Skip to main content

Karaeng Intang

ISTERI saya menangis sedih, di depan Markas Kodam, mobil kami pun berlari kencang menembus malam, saya rasa seperti terbang dari atas jembatan Tello sampai di tempat parkir Rumah Sakit Pendidikan Unhas, Makassar. Begitu mendengar kabar Karaeng Intang telah berpulang kembali ke Sang Khalik. Karaeng Intang, begitulah orang kampung menyebut nama Zohra Andi Baso, di tanah kelahirannya, Pundata Baji, Labakkang, Pangkep. Saya bertemu pertama kali dengannya, pertengahan 1990, di kampus. Saat itu, kami sibuk melawan reduksi ilmu pengetahuan sekaligus terhadap segala tendensi pemecahan gerakan mahasiswa. Apa yang kami pahami ketika itu, kampus sedang bersekutu dengan rezim ototarian yang sedang berkuasa. Kampus sedang kehilangan jiwa sejatinya.
Kak Zohra, demikian kami memanggilnya akrab, memberikan kontribusi semangat luar biasa terhadap usaha yang kami lakukan. Merekatkan perkawanan dan meningkatkan tensi diskusi di kampus. Untuk tidak berkompromi, apalagi takluk, terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang. Tak lama kemudian, dia mengajak kami bergabung dalam organisasi yang dipimpinnya, Yayasan Lembaga Konsumen Sulawesi Selatan.
Saya merasakan seperti magma yang bergelora kuat, ketika bergabung dengan organisasi ini. Inisiatif perlawanan menjadi makin nyata. Awal 1991, Kak Zohra meminta saya untuk tinggal-bersama petani di sebuah kampung di tepi Danau Tempe, Wajo. Dengan sebuah penugasan yang mungkin saja sederhana dalam bentuk kalimat: menyadarkan, mendidik, mengorganisir, dan meradikalisasi. Inilah kerja pertama saya di luar Makassar. 
Ketika itu kami sedang fokus pada masalah pangan. Temuan awal sebelumnya, akhir 1990, berdasarkan hasil acak di sejumlah tempat di Sulawesi Selatan, melalui meja laboratorium kimia menunjukan meluasnya wilayah peracunan terhadap pangan kita konsumsi: kadar pestisida dalam sayuran, formalin pada ikan kering dan sebagainya. Sementara hasil telisik dokumen resmi pemerintah mengambarkan, petani yang mati karena keracunan pestisida dianggap bunuh diri. Pertanyaan sosiologisnya: seberapa besar ketegangan sosial di pedesaan? Temuan lain, kebijakan revolusi hijau, yang memperluas perdagangan kimia pertanian, semakin intensif. Propaganda melipat-gandakan produksi pangan, hanya menguntungkan bagi para pemburu rente, bukan petani. Maka, jikalau diringkas hasil temuan itu adalah ancaman serius bagi konsumen, yang memang tidak memiliki informasi yang layak. Dan, kerja-kerja awal mesti pada dua sisi: di hilir, penyadaran konsumen, dan di hulu, penyadaran petani. Sekaligus meningkatkan kampanye: revolusi hijau, musuh rakyat.
Tantangan terbesar bagi saya, yang mesti diselesaikan secara bersama adalah kuasa oligarki yang sudah tertanam kuat dalam perdagangan pertanian-kimia dan skema komando kebijakan revolusi hijau di negeri ini. Para petani semakin terisolir dari kearifan alam, dari tanahnya, dan pecahnya persekutuan sosial diantara mereka, ketika transisi kapitalisme membongkar relasi alamiah di wilayah pedesaan. Kedua, sebagai kerja-kerja pengetahuan, butuh untuk melengkapi dan menyempurnakan kekurangan secara metodologis dan cara mendapatkan pengetahuan (epistemologi). Kak Zohra memberikan dukungan besar dalam membuka ruang, waktu, dan memantik keberanian untuk menyelesaikan tantangan ini.
Saya tidak lupa, bagaimana Kak Zohra berani berdiri tegak, tidak takluk, ketika sebagian besar tiarap pada sebuah masa, ketika kekuatan koersif menjadi menyapu di negeri ini. Saya pikir tak banyak orang yang memiliki status kebangsawan, yang berani dan teguh pada pendirian atas nilai yang diyakini, seperti Karaeng Intang. Dalam sebuah percakapan dengannya, sekitar 20 tahun lalu: "di YLK, saya mendapatkan waktu, agar saya bisa menjadi egaliter". Sebagai manusia biasa, Kak Zohra, tentu saja memiliki kekurangan, kelemahan. Tapi, saya mengambil pembelajaran terbaik darinya. Semangat, inspirasi darinya, yaitu merawat cahaya di ujung terowongan. Agar, gerakan rakyat tetap terjaga, tidak menjadi penonton di panggung kekuasaan.

Pacerakkang, 17 Maret 2015

Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Gudo, Lasem. Perjumpaan Negeri yang Berbeda

SAYA beruntung dapat menjejaki dua tempat: Gudo, Jombang dan Lasem, Rembang. Nah, bersiaplah dengan kisah perjalanan saya kali ini, menembus lorong waktu. Gudo dan Lasem, dua  tempat yang sebelumnya telah menggoda perhatian saya. Boleh jadi, karena keinginan perjumpaan akan ruang geografis etnis dan penghayatan subyektifnya yang berbeda dengan tempat lain di negeri ini, dalam memahami hubungan pasang-surut akibat pertikaian sosial. Atau , tertarik dengan kalimat akhir sebuah artikel yang mengutip tulisan para pecinta pemikiran Gus Dur di klenteng (untuk menyebut rumah ibadah Tionghoa) Gudo: "semakin kita berbeda, semakin jelas dimana titik persamaan kita". Di kedua tempat ini, Gudo dan Lasem, klenteng menjadi landmark (mercu-tanda) . Jarak keduanya,  cukup berjauhan. Jalan pintas terdekat, sekitar 180 kilometer, membelah punggung pegunungan kapur Kendeng. Dari Gudo menuju ke utara, lewat Tuban. Lalu ke arah barat, berjalan di atas jalanan warisan Gubernur Jenderal Hindia Bel...

Media Baru, Muslihat Lama

REVOLUSI datang secara mengejutkan. Revolusi adalah pementasan dramatik, waktunya cepat, dan mudah diingat. Seperti kata sosiolog Piort Sztompka: bak ledakan dinamit di tengah aliran lambat proses historis. Kita juga sering diingatkan agar tidak gegabah atau sembrono dengan ungkapan "revolusi", karena studi revolusi memiliki batasan-batasan mengenai basis dan komponen utamanya [*]. Revolusi mengacu pada perubahan fundamental. Bahkan, dalam sejumlah kenyataan di paska-revolusi, cara kita memandang sesuatu atau cara kita berpikir pun turut berubah. Saya sendiri seringkali terusik mengamati revolusi kontemporer, revolusi yang meletup pada abad 21, pada peranan media yang memanfatkan sentimen gerakan sosial yang spektakuler itu. Meski hal itu, saya sadari, bukan faktor tunggal lahirnya sebuah revolusi. Ketika benih revolusi mulai berkecambah, media bisa jadi membawa ancaman, bahkan mengakhiri rezim yang berkuasa, mengakselerasi transisi demokrasi, atau malah sebaliknya bersifa...

Gagasan Anarkisme Terhadap Ilmu Komunikasi

“ Apa skripsi saudara benar-benar merupakan skripsi ilmu komunikasi? ” [1] SAYA pikir ini bukan pertanyaan bodoh. Sejauh apa yang saya bayangkan kemudian terhadap pertanyaan tersebut adalah: apakah komunikasi itu pengetahuan [2] ? Dalam tradisi pemikiran Yunani purba, pengetahuan (“pengetahuan” yang dimaksud ketika itu bukan berada di dalam pengertian ilmu pengetahuan seperti yang saat ini) [3]  berpautan dengan kepentingan yang berhubungan dengan cita-cita etis, hal-ikhwal kebajikan atau kebijaksanaan. Pengetahuan ( theorea ) diyakini mendorong atau tidak terpisahkan dengan tingkah-laku praktis ( praxis ) dalam kehidupan kongrit.

Plutokrasi, Anti Logika

Mereka menyebutnya demokrasi. Tetapi, yang sebenarnya berjalan adalah plutokrasi. Pemerintahan yang mengabdi pada mereka yang berpunya, daulat uang. Hukum tertinggi adalah koneksi. Keputusan untuk rakyat banyak ditentukan oleh konsensus orang-orang tidak beradab. Negara adalah manifestasi keserakahan. ( Rahasia Meede, Misteri Harta Karun VOC, E.S. Ito, halaman 34 ) NOVEL thriller sejarah ini, saya rasa, mengantar kita sejenak mengenali kembali kemerdekaan  dan setumpuk utang. Novel ini dibuka dengan kalimat: "Tidak bisa, bung. Bukan kita, tetapi mereka yang seharusnya membayar. Kita berhak atas Batig Slot". Sepenggal percakapan antara seorang pemuda yang digambarkan revolusioner  berperawakan tinggi kurus dan berkacamata tebal, Sumitro Djojohadikusumo, dengan Bung Hatta, di Den Haag, November 1949. Kita pun tahu, ini babak akhir perundingan maraton Konferensi Meja Bundar. Belanda menyodorkan klausul, pihak Indonesia menanggung beban utang Hindia Belanda. Sebuah syarat be...