APA yang membuat seorang konsumen menjatuhkan pilihan untuk membeli suatu barang. Jawabannya mudah ditebak. Beberapa diantaranya, harga dapat dijangkau, ketersediaan barang, kebaruan. Pekan akhir September lalu, sekaitan dengan preferensi konsumen, saya terlibat dalam sebuah diskusi. Saya rasa diskusi tersebut seperti mengajak kita kembali pada sebuah masa, 41 tahun silam. Sewaktu sekelompok ibu rumah tangga, di Jakarta, bersuara atas nama kecintaan pada produk dalam negeri. Para ibu ini, pada tahun itu pula, kemudian menginisiasi kekuatan, mendirikan sebuah organisasi konsumen yang pertama di negeri ini. Peristiwa yang sungguh menarik hati, mengingat rezim kala itu sibuk menjinakan atau memberangus peran progresif perempuan.
Barangkali suasana diskusi waktu itu, saya tiba-tiba larut memperhatikan konteks waktu saat itu, tahun 1973. Satu tahun sebelum sebuah kerusuhan meledak. Sentimen negatif merebak dimana-mana terhadap kapitalis internasional. Asap hitam membumbung di langit Jakarta. Ratusan mobil dibakar. Toko emas dijarah. Belasan orang tewas. Tapi, rezim yang berkuasa, tidak tumbang, konsolidasi kekuasaan terlanjur sangat kuat dalam kurun waktu itu.
Enam tahun sebelumnya, awal Nopember 1967, Soeharto mengirim orangnya sebagai wakil pemerintah, ke Jenewa, Swiss. Mereka bertemu satu meja, duduk berseberangan, dengan para kapitalis internasional. Sebuah pertemuan yang disponsori The Time-Life Corporation, yang bertajuk: Indonesia Investment Conference. Saya meminjam istilah John Pilgers dalam film dokumenter mengenai Indonesia, "The New Rulers of the World": tiga hari yang istimewa sebagai strategi pengambil-alihan Indonesia. Mula-mula wakil pemerintah itu menawarkan, jumlah buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumberdaya mineral yang melimpah dan pasar yang besar. Kemudian, pengusaha David Rockefeller dan wakil korporat-korporat raksasa yang hadir seperti dari, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Chase Manhattan, yang lebih banyak bicara daripada mendengar, sekaligus mendikte wakil pemerintah. Sungguh ironis memang, korporat-korporat itu menentukan nasib sebuah negara yang berdaulat.
Lewat mesin pencari Google, kita tahu ada yang mendahului pertemuan di Jenewa itu. Pada 10 Januari 1967, sebuah undang-undang yang dibentuk secara terburu-buru: undang-undang penanaman modal asing, disahkan. Sebuah undang-undang diteken oleh Soekarno. Hal ini tentu menimbulkan spekulasi. Bagaimana mungkin seorang pemimpin revolusi di negeri ini, yang menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing sebelumnya dan sangat anti kapitalisme, bisa menekennya. Banyak orang mengatakan Si Bung berada di bawah tekanan, tak ubahnya seperti tawanan yang pelan-pelan dibunuh karakternya. Berdasar fakta sejarah, Soekarno sejak 1966 memang tengah dipreteli kekuasaannya oleh MPRS. Dan, kabinet Ampera yang dipimpin ketua presidium Jenderal Soeharto, salah satu kebijakannya adalah mencabut Undang-undang Nomor 16 Tahun 1965 tentang penanaman modal asing, dimana Bung Karno menolak keterlibatan modal asing di Indonesia.
Undang-undang itu bak sebuah paket yang dipersiapkan matang. Soekarno, yang kian surut kuasanya, dilibatkan untuk meneken, akan tetapi kemudian yang mengeksekusi adalah Soeharto. Beberapa minggu setelah Jenderal Soeharto dilantik sebagai pejabat presiden, pada 7 April 1967, kontrak karya Freeport ditandatangani oleh menteri pertambangan Indonesia dan Robert C. Hills, presiden Freeport Sulphur -kemudian menjadi Freeport Mc Moran. Marshall Green, duta besar Amerika Serikat kala itu, berdiri di belakang tak jauh dari tempat duduk Hills, turut menyaksikan peristiwa tersebut.
Sebagaimana berdasar sejumlah analisis sejarah, paling tidak dapat menjawab pertanyaan, mengapa rezim fasis ini berkongsi dengan para korporat internasional. Ketika terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia, Soekarno melibatkan para tentara untuk mengelola bisnis perusahaan-perusahaan itu. Sudah barang tentu, pada saat Soeharto menghentikan nasionalisasi perusahaan terjadi tawar-menawar karena menyangkut bisnis militer. Di sisi lain, para komparador, umumnya pemburu-rente, lebih dahulu mengasingkan kelas pekerja, menafikan partisipasi mereka sebagai pemilik saham di negeri ini. Partai-partai politik dan birokrasi disimplifikasi masuk terkonsentrasi ke dalam mesin korporatisme. Soeharto nyatanya menempatkan perwira-perwira militer, keluarga dan kolega terdekatnya, guna mengamankan simpul-simpul ekonomi strategis. Kasus Pertamina dapat menjadi pelajaran berharga.
Ibnu Sutowo, salah satu perwira itu, yang ditunjuk Soeharto untuk memimpin Pertamina, pada dekade 1970an. Pada mulanya dia banyak dipuji, lantaran mengembangkan kontrak konsensi migas, production sharing contract. Semua kegiatan dan segala risiko eksplorasi diserahkan pada kontraktor, maskapai minyak dunia. Pertamina tinggal duduk di belakang meja, mengawasi kerja para kontraktor dan menerima bagi-hasil 70-85 persen dari hasil produksi. Saat itu, pertamina dapat meningkatkan produksi lebih dari satu juta barrel per hari. Namun, uang pinjaman dari para bankir dunia untuk Pertamina, justru disebarkan di bisnis di luar Migas, seperti hotel dan pabrik baja. Oktober 1973, terjadi krisis minyak dunia. Harga minyak melambung. Toh, efek keuntungan dari harga minyak itu guna ketahanan ekonomi di negeri ini masih menjadi pertanyaan besar. Kerentanan orang terperosok dalam jurang kemiskinan semakin menjadi-jadi.
Harian Indonesia Raya yang dipimpin Mochtar Lubis, sebelum koran ini dibredel pada Januari 1974, kerap kali mempergunjingkan prilaku Ibnu Sutowo. Seperti memperkarakan kejanggalan penjualan minyak mentah, dimana Pertamina mengobral harga 6 dollar Amerika Serikat per barel, sementara negara Arab menjual 9 dollar Amerika Serikat. Padahal kualitas minyak Indonesia jauh lebih baik daripada minyak yang disemburkan dari ladang minyak di Arab. Pertamina nyaris bankrut, punya utang lebih dari 10 milliar dollar Amerika Serikat. Lewat perjalanan waktu, Pertamina diketahui pula menjadi sarang korupsi. Ibnu Sutowo memang dipecat Soeharto, akan tetapi tidak tersentuh sampai ke meja pengadilan. Korupsi yang terjadi dianggap sebagai masalah teknis belaka, bukan lahir dari sistem yang tidak logis.
Kembali ke diskusi kami, yang saya ceritakan di awal. Saat badai krisis tahun 1998 mendera negeri ini, korporat besar itu lewat lembaga keuangan internasional menyuruh kita agar membuka pintu lebih lebar. Mereka tentu saja, telah memiliki pengalaman lama semenjak menjadi kontraktor di dekade 1970an. Sebagian blok-blok Migas yang besar-besar di bawah genggaman mereka. Belakangan, ketika terjadi integrasi pasar bebas sejak 2001, memperbesar peran korporat besar itu ("seven sister", sebuah istilah yang diciptakan Enrico Mattei, pemimpin Eni, perusahaan minyak negara Italia, untuk menggambarkan konsorsium kartel tujuh maskapai minyak raksasa yang mendominasi, mengendalikan, industri Migas secara global, seperti Shell, Exxon, Chevron, dan BP), untuk menguasai hulu sampai hilir. Peran Pertamina pun diperkecil menjadi operator atau pemain biasa. Kawan diskusi saya dari Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu menyajikan peta kepemilikan Migas di Indonesia. Saya sempat berseloroh, dulu Bung Karno menerbitkan buku "Di Bawah Bendera Revolusi", pada saat ini para mafia Migas dan komparador membawa kita "di bawah bendera asing".
Trans-nasionalisasi kapitalisme internasional dalam rezim pasar-bebas, tidak sekedar pada sudut pandang integrasi ekonomi-politik. Tapi, juga kultur, atau orang menyebutnya sebagai "globalisasi-kultur". Dari pengalaman yang ada, "globalisasi" jauh dari harapan untuk menciptakan kesetaraan atau keadilan bersama, tidak dapat dapat menampung keragaman kebudayaan yang ada di dunia, bahkan dapat berubah menjadi ancaman. Saya menjadi semakin paham, mengapa para ibu rumah tangga itu menginisiasi dan mendirikan sebuah organisasi konsumen. Saya melihatnya sosok ibu, dengan rasa kecintaan yang besar, yang memberi pangan pada kita sejak dari kandungan hingga orang menjadi dewasa. Mereka akan sangat terganggu jika pangan diusik, atau tradisi pangan diganggu. Mereka sejatinya, adalah penjaga dan merawat kedaulatan.
Akhir dekade 1960an, Amerika Serikat mengirim bantuan pangan ke Indonesia dengan kode PL (public law) nomor 480, atas permintaan Soeharto. Akan tetapi, sebagian beras sudah terserap di wilayah perang mereka, Vietnam dan Laos. Amerika Serikat lantas menekan Soeharto untuk melakukan pengalihan beras ke gandum yang disubsidi pemerintah Amerika Serikat. Soeharto kemudian mengajak kongsi lamanya, Sudono Salim, berbisnis tepung terigu. Salim kemudian diberi lisensi khusus memasarkan tepung terigu di wilayah gemuk Jawa dan Sumatera. Bisnis ini dijalankan Salim dengan menggandeng sepupu Soeharto, Sudwikatmono melalui perusahaan, Bogasari. Perusahaan ini mengolah 70 persen biji gandum yang diimpor Bulog menjadi tepung terigu. Sementara, perusahaan milik Salim lainnya, Indofood mengolah tepung terigu menjadi mi instan -pada saat ini Bogasari sudah diakuisisi Indofood. Untung besar dari tepung terigu itu diraup Salim. Sebagai gantinya, Salim tidak lupa menyisihkan 26 persen keuntungan hasil perdagangan tepung terigu itu ke Yayasan Harapan Kita, yang dipimpin isteri Soeharto, Nyonya Tien Soeharto [1].
Tradisi pangan pun memang berubah, semenjak pengiriman gandum dari Amerika Serikat. Belakangan memang, Indonesia menjadi salah satu negara penting pengimpor gandum. Gandum juga telah berhasil menjadi pesaing serius beras di meja makan. Pada saat krisis 1998, IMF menyuruh pemerintah menghapus bea impor gandum dan mensubsidi harga terigu di pasaran. Gandum hanyalah salah satu contoh, mengilustrasikan negara yang dulu dikenal agraris ini menjadi pengimpor pangan, bahkan mengimpor garam.
Maka, apakah masih relevan kecintaan para ibu, yang saya ceritakan di awal tulisan ini, terhadap produk dalam negeri. Atau, orang menyebutnya sebagai sikap "nasionalis". Bagi saya, inilah preferensi konsumen untuk menjatuhkan pilihan pada saat membeli barang. Konsumen mesti lebih sensitif terhadap trans-nasionalisasi kapitalisme internasional, atau yang mengubah diri mereka menjadi "predator". Inil adalah bagian dari memanifestasikan hak konsumen: hak atas pilihan. Dan, tentu saja ini bukan sesuatu yang mudah bagi konsumen dalam situasi perdagangan global yang kompleks seperti sekarang. Salah satu metode, menurut saya, yang dapat diterapkan konsumen adalah: traceability.
Organisasi Internasional untuk Standarisasi (ISO) mengartikan traceability sebagai: "kemampuan untuk menelusuri sejarah, penggunaan atau lokasi suatu entitas dalam artian petunjuk-petunjuk yang terdokumentasi". Kemampuan menelusuri kembali (traceability) pada abad 21, menjadi sangat penting mengawasi metode produksi yang sudah demikian kompleks dan seperti perjalanan pangan mengelilingi dunia. Jika metode ini digunakan secara benar, dapat memfasilitasi informasi untuk pilihan konsumen dan tidak menyesatkan. Konsumen mesti menggunakan beberapa indikator: dari mana bahan bakunya dari wilayah lokal atau luar negeri, dimana lokasi produksinya, apakah merek lokal atau asing, siapa pemiliknya, dan sebagainya. Memang tidak mudah bukan. Bagaimanapun, konsumen mesti belajar keluar dari jebakan asimetri informasi atau informasi yang terdistorsi, apalagi termanipulasi. Cobalah sekarang, sebagai awal, telusuri produk air minum dalam kemasan. [2]
Paccerakkang, 21 Oktober 2014
[1] http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/324428-bukti-kedekatan-oom-liem-dengan-soeharto
[2] Pada tahun 1973, Tirto Utomo, diajak atasannya di Pertamina, Ibnu Sutowo, berkunjung ke Thailand. Tirto Utomo lantas mempelajari pembuatan air mineral di perusahaan Polaris, Thailand. Sampai di Indonesia, Tirto membuat pabrik pembotolan air minum merek Aqua. Sampai pada akhirnya Ibnu Sutowo berkata dalam bahasa Jawa,"Tirto itu aneh. Air (di Indonesia) itu banjir, kok malah dimasukan dalam botol". Bisnis orang Wonosobo ini, ternyata laku keras, terjual sampai di Malaysia, Singapura dan Brunei, sekaligus menjadi market leader untuk produk air minum dalam kemasan. Para pesaing pun bermunculan. Pasar semakin kompetitif. Tahun 1998, perusahaan Aqua ini diakusisi oleh Danone, guna menyelamatkan produk ini kompetisi yang semakin ketat. Danone adalah korporasi multi nasional Perancis yang bergerak di sektor pemerosesan makanan dan minuman. Danone memiliki berbagai merek internasional air minum dalam kemasan selain Aqua, Volvic, Evian. Strategi pertumbuhan bisnisnya mengadopsi usaha patungan (joint-venture), yang menyebabkan Danone tumbuh secara cepat. Pasarnya diorientasikan di negara-negara berkembang. (lihat wikipedia).
Barangkali suasana diskusi waktu itu, saya tiba-tiba larut memperhatikan konteks waktu saat itu, tahun 1973. Satu tahun sebelum sebuah kerusuhan meledak. Sentimen negatif merebak dimana-mana terhadap kapitalis internasional. Asap hitam membumbung di langit Jakarta. Ratusan mobil dibakar. Toko emas dijarah. Belasan orang tewas. Tapi, rezim yang berkuasa, tidak tumbang, konsolidasi kekuasaan terlanjur sangat kuat dalam kurun waktu itu.
Enam tahun sebelumnya, awal Nopember 1967, Soeharto mengirim orangnya sebagai wakil pemerintah, ke Jenewa, Swiss. Mereka bertemu satu meja, duduk berseberangan, dengan para kapitalis internasional. Sebuah pertemuan yang disponsori The Time-Life Corporation, yang bertajuk: Indonesia Investment Conference. Saya meminjam istilah John Pilgers dalam film dokumenter mengenai Indonesia, "The New Rulers of the World": tiga hari yang istimewa sebagai strategi pengambil-alihan Indonesia. Mula-mula wakil pemerintah itu menawarkan, jumlah buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumberdaya mineral yang melimpah dan pasar yang besar. Kemudian, pengusaha David Rockefeller dan wakil korporat-korporat raksasa yang hadir seperti dari, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Chase Manhattan, yang lebih banyak bicara daripada mendengar, sekaligus mendikte wakil pemerintah. Sungguh ironis memang, korporat-korporat itu menentukan nasib sebuah negara yang berdaulat.
Lewat mesin pencari Google, kita tahu ada yang mendahului pertemuan di Jenewa itu. Pada 10 Januari 1967, sebuah undang-undang yang dibentuk secara terburu-buru: undang-undang penanaman modal asing, disahkan. Sebuah undang-undang diteken oleh Soekarno. Hal ini tentu menimbulkan spekulasi. Bagaimana mungkin seorang pemimpin revolusi di negeri ini, yang menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing sebelumnya dan sangat anti kapitalisme, bisa menekennya. Banyak orang mengatakan Si Bung berada di bawah tekanan, tak ubahnya seperti tawanan yang pelan-pelan dibunuh karakternya. Berdasar fakta sejarah, Soekarno sejak 1966 memang tengah dipreteli kekuasaannya oleh MPRS. Dan, kabinet Ampera yang dipimpin ketua presidium Jenderal Soeharto, salah satu kebijakannya adalah mencabut Undang-undang Nomor 16 Tahun 1965 tentang penanaman modal asing, dimana Bung Karno menolak keterlibatan modal asing di Indonesia.
Undang-undang itu bak sebuah paket yang dipersiapkan matang. Soekarno, yang kian surut kuasanya, dilibatkan untuk meneken, akan tetapi kemudian yang mengeksekusi adalah Soeharto. Beberapa minggu setelah Jenderal Soeharto dilantik sebagai pejabat presiden, pada 7 April 1967, kontrak karya Freeport ditandatangani oleh menteri pertambangan Indonesia dan Robert C. Hills, presiden Freeport Sulphur -kemudian menjadi Freeport Mc Moran. Marshall Green, duta besar Amerika Serikat kala itu, berdiri di belakang tak jauh dari tempat duduk Hills, turut menyaksikan peristiwa tersebut.
Sebagaimana berdasar sejumlah analisis sejarah, paling tidak dapat menjawab pertanyaan, mengapa rezim fasis ini berkongsi dengan para korporat internasional. Ketika terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia, Soekarno melibatkan para tentara untuk mengelola bisnis perusahaan-perusahaan itu. Sudah barang tentu, pada saat Soeharto menghentikan nasionalisasi perusahaan terjadi tawar-menawar karena menyangkut bisnis militer. Di sisi lain, para komparador, umumnya pemburu-rente, lebih dahulu mengasingkan kelas pekerja, menafikan partisipasi mereka sebagai pemilik saham di negeri ini. Partai-partai politik dan birokrasi disimplifikasi masuk terkonsentrasi ke dalam mesin korporatisme. Soeharto nyatanya menempatkan perwira-perwira militer, keluarga dan kolega terdekatnya, guna mengamankan simpul-simpul ekonomi strategis. Kasus Pertamina dapat menjadi pelajaran berharga.
Ibnu Sutowo, salah satu perwira itu, yang ditunjuk Soeharto untuk memimpin Pertamina, pada dekade 1970an. Pada mulanya dia banyak dipuji, lantaran mengembangkan kontrak konsensi migas, production sharing contract. Semua kegiatan dan segala risiko eksplorasi diserahkan pada kontraktor, maskapai minyak dunia. Pertamina tinggal duduk di belakang meja, mengawasi kerja para kontraktor dan menerima bagi-hasil 70-85 persen dari hasil produksi. Saat itu, pertamina dapat meningkatkan produksi lebih dari satu juta barrel per hari. Namun, uang pinjaman dari para bankir dunia untuk Pertamina, justru disebarkan di bisnis di luar Migas, seperti hotel dan pabrik baja. Oktober 1973, terjadi krisis minyak dunia. Harga minyak melambung. Toh, efek keuntungan dari harga minyak itu guna ketahanan ekonomi di negeri ini masih menjadi pertanyaan besar. Kerentanan orang terperosok dalam jurang kemiskinan semakin menjadi-jadi.
Harian Indonesia Raya yang dipimpin Mochtar Lubis, sebelum koran ini dibredel pada Januari 1974, kerap kali mempergunjingkan prilaku Ibnu Sutowo. Seperti memperkarakan kejanggalan penjualan minyak mentah, dimana Pertamina mengobral harga 6 dollar Amerika Serikat per barel, sementara negara Arab menjual 9 dollar Amerika Serikat. Padahal kualitas minyak Indonesia jauh lebih baik daripada minyak yang disemburkan dari ladang minyak di Arab. Pertamina nyaris bankrut, punya utang lebih dari 10 milliar dollar Amerika Serikat. Lewat perjalanan waktu, Pertamina diketahui pula menjadi sarang korupsi. Ibnu Sutowo memang dipecat Soeharto, akan tetapi tidak tersentuh sampai ke meja pengadilan. Korupsi yang terjadi dianggap sebagai masalah teknis belaka, bukan lahir dari sistem yang tidak logis.
Kembali ke diskusi kami, yang saya ceritakan di awal. Saat badai krisis tahun 1998 mendera negeri ini, korporat besar itu lewat lembaga keuangan internasional menyuruh kita agar membuka pintu lebih lebar. Mereka tentu saja, telah memiliki pengalaman lama semenjak menjadi kontraktor di dekade 1970an. Sebagian blok-blok Migas yang besar-besar di bawah genggaman mereka. Belakangan, ketika terjadi integrasi pasar bebas sejak 2001, memperbesar peran korporat besar itu ("seven sister", sebuah istilah yang diciptakan Enrico Mattei, pemimpin Eni, perusahaan minyak negara Italia, untuk menggambarkan konsorsium kartel tujuh maskapai minyak raksasa yang mendominasi, mengendalikan, industri Migas secara global, seperti Shell, Exxon, Chevron, dan BP), untuk menguasai hulu sampai hilir. Peran Pertamina pun diperkecil menjadi operator atau pemain biasa. Kawan diskusi saya dari Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu menyajikan peta kepemilikan Migas di Indonesia. Saya sempat berseloroh, dulu Bung Karno menerbitkan buku "Di Bawah Bendera Revolusi", pada saat ini para mafia Migas dan komparador membawa kita "di bawah bendera asing".
Trans-nasionalisasi kapitalisme internasional dalam rezim pasar-bebas, tidak sekedar pada sudut pandang integrasi ekonomi-politik. Tapi, juga kultur, atau orang menyebutnya sebagai "globalisasi-kultur". Dari pengalaman yang ada, "globalisasi" jauh dari harapan untuk menciptakan kesetaraan atau keadilan bersama, tidak dapat dapat menampung keragaman kebudayaan yang ada di dunia, bahkan dapat berubah menjadi ancaman. Saya menjadi semakin paham, mengapa para ibu rumah tangga itu menginisiasi dan mendirikan sebuah organisasi konsumen. Saya melihatnya sosok ibu, dengan rasa kecintaan yang besar, yang memberi pangan pada kita sejak dari kandungan hingga orang menjadi dewasa. Mereka akan sangat terganggu jika pangan diusik, atau tradisi pangan diganggu. Mereka sejatinya, adalah penjaga dan merawat kedaulatan.
Akhir dekade 1960an, Amerika Serikat mengirim bantuan pangan ke Indonesia dengan kode PL (public law) nomor 480, atas permintaan Soeharto. Akan tetapi, sebagian beras sudah terserap di wilayah perang mereka, Vietnam dan Laos. Amerika Serikat lantas menekan Soeharto untuk melakukan pengalihan beras ke gandum yang disubsidi pemerintah Amerika Serikat. Soeharto kemudian mengajak kongsi lamanya, Sudono Salim, berbisnis tepung terigu. Salim kemudian diberi lisensi khusus memasarkan tepung terigu di wilayah gemuk Jawa dan Sumatera. Bisnis ini dijalankan Salim dengan menggandeng sepupu Soeharto, Sudwikatmono melalui perusahaan, Bogasari. Perusahaan ini mengolah 70 persen biji gandum yang diimpor Bulog menjadi tepung terigu. Sementara, perusahaan milik Salim lainnya, Indofood mengolah tepung terigu menjadi mi instan -pada saat ini Bogasari sudah diakuisisi Indofood. Untung besar dari tepung terigu itu diraup Salim. Sebagai gantinya, Salim tidak lupa menyisihkan 26 persen keuntungan hasil perdagangan tepung terigu itu ke Yayasan Harapan Kita, yang dipimpin isteri Soeharto, Nyonya Tien Soeharto [1].
Tradisi pangan pun memang berubah, semenjak pengiriman gandum dari Amerika Serikat. Belakangan memang, Indonesia menjadi salah satu negara penting pengimpor gandum. Gandum juga telah berhasil menjadi pesaing serius beras di meja makan. Pada saat krisis 1998, IMF menyuruh pemerintah menghapus bea impor gandum dan mensubsidi harga terigu di pasaran. Gandum hanyalah salah satu contoh, mengilustrasikan negara yang dulu dikenal agraris ini menjadi pengimpor pangan, bahkan mengimpor garam.
Maka, apakah masih relevan kecintaan para ibu, yang saya ceritakan di awal tulisan ini, terhadap produk dalam negeri. Atau, orang menyebutnya sebagai sikap "nasionalis". Bagi saya, inilah preferensi konsumen untuk menjatuhkan pilihan pada saat membeli barang. Konsumen mesti lebih sensitif terhadap trans-nasionalisasi kapitalisme internasional, atau yang mengubah diri mereka menjadi "predator". Inil adalah bagian dari memanifestasikan hak konsumen: hak atas pilihan. Dan, tentu saja ini bukan sesuatu yang mudah bagi konsumen dalam situasi perdagangan global yang kompleks seperti sekarang. Salah satu metode, menurut saya, yang dapat diterapkan konsumen adalah: traceability.
Organisasi Internasional untuk Standarisasi (ISO) mengartikan traceability sebagai: "kemampuan untuk menelusuri sejarah, penggunaan atau lokasi suatu entitas dalam artian petunjuk-petunjuk yang terdokumentasi". Kemampuan menelusuri kembali (traceability) pada abad 21, menjadi sangat penting mengawasi metode produksi yang sudah demikian kompleks dan seperti perjalanan pangan mengelilingi dunia. Jika metode ini digunakan secara benar, dapat memfasilitasi informasi untuk pilihan konsumen dan tidak menyesatkan. Konsumen mesti menggunakan beberapa indikator: dari mana bahan bakunya dari wilayah lokal atau luar negeri, dimana lokasi produksinya, apakah merek lokal atau asing, siapa pemiliknya, dan sebagainya. Memang tidak mudah bukan. Bagaimanapun, konsumen mesti belajar keluar dari jebakan asimetri informasi atau informasi yang terdistorsi, apalagi termanipulasi. Cobalah sekarang, sebagai awal, telusuri produk air minum dalam kemasan. [2]
Paccerakkang, 21 Oktober 2014
[1] http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/324428-bukti-kedekatan-oom-liem-dengan-soeharto
[2] Pada tahun 1973, Tirto Utomo, diajak atasannya di Pertamina, Ibnu Sutowo, berkunjung ke Thailand. Tirto Utomo lantas mempelajari pembuatan air mineral di perusahaan Polaris, Thailand. Sampai di Indonesia, Tirto membuat pabrik pembotolan air minum merek Aqua. Sampai pada akhirnya Ibnu Sutowo berkata dalam bahasa Jawa,"Tirto itu aneh. Air (di Indonesia) itu banjir, kok malah dimasukan dalam botol". Bisnis orang Wonosobo ini, ternyata laku keras, terjual sampai di Malaysia, Singapura dan Brunei, sekaligus menjadi market leader untuk produk air minum dalam kemasan. Para pesaing pun bermunculan. Pasar semakin kompetitif. Tahun 1998, perusahaan Aqua ini diakusisi oleh Danone, guna menyelamatkan produk ini kompetisi yang semakin ketat. Danone adalah korporasi multi nasional Perancis yang bergerak di sektor pemerosesan makanan dan minuman. Danone memiliki berbagai merek internasional air minum dalam kemasan selain Aqua, Volvic, Evian. Strategi pertumbuhan bisnisnya mengadopsi usaha patungan (joint-venture), yang menyebabkan Danone tumbuh secara cepat. Pasarnya diorientasikan di negara-negara berkembang. (lihat wikipedia).