“Food is not a
commodity like others. We should go back to a policy of maximum food
self-sufficiency. It is crazy for us to think we can develop
countries around the world without increasing their ability to feed
themselves”
AKHIR Maret 2013, saya
diundang Aliansi Jurnalis Indonesia, mendiskusikan soal: keadilan
pangan (food justice). Saya sungguh beruntung dapat menemani kawan jurnalis mendiskusikan satu dari tiga hal penting bagi manusia: pangan, air, dan energi. Diskusi ini seperti pengingat akan tanda-bahaya (alarm) atas masa depan kita: ketersediaan pangan dan air yang tidak dapat dijangkau akan memantik kerusuhan di dunia. Bukankah dunia kita sekarang dirabuk, dipupuk, bahkan dikeringkan oleh represi, resesi, korupsi, sengketa, dan keabadian permusuhan kuno fundamentalisme. Jauh sebelum adanya politik roti dan sirkus Romawi, para penguasa takut akan ancaman massa-rakyat yang kelaparan.
Seberapa pentingkah isu pangan itu. Perbincangan kejadian (event) lonjakan harga atau kelangkaan bawang putih, cabe, daging sapi, beras dan sebagainya, cenderung mengalami simplifikasi pada ketegangan supply dan demand. Namun, hal ini tidak dapat membongkar “nilai” komoditas itu sendiri. Pernyataan Clinton, mantan presiden Amerika Serikat, dalam Hari Pangan Dunia di sekretariat PBB, di atas yang penting bagi saya adalah soal: komoditifikasi.
Seberapa pentingkah isu pangan itu. Perbincangan kejadian (event) lonjakan harga atau kelangkaan bawang putih, cabe, daging sapi, beras dan sebagainya, cenderung mengalami simplifikasi pada ketegangan supply dan demand. Namun, hal ini tidak dapat membongkar “nilai” komoditas itu sendiri. Pernyataan Clinton, mantan presiden Amerika Serikat, dalam Hari Pangan Dunia di sekretariat PBB, di atas yang penting bagi saya adalah soal: komoditifikasi.
Ketika
pangan mengalami komodifikasi, maka pangan tidak sekedar membuat kita
agar tidak kelaparan, namun lebih dari itu: berdaya-jual, termasuk memaksa
keluarnya uang dari kantong kita. Dalam perburuan keuntungan,
suatu produk mulai ber-nilai guna, pada saat ditempeli oleh label
harga, karena di sanalah nilai uang (keuntungan) melekat. Secara ringkas,
prinsipnya tetap sama: “no sale, no use”. Di sinilah letak kontradiksinya, dan celakanya antara nilai-guna dan nilai-jual, sepanjang sejarahnya, tidak pernah berjalan secara damai atau harmonis.
Dari berbagai laporan, kenaikan laju harga komoditi pangan tahun 2008 tersebut, telah memberikan kontribusi krisis pangan di 36 negara. Krisis tersebut dianggap sangat serius dengan berbagai kejadian kelangkaan pangan, kelaparan, kematian, bahkan memantik kerusuhan. Dari negara-negara yang diterpa krisis pangan, sebagian besar adalah negara-negara yang sebenarnya dapat mencukupi kebutuhan pangannya sendiri.
Komoditifikasi memberikan penjelasan pada kita mengenai paradigma mainstream yang berkembang. Pertama, adalah hipermarket. Kita dapat melihat pergerakan komoditas melampaui batas-batas negara, dari sumber produksi hingga sampai ke pasar. Tanpa pemberian privalege, atau kuasa yang berlebih, atau bahkan pengambil-alihan, tidak mungkin aliran ini dapat bergerak dan terjaga, sebagaima digambarkan dalam skema aliran perdagangan daging dunia.
Kita coba lebih dekat lagi (zoom-in), di dalam satu negara, Inggris Raya. Jarak antara sumber produksi dengan pasar saling berjauhan, yang sesungguhnya membuat skema hipermarket cukup makan ongkos. Artinya, konsentrasi atau akumulasi kapital menjadi penampakan yang paling penting dalam skema hipermarket. Hal lain dapat pula dibaca, semakin jauhnya jarak psikologis atau tidak berhubungan langsung antara petani dengan konsumen-akhir. Bahkan, jarak tempuh dari sumber produksi melebihi luasan pasar di negara itu sendiri:
Skema tersebut dapat
memberikan penjelasan kongrit pada kita, mengenai: rantai industri
pangan. Pertanyaannya lebih sederhana: siapakah aktor yang memegang
kendali. Bukan petani gurem atau petani yang berlahan skala kecil,
melainkan pemain-pemain raksasa, korporasi atau industrialis pangan.
Lebih dari setengah abad, para korporat telah
mengkonsolidasi setiap mata-rantai industri pangan dari benih hingga
sampai dengan makanan-olahan. Tiga dekade silam, para korporat
pertanian (agribisnis) menggerakan kekuatan dari benih, ke gen,
hingga ke atom (teknologi nano). Bahkan, mengalirkan kendali atas
data-base genom. Setahap demi setahap, sebagaimana paten gen pada
tahun 1990-an, berlandaskan paten varietas tanaman pada tahun
1970-an, korporasi telah menemukan peta-jalan –mengutip kata
Vandana Shiva, filsuf perempuan India, sebagai: kolonialisasi kehidupan.
Skema di atas sekaligus
memberi imajinasi pada kita, untuk kembali membayangkan jalur
perjalanan para penjelajah pada abad 14 menerobos batas-batas yang
tidak diketahui sebelumnya. Tentunya, bukan karena faktor kebetulan
para penjelajah itu melakukan perjalanan, banyak faktor pemicunya,
intrik politik meraup laba, adalah salah satunya.
Ketika para penjelajah menemukan tambang perak di punggung pegunungan Amerika Selatan, dan menjadikannya sebagai mata uang, begitu pula rute perdagangan rempah-rempah di Asia, dan komoditi baru seperti gula, maka ceruk laba terkuak lebar. Fase penjelajah berakhir, digantikan dengan fase korporasi. VOC dan EIC adalah korporasi (joint-stock company) yang pertama di dunia, dan diberi kuasa (privalege) negara-induk, mengkapitalisasi sumberdaya agraria. Di kemudian hari orang ramai pun meletakan sebagai awal dari globalisasi.
Lewat
globalisasi, terkonstruk kultur “baru”
mengenai pangan, memecahkan tradisi lama yang diyakini sebelumnya.
Kultur ini tidak sekedar mempengaruhi hati dan pikiran kita mengenai
gaya hidup dan pola konsumsi makanan, akan tetapi juga cara pandang
mengambil-alih lahan pertanian semula untuk produksi pangan,
dikonversi menjadi sumber produksi bahan bakar (bio-fuel) atas nama
“teknologi-hijau” atau bahan industri produk sintetik lainnya
seperti kosmetik dan farmasi. Atau, mengkonversi dari lahan
pertanian pangan menjadi lahan pertanian untuk sumber pakan ternak.
Tentu saja, kultur “baru” itu dibangun melalui kekuatan besar
atau konsentrasi pembentukan kapital dan lonjakan permintaan yang
tidak pernah terpuaskan, termasuk didalamnya kapitalisasi pencitraan untuk menaklukan atau sengaja dibutakan hati dan pikiran kita.
Dengan demikian, membincangkan soal pangan, tidak pada semata-mata fluktuasi harga, melainkan juga mata-rantai industrialisasi dan aktor korporasi, termasuk rejim perjanjian internasional. Jika motifnya, bagian dari obligasi atau pemenuhan, penghargaan hak atas pangan, mungkin persoalannya tidak sekompleks ini, namun yang paling mainstream adalah pemenuhan kerakusan akan laba (profit). Polanya pun seringkali diwarnai dengan berbagai bentuk perebutan, perampasan, pengambil-alihan secara brutal dan tentu saja revolusi keserakahan (the greed revolution). Pemberian privalege atas kuasa yang berlebih, sehingga terjadi pengambil-alihan, mesti kita telusuri lebih dalam.
Dengan demikian, membincangkan soal pangan, tidak pada semata-mata fluktuasi harga, melainkan juga mata-rantai industrialisasi dan aktor korporasi, termasuk rejim perjanjian internasional. Jika motifnya, bagian dari obligasi atau pemenuhan, penghargaan hak atas pangan, mungkin persoalannya tidak sekompleks ini, namun yang paling mainstream adalah pemenuhan kerakusan akan laba (profit). Polanya pun seringkali diwarnai dengan berbagai bentuk perebutan, perampasan, pengambil-alihan secara brutal dan tentu saja revolusi keserakahan (the greed revolution). Pemberian privalege atas kuasa yang berlebih, sehingga terjadi pengambil-alihan, mesti kita telusuri lebih dalam.
Pada fajar abad 21, kita kembali tersentak, sejarah dunia seolah berjalan mundur kembali ke belakang, ketika rasa ketakutan itu menguat dan janji-janji keuntungan makin memikat hati. Sebuah laporan PBB, ketika alarm krisis pangan menyala, menyatakan "akuisisi lahan internasional, salah satu pilihan strategis yang mungkin dapat mengatasi tantangan". Polanya kemudian seperti dalam era kolonial sebelumnya, ketika "orang-orang kulit putih" itu menorehkan tinta menggambar peta dunia sebagaimana mereka inginkan. Sambil duduk di sebuah meja di Eropa, mereka mengerahkan pedagang, tentara dan misionaris untuk mengklaim sumberdaya yang ada dalam peta yang mereka bikin.
Kini, polanya mungkin sama, akan tetapi aktor dan sumber dananya berbeda. Sebuah model "penjajahan" baru atau "perebutan kekuasaan global" sambil melayangkan janji-janji: menang, menang, menang. Sebuah persekutuan baru, yang tidak lagi berdasarkan "ras": korporasi agribisnis internasional, bank investasi, hedge fund (termasuk dana pensiun), pedagang komoditas, yayasan, individu, bahkan universitas, termasuk skema badan bantuan internasional sesuai dengan strategi geopolitik dan tujuan ekonomi negara-asal yang harus membuka pintu bagi investor swasta akan kebutuhan atau keharusan untuk menghasilkan keuntungan. Mereka diiming-imingi tanah murah dan keuntungan yang tinggi. Mereka telah membuat peta-baru dunia, membuat petak-petak tanah, termasuk di Indonesia, sebagai "akuisisi lahan internasional". Istilah "akuisisi" merujuk teori ekonomi. Kita tahu, teori-teori ekonomi tidak membutuhkan manusia, teori-teori itu membutuhkan pasar. Jadi, yang lebih lugas, yang lebih kena sebagai: perampasan tanah (land-grab).
Tindakan keji dari investasi ini adalah: secara nyata, ketika perampasan tanah itu dimulai, terjadi transfer kekayaan dari kaum miskin dan terpinggirkan kepada mereka yang memiliki akses modal dan pasar. Kita tahu, pola-pola kapitalisme akan bekerja jika terjadi kritis, karenanya krisis harus dibentuk, diciptakan. Dus, politik kelangkaan pangan bekerja dengan cara menjadikan kelaparan sebagai tawanan. Frederic Mousseau, direktur kebijakan dari Oakland Institute, menyatakan: perampasan tanah adalah menciptakan ketidakamanan sistem pangan global, yang bisa menjadi ancaman jauh lebih besar dari keamanan global dibandingkan dengan terorisme. Sebuah artikel dalam sebuah harian terbitan Inggris menutup alenianya dengan kalimat: sejarah pangan bukan untuk makanan, tetapi untuk keadilan.
Paccerakkang, Maret 2013
Kini, polanya mungkin sama, akan tetapi aktor dan sumber dananya berbeda. Sebuah model "penjajahan" baru atau "perebutan kekuasaan global" sambil melayangkan janji-janji: menang, menang, menang. Sebuah persekutuan baru, yang tidak lagi berdasarkan "ras": korporasi agribisnis internasional, bank investasi, hedge fund (termasuk dana pensiun), pedagang komoditas, yayasan, individu, bahkan universitas, termasuk skema badan bantuan internasional sesuai dengan strategi geopolitik dan tujuan ekonomi negara-asal yang harus membuka pintu bagi investor swasta akan kebutuhan atau keharusan untuk menghasilkan keuntungan. Mereka diiming-imingi tanah murah dan keuntungan yang tinggi. Mereka telah membuat peta-baru dunia, membuat petak-petak tanah, termasuk di Indonesia, sebagai "akuisisi lahan internasional". Istilah "akuisisi" merujuk teori ekonomi. Kita tahu, teori-teori ekonomi tidak membutuhkan manusia, teori-teori itu membutuhkan pasar. Jadi, yang lebih lugas, yang lebih kena sebagai: perampasan tanah (land-grab).
Tindakan keji dari investasi ini adalah: secara nyata, ketika perampasan tanah itu dimulai, terjadi transfer kekayaan dari kaum miskin dan terpinggirkan kepada mereka yang memiliki akses modal dan pasar. Kita tahu, pola-pola kapitalisme akan bekerja jika terjadi kritis, karenanya krisis harus dibentuk, diciptakan. Dus, politik kelangkaan pangan bekerja dengan cara menjadikan kelaparan sebagai tawanan. Frederic Mousseau, direktur kebijakan dari Oakland Institute, menyatakan: perampasan tanah adalah menciptakan ketidakamanan sistem pangan global, yang bisa menjadi ancaman jauh lebih besar dari keamanan global dibandingkan dengan terorisme. Sebuah artikel dalam sebuah harian terbitan Inggris menutup alenianya dengan kalimat: sejarah pangan bukan untuk makanan, tetapi untuk keadilan.
Paccerakkang, Maret 2013