hari, ribuan anak muda, yang lahir setelah satu rezim tumbang pada 1998, itu turun ke jalan. Pamplet yang mereka usung pun, sangat berbeda dengan pamplet 20 atau 40 tahun silam. Mereka sedang melawan oligarki kekuasaan. Apakah kita sedang melawan takdir.
Coba dengarkan orang-orang yang sedang mencari bangsa. Mereka yang terkumpul di perbatasan, di tengah budaya yang asing. "Di mana kita harus pergi setelah perbatasan terakhir? Di mana burung-burung harus terbang setelah langit terakhir? Di mana tanaman harus tidur setelah menghirup udara terakhir?" Larik puisi yang ditulis Mahmoud Darwish, penyair Palestina. Dalam karyanya, Palestina menjadi metafora untuk kelahiran, kebangkitan, penderitaan, perampasan, pengasingan. Pada akhirnya, bangsa adalah lokalitas. Jiwanya hanya bisa tercerap melalui literasi lokal. Itu pula, mengharuskan kita membaca narasi bangsa dari margin, dari pinggiran, dari mereka di-marginal-kan.

Paccerakang, 3 Oktober 2019


Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Narmada dan Bili-bili

DESA Narmada, di India dan Bili-bili, di Indonesia, dua tempat berjauhan dengan satu kisah yang sama: soal pengorbanan dan proyek bendungan. Arundhati Roy, perempuan pemikir kelahiran India dan seorang sarjana arsitektur, dalam ”The Cost of Living”, menggambarkan dua perkara tersebut dapat dipersinggungkan, dirajut, dan dipertalikan: mistisfikasi nasionalisme dan eskalasi bantuan dari Lembaga Keuangan Internasional. Di Indonesia, “The Cost of Living” sudah dialih-bahasakan dan diedarkan sekitar dua tahun lalu, dalam bentuk novel non-fiksi (berisi fakta dan perasaan Arundhati Roy).

Pangan, Antibiotika, Oligarki

" ANTIBIOTICS off the menu ", demikian kampanye yang diluncurkan organisasi konsumen internasional pada tahun ini. Penggunaan antibiotika yang berlebihan menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan global, kita akan berhadapan dengan bakteri (mikroba) yang resisten (kebal) terhadap antibiotika. Hingga pada suatu hari, kita menjumpai kenyataan, antibiotik tidak lagi bisa melawan bakteri. Hanya sedikit goresan saja, orang bisa saja mati terbunuh. Boleh jadi, Alexander Fleming penemu antibiotika penisilin, yang mengobati infeksi, tidak menyangka kalau produksi antibotika tidak saja berada lini industri farmasi, namun berlipat ganda dengan industrialisasi pertanian dan peternakan. Fleming pun menyebutnya sebagai penemuan secara kebetulan. " Ketika saya bangun tidur, setelah fajar menyingsing, 28 September 1928, saya sama sekali tidak berniat merevolusi semua obat dengan penemuan antibiotik atau bakteri pembunuh ,"ujarnya. Sekitar setengah dari produk antibi...

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis...

Kedermawanan Ala Kartel

" The new technologies like the technologies of the green revolution and bio technologies, devalue the cultural and traditional knowledge embodied in the seed, and erode the holistic knowledge of the seed from the community " (The right to save and share seed -  http://www.navdanya.org/) INI negara Res Publica, bukan Res Privata. Begitu pesan kuat yang saya baca dalam pledooi terdakwa Kunoto alias Kuncoro bin Mirin. Nota pembelaan perkara pidana ini dibacakan tim kuasa hukum Kunoto di Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri, Jawa Timur, 24 Mei 2010. Kunoto, seorang petani, dicokok polisi, 16 Januari 2010, di teras rumah di Desa Toyoresmi, ketika sedang menimbang benih jagung dan menjualnya dalam bentuk curah pada seseorang. Jaksa mendakwa Kunoto, terbukti bersalah, melakukan tindak pidana mengedarkan benih bina yang tidak sesuai dengan label, melanggar Undang Undang Sistem Budidaya Tanaman.  Lima tahun sebelumnya, Tukirin, seorang petani dan penangkar benih jagung asal Nganju...