BERAPA sebenarnya jumlah lorong di Kota Makassar. Saya berusaha keras mencari jawaban ini. Saya sudah sekian kali mengulik, menelusuri di internet. Rasanya tak ada sumber atau rujukan yang dapat memastikan jumlahnya secara tepat. Jumlah lorong di Makassar diestimasikan lebih dari 1.500. Saya sendiri tiba-tiba saja tertarik dengan pertanyaan ini, seusai sebuah pertemuan yang tak terduga dengan seorang kawan lama. Selepas magrib, di depan lapak penjual sate Mase Masea, sudut perempatan jalan Bandang dan Mesjid Raya. Sebuah lapak yang buka malam hari, yang tak terlupakan sejak kami kuliah pada paruh akhir dekade 1980-an. Dia bicara lorong, saat membuka percakapan. Ada keinginan kuatnya, menghentikan langkah orang untuk merampok, membegal uang rakyat, dalam "proyek pembangunan" di lorong-lorong Makassar. Saya menangkapnya pada kata "partisipasi", karena partisipasi menghindarkan orang akan keterkucilan, eksklusi sosial. Namun, mengeksekusi kata "partisipasi" menjadi nyata, agar tidak menjadi macan keras, bukan pekerjaan mudah.
Danny Pomanto, walikota Makassar saat ini, menganalogikan lorong seperti: sel yang menjalar dalam tubuh, yang hendak disehatkan. Lorong membentuk kota. Namun, tidak mudah rasanya, bagi saya, mencari tahu sejarah terbentuknya pola ruang (morfologi) lorong di kota ini. Saya berusaha menafsir, mengaitkan dengan pembentukan kota lama di daerah Pecinan, kampung Melayu, kampung Arab. Mungkin saja, lorong terbentuk secara terencana mengikuti sebuah garis tertentu yang menghubungkan antar-rumah baik yang bermuara pada jalanan sekunder, maupun berbentuk lorong buntu (kuldesak). Lorong bisa jadi terbentuk secara spontan dengan keterbatasan ruang (spasial) terbuka. Di sejumlah wilayah, lorong terbentuk berkait antar-rumah karena satu klan keluarga atau memiliki hubungan keluarga. Jika demikian, mestinya lorong mewariskan kohesi sosial yang kuat, memiliki kemampuan memproduksi atau mereproduksi pengetahuan dan prilaku. Saya sendiri sedang mencari tahu kemungkinan hubungan lukisan mural atau tulisan grafiti yang dicat semprot pilox dengan kisah-kisah sosial, mungkin juga politik, di tembok-tembok lorong. Di sisi lain, lorong kerap kali dinilai melahirkan berbagai kecemasan: kantong kemiskinan, kejahatan, infrastruktur yang tak beres, hingga stigma sosial lainnya.
Ada sepertiga penduduk tinggal di lorong, kata Danny Pomanto pada sebuah media. Maka, pertanyaan demografi menjadi penting. Dimana daerah yang padat populasi, dimana yang bersifat menyebar. Saya berusaha menelisik data BPS, dalam kurun waktu 5 tahun dari tahun 2009 hingga 2014. Paling tidak, ada empat kecamatan yang berada di atas kisaran 20 ribu jiwa per kilometer persegi. Namun, beberapa kecamatan mengalami penurunan populasi dilihat dari tingkat kepadatan. Kecamatan Makassar misalnya, yang tingkat kepadatannya, di atas 30 ribu jiwa per kilometer mengalami penurunan -0,15 persen atau -0,o3 persen per tahun. Atau, Bontoala yang mengalami penurunan -10,83 persen atau -2,71 persen per tahun. Sebaliknya, ada beberapa kecamatan yang mengalami pertambahan kepadatan penduduk, Biringkanaya, misalnya, 46,06 persen atau 9,21 persen per tahun.
Data kepadatan mestinya tidak berhenti sampai di sini, lantaran berkaitan dengan daya atau kapasitas dukung lingkungan, kita mesti tahu soal data luas bangunan, aset kepemilikan, mungkin dari sini kita bisa temukan ketimpangan. Boleh jadi, ada masalah mengenai kebutuhan hunian. Mungkin kita bisa menafsirkan mengapa mereka tetap bermukim di daerah yang padat penduduk. Kita tahu, di Indonesia umumnya, Indeks Harga Properti Residensial (IHPR), yang dirilis melalui survei Bank Indonesia, melaju lebih tinggi daripada Indeks Harga Konsumen (IHK) yang kita bisa buka datanya melalui BPS. Artinya, kemampuan daya beli masyarakat di bawah laju peningkatan harga hunian atau rumah. Kita juga membaca dengan menghubungkan ekspansi bisnis properti para pengembang raksasa di kota ini, berapa persediaan lahan (land-bank) mereka, apakah terjadi indikasi bubble, dalam bahasa awam sedang menggoreng harga properti. Celakanya, kita seringkali dihadapkan dengan informasi yang terkesan didistorsi pihak pengembang misalnya: sold-out, hanya tinggal 1 rumah dan sebagainya.
Atau, kita juga mencoba menghubungkan dengan data lain yang tersedia, peta kemiskinan, misalnya. Mungkin, hal ini bisa jadi mengusik pikiran: apakah wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk yang bergerak naik dalam kurun waktu tersebut berada di wilayah yang terdapat kantong-kantong kemiskinan. Bisa juga, kita menengok data infrastruktur yang tersedia di wilayah-wilayah padat penduduk. Coba bayangkan, jika daerah yang cukup padat dengan semakin terbatas daya dukung lingkungan, bagaimana mereka mengakses air bersih.
Kita lagi-lagi juga harus melihat penghidupan (livelihood) mereka yang bermukim di lorong-lorong padat penduduk. Dari sejumlah studi yang pernah dilakukan, menggambarkan mereka kebanyakan berada di sektor informal. Sebuah sektor pekerjaan yang rentan: tanpa jaminan sosial, kesehatan, keamanan, hingga hari tua. Bagi, mereka yang berada di sektor ini, semacam "ruang tunggu". Apa yang saya bayangkan kemudian, apakah kondisi tersebut, dengan berbagai data itu, akan mengancam aset kehidupan mereka dan berisiko terhadap kemampuan hidup.
Saya membayangkan, betapa kawan lama saya ini meluangkan banyak waktu melihat progres data di lorong-lorong, sekaligus berusaha untuk menciptakan peluang, sekecil apapun celahnya, guna peningkatan kapasitas dan kesempatan (aksebilitas) warga: bernegoisasi, mengorganisir, melahirkan panggung agar partisipasi warga bukan macan kertas. Kawan lama saya ini mungkin juga sedang merelasikan data realisasi belanja (volume APBD) yang dirilis kementerian keuangan dengan PDRB, guna melihat apakah APBD menggerakan sebagian besar roda ekonomi di kota itu, atau malahan swasta atau korporat raksasa itu? Toh, saya tetap memuji kawan lama ini, masih bisa meluangkan waktu dan tenaganya secara sukarela, di luar aktivitasnya sebagai akademisi di sebuah universitas di kota ini, agar warga lorong terpenuhi haknya, hak atas kota. Bukankah kota ini mesti sombere (ramah) terhadap warganya.
Tamalanrea, 23 Mei 2016
Danny Pomanto, walikota Makassar saat ini, menganalogikan lorong seperti: sel yang menjalar dalam tubuh, yang hendak disehatkan. Lorong membentuk kota. Namun, tidak mudah rasanya, bagi saya, mencari tahu sejarah terbentuknya pola ruang (morfologi) lorong di kota ini. Saya berusaha menafsir, mengaitkan dengan pembentukan kota lama di daerah Pecinan, kampung Melayu, kampung Arab. Mungkin saja, lorong terbentuk secara terencana mengikuti sebuah garis tertentu yang menghubungkan antar-rumah baik yang bermuara pada jalanan sekunder, maupun berbentuk lorong buntu (kuldesak). Lorong bisa jadi terbentuk secara spontan dengan keterbatasan ruang (spasial) terbuka. Di sejumlah wilayah, lorong terbentuk berkait antar-rumah karena satu klan keluarga atau memiliki hubungan keluarga. Jika demikian, mestinya lorong mewariskan kohesi sosial yang kuat, memiliki kemampuan memproduksi atau mereproduksi pengetahuan dan prilaku. Saya sendiri sedang mencari tahu kemungkinan hubungan lukisan mural atau tulisan grafiti yang dicat semprot pilox dengan kisah-kisah sosial, mungkin juga politik, di tembok-tembok lorong. Di sisi lain, lorong kerap kali dinilai melahirkan berbagai kecemasan: kantong kemiskinan, kejahatan, infrastruktur yang tak beres, hingga stigma sosial lainnya.
Ada sepertiga penduduk tinggal di lorong, kata Danny Pomanto pada sebuah media. Maka, pertanyaan demografi menjadi penting. Dimana daerah yang padat populasi, dimana yang bersifat menyebar. Saya berusaha menelisik data BPS, dalam kurun waktu 5 tahun dari tahun 2009 hingga 2014. Paling tidak, ada empat kecamatan yang berada di atas kisaran 20 ribu jiwa per kilometer persegi. Namun, beberapa kecamatan mengalami penurunan populasi dilihat dari tingkat kepadatan. Kecamatan Makassar misalnya, yang tingkat kepadatannya, di atas 30 ribu jiwa per kilometer mengalami penurunan -0,15 persen atau -0,o3 persen per tahun. Atau, Bontoala yang mengalami penurunan -10,83 persen atau -2,71 persen per tahun. Sebaliknya, ada beberapa kecamatan yang mengalami pertambahan kepadatan penduduk, Biringkanaya, misalnya, 46,06 persen atau 9,21 persen per tahun.
Atau, kita juga mencoba menghubungkan dengan data lain yang tersedia, peta kemiskinan, misalnya. Mungkin, hal ini bisa jadi mengusik pikiran: apakah wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk yang bergerak naik dalam kurun waktu tersebut berada di wilayah yang terdapat kantong-kantong kemiskinan. Bisa juga, kita menengok data infrastruktur yang tersedia di wilayah-wilayah padat penduduk. Coba bayangkan, jika daerah yang cukup padat dengan semakin terbatas daya dukung lingkungan, bagaimana mereka mengakses air bersih.
Kita lagi-lagi juga harus melihat penghidupan (livelihood) mereka yang bermukim di lorong-lorong padat penduduk. Dari sejumlah studi yang pernah dilakukan, menggambarkan mereka kebanyakan berada di sektor informal. Sebuah sektor pekerjaan yang rentan: tanpa jaminan sosial, kesehatan, keamanan, hingga hari tua. Bagi, mereka yang berada di sektor ini, semacam "ruang tunggu". Apa yang saya bayangkan kemudian, apakah kondisi tersebut, dengan berbagai data itu, akan mengancam aset kehidupan mereka dan berisiko terhadap kemampuan hidup.
Saya membayangkan, betapa kawan lama saya ini meluangkan banyak waktu melihat progres data di lorong-lorong, sekaligus berusaha untuk menciptakan peluang, sekecil apapun celahnya, guna peningkatan kapasitas dan kesempatan (aksebilitas) warga: bernegoisasi, mengorganisir, melahirkan panggung agar partisipasi warga bukan macan kertas. Kawan lama saya ini mungkin juga sedang merelasikan data realisasi belanja (volume APBD) yang dirilis kementerian keuangan dengan PDRB, guna melihat apakah APBD menggerakan sebagian besar roda ekonomi di kota itu, atau malahan swasta atau korporat raksasa itu? Toh, saya tetap memuji kawan lama ini, masih bisa meluangkan waktu dan tenaganya secara sukarela, di luar aktivitasnya sebagai akademisi di sebuah universitas di kota ini, agar warga lorong terpenuhi haknya, hak atas kota. Bukankah kota ini mesti sombere (ramah) terhadap warganya.
Tamalanrea, 23 Mei 2016