Skip to main content

Nasionalisme, Konsumen

APA yang membuat seorang konsumen menjatuhkan pilihan untuk membeli suatu barang. Jawabannya mudah ditebak. Beberapa diantaranya, harga dapat dijangkau, ketersediaan barang, kebaruan.  Pekan akhir September lalu, sekaitan dengan preferensi konsumen, saya terlibat dalam sebuah diskusi. Saya rasa diskusi tersebut seperti mengajak kita kembali pada sebuah masa, 41 tahun silam. Sewaktu sekelompok ibu rumah tangga, di Jakarta, bersuara atas nama kecintaan pada produk dalam negeri. Para ibu ini, pada tahun itu pula, kemudian menginisiasi kekuatan, mendirikan sebuah organisasi konsumen yang pertama di negeri ini. Peristiwa yang sungguh menarik hati, mengingat rezim kala itu sibuk menjinakan atau memberangus peran progresif perempuan.
Barangkali suasana diskusi waktu itu, saya tiba-tiba larut memperhatikan konteks waktu saat itu, tahun 1973. Satu tahun sebelum sebuah kerusuhan meledak. Sentimen negatif merebak dimana-mana terhadap kapitalis internasional. Asap hitam membumbung di langit Jakarta. Ratusan mobil dibakar. Toko emas dijarah. Belasan orang tewas. Tapi, rezim yang berkuasa, tidak tumbang, konsolidasi kekuasaan terlanjur sangat kuat dalam kurun waktu itu.
Enam tahun sebelumnya, awal Nopember 1967, Soeharto mengirim orangnya sebagai wakil pemerintah, ke Jenewa, Swiss. Mereka bertemu satu meja, duduk berseberangan, dengan para kapitalis internasional. Sebuah pertemuan yang disponsori The Time-Life Corporation, yang bertajuk: Indonesia Investment Conference. Saya meminjam istilah John Pilgers dalam film dokumenter mengenai Indonesia, "The New Rulers of the World": tiga hari yang istimewa sebagai strategi pengambil-alihan Indonesia. Mula-mula wakil pemerintah itu menawarkan, jumlah buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumberdaya mineral yang melimpah dan pasar yang besar. Kemudian, pengusaha David Rockefeller dan wakil korporat-korporat raksasa yang hadir seperti dari, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Chase Manhattan, yang lebih banyak bicara daripada mendengar, sekaligus mendikte wakil pemerintah. Sungguh ironis memang, korporat-korporat itu menentukan nasib sebuah negara yang berdaulat. 
Lewat mesin pencari Google, kita tahu ada yang mendahului pertemuan di Jenewa itu. Pada 10 Januari 1967, sebuah undang-undang yang dibentuk secara terburu-buru: undang-undang penanaman modal asing, disahkan. Sebuah undang-undang diteken oleh Soekarno. Hal ini tentu menimbulkan spekulasi. Bagaimana mungkin seorang pemimpin revolusi di negeri ini, yang menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing sebelumnya dan sangat anti kapitalisme, bisa menekennya. Banyak orang mengatakan Si Bung berada di bawah tekanan, tak ubahnya seperti tawanan yang pelan-pelan dibunuh karakternya. Berdasar fakta sejarah, Soekarno sejak 1966 memang tengah dipreteli kekuasaannya oleh MPRS. Dan, kabinet Ampera yang dipimpin ketua presidium Jenderal Soeharto, salah satu kebijakannya adalah mencabut Undang-undang Nomor 16 Tahun 1965 tentang penanaman modal asing, dimana Bung Karno menolak keterlibatan modal asing di Indonesia. 
Undang-undang itu bak sebuah paket yang dipersiapkan matang. Soekarno, yang kian surut kuasanya, dilibatkan untuk meneken, akan tetapi kemudian yang mengeksekusi adalah Soeharto. Beberapa minggu setelah Jenderal Soeharto dilantik sebagai pejabat presiden, pada 7 April 1967, kontrak karya Freeport ditandatangani oleh menteri pertambangan Indonesia dan Robert C. Hills, presiden Freeport Sulphur -kemudian menjadi Freeport Mc Moran. Marshall Green, duta besar Amerika Serikat kala itu, berdiri di belakang tak jauh dari tempat duduk Hills, turut menyaksikan peristiwa tersebut. 
Sebagaimana berdasar sejumlah analisis sejarah, paling tidak dapat menjawab pertanyaan, mengapa rezim fasis ini berkongsi dengan para korporat internasional. Ketika terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia, Soekarno melibatkan para tentara untuk mengelola bisnis perusahaan-perusahaan itu. Sudah barang tentu, pada saat Soeharto menghentikan nasionalisasi perusahaan terjadi tawar-menawar karena menyangkut bisnis militer. Di sisi lain, para komparador, umumnya pemburu-rente, lebih dahulu mengasingkan kelas pekerja, menafikan partisipasi mereka sebagai pemilik saham di negeri ini. Partai-partai politik dan birokrasi disimplifikasi masuk terkonsentrasi ke dalam mesin korporatisme. Soeharto nyatanya menempatkan perwira-perwira militer, keluarga dan kolega terdekatnya, guna mengamankan simpul-simpul ekonomi strategis. Kasus Pertamina dapat menjadi pelajaran berharga. 
Ibnu Sutowo, salah satu perwira itu, yang ditunjuk Soeharto untuk memimpin Pertamina, pada dekade 1970an. Pada mulanya dia banyak dipuji, lantaran mengembangkan kontrak konsensi migas, production sharing contract. Semua kegiatan dan segala risiko eksplorasi diserahkan pada kontraktor, maskapai minyak dunia. Pertamina tinggal duduk di belakang meja, mengawasi kerja para kontraktor dan menerima bagi-hasil 70-85 persen dari hasil produksi. Saat itu, pertamina dapat meningkatkan produksi lebih dari satu juta barrel per hari. Namun, uang pinjaman dari para bankir dunia untuk Pertamina, justru disebarkan di bisnis di luar Migas, seperti hotel dan pabrik baja. Oktober 1973, terjadi krisis minyak dunia. Harga minyak melambung. Toh, efek keuntungan dari harga minyak itu guna ketahanan ekonomi di negeri ini masih menjadi pertanyaan besar. Kerentanan orang terperosok dalam jurang kemiskinan semakin menjadi-jadi.
Harian Indonesia Raya yang dipimpin Mochtar Lubis, sebelum koran ini dibredel pada Januari 1974, kerap kali mempergunjingkan prilaku Ibnu Sutowo. Seperti memperkarakan kejanggalan penjualan minyak mentah, dimana Pertamina mengobral harga 6 dollar Amerika Serikat per barel, sementara negara Arab menjual 9 dollar Amerika Serikat. Padahal kualitas minyak Indonesia jauh lebih baik daripada minyak yang disemburkan dari ladang minyak di Arab. Pertamina nyaris bankrut, punya utang lebih dari 10 milliar dollar Amerika Serikat. Lewat perjalanan waktu, Pertamina diketahui pula menjadi sarang korupsi. Ibnu Sutowo memang dipecat Soeharto, akan tetapi tidak tersentuh sampai ke meja pengadilan. Korupsi yang terjadi dianggap sebagai masalah teknis belaka, bukan lahir dari sistem yang tidak logis.
Kembali ke diskusi kami, yang saya ceritakan di awal. Saat badai krisis tahun 1998 mendera negeri ini, korporat besar itu lewat lembaga keuangan internasional menyuruh kita agar membuka pintu lebih lebar. Mereka tentu saja, telah memiliki pengalaman lama semenjak menjadi kontraktor di dekade 1970an.  Sebagian blok-blok Migas yang besar-besar di bawah genggaman mereka. Belakangan, ketika terjadi integrasi pasar bebas sejak 2001, memperbesar peran korporat besar itu ("seven sister", sebuah istilah yang diciptakan Enrico Mattei, pemimpin Eni, perusahaan minyak negara Italia, untuk menggambarkan konsorsium kartel tujuh maskapai minyak raksasa yang mendominasi, mengendalikan, industri Migas secara global, seperti Shell, Exxon, Chevron, dan BP), untuk menguasai hulu sampai hilir. Peran Pertamina pun diperkecil menjadi operator atau pemain biasa. Kawan diskusi saya dari Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu menyajikan peta kepemilikan Migas di Indonesia. Saya sempat berseloroh, dulu Bung Karno menerbitkan buku "Di Bawah Bendera Revolusi", pada saat ini para mafia Migas dan komparador membawa kita "di bawah bendera asing".
Trans-nasionalisasi kapitalisme internasional dalam rezim pasar-bebas, tidak sekedar pada sudut pandang integrasi ekonomi-politik. Tapi, juga kultur, atau orang menyebutnya sebagai "globalisasi-kultur". Dari pengalaman yang ada, "globalisasi" jauh dari harapan untuk menciptakan kesetaraan atau keadilan bersama, tidak dapat dapat menampung keragaman kebudayaan yang ada di dunia, bahkan dapat berubah menjadi ancaman. Saya menjadi semakin paham, mengapa para ibu rumah tangga itu menginisiasi dan mendirikan sebuah organisasi konsumen. Saya melihatnya sosok ibu, dengan rasa kecintaan yang besar, yang memberi pangan pada kita sejak dari kandungan hingga orang menjadi dewasa. Mereka akan sangat terganggu jika pangan diusik, atau tradisi pangan diganggu. Mereka sejatinya, adalah penjaga dan merawat kedaulatan. 
Akhir dekade 1960an, Amerika Serikat mengirim bantuan pangan ke Indonesia dengan kode PL (public law) nomor 480, atas permintaan Soeharto. Akan tetapi, sebagian beras sudah terserap di wilayah perang mereka, Vietnam dan Laos. Amerika Serikat lantas menekan Soeharto untuk melakukan pengalihan beras ke gandum yang disubsidi pemerintah Amerika Serikat. Soeharto kemudian mengajak kongsi lamanya, Sudono Salim, berbisnis tepung terigu. Salim kemudian diberi lisensi khusus memasarkan tepung terigu di wilayah gemuk Jawa dan Sumatera. Bisnis ini dijalankan Salim dengan menggandeng sepupu Soeharto, Sudwikatmono melalui perusahaan, Bogasari. Perusahaan ini mengolah 70 persen biji gandum yang diimpor Bulog menjadi tepung terigu. Sementara, perusahaan milik Salim lainnya, Indofood mengolah tepung terigu menjadi mi instan -pada saat ini Bogasari sudah diakuisisi Indofood. Untung besar dari tepung terigu itu diraup Salim. Sebagai gantinya, Salim tidak lupa menyisihkan 26 persen keuntungan hasil perdagangan tepung terigu itu ke Yayasan Harapan Kita, yang dipimpin isteri Soeharto, Nyonya Tien Soeharto [1].
Tradisi pangan pun memang berubah, semenjak pengiriman gandum dari Amerika Serikat. Belakangan memang, Indonesia menjadi salah satu negara penting pengimpor gandum. Gandum juga telah berhasil menjadi pesaing serius beras di meja makan. Pada saat krisis 1998, IMF menyuruh pemerintah menghapus bea impor gandum dan mensubsidi harga terigu di pasaran. Gandum hanyalah salah satu contoh, mengilustrasikan negara yang dulu dikenal agraris ini menjadi pengimpor pangan, bahkan mengimpor garam. 
Maka, apakah masih relevan kecintaan para ibu, yang saya ceritakan di awal tulisan ini, terhadap produk dalam negeri. Atau, orang menyebutnya sebagai sikap "nasionalis". Bagi saya, inilah preferensi konsumen untuk menjatuhkan pilihan pada saat membeli barang. Konsumen mesti lebih sensitif terhadap trans-nasionalisasi kapitalisme internasional, atau yang mengubah diri mereka menjadi "predator". Inil adalah bagian dari memanifestasikan hak konsumen: hak atas pilihan. Dan, tentu saja ini bukan sesuatu yang mudah bagi konsumen dalam situasi perdagangan global yang kompleks seperti sekarang. Salah satu metode, menurut saya, yang dapat diterapkan konsumen adalah: traceability.
Organisasi Internasional untuk Standarisasi (ISO) mengartikan traceability sebagai: "kemampuan untuk menelusuri sejarah, penggunaan atau lokasi suatu entitas dalam artian petunjuk-petunjuk yang terdokumentasi". Kemampuan menelusuri kembali (traceability) pada abad 21, menjadi sangat penting mengawasi metode produksi yang sudah demikian kompleks dan seperti perjalanan pangan mengelilingi dunia. Jika metode ini digunakan secara benar, dapat memfasilitasi informasi untuk pilihan konsumen dan tidak menyesatkan. Konsumen mesti menggunakan beberapa indikator: dari mana bahan bakunya dari wilayah lokal atau luar negeri, dimana lokasi produksinya, apakah merek lokal atau asing, siapa pemiliknya, dan sebagainya. Memang tidak mudah bukan. Bagaimanapun, konsumen mesti belajar keluar dari jebakan asimetri informasi atau informasi yang terdistorsi, apalagi termanipulasi. Cobalah sekarang, sebagai awal, telusuri produk air minum dalam kemasan. [2] 

Paccerakkang, 21 Oktober 2014

[1] http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/324428-bukti-kedekatan-oom-liem-dengan-soeharto
[2] Pada tahun 1973, Tirto Utomo, diajak atasannya di Pertamina, Ibnu Sutowo, berkunjung ke Thailand. Tirto Utomo lantas mempelajari pembuatan air mineral di perusahaan Polaris, Thailand. Sampai di Indonesia, Tirto membuat pabrik pembotolan air minum merek Aqua. Sampai pada akhirnya Ibnu Sutowo berkata dalam bahasa Jawa,"Tirto itu aneh. Air (di Indonesia) itu banjir, kok malah dimasukan dalam botol". Bisnis orang Wonosobo ini, ternyata laku keras, terjual sampai di Malaysia, Singapura dan Brunei, sekaligus menjadi market leader untuk produk air minum dalam kemasan.  Para pesaing pun bermunculan. Pasar semakin kompetitif. Tahun 1998, perusahaan Aqua ini diakusisi oleh Danone, guna menyelamatkan produk ini kompetisi yang semakin ketat. Danone adalah korporasi multi nasional Perancis yang bergerak di sektor pemerosesan makanan dan minuman. Danone memiliki berbagai merek internasional air minum dalam kemasan selain Aqua, Volvic, Evian. Strategi pertumbuhan bisnisnya mengadopsi usaha patungan (joint-venture), yang menyebabkan Danone tumbuh secara cepat. Pasarnya diorientasikan di negara-negara berkembang. (lihat wikipedia).

Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis...

Separasi, Segregasi, Ruang Kota Kolonial

HALAMAN belakang selalu memberi imajinasi. Pekan lalu, saya merasa beruntung dapat menjelajahi halaman belakang Pulau Ambon. Garis awal, pagi itu, langit biru sedikit awan, dari jalan sempit di samping markas polisi. Mobil kami mulai merayap di tanjakan jalan dan berkelok-kelok di punggung pegunungan Ambon. Mata kami mesti tetap awas di Lei Timur, beberapa ruas badan jalan digerus tanah longsor. Pekan ini, nampaknya para nelayan, di wilayah yang berhadapan dengan Laut Banda ini, lebih banyak waktunya di darat. Badan meteorologi dan geofisika setempat meramalkan cuaca buruk. " Bodi bisa picah-picah ," kata seorang nelayan, itu sebabnya perahu penangkap tuna, sebagian bantuan dari kementerian kelautan, tertelungkup di tepi pantai.        Lewat Passo, kami menjelajah ke Tanah Hitu. Masih di halaman belakang. Saya menikmati pesona Jazirah Lei Hitu. Mesjid tua yang bersejarah di Negeri Hila, juga bangunan peninggalan Belanda, Benteng Amsterdam, semula adalah loji P...

Cerita dari Tual

PESAWAT yang membawa saya dari Makassar itu tiba-tiba terguncang keras. Tak lama setelah terperangkap dalam awan kelabu. Lantas, terasa meluncur turun dengan cepat sekali dari ketinggian. Hingga akhirnya menyentuh ujung landasan, menghempas genangan air hujan. Musim timur di Ambon rupanya mengirim hujan deras sejak pagi-pagi buta. Saya singgah transit beberapa jam di Bandara Pattimura. Siang hari baru menuju Ibra-Langgur, Maluku Tenggara.  Lebih dari sepuluh tahun lalu, saya hanya transit sejenak di pangkalan angkatan udara Dumatubun, Langgur, dalam sebuah perjalanan ke Saumlaki, Tanimbar dari Ambon. https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/0/02/Topographic_map_of_the_Kai_Islands-en.svg Hujan ternyata belum juga reda, ketika mesin baling-baling (turboprop) pesawat ATR itu menyala. Perjalanan ke Ibra-Langgur tidak sampai dua jam. Di atas Laut Banda, langit kembali cerah, meski sedikit berawan. Sebelum mendarat di Bandara Karel Sadsuitubun, dari balik jendela pesawat, namp...

Long Loreh, Batubara

HAMPIR tengah malam, telepon genggam saya bergetar. Di seberang sana, terdengar suara isteri saya bertanya, "lagi dimana ini". "Malinau," kata saya pendek. "Apa ada dalam peta," tanyanya lagi. Saya tak menjawab. Saya lalu hentikan percakapan. Melalui whatsapp, saya kirim peta Malinau padanya. Ia membalas dengan emoji senyum. Malinau berada di jantung Borneo. Sebuah kabupaten di Kalimantan Utara, berbatasan dengan Serawak, negara bagian Malaysia. Garis batas yang mengikuti punggung sebuah taman nasional, Kayan Mentarang. Rimba menghijau yang kaya spesies di Malinau sangat berarti bagi penghidupan berkelanjutan. Selain, memberi sokongan dalam menyerap karbon dioksida, salah satu gas rumah kaca yang mempengaruhi perubahan iklim global. Namun, orang-orang Malinau mesti kerja keras menjaga peradaban mereka dalam ekologi hutan hujan tropis yang khas itu. Sebagai bagian dari Kalimantan yang merupakan penghasil kayu terbesar di Indonesia,  dimana lebih 10 juta he...