I think I can say, and say with pride that we have some legislatures that bring higher prices than any in the world (Mark Twain, penulis) - Speech 7/4/1873
BELAKANGAN ini, orang-ramai membicarakan transaksi
politik, sekaitan peristiwa pemilihan legislatif tempo hari. Transaksi politik
bagian yang tidak terpisahkan dalam politik distributif, sebagai arena
pengalokasian dan distribusi sumberdaya. Di ujung pembicaraan adalah soal
klientelisme (clientela), atau kalau boleh saya sederhanakan sebagai:
perdagangan-suara (vote-trafficking). Tahun-tahun terakhir ini, terjadi
lonjakan jumlah penelitian klientelisme dan memperoleh perhatian banyak orang.
Perkara klientelisme memang menarik minat para ahli politik sejak akhir
1960-an.[1] Jika diuraikan lebih lanjut, studi
klientelisme memiliki tahapan perkembangan “penjelasan” dari wilayah
tradisional agraris sampai dengan respon terhadap demokrasi perwakilan pada
saat ini.[2] Misalnya, pernyataan bahwa: orang
miskin lebih cenderung menjual suara mereka, itu dianggap mengandung
ketidaklengkapan penjelasan. Kita tidak memiliki penjelasan secara konsisten,
mengapa hal ini bisa terjadi dan mengapa dinyatakan benar.
Dalam praktik politik (political realm),
klientelisme dikaitkan dalam arena pemilihan umum dan penggunaan alokasi dan
distribusi sumberdaya publik. Dalam banyak kasus, klientelisme dapat menjadi
strategi ampuh dalam menarik suara (vote) pemilih guna memenangkan
kontestasi atau mempertahankan posisi. Pada pemilihan legislatif kemarin nampak
mengedepankan pribadi-pribadi kandidat atau individualisasi politik daripada
peran mesin partai.[3]
Sejarawan Richard Graham menandai klientelisme,
sebagai tindakan yang dibangun atas dasar prinsip “take there, give here”,
dimana akan membuat klien dan patron mendapat keuntungan dari pola hubungan
yang mereka mainkan secara paralel. Meski hal ini akan bergantung pada tingkat
artikulasi yang berbeda: politik, sosial, atau administratif. Sejatinya,
klientelisme merupakan hubungan asimetris, tetapi saling-menguntungkan dalam
kaitan relasi-kuasa dan pertukaran, antara individu atau kelompok yang saling
berhadapan dalam posisi yang sesungguhnya tidak setara. Klientelisme memang
dikonstruk, dibentuk, di dalam kondisi sub-ordinasi, kepatuhan, dan bergantung
pada niat-baik atau kedermawanan orang lain.
Susan Stokes, seorang professor ilmu politik Yale
University, mengajak kita membayangkan kesamaan pasar dengan politik yang
sama-sama mendistribusikan barang.[4] Akan tetapi,
politik distributif jauh lebih kontroversial ketimbang distribusi melalui
pasar. Kita kerap kali mengharapkan pasar dapat mengerakkan nilai sumberdaya
melewati ruang dan populasi. Sementara politik memiliki otoritas dalam membuat
pilihan atas distribusi. Otoritas ini akan didapatkan melalui kemenangan dalam
pemilihan, maka mau-tidak-mau tumpuannya berada pada strategi politik.
Sebagaimana prinsip transaksi (pertukaran), terdapat perikatan antara kandidat
dengan pemilih yang terjalin sepanjang pelaksanaan Pemilu, misalnya,
janji-janji kandidat ditukar dengan keputusan pemilih untuk menggunakan
suaranya memilih kandidat di TPS. Namanya transaksi tentu saja, butuh skema
strategi politik guna mengambil hati pemilih. Stokes membagi dua skema
strategi: berorietasi pada kepentingan warga, atau sebaliknya, berbasis
kemenangan kandidat.
Dengan melihat skema ini, klientelisme merupakan
strategi berbasis kemenangan kandidat, dimana manfaat yang akan diterima
pemilih akan tergantung pada dukungan suara mereka. Bentuk klientelisme
bermacam-macam, dapat berupa jual-beli suara (politik-uang), dapat pula
menjanjikan pemilih akan memperoleh imbalan atau fasilitas dengan syarat
sepakat untuk memberikan dukungan suara. Atau, bersifat khas dengan berbagai
variasi di tingkat politik lokal, misalnya pengobatan gratis. Namun,
harap ditafsirkan, bahwa klientelisme mengandung kompleksitas. Kandidat tetap
butuh “mesin informasi”, mengetahui kebutuhan pertukaran, apakah harus pakai
uang atau cukup dengan sembako, misalnya, dan juga untuk memantau laju
pergerakan dukungan suara. Mesin informasi kandidat diperankan broker (calo,
perantara) yang memiliki akar pengaruh di wilayah mereka, akan tetapi mesin ini
juga dapat membuat masalah. Bisa jadi, materi pertukaran hanya sampai di tangan
broker, tidak sampai ke tangan pemilih, atau broker malah melakukan “pembelotan”
dan beralih memilih pesaing politik kandidat.
Di sisi lain, kandidat juga butuh mesin monitoring
(pemantauan) prilaku pemilih, apakah pendukung mereka masih bersetia,
mempertahankan dukungan suara sampai di bilik-suara? Ataukah, sebaliknya para
pemilih melakukan “pembelotan”, disuap oleh kandidat A tapi memilih kandidat B,
atau melelang uang-suap para kadidat sebagai dasar mereka memilih kandidat,
biasanya kandidat yang paling tinggi menyuap. Beberapa penelitian menunjukan,
bagaimana kemudian kandidat mengembangkan berbagai metode yang dapat
memilah-milah siapa pendukung setia pada saat perhitungan suara dilakukan dan
mencatat reputasi pembelotan pemilih di pemilihan pada masa depan.
Tulisan singkat ini sebenarnya hanya pengamatan atau
penyelidikan awal, untuk mencoba mencari tahu bagaimana praktik klientelisme
itu bekerja di tingkat politik lokal.[5] Jika
transaksi politik sebagai aktifitas politik distributif, apakah angka-angka
pemilih dapat menjadi petunjuk awal? Belajar dari pemilihan legislatif kemarin,
saya cukup tergoda, penasaran dengan besaran presentase angka partisipasi
politik pemilu lokal (pemilihan kepala daerah dan legislatif di tingkat lokal).
Rasa penasaran ini juga saya bawa ke tingkat Tempat Pemungutan Suara
(TPS), melihat angka pengguna hak pilih yang menggunakan KTP dan KK di
luar Daftar Pemilih Tetap (DPT), dengan angka partisipasi pengguna hak pilih
dari DPT.[6] Kedua, kontestasi kandidat di
masing-masing TPS sesuai Daerah Pemilihan (Dapil) dengan melihat pergerakan
jumlah suara mereka. Apakah kedua hal ini dapat menjelaskan praktik
klientelisme? Apa yang dapat membuat pola klientelisme dalam relasi kandidat
dan pemilih dapat bertahan atau terawat sampai di TPS? Atau, sebaliknya, apakah
justru terjadi “pembelotan” atau “pengkianatan” para pendukung yang dapat
mengingkari ikatan klientelisme?
Saya mengambil secara acak hasil pindai (scan) form C1 dari dua kelurahan di kecamatan yang berbeda di dalam
daerah pemilihan yang sama. Nama lokasi, Caleg, dan partai politik disamarkan, karena
yang ingin dideskripsikan adalah pola yang terjadi. Saya mengambil data scan log
C1 dari situs KPU. Kelurahan Perahu (nama samaran) memiliki 12 TPS. Namun,
ketika saya mengakses data Kelurahan Perahu, saya hanya mendapati data scan form
C1 10 TPS dari 12 TPS yang ada. Dari 10 TPS, hanya 9 TPS saja yang melengkapi scan lembar sertifikat hasil dan
perinciannya. Berikut, data suara berdasar lembar sertifikat hasil dan
rinciannya di 9 TPS Kelurahan Perahu:
Data ini menunjukan angka partisipasi pengguna hak
pilih dalam DPT berkisar 55,54 persen. Jika perhatikan di TPS 3 mencapai 100
persen, sedangkan angka partisipasi yang rendah dibandingkan TPS lainnya berada
di TPS 9, 41,92 persen. Data pengguna hak pilih dalam DPKTb/pengguna KTP dan KK
yang paling banyak dibandingkan dengan TPS lainnya, berada di TPS 8, 43 orang.
Sebaliknya, yang paling sedikit berada di TPS 9, 7 orang.
Hasil pemungutan suara di 10 TPS Kelurahan Perahu, dengan
mengecualikan dua TPS yang belum ada scan
form C1 dalam situs KPU, saya mengambil 3 caleg yang memiliki suara sah
yang terbanyak. Nama mereka saya samarkan menjadi: X, Y, dan Z. Ketiga caleg tersebut berasal
dari partai yang berbeda. X merupakan caleg partai C, Y berada di partai B, dan Z berasal dari partai A. Dari daftar caleg
tetap (DCT) hanya Z yang tempat tinggalnya berada di kecamatan dimana
melingkupi juga Kelurahan Perahu. Sebaliknya, X dan Y bertempat tinggal di
kecamatan yang lainnya. Berikut pergerakan suara mereka di masing-masing TPS:
Berapa kontribusi suara dari ketiga caleg bagi suara
partainya? Hasil perhitungan suara di 10 TPS Kelurahan Perahu, partai A
mendapatkan 375 suara. Partai B mendapatkan 477 suara. Dan, partai C
mendapatkan 675 suara. Jumlah suara X memberikan kontribusi 92,15 persen suara partai C di 10 TPS Kelurahan Perahu.
Sementara jumlah suara Y memberi kontribusi 46,33 persen suara partai B.
Kontribusi suara Z, 33,05 persen dari jumlah suara partai A. Besaran kontribusi
caleg ini juga menunjukan adanya fenomena individualisasi politik daripada
peran mesin partai.
Dari pembelajaran kasus Kelurahan Perahu ini, X cenderung
memimpin pengumpulan suara terbanyak di setiap TPS. Paling nampak, di TPS 6,
dimana X mendapat 110 suara, sementara pesaing terdekat, Y hanya 35 suara.
Jumlah suara sah di TPS 6, 249 suara, hal ini juga menandai X menguasai hampir
setengah jumlah suara di TPS tersebut. Dalam pergerakan suara, X relatif
memimpin pengumpulan suara di TPS-TPS dengan cukup longgar dimana angka
partisipasi pengguna hak pilih dalam DPT berada pada kisaran 50 persen.
Sementara angka partisipasi 100 persen pengguna hak pilih dalam DPT, sebagaimana
ditunjukkan di TPS 3, atau sebaliknya di TPS 9, meski X memperoleh suara terbanyak,
tapi tingkat kontestasi untuk merebut suara relatif ketat. Mungkin terlampau
dini untuk menyimpulkan, hubungan antara besaran angka partisipasi pengguna hak
pilih dengan tinggi-rendahnya tingkat persaingan.
Namun di balik kemenangan X, adakah pola klientelisme?
Saya menanyakan pada seorang ibu, Merah Delima (nama samaran). Rumah Merah
Delima berada di sebuah lorong sempit, selebar motor gerobak bakso. Di
sepanjang lorong, rumah-rumah petak berhimpitan, tanpa halaman. “Banyak
serangan fajar di sini,”kata Merah Delima. Istilah yang merujuk pada jual-beli
suara (politik-uang). “Saya, orang di sini banyak tidak kenal X, tapi ada
orangnya X ada di sini,”lanjut Merah Delima,”orang di sini kuatir, kalau
janji-janji itu tidak ditepati, atau kalau sudah jadi, kita tidak diperhatikan,
mungkin itu alasan kita terima serangan fajar”. Situasi sosial di wilayah tempat tinggal Merah
Delima, masih tergolong kerabat, atau masih se-etnis (satu kampung-asal), atau cenderung
memiliki status ekonomi yang sama.
Broker X nampak memanfaatkan segmentasi ini guna beroperasinya stategi
berbasis kemenangan kandidat, termasuk menguatkan wacana “hanya janji-janji
saja” di kalangan pemilih. Bapak Langit Biru (nama samaran), yang juga saya
tanya, menceritakan strategi X lebih rinci. “Tidak seperti kebanyakan caleg, X
itu tidak nge-bom (istilah, menghamburkan
atau membagikan uang sekaligus kepada semua pemilih), boleh jadi dalam satu
kampung, tidak semua orang kampung itu dapat uang. Jadi X dan pelapisnya
(istilah untuk broker) pakai data, data orang miskin, dan dia turun untuk tahu apakah
mereka benar miskin dan dapat mempertahankan suaranya,” ungkap Langit Biru.
Berikut cerita dari Kelurahan Layar (nama samaran),
yang berbeda kecamatan dengan Kelurahan Perahu, tapi masih satu daerah
pemilihan. Kelurahan Layar juga memiliki 12 TPS. Sejauh ini, saya hanya bisa
mengakses log scan C1 11 TPS dari
situs KPU. Berikut, data suara berdasar lembar sertifikat hasil dan rinciannya
di 11 TPS Kelurahan Layar:
Data ini menunjukan angka partisipasi pengguna hak
pilih dalam DPT berkisar 66,25 persen. Jika perhatikan di TPS 9 mencapai 92,61
persen, sedangkan angka partisipasi yang rendah dibandingkan TPS lainnya berada
di TPS 5, 51,26 persen. Bagaimana pergerakan suara tiga caleg dengan perolehan
terbanyak di 11 TPS? Sebagaimana di Kelurahan Perahu, saya mengambil tiga caleg
X, Y, dan Z, saya samarkan nama mereka. Ketiga caleg ini, bukan orang sama
dengan tiga caleg di Kelurahan Perahu, justru ketiga caleg yang meroleh suara
terbanyak di Kelurahan Perahu, justru tidak berjaya di Kelurahan Layar. X, Y,
dan Z di Kelurahan Layar ini, juga bukan
berasal partai yang sama dengan tiga caleg di Kelurahan Perahu.
Dari kontribusi suara, X memberikan kontribusi jumlah
suara yang diperoleh, 44,44 persen dari jumlah perolehan suara partainya.
Sedangkan Y, memberikan kontribusi 91,12 persen dari jumlah perolehan suara
partainya. Dan, Z memberikan kontribusi 56,94 persen dari jumlah perolehan
suara partainya.
Dari visualisasi, nampak pada angka partisipasi
pengguna hak pilih dalam DPT yang rendah dibandingkan TPS lainnya, persaingan
cukup ketat diantara X, Y, dan Z. Namun, Y cukup berjaya daripada kedua
pesaingnya, pada TPS 10, dimana angka partisipasi pengguna hak pilih dalam DPT,
77,04 persen. Di TPS 9, yang memiliki angka partisipasi pengguna hak pilih
dalam DPT yang tinggi daripada TPS lainnya, X dan Z justru tidak memperoleh
suara sama sekali.
Pertanyaan yang sama, apakah terdapat pola
klientelisme di balik kemenangan itu? Saya menanyakan hal ini pada Bapak Daun
Hijau (nama samaran) yang tinggal di Kelurahan Layar. “Dalam pembacaan politik
di kelurahan ini”, kata Daun Hijau,”caleg melakukan mobilisasi sangat intensif,
ada berbagai tekanan, berkaitan dengan kepemilikan tanah, kepengurusan di
posyandu”. Hanya saja, menurut Daun Hijau, faktor money-politic bukan yang sesuatu yang dominan. “Titik kritisnya sebenarnya
berada pada TPS, kondisi penyelewangan suara di mulai dari TPS”, ujar Daun
Hijau.
Dari pengamatan sekilas ini, bukan sebagai kesimpulan
mengenai “kelaziman” klientelisme. Kalaupun harus memakai istilah antropologis:
pemilihan di tingkat politik lokal di atas, tidak didasarkan pada imperatif
kebudayaan. Maka, jual-beli suara, politik-uang, tidak memiliki makna apa-apa. Seperti
kata seorang kawan, mungkin setengah bercanda, “politik itu soal garis tangan”.
Jadi, pemilih hanyalah spectators (penonton)
demokrasi belaka. Tidak ada jalan lain? Saya, tidak yakin.
Serpong, 15 Juni 2014
Istilah negara-pasar (market-state) ini saya
pinjam dari konsepsi Philip Bobbitt. Lepas dari kontroversi gagasan Philip
Bobbitt yang merekomendasikan negara-pasar menggantikan (shifting)
negara-bangsa (nation-state). Lepas setuju atau tidak dengan rekomendasi
itu, yang menggoda saya adalah argumentasi sarkasme Bobbitt berkaitan
kehancuran keabsahan (disintegration of legitimacy) negara-bangsa. Jika
boleh saya memakai bahasa sederhana, argumen Bobbitt seperti menyatakan: “buat
apa negara hadir kalau negara tidak mampu melindungi warganya dari kejahatan”.
Bobbitt adalah salah satu teoritisi yang memberi gambar-besar tipe negara
dengan cara menelusuri dan menafsirkan perubahan negara moderen. Para teoritisi
ini mendapatkan momen dan daya pesona, ketika orang-ramai sedang memperdebatkan
dan tengah mencari alternatif “negara yang mampu bertahan di masa depan (viable)”.
Berbeda dengan argumen Francis Fukuyama, peristiwa runtuhnya tembok Berlin
menandai kemenangan demokrasi dalam pertarungan global atas komunisme, dan
sejarah pun berakhir. Sebaliknya, Bobbitt menyatakan sejarah tidak berakhir,
tetapi sedang berlanjut. Dalam bukunya, “The Shield of Achilles: War, Peace,
and the Course of History” (2002), Bobbitt memetakan perubahan alami tipe
negara yang tak terhindarkan dalam rentang-waktu. Bobbitt berargumentasi
mengenai “perang yang panjang” (long war) pada abad 20, yang menghasilkan
negara-bangsa dalam bentuk: demokrasi, komunisme atau fasisme, sebagai dasar
pembenaran dalam menyediakan kesejahteraan masyarakat. Temuan-temuan strategis
Bobbitt, bahwa perang yang panjang hanya menghasilkan kesulitan negara-bangsa
memenuhi janjinya, dan dapat menjelaskan mengapa terjadi pengingkaran terhadap
keabsahan. Kesimpulan Bobbitt, perlu tatanan konstitusi hukum baru, guna
memenuhi tuntutan keabsahan, dengan cara mengubah bangunan fundamental sehingga
dapat menjadi landasan membangun asumsi kekuasaan yang absah (state-power).
Bagi Bobbitt, negara-pasar memiliki kemampuan lebih baik dalam mengatasi
tuntutan mendapatkan keabsahan setiap individu, berbeda dengan negara-bangsa
yang melekatkan dengan makna “kesejahteraan bangsa”, negara-pasar memperoleh
keabsahan dengan: “maximize the opportunities enjoyed by all member of
society in exchange for a giving the state power”. Keberhasilan tujuan
negara-pasar adalah negara yang mempromosikan kembali ke pasar sebagai proses
alamiah yang tidak terhindarkan. Pasar adalah instrumen terbaik menawarkan
kesempatan (oportunitas), termasuk di dalamnya pasar yang direduksi semata mode
penawaran dan permintaan. Negara, bagi Bobbitt, akan mengubah warga negaranya
menjadi seorang hamba bisnis. Dalam bukunya, Bobbitt juga menjelaskan,
kemunculan negara-pasar tidak serta-merta, landasannya mulai diletakan oleh
Margareth Thatcher dan Ronald Reagan. Penjelasan ini, secara ideologis, cukup
menunjukan argumen yang dibangun Bobbitt sangat dekat dengan keyakinan para penganjur
neo-liberalisme.
[1] Analisis
antropologis yang dikembangkan mengenai patron-klien pada saat itu untuk
mengatasi kesenjangan penjelasan atau uraian atas aksi-aksi politik di
pedesaan, terutama gerakan agraria. Lihat, James C. Scott, “Patron-Client
Politics and Political Change in Southeast Asia”, dalam The American Political
Science Review, Vol. 66, No. 1 (Mar., 1972), pp. 91-113, yang diterbitkan
American Political Science Association. Para ilmuwan politik Barat mencoba
memahami pengalaman politik Dunia Ketiga, yang pada umumnya, mengandalkan salah
satu model atau kombinasi analisis, dari model assosiatif dan konflik. Model
konflik berbasis klas yang diwakili pemikiran Marxian, guna menjelaskan
perubahan sosial di pedesaan. Model kedua, lebih dekat dengan kategori subyektif
yang menekan sentimen primodialisme, namun bukan dalam ikatan klas horisontal,
untuk membantu menjelaskan terjadinya ketegangan dan konflik. Sumbangan Scott,
adalah membangun konsep patron-klien secara terstruktur membantu penjelasan
aktivitas politik (relasi patron-kien), termasuk transformasi dari pola
tradisional dan politik moderen Pemilu, yang tidak semata-mata pada analisis
klas dan sentimen primodialisme yang sangat khas di Asia Tenggara. Misalnya,
dalam sejumlah kasus, dapat dijelaskan melalui analisis klas seperti gerakan
agraria yang berulang-luang di Central Luzon, Filipina. Namun kurang memadai
dalam kasus tertentu, dan harus diuraikan dengan sentimen primodialisme,
seperti gerakan pembangkangan di Thailand.
[2] Tulisan Luis Roniger, “Political
Clientelism, Democracy, and Market Economy”, dalam Comparative Politics, Vol.
36, No. 3 (Apr., 2004), pp. 353-375, yang diterbitkan Program in Political
Science of the City University of New York, yang menguraikan gelombang
penelitian politik patronase dan praktik klientelisme dalam kurun-waktu mulai
akhir tahun 1960 sampai dengan akhir dekade 2000, dan membaginya menjadi tiga
gelombang. Secara ringkas, Roniger mengungkapkan dalam studi klientelisme pada
akhir 1960 dan 1970, ilmuwan politik menerima andil dari para antropolog,
termasuk metode grounded-analysis. Dalam periode ini, banyak studi
patron-klien tradisional yang berhubungan dengan masyarakat pedesaan agraris,
dan kaitannya dengan feodalisme (yang bersifat hirarkis). Relasi klientelisme
mensyaratkan adanya distribusi sumberdaya dan pertukaran, yang dikaitkan dengan
berbagai bentuk perlindungan dan organisasi perantara (broker). Pada tahun 1980
dan 1990 an, banyak studi yang memperluas pemahaman klientelisme, dengan
mencoba menyusun konsepsinya dalam relasi “modernisme”. Bahwa klientelisme
diidentifikasikan sebagai modal-sosial pertukaran, secara spesifik sebagai
bagian strategi, mobilisasi dan kontrol politik. Hal ini melibatkan
kompleksitas klientelisme, seperti jaringan patron dan broker yang beroperasi
secara selektif, mengintegrasi ke dalam partai dan faksi-faksi politik, juga
mencakup hubungan timbal-balik (resiprokal) manfaat dan komitmen sebagai
prasyarat merawat hubungan yang berkelanjutan di dalam pola patron-klien.
Sejumlah studi awal 2000 an, mencoba menjelaskan terjadinya institusionalisasi
klientelisme.
[3] Seorang narasumber menggungkapkan
tentang kekesalan kandidat (caleg) terhadap seorang caleg-perempuan yang
separtai dengan dapil yang sama: “saya kira dia hanya mengisi kuota (affirmasi)
saja, ternyata dia ikut juga bermain”. Caleg-perempuan yang dimaksud ini,
memang kemudian ditetapkan KPUD Makassar menjadi anggota legislatif terpilih.
Fenomena individualisasi politik dalam pemilihan legislatif juga memantik
kontestasi antar kandidat dalam partai yang sama. Salah satunya, seperti yang diberitakan Tribun Timur Online:
[4] Susan C. Stokes, Thad Dunning,
Marcelo Nazareno, dan Valeria Brusco dalam “Brokers, Voters, and Clientelism”,
Yale University and Universidad Nacional de C´ordoba, draft dated March 21,
2012.
[5] Dinamika politik di Sulawesi Selatan
oleh sejumlah studi dijadikan rujukan untuk menjelaskan fenomena “klan-politik”
dalam transisi politik di tingkat lokal (paska Orde Baru). Banyak studi yang
menguraikan desentralisasi di Indonesia telah melahirkan “orang-orang kuat”
yang memiliki akar di daerah. Hal yang berbeda dengan masa sebelumnya, yang
berada di bawah kontrol Jakarta. Arsitektur politik yang berubah ke arah
pemilihan langsung, dalam sejumlah pandangan, menunjukan perkembangan di
tingkat lokal dimana institusionalisasi partai berada pada titik terendah guna
merujuk pada tahapan individualisasi politik. Argumen dalam studi Michael
Buehler, seorang Assistant Professor Northern Illinois University, mengambarkan
hal ini, bagaimana kekuatan jejaring lokal kandidat pada pemilihan yang lebih
penting daripada mesin politik partai, dan kekuatan keluarga yang
terkonsolidasi secara cepat untuk menginstalasi proksi (proxy)
“klan-politik” mereka dalam pemerintahan dan parlemen. Lihat, Michael Buehler
dan Paige Tan, “Party-Candidate Relationships In Indonesian Local Politics: A
Case Study Of The 2005 Regional Elections In Gowa, South Sulawesi Province”,
Indonesia 84 (October 2007), serta Michael Buehler, “Married with Children”,
dalam Indonesia Inside.
[6] Jumlah penggunaan KTP dan KK, dapat
dilihat dalam sertifikat hasil dan rincian perhitungan perolehan suara di tepat
pemungutan suara dalam pemilu 2014, diletakan pada kolom pengguna hak pilih
dalam Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb)/pengguna KTP dan KK/nama sejenis
lainnya dalam lembar formulir model C1.