Skip to main content

Diaspora, Ekonomi Politik, Makassar

APAKAH Kota Makassar punya hati bagi penghuninya? Coba kita bayangkan, kota ini seperti sebuah rumah, atau ruang (spatial) geometris. Ruang membentuk cerita, ingatan, bahkan kesadaran. Sebagaimana lemari, misalnya, kita memiliki kesadaran berbeda, di ruang mana diletakkan atau disimpan arsip surat-surat berharga, uang, hingga pakaian dalam. Maka, ruang tidak dipandang hanya merujuk lokasi semata, melainkan berisi kesadaran atau pengalaman subjektif. Kiki, teman kerja istri saya, di sebuah kantor bantuan hukum, memiliki kesadaran ruang yang berbeda, sejak dia ditodong perampok di atas sebuah pete-pete, angkutan umum kota ini. “Seluruh penumpang pete-pete melaporkan peristiwa ini ke Polsek, tapi tidak ada respon, tidak ada tindakan apa-apa, polisi malah bilang kasus itu sudah biasa terjadi, seolah-olah polisi itu mau bilang, itu sudah nasib kalian,” cerita Kiki. 
Pekan lalu, Kiki mendampingi seorang anak berusia 9 tahun, yang dilaporkan di kantor Polsek yang sama, lantaran disangka sebagai pelaku perkelahian sesama anak-anak. Namun, Kiki menyangsikan keterangan visum korban yang diperlihatkan penyidik. Dia hendak menelusuri lebih jauh keberadaan keterangan visum. “Saya curiga seperti keterangan visum ketika kasus kekerasan seksual sodomi terhadap anak-anak, hasil visum menyatakan tidak terbukti, tapi anus anak-anak sudah berdarah-darah, di rumah sakit itu, ternyata sudah ada keterangan visum bukan dalam prosedur yang sebenarnya,” katanya. Maka, untuk menjawab pertanyaan di atas, boleh jadi kita harus melihat kembali pengalaman kolektif warga kota akan ruang, sebagaimana peta ingatan ketidakpuasan Kiki terhadap kota ini yang berkisar pada relasi sosiologis: jalanan, kantor polisi, rumah sakit.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana ruang di kota ini diproduksi, direproduksi, dan dikonsumsi. Karenanya, ruang tidak bersifat permanen, melainkan terdapat proses dialektika. Studi ruang-urban banyak ditulis oleh David Harley dan Henri Lefebvre. Peta kota tua Makassar (Mangkasara) sampai dengan pada saat ini, sungguh menggoda hati saya guna menelusuri jawaban atas pertanyaan itu. Apalagi, saya diingatkan Nawir, seorang sohib saya yang bersetia pada gerakan sosial: ”pola memiliki kesamaan, hanya sejarah material yang berbeda”, suatu siang pertengahan bulan lalu, di ruangan Wakil Dekan III Fakultas Sastra, sebuah universitas di Makassar. Sayangnya, sejarah kampung di Makassar bagian dari sejarah pembentukan kota, serta bagaimana medan pertarungan dalam perebutan ruang kota, tak banyak dibahas orang. Seorang kawan dosen sejarah, yang menemani percakapan saat itu, menyatakan,"tidak semua kota memiliki Kampung Melayu". Saya copas peta Makassar dari artikel Yulianto Sumalyo, seorang dosen arsitek,”Dutch Colonial Architecture and City Development of Makassar”.
Dari catatan sejarah, kota ini awalnya dibentuk kerajaan kembar Gowa-Tallo, pada abad 16. Apabila dilihat dari peta di atas, Makassar diapit dua kerajaan yang berdiri di antara dua mulut sungai yang berbeda, Sungai Garassik (Jene'berang) dan Sungai Tallo, dengan pesisir pantai yang panjang. Keberadaan wilayah yang berada di tempat konsentrasi politik, dengan melihat keberadaan 9 benteng pertahanan, sekaligus bandar perdagangan lewat sungai maupun dari laut. Tak jauh dari benteng Somba Opu, terdapat ruang pertukaran komoditas (merkantilisme), yang direpresentasikan dengan keberadaan pos perwakilan dagang Portugis dan Melayu. Kota ini lahir sebagai persinggahan (transito) yang terintegrasi dengan pertukaran komoditas dunia saat itu. Dalam tafsir atau pembacaan saya,  produksi ruang masih bercorak independen, kebebasan pertukaran, bukan dikarenakan lebih pada penetrasi kapital. Makassar boleh jadi menjadi persinggahan alternatif yang populer bagi para pedagang Cina setelah kejatuhan Malaka di tangan Portugis. Hanya saja, kejatuhan Malaka dan tewasnya Adipati Unus dalam pertempuran di Malaka, boleh jadi mengubah peta penaklukan bandar yang semula dalam relasi "upeti" kerajaan menjadi bagian ekspansi kapital bagi negara-induk kolonial, yang bergerak ke arah timur Nusantara.
Peta yang berikutnya, peta ruang kota yang berbeda, pola produksi ruang yang berbeda dari sebelumnya. Hal ini dapat menjadi perbandingan peta sebelumnya. Awalnya, selepas perjanjian Bungaya 1667, yang secara politis adalah senjakala kuasa Gowa, Gubernur Jenderal VOC, Cornelis Speelman mengubah struktur ruang dalam benteng Jum Pandang -yang dibangun Raja Gowa, 1545, tidak sekedar mengganti nama menjadi Fort Rotterdam. Dengan struktur kota kolonial semacam ini, maka dalam konteks hubungan produksi kapitalistis mulai terlihat dengan kehadiran kelas pekerja. Boleh jadi, menjadi pembeda dengan peta sebelumnya. Karakteristik semacam ini dapat dilihat dengan diaspora ras tertentu, arus penduduk dari pedalaman, mengisi ruang kota dapat dilihat dalam peta, paling tidak direpresentasikan dengan nama kampung, seperti Kampung Melayu, Pecinan, Kampung Wajo. Pemerintah kolonial, boleh jadi, memanfaatkan sumberdaya kepala kampung atau "kapitan" sebagai strategi kontrol mereka, selain melibatkan para "kapitan" dalam hubungan produksi kapitalistik, seperti pemberian kuasa syahbandar, sebagai bagian "negoisasi" ekonomi-politik.
Benar kata sohib saya soal pola yang memiliki kesamaan. Namun, kontestasi ekonomi politik kota ini pada saat ini, sungguh rumit dalam artian tidak sesederhana pola segregasi yang diciptakan kolonial, namun tetap mereproduksi pola kontestasi dan negoisasi dalam perebutan ruang kota. Sebagian akademisi di universitas kota ini percaya investasi untuk kemakmuran berasal dari luar. Pelibatan para korporat besar, komparador dan pemburu rente meramaikan para aktor dalam medan perebutan ruang. Komoditifikasi tanah dan memberi label "tanah kelas premium", atau perumahan "premium" boleh dibilang semacam "fetishisme" (pemujaan) dalam mengkonsumsi ruang.  
Saya sendiri tetap tergoda untuk mulai mencatat sejarah kampung-kampung di Makassar. Saya juga terinspirasi dengan "sekolah kampung" yang diinisiasi LSM lokal. Sekolah ini bukan digambarkan sebagai ruang kelas, papan tulis, meja kursi, melainkan semacam metodologi saja untuk menjaga percakapan agar tidak putus. Tidak sekedar berbagi pengetahuan, perasaan, akan tetapi sebagai wahana merawat percakapan kelompok rentan, difabel, warga miskin. Bahwa kota bukanlah ruang yang memelihara sumber-sumber keputusasaan, ketidakpuasan.

Panakukkang, 18 Pebruari 2016 


Popular posts from this blog

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis...

Kuasa-Kata, Semangkuk Pallubasa

KARENA Jawa adalah kuncinya.  Frasa politik ini begitu populer. Hal yang sama juga terjadi saat percakapan tentang elektoral, yang bertautan dengan pemilih. Jawa menjadi tulang punggung demografis Indonesia. Juga dianggap sebagai jantung kebudayaan dan politik. Kalau begitu, agak lebih jauh lagi, apakah budaya Jawa turut mengkonstruk imaji politik dalam frase tersebut. Saya agak tergoda mencari tahu. Apalagi mesin politik sudah menyala. Kick off, partai-partai politik mengajukan kandidat. Komunikasi politik mulai berjalan, terkadang menimbulkan ambiguitas, tak jarang menciptakan kesadaran magis. Itu pula yang membuat saya membaca kembali buku ini, buku tua. Tapi saya rasa, dapat memandu untuk keperluan itu. Diterjemahkan dari buku: Language and Power, Exploring Political Culture in Indonesia. Diterbitkan pertama kali, lebih dari 30 tahun lalu. Penulisnya, Benedict Anderson. Seorang antropolog sekaligus sejarawan politik. Buku ini kumpulan esainya.  Salah satu pencarian Anderso...

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Makassar, Subaltern

BETAPA sulitnya menulis masa lalu. Abdul Rasyid Idris, seorang kawan, memberi saya tiga buku berharga di ujung Syaban. Salah satu buku, dari tiga buku karyanya, bertajuk: Anging Mammiri, Jejak Makassar Tempo Dulu. Rasanya, buku ini bukan sebuah produk industri nostalgia yang dimaksudkan memicu perasaan melankolik setiap orang. Saya sendiri tak hendak mencari tahu dalam buku ini, ketika memenuhi kerinduan akan sebuah lapak kopi di selasar Pasar Cidu'. Sebuah lapak yang menjual kopi yang lebih enak dan harganya lebih murah berkali-kali lipat dari Starbucks. Secangkir kopi yang bikin mata melek, yang bisa menghidupkan ekonomi orang pasar siang malam. Saya pikir, kawan saya ini tidak terperangkap ke dalam kerinduan masa lalu. Akan tetapi, ia melakukan pembacaan kembali, hal-hal apa yang hadir menjadi ingatan. Apa yang dialaminya dalam ruang temporal (masa lalu). Hanya saja, bahasa menyimpan problem internal, ketika menghadirkan kembali (re-presentasi). Coba kita membayangkan denga...

Presiden, Budaya Pop

" Politics is just like show business " -Ronald Reagan, http://quotationsbook.com/quotes/author/6022/ SORE menjelang magrib. Dalam sebuah konser, di sebuah stadion olahraga yang dibangun dengan uang pinjaman dari Uni Soviet. Seorang calon presiden berlari ke ujung panggung, yang menjorok di depan, tepat dihadapan massa yang tumpah ruah.  Suara gitar mengelegar, mengiringi Si Bung, calon presiden itu, ketika hendak menyapa massa. Riuh m assa memekak telinga. Belasan bendera bergambar kupu-kupu, dikibarkan para penggemar sebuah group band, nampak melambai-lambai di udara. Yup, sebuah group band rock, yang bersinar di negeri ini lantaran predikat berbayaran tinggi dan memiliki jutaan penggemar fanatik anak muda. Sebelumnya, mereka telah menciptakan dan merekam sebuah lagu kampanye sang calon presiden. Lagu ini lantas disebar melalui jaringan televisi dan media-sosial. Si Bung, kabarnya, juga seorang penyuka musik rock Metallica, group band asal L.A California. And Justice fo...