Skip to main content

Ladang Tebu, Jalan Tol, Mojokerto

MOJOKERTO seperti borjuis kecil. Rasanya, saya tidak memiliki ungkapan yang lebih tepat. Perjalanan kembali ke kampung halaman, seperti menggeledah keranjang ingatan. Lebih sepekan, saya tinggal di sebuah tempat yang berada dalam narasi "sejarah besar" di republik ini. Tapi, saya tidak hendak bercerita soal itu. Lupakan sejenak mengenai  penemuan fosil tengkorak kanak-kanak purba, di Perning, sebuah desa kecil di timur laut Mojokerto, pada 1936. Atau, repihan kota tua Majapahit, di desa Trowulan (sebelumnya, bernama Trangwulan), di sebelah barat Mojokerto. Saya penasaran mencari tahu lebih jauh. Saat bertemu sejumlah kawan lama semasa sekolah. Ketika percakapan yang tiba-tiba melompat pada: pabrik-pabrik mulai pindah ke tempat yang lebih rendah upah para pekerjanya. 
Saya mendadak teringat akan penjelasan David Harvey, seorang geografer sekaligus antropolog. Aliran modal seperti proses molekuler, katanya. Dalam suatu percakapan mengenai buku yang ditulisnya: The New Imperialism. Proses geografis dari akumulasi kapital itu bergerak dari satu bagian ke bagian lainnya, membangun ruang (landskap), dan terjadi konsentrasi geografi. Kadang-kadang merobohkan landskap sebelumnya, lantas menciptakan landskap baru lagi. Sirkulasi kapital semacam ini, bersinggungan dengan kekuatan politik teritorial. Terutama pada saat merespon pergerakan modal yang muncul dari kiri, kanan, di mana-mana tanpa batasan teritorial. Saling melengkapi kelihatannya, tapi kadang-kadang bertolak belakang. Namun, saya ingatkan, ini bukan tulisan serius. 
Modjokerto-Survey Directorate Head Quarters Armed Forces Netherlands East Indies-1946-Leiden University Libraries, Colonial Collection (KIT)
Saya mulai mengulik mencari tahu. Beruntung, saya mendapatkan sebuah peta tua. Peta panduan militer Belanda. Dibuat sebelum operasi mereka di Jawa dan Sumatera. Kemudian dikenali sebagai agresi militer. Lepas sebagai peta militer. Peta dapat menjadi kunci mengenali atau menafsir landskap. Dalam peta, kita dapat melihat jaringan jalan yang rapi seperti papan catur. Kampung-kampung yang terhubung jalanan. Jaringan saluran air yang dibentuk, bertemu dengan sungai. Rel kereta api dan trem membelah kampung dan lahan persawahan. Sekilas kita menduga, sebagai ruang geografis yang sengaja dibentuk sebagai sistem produksi. Rasanya, kita mesti "zoom-in" untuk mencermatinya.
Di peta itu, terdapat sebuah jalan lurus. Kita bisa menarik garis imajiner dari utara ke selatan. Jalan lurus memanjang ini rupanya merupakan akses distribusi sumberdaya. Jalan itu bernama Majapahit (Kediristraat). Berawal dari sebuah jembatan. Orang menyebut: jembatan Lespadangan atau Terusan. Jembatan yang membentang di atas sungai besar, Kali Brantas. Sedikit ke utara, nampak terhubung pada sebuah stasiun kereta api. Jalur kereta api Oost-Java Stoomtram Maatschappij. Jalur yang menghubungkan beberapa pabrik gula di sisi utara Brantas. Di sebelah selatan jembatan, kita akan sampai pada sebuah lapangan persegi, alun-alun. Mesjid di sisi barat alun-alun. Mesjid Jami Al Fattah, dibangun pada 1878. Di seberang timur alun-alun, pusat pemerintahan. Di kemudian hari, berdiri markas tentara di sisi utara alun-alun. Secara terpisah (separasi), ke sebelah selatannya alun-alun, terdapat lokasi pasar. 
Tanda-tanda (sumbu mata-angin dan obyek) dalam ruang geografis ini, sangat khas kota-kota tradisional Jawa. Kita teringat akan simbol lingkaran kuasa Jawa. Dalam bahasa kebatinan dinyatakan, empat penjuru mata-angin, satu titik pusat mata-angin. Bagaimana struktur ruang ini terkonstruksi dalam patron kota kolonial. Kira-kira, apakah terjadi benturan, atau sebaliknya terjadi negoisasi atas pemaknaan ruang geografis. Nama Mojokerto baru dikenal pada 1838, berdasar keputusan (besluit) Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Mojokerto benar-benar nama baru. Bukanlah berasal dari nama desa sebagaimana kadipaten sebelumnya, Japan. Perubahan nama itu sekaligus menandai perpindahan pusat pemerintahan. Sekitar tiga kilometer jauhnya ke utara. Ciri khas kota kolonial, yang mudah saya cerna adalah: segregasi. Terutama pada segregasi pemukiman berdasar etnis. Jadi, demografi etnisitas (Eropa, Asia Timur, Pribumi) di Hindia Belanda rupanya menjadi tolak ukur bagi pembentukan kota (gemeente). Mojokerto mendapat status gemeente, pada 1918. Dimana jumlah orang Eropa di zaman itu dirasa terpenuhi.
Saya lalu menyelusuri jalanan ke arah timur, sepanjang aliran Brantas. Sembari mengulik catatan sejarah yang berserak. Di tempat rel kereta api dan trem itu terkonsentrasi, di Sentanen Lor. Sebagaimana nama tempat yang tertulis dalam peta. Saya hanya menemui sisa-sisa bangunan arsitektur kolonial. Dari catatan sejarah, di tempat ini pernah berdiri sebuah pabrik gula (suikerfabriek) yang beroperasi sekitar 1830. Persis waktunya dengan tahun-tahun awal sistem tanam-paksa (cultuurestelsel). Disebut pula, hingga awal abad 20, ada 11 pabrik gula yang beroperasi di Mojokerto: Sentanen Lor, Bangsal, Brangkal, Tangoenan, Ketanen Koetoredjo, Gempolkrep, Konning Willem II (Mojosarie), Sedati, Dinoyo, Pohdjejer, dan Perning.  Kini tersisa satu pabrik gula saja, pabrik gula Gempolkrep, yang dibangun 1845. Selebihnya, lenyap. Saya mengulik foto pabrik-pabrik itu dari koleksi digital Universitas Leiden.  Apa yang menarik hati saya. Signifikasi transportasi. Alat angkut kereta api atau lori dari ladang tebu menuju pabrik, selain tampak beberapa pedati. Juga, jalur trem antara pemukiman dengan pabrik gula, seperti diterangkan dalam peta. Jalur yang dikuasai Oost-Java Stoomtram Maatschappij dan Modjokerto Stoomtram Maatschappij dibangun untuk menghubungkan pabrik-pabrik gula di Mojokerto, Jombang dan Sidoarjo, hingga ke pelabuhan Surabaya. Juga, potret keberadaan mesin-mesin di pabrik gula, rasanya menjadi penanda rantai pasok pasar dunia. Bahwa, bisnis gula itu tumbuh pesat, menjadi penggerak ekonomi Hindia Belanda, demi kemakmuran negara-induk kolonial.
https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/927788

https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/802792
Segregasi pemukiman etnis Eropa, ditandai bangunan arsitektur kolonial. Kebanyakan berada di sekitaran bangunan pabrik Sentanen Lor dengan sebuah gereja tua. Jaraknya tidak jauh dari lokasi pabrik, sekitar 500 meter dari alun-alun. Gereja Protestan yang dibangun 1899. Juga, segregasi pemukiman orang Tionghoa (Cina), berada di pasar Anyar (pasar Tanjung), di sekitaran Jalan Majapahit, yang terhubung dengan Klenteng Hok Sian Kiong. Klenteng yang dibangun 1830an, di sebelah tenggara alun-alun. Gambaran ini, paling tidak, memberitahu kita, mengenai pergerakan imigrasi. Termasuk pula, saya pikir, mereka yang kemudian bekerja di perkebunan tebu dan pabrik gula di Mojokerto. Populasi penduduk tentunya mulai meningkat. Namun, bagaimana ceritanya para petani Jawa itu mengubah diri mereka menjadi buruh (pekerja) di perkebunan tebu dan pabrik gula. Sejak kapan mereka mulai terpikat dengan upah (monetasi). Bagaimana mekanisme adaptasi mereka terhadap kebutuhan subsisten. Atau, bagaimana kerja-kerja kebudayaan petani Jawa, ketika komoditas tebu yang digerakan logika kapital itu melakukan penetrasi ke wilayah pedesaan. Tapi, lagi-lagi kita tidak sedang membahas buku babon antropolog Clifford Geertz: involusi pertanian dan berbagi kemiskinan. Meskipun, boleh jadi, Geertz membandingkan antara Mojokuto (Pare) dengan Mojokerto, dalam konteks perkebunan tebu dan pabrik gula. 
Baiklah kita kembali lagi pada belasan pabrik gula tadi.  Saya pikir, sekaligus menyatakan Mojokerto sebagai penghasil tebu. Seperti dalam literatur, tanaman tebu akan menjanjikan bila berada di lahan persawahan dengan pengairan yang cukup. Kata pengairan atau irigasi itu pula yang menarik perhatian saya. Saya pergi lebih ke timur lagi dari Sentanen Lor. Tempat percabangan Sungai Brantas, menjadi Sungai Porong dan Sungai Mas. Sungai Porong, adalah sodetan atau terusan Sungai Brantas menuju arah Sidoarjo. Di sini, terdapat bendungan pembagi air (stuwdam). Nama bendungan disesuaikan dengan nama desa setempat, Lengkong. Orang menyebut dalam bahasa Jawa: Rolak Songo, sembilan pintu air dengan roda penggerak. Bendungan ini selesai dibangun pada 1857. Motif utamanya, irigasi yang menunjang industri gula di Sidoarjo. Kabarnya juga, pembangunan bendungan sebagian besar dimodali pabrik-pabrik gula. Saya menyelusuri saluran irigasi itu, hingga ke Stasiun Tarik, Sidoarjo. Saya memotret bendungan itu. Tapi, apa yang saya potret bukanlah stuwdam pada 1857. Bendungan tua kolonial itu sudah mengalami kerusakan parah. Sudah dibongkar, lalu dibangun kembali pada masa Menteri Pekerjaan Umum, Sutami, pada dekade 1970-an. Tak jauh dari Lengkong, ada stuwdam lagi, bendungan Mlirip, yang menjadi pintu air Sungai Mas yang menuju ke Surabaya. Motifnya sama, tapi lebih dulu dibangun daripada yang di Lengkong. Orang menyebutnya: Rolak Telu, tiga pintu air. Di tempat ini pula, kita akan mendapati nama Canggu, nama tempat pelabuhan Majapahit.
Saya berbalik arah, ke arah barat dari Rolak Songo. Menuju pabrik gula yang tersisa, Gempolkrep. Saya melewati jembatan Pulorejo, di atas pertemuan sungai Ngotok, Brangkal dan Brantas. Saya berbelok ke kanan melintasi jalan menuju Watudakon. Mengikuti rombongan truk pembawa tebu. Selepas jembatan Sungai Watudakon, saya berhenti sejenak. Saya tertarik dengan bangunan syphon (siphon) Watudakon. Bangunan yang dilengkapi pintu air, sebagai perlintasan saluran air Sungai Watudakon di bawah Sungai Brantas. Sungai di bawah sungai. Secara teknis, hal ini juga berkait dengan tinggi rendah permukaan tanah. Saluran ini menyeberang lurus ke arah sisi utara Brantas. Tepat di depan jalan akses menuju gerbang tol Mojokerto Barat. Saluran air ini diteruskan menuju Sungai Mas, selepas Rolak Telu Mlirip. Namun, istilah siphon kerapkali diubah pengertianya. Orang mengaitkan dengan lokalisasi pelacuran. Dari catatan sejarah, bangunan siphon yang selesai pada 1923, dimodali para pemilik pabrik gula di Mojokerto dan Jombang. Motifnya, untuk mengaliri lahan tebu. Saya melanjutkan kembali perjalanan. Dari kejauhan, rombongan truk pengangkut tebu mengantri berlahan melintasi jembatan Pagerluyung. Sebuah jembatan yang membentang di atas Brantas, sejajar dengan jembatan tol Kertosono-Mojokerto. Akhirnya saya tiba di Gempolkrep, pabrik gula berusia tua, yang kini terintegrasi dengan pabrik bioetanol. Tapi, saya tak lagi menemukan jejak besi-besi rel kereta api pengangkut tebu.
Dari sana, saya pun mengakhiri perjalanan di "suiker-land". Secara statistik, komoditi gula mulai merambat naik, pada saat diberlakukan kebijakan liberalisasi. Melalui undang-undang bersemangat kapitalisme yang diterbitkan pada 1870: Agrarische Wet dan Suiker Wet. Dalam kurun waktu 1874 hingga 1914, komoditi itu mengalami lonjakan dramatik, dibandingkan dengan kopi, tembakau, rempah-rempah dan teh. Hindia Belanda menjadi produsen gula utama di pasar dunia. Seperti halnya, masa bulan madu. Mulai meredup, saat terjadi depresi besar atau malaise pada 1930, yang memukul semua negara. 1967, di akhir kekuasaan Soekarno, Indonesia benar-benar menjadi pengimpor gula. Menjelang Pemilu 2019, Indonesia menjadi pengimpor gula nomor wahid dunia. Kata para analis, hanya dua orang saja yang diuntungkan dalam impor gula: pengusaha dan politikus.
Saya melepaskan penat perjalanan di sebuah penginapan murah. Di sebuah kawasan keramaian baru di Mojokerto. Dulunya, lahan persawahan, juga menjadi ladang-ladang tebu, dekat rel kereta api Surabaya-Jakarta. Kini, semuanya berubah. Tempat nongkrong anak-anak muda. Kawasan kuliner, sekaligus fashion. Sebuah mall berdiri di sana. Namanya sama dengan nama pabrik baja di jalan elak (jalan bypass) Mojokerto. Anak-anak muda menyebut kawasan ini: ben-pas. Bukan berarti serba pas-pasan, tapi singkatan nama ruas jalan, Benteng Pancasila. Sebelum balik ke Makassar, saya berdiri di depan bangunan tua kolonial di dekat alun-alun. Pada zaman kolonial, menjadi kantor irigasi afdeling Brantas, yang berdiri sejak 1912. Semacam dinas pengairan. Tempat kakek saya bekerja. Menuju bandar udara di Surabaya, saya melintasi jalan tol, yang diresmikan Presiden Jokowi akhir 2017. Jalan tol, saya rasa seperti selasar di mall, diantara etalase yang memamerkan maneken (mannequin). Jalan tol, yang membelah sawah dan ladang tebu itu, seperti membuat saya untuk mempercayai soko-guru perkebunan tebu dan pabrik gula di zaman kolonial: tanah murah dan upah murah.

Paccerakang, 31 Mei 2019 









Popular posts from this blog

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis

Gudo, Lasem. Perjumpaan Negeri yang Berbeda

SAYA beruntung dapat menjejaki dua tempat: Gudo, Jombang dan Lasem, Rembang. Nah, bersiaplah dengan kisah perjalanan saya kali ini, menembus lorong waktu. Gudo dan Lasem, dua  tempat yang sebelumnya telah menggoda perhatian saya. Boleh jadi, karena keinginan perjumpaan akan ruang geografis etnis dan penghayatan subyektifnya yang berbeda dengan tempat lain di negeri ini, dalam memahami hubungan pasang-surut akibat pertikaian sosial. Atau , tertarik dengan kalimat akhir sebuah artikel yang mengutip tulisan para pecinta pemikiran Gus Dur di klenteng (untuk menyebut rumah ibadah Tionghoa) Gudo: "semakin kita berbeda, semakin jelas dimana titik persamaan kita". Di kedua tempat ini, Gudo dan Lasem, klenteng menjadi landmark (mercu-tanda) . Jarak keduanya,  cukup berjauhan. Jalan pintas terdekat, sekitar 180 kilometer, membelah punggung pegunungan kapur Kendeng. Dari Gudo menuju ke utara, lewat Tuban. Lalu ke arah barat, berjalan di atas jalanan warisan Gubernur Jenderal Hindia Bel

Makassar, Subaltern

BETAPA sulitnya menulis masa lalu. Abdul Rasyid Idris, seorang kawan, memberi saya tiga buku berharga di ujung Syaban. Salah satu buku, dari tiga buku karyanya, bertajuk: Anging Mammiri, Jejak Makassar Tempo Dulu. Rasanya, buku ini bukan sebuah produk industri nostalgia yang dimaksudkan memicu perasaan melankolik setiap orang. Saya sendiri tak hendak mencari tahu dalam buku ini, ketika memenuhi kerinduan akan sebuah lapak kopi di selasar Pasar Cidu'. Sebuah lapak yang menjual kopi yang lebih enak dan harganya lebih murah berkali-kali lipat dari Starbucks. Secangkir kopi yang bikin mata melek, yang bisa menghidupkan ekonomi orang pasar siang malam. Saya pikir, kawan saya ini tidak terperangkap ke dalam kerinduan masa lalu. Akan tetapi, ia melakukan pembacaan kembali, hal-hal apa yang hadir menjadi ingatan. Apa yang dialaminya dalam ruang temporal (masa lalu). Hanya saja, bahasa menyimpan problem internal, ketika menghadirkan kembali (re-presentasi). Coba kita membayangkan denga

Saat Korporasi Mengatur Perut Kita

SAHABAT saya, Al Mujahid Akmal, menulis di halaman  facebook -nya: "jika setiap orang berpikir, siapa dan dengan cara seperti apa makanan diproduksi sebelum mereka konsumsi ... ada baiknya kalau saya coba belajar menanam sendiri". Aneka tanaman sayuran dan tanaman pangan, tumbuh sehat di halaman belakang rumahnya. Rasanya, kata "halaman belakang" sudah lama menghilang di setiap-kali pameran rumah di Kota Makassar. Orang di kota ini, terlanjur hidup diantara tembok yang bersekat-sekat, tanpa halaman. Beruntung sahabat saya ini, dapat berkebun di halaman belakang, yang bukan dimaksudkan bagian dari estetika atau keindahan, apalagi guna memenuhi kebutuhan cerita cerdas sebuah proyek. Akan tetapi, dibaca sebagai bagian sikap dan kritik dia atas sistem produksi pangan, selain untuk keperluan konsumsi sendiri. Atau, dalam bahasa ideologisnya, sebagai "konsumsi berkelanjutan". Sekitar 13 ribu kilometer dari tempat sahabat saya menulis sikapnya, tengah terj