Skip to main content

Quiqui, Perlawanan Budaya

CUACA di luar beranjak basah sore itu, sekelompok ibu mulai belajar menyulam. Gulungan benang warna-warni terserak di lantai. Ujung benang terselip di antara jemari mereka, bersamaan jarum sulam berayun-ayun memutar membuat pola. Mereka duduk melingkar sembari bercakap-cakap di sekolah pelopor keadilan, tak jauh dari jembatan merah Maccini Sombala, Makassar. Mereka menyulam di tengah percakapan dunia yang ringkih dan permisif terjadinya praktik kekerasan. Menyulam, dalam bahasa Bugis Makassar disebut "qui-qui", kabarnya dibawa pedagang Gujarat pada masa kejayaan kerajaan Gowa-Tallo. Saya sendiri tergoda dengan argumentasi: kenapa ada pelajaran menyulam di sekolah tersebut.
Kata isteri saya: simulasi motorik. Belajar menyulam mensimulasi agar mereka lebih telaten dan fokus mendengar suara korban dan bisa menulis secara terstruktur kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Saya jadi teringat cerita anak-anak yang duduk di bangku sekolah dasar, ketika ibu guru mereka menyuruh membawa kacang hijau. Bukan sebagai bahan makanan tambahan sebagaimana salah satu aktivitas Posyandu, melainkan sebagai bahan belajar berhitung. Anak-anak akan menggerakan jemarinya menghitung satu persatu butiran kacang hijau. Motorik halus mereka dirangsang bekerja.
Qui-qui bukan sekedar dimaksudkan menghadirkan "hubungan produksi". Tradisi qui-qui bisa jadi pengikat harapan, yang tak lekang. Kalaupun boleh saya sedikit meromantisir, sebagai sebuah strategi, strategi kebudayaan. Coba kita membayangkan sejenak: tradisi qui-qui menjadi bagian dari kekuatan advokasi, guna melumpuhkan praktik-praktik kekerasan dalam relasi kuasa. Mungkin rasanya terlampau berlebihan?
Kawan saya, Iwan Sumantri, dosen arkeologi di sebuah kampus di Makassar, mengirim pidato kebudayaan Aleta Baun di Nusa Dua Bali, melalui WhatsApp, beberapa pekan silam. Sebuah pidato yang menggetarkan hati, memantik perasaan terdalam. Siapakah Aleta Baun? Ibu tiga anak, perempuan adat Mollo, Timor. Mollo, salah satu kawasan paling kering di Indonesia, yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Namun, nenek moyang Mollo paham soal itu. Mereka mengajarkan hidup bersama alam, mengikatnya ke dalam adat istiadat. "Fatu, nasi, noel, afu amsan a'fatif neu monit mansian," kata Aleta dalam pidatonya. Batu, hutan, air, dan tanah bagai tubuh manusia.
Alam Mollo mulai tergerus, ketika negara mengambil alih tanah dan hutan mereka. Masyarakat hukum adat Mollo pun terjuntai di tubir kemiskinan, tubuh mereka terkoyak: hutan, air, dan tanah, lepas dari kuasa mereka. Tahun 1990an, tanpa bertanya pada mereka, negara memberi konsesi perusahaan tambang membongkar gunung-gunung batu. "Tambang-tambang itu membongkar gunung batu keramat: Naususu, ibu dari gunung-gunung batu yang mana nama-nama marga kami berasal," tegas Aleta. Kerusakan alam membuat mereka saling bermusuhan, melukai alam dan tubuh mereka, menghabisi adat mereka.
Aleta tak bisa diam. Dia memimpin perlawanan. Hingga suatu ketika, Aleta bersama 150 perempuan penenun menduduki lokasi pertambangan. Benang tenun yang dibuat dari kapas di tanah mereka. Pewarna alami tenunan yang ditemukan dari tanaman di hutan mereka. Mereka menenun sepanjang hari, sembari bernyanyi. Tradisi menenun, mungkin juga menyulam, hebatnya menjadi awal perlawanan. Perlawanan budaya terhadap industri ekstraktif.
Kita sudah bisa menebak, apa yang terjadi kemudian. Preman tambang dan aparat keamanan menebar teror dan praktik kekerasan lainnya. Pengalaman menyakitkan bagi masyarakat hukum adat Mollo. Aleta pun dikucilkan, ditangkap, dipenjara. Namun, Aleta tidak pernah berhenti. Tidak pernah takluk. Mereka dapat menyatukan diri, melalui ritual adat, doa-doa di gereja, hingga diskusi filosofis. Perjuangan Aleta butuh waktu panjang, 13 tahun, sampai satu persatu tambang itu mereka tutup. Kini mereka tetap berjuang memulihkan alam, memulihkan tubuh mereka dari kerusakan. Dua tahun lalu, rakyat berhasil mendudukkan Aleta di parlemen lokal Nusa Tenggara Timur. Aleta memulai babak perjuangan baru, yaitu kerja-kerja politik, menggenapkan kerja budaya yang telah dilakukan sebelumnya, melalui Partai Kebangkitan Bangsa.

Paccerakkang, 5 November 2016.

Popular posts from this blog

Buru

BURU. Sebuah nama, lekat dalam ingatan sejarah. Buru mengingatkan kita pertama pada, tahanan politik (Tapol) paska peristiwa 1965. Terakhir, para penambang liar yang memburu emas. Untuk pertama kalinya, saya menjejakan kaki di tanah Buru, di Namlea. Sebelum subuh tiba.  Sehabis melaut delapan jam dari Galala, Ambon. Tidak semua orang bisa naik kapal laut. Kita seperti dikocok-kocok. Selepas Tanjung Allang, di Laut Banda, kapal besi yang saya tumpangi mulai berjalan terhuyung dihantam gelombang besar. Sekitar 49 tahun silam, dari cerita-cerita yang ada. Sebuah kapal apkiran Perang Dunia II yang berkarat, hampir karam di laut ini. Kapal itu yang mengirim "orang-orang merah" dari dermaga Sodong, Nusakambangan ke Pulau Buru, pada 17 Agustus 1969. Mereka diasingkan, dibuang begitu saja, tanpa pernah diadili. "Aku menuju ke happy land somewhare,"  tulis Pramoedya Ananta Toer dengan nada satire, dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. " Kami berangkat bersama lebih delapan

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi".

Long Loreh, Batubara

HAMPIR tengah malam, telepon genggam saya bergetar. Di seberang sana, terdengar suara isteri saya bertanya, "lagi dimana ini". "Malinau," kata saya pendek. "Apa ada dalam peta," tanyanya lagi. Saya tak menjawab. Saya lalu hentikan percakapan. Melalui whatsapp, saya kirim peta Malinau padanya. Ia membalas dengan emoji senyum. Malinau berada di jantung Borneo. Sebuah kabupaten di Kalimantan Utara, berbatasan dengan Serawak, negara bagian Malaysia. Garis batas yang mengikuti punggung sebuah taman nasional, Kayan Mentarang. Rimba menghijau yang kaya spesies di Malinau sangat berarti bagi penghidupan berkelanjutan. Selain, memberi sokongan dalam menyerap karbon dioksida, salah satu gas rumah kaca yang mempengaruhi perubahan iklim global. Namun, orang-orang Malinau mesti kerja keras menjaga peradaban mereka dalam ekologi hutan hujan tropis yang khas itu. Sebagai bagian dari Kalimantan yang merupakan penghasil kayu terbesar di Indonesia,  dimana lebih 10 juta he

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis

Kampiri, Ekonomi Kakao

AMELIA setengah berbisik di belakang punggung saya. “Itu yang katanya putus,” ujarnya. Saya menengok sekilas. Jarinya menunjuk sebuah kawat besi, yang terlilit pada penopang jembatan gantung. Sepeda motor kami berjalan tertatih, mengikuti pelat baja berlandas pada kayu-kayu yang menua.  Jembatan itu hanya selebar satu mobil. Terasa sedikit bergoyang, saat berpapasan dengan pengendara motor yang membawa ikatan besar rumput pakan sapi. Ketegangan baru terurai, lepas dari ujung jembatan, di Kampiri. Jembatan itu, orang menyebutnya: Jembatan Pacongkang, menghubungkan Desa Barang dan Desa Kampiri yang melintasi Sungai Walennae. Sungai besar yang sarat jejak arkeologis. Jembatan ini diresmikan Zaenal Basri Palaguna semasa menjadi Gubernur Sulawesi Selatan. Tanda tangan mantan Panglima Komando Daerah Militer Wirabuana itu tertera dalam prasasti, yang tertanam di sebuah beton tak jauh dari tiang penyangga jembatan. Kampiri adalah sejarah pemukiman tua. Sejauh apa yang saya pahami, ketika