Skip to main content

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik. 
"Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis kayunya dimulai, setelah ia berkenalan dengan Bong Sun On, orang Serawak, Malaysia, yang masuk Indonesia lewat Pontianak, ketika tengah marak penyelundupan kayu ke Malaysia. Sebelum mendirikan Barito, Prajogo Pangestu bergabung dalam perusahaan kayu Djajanti milik Bong Sun On alias Burhan Uray.
Dari berbagai sumber, keduanya digambarkan memiliki jejak sejarah hidup yang hampir mirip, sama-sama lahir dari keluarga miskin yang bekerja sebagai penyadap karet Kalimantan, dan mengeruk kekayaan awal dari bisnis kayu. Perusahaan kayu mereka berjaya pada masa Orde Baru. Orang ramai juga mengenali keduanya sangat dekat dengan lingkaran inti kekuasaan Soeharto. Saya jadi ingat buku tua yang terbit hampir 28 tahun silam, yang ditulis  Yoshihara Kunio: Kapitalisme Semu (ersatz capitalism) di Asia Tenggara. Buku itu sempat dicetak dua kali, kemudian dilarang edar kejaksaan agung, karena dianggap menghina Soeharto. Seperti kata Kunio dalam bukunya, kapitalisme di Asia Tenggara, kebanyakan bukanlah kapitalisme tulen. Lebih tepatnya sebagai praktik bisnis yang ganjil, tidak menghasilkan industri yang mandiri, malahan menciptakan komprador dalam bisnis jasa, atau pemburu rente ketika birokrasi negara menyewakan kekuasaan. 
Taiwi bukanlah satu-satunya anak perusahaan kayu Barito di Maluku Utara. Di Kepulauan Sula, di ujung selatan propinsi ini, juga terdapat perusahaan serupa, Mangole Timber yang juga berada di bawah kendali Barito. Saya berhenti sejenak di terminal angkutan umum Sidangoli yang memiliki pelataran parkir luas, tapi cukup sunyi hanya ada satu-dua becak bermotor berteduh di bawah pohon menahan terik siang itu. Lalu saya mengajak Rudi, seorang kawan yang lebih muda usianya dari saya, untuk mengingat kembali kenangan masa kanak-kanak mengenai terminal ini. "Sebelum ada terminal itu masih kebun kelapa, waktu anak-anak, saya ingat di situ ada panggung, ada penyanyi musik rock, Reny Djajoesman sama Ahmad Akbar, waktu itu Barito yang undang," tuturnya. Terminal angkutan umum itu menjadi mati seiring Sofifi menjadi ibukota Maluku Utara. "Dulu di Sidangoli, ada tiga kapal feri setiap hari, satu feri menginap, sekarang tinggal dua saja, pulang pergi Ternate, tidak ada yang menginap," kata Rudi. Semua pengangkutan barang Halmahera kebanyakan terkonsentrasi di Sofifi, tidak lagi di Sidangoli. 
Toh, Sidangoli tetap menggoda saya sebagai situs belajar mengurai patahan sejarah. Kisah berkait kontestasi ruang melibatkan relasi akumulasi modal dan kuasa politik teritorial. Sidangoli berada di Jailolo Selatan, Halmahera Barat. Sebuah desa yang dipecah menjadi dua: Sidangoli Gam dan Sidangoli Dehe. Tapi, orang kebanyakan tetap saja mengenali tempat ini sebagai Sidangoli. Apabila laut sedang tenang, Sidangoli dapat ditempuh sekitar 20 menit dengan speedboat empat motor tempel dari dermaga samping Mesjid Raya Al Munawwar kota Ternate.
Kata Jailolo, nama tempat yang merujuk wilayah kesultanan Jailolo. Seperti ingatan orang pada ungkapan: Moloku Kie Raha, yang ditafsir atau dikonstruksi ke dalam makna empat pilar teritori kesultanan: Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo. Ungkapan ini, boleh jadi, diambil dari kata-kata bersayap: ternate se tidore, moti se mara, moloku kie raha, yang secara harfiah berarti, ternate dan tidore, moti dan makian, empat gunung. Ya, gugusan pulau-pulau gunung api. Tempat yang kaya rempah-rempah aromatik itu merebak. 
Satu tempat yang melahirkan kisah melodrama, paling tidak bagi penjelajah awal Spanyol dan Portugis yang bertali sepupu, Ferdinand Magellan dan Fransisco Serrao. Sekitar 500 tahun lalu. Keduanya berlayar mencari jejak kepulauan rempah-rempah. Serrao berlayar ke timur, memutari Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Satu tahun, setelah Malaka jatuh di tangan Portugis, pada 1512, Serrao melakukan ekspedisi mencari dunia asal rempah-rempah. Serrao dipandu pelaut Melayu dan ditemani isterinya, seorang perempuan Jawa. Mereka bertemu di pelabuhan Gresik, sebelum Serrao melanjutkan pelayaran ke timur. Serrao pada akhirnya memang dapat menjejaki kepulauan rempah-rempah, Maluku. Bahkan, menjadi penasehat pribadi Sultan Ternate, Bayanullah, sekaligus memutuskan diri menetap di Ternate dan tidak balik ke Malaka. Serrao juga mengirim surat ke Magellan, membantunya mempengaruhi Raja Spanyol guna mengirim ekspedisi ke kepulauan rempah-rempah melalui jalur barat, sembari berikrar keduanya bertemu di Maluku. Tujuh tahun setelah Serrao meninggalkan Malaka, ekspedisi Magellan mengarungi dua samudra, Atlantik dan Pasifik, melewati teluk sempit di daratan Tanah Api (Tierra del Fuego) di ujung selatan Amerika. Nasib berkata lain, kedua saudara sepupu itu tak pernah bertemu di Maluku. Keduanya menemui takdir kematiannya secara dramatik, hampir bersamaan waktunya, April 1521. Magellan tewas, terbunuh dalam suatu pertikaian suku di Cebu, Filipina. Sedangkan sepupunya, Serrao meninggal secara misterius, diduga diracun. Awak kapal Magellan yang tersisa akhirnya dapat mencapai Tidore dan membawa pulang rempah-rempah melewati Tanjung Harapan menuju ke Spanyol, setahun kemudian. Ekspedisi Magellan dikenang dalam mematahkan mitologi Eropa pada saat itu: bumi datar. Akan tetapi, kedatangan Portugis dan Spanyol, menjadi awal akan rempah-rempah menjadi kisah pilu di kemudian hari.
Sebelum tengah hari, sebelum saya kembali lagi ke Ternate. Saya berhenti sejenak di reruntuhan Benteng Sidangoli, lokasinya berada diantara mesjid tua dan pelabuhan penyeberangan feri. Sebuah benteng yang menghadap ke laut. Bentuknya tidak utuh lagi, sudah rusak, hanya menyisakan puing-puing berupa struktur pondasi dan dinding benteng. Sumber Balai Arkeologi Maluku menyebut, benteng ini adalah salah satu sebaran benteng kolonial, yang memiliki sejarah perebutan wilayah Kesultanan Jailolo. Sebaran benteng tersebut berada di pesisir barat Halmahera. Benteng Sidangoli, tidak diketahui kapan dibangun, namun berdasar sejarah lisan penduduk setempat, benteng ini dijadikan pos militer oleh Portugis. Pada 1801, benteng tersebut direbut Kesultanan Tidore yang saat itu bersekutu dengan Inggris, kemudian diambil alih Belanda.
Sidangoli juga berada dalam pusaran konflik sosial disertai kekerasan masif, antara tahun 1999 hingga 2000. Sebuah masa transisi, setelah kejatuhan pemerintahan Soeharto, dan pembentukan propinsi Maluku Utara. Boleh jadi, konflik yang bersumber dari hubungan rumit berkait distribusi sumberdaya, juga faksi-faksi yang bertentangan di antara elit politik. Namun yang pasti, konflik itu telah menimbulkan trauma dan segregasi. Seorang kawan masih bisa mengingat, bagaimana massa yang bertentangan itu saling berhadapan di pertigaan jalan depan kantor PLN Sidangoli. "Bapak bisa lihat, masih ada reruntuhan bangunan di jalan itu, lalu banyak lahan kosong, dulu itu pemukiman padat," katanya. Saya kemudian menanyakan, bagaimana kondisi perusahaan kayu lapis saat itu. "Tidak beroperasi, berhenti untuk sementara waktu, pegawainya mengungsi semua," tambahnya.
Sidangoli kini, memang rasanya tidak seramai dulu. Paling tidak, itu yang bisa saya tangkap dari sejumlah percakapan. Saya bertanya pada seorang penjual kudapan yang telah menetap di Sidangoli sejak 11 tahun lalu. "Saya sudah tiga kali pindah tempat jualan di sini," katanya. Kenapa bisa. "Pasar di Sidangoli itu tiga kali pindah lokasi," lanjutnya. Pasar desa nampaknya masih menjadi sentrum keramaian. Namun, hubungan kepindahan pasar dengan keramaian, paling tidak menggambarkan pada kita, dinamika populasi dan ruang di Sidangoli sesungguhnya belum berubah. 
Hari memang belum berakhir. Di ujung senja, saya melepaskan penat di dermaga kayu speedboat, usai mengelilingi pulau-pulau mangrove di Sidangoli. Saya masih berharap dapat melihat Burung Bidadari (Semioptera Wallacii) di habitat aslinya di Sidangoli. Sembari membayangkan Alfred Wallace, naturalis Inggris itu, ketika menulis surat dari Ternate. Surat mengenai perjumpaannya dengan burung endemik asal Halmahera. 

Mattoanging, 11 April 2018


Popular posts from this blog

Makassar, Subaltern

BETAPA sulitnya menulis masa lalu. Abdul Rasyid Idris, seorang kawan, memberi saya tiga buku berharga di ujung Syaban. Salah satu buku, dari tiga buku karyanya, bertajuk: Anging Mammiri, Jejak Makassar Tempo Dulu. Rasanya, buku ini bukan sebuah produk industri nostalgia yang dimaksudkan memicu perasaan melankolik setiap orang. Saya sendiri tak hendak mencari tahu dalam buku ini, ketika memenuhi kerinduan akan sebuah lapak kopi di selasar Pasar Cidu'. Sebuah lapak yang menjual kopi yang lebih enak dan harganya lebih murah berkali-kali lipat dari Starbucks. Secangkir kopi yang bikin mata melek, yang bisa menghidupkan ekonomi orang pasar siang malam. Saya pikir, kawan saya ini tidak terperangkap ke dalam kerinduan masa lalu. Akan tetapi, ia melakukan pembacaan kembali, hal-hal apa yang hadir menjadi ingatan. Apa yang dialaminya dalam ruang temporal (masa lalu). Hanya saja, bahasa menyimpan problem internal, ketika menghadirkan kembali (re-presentasi). Coba kita membayangkan denga

Saat Korporasi Mengatur Perut Kita

SAHABAT saya, Al Mujahid Akmal, menulis di halaman  facebook -nya: "jika setiap orang berpikir, siapa dan dengan cara seperti apa makanan diproduksi sebelum mereka konsumsi ... ada baiknya kalau saya coba belajar menanam sendiri". Aneka tanaman sayuran dan tanaman pangan, tumbuh sehat di halaman belakang rumahnya. Rasanya, kata "halaman belakang" sudah lama menghilang di setiap-kali pameran rumah di Kota Makassar. Orang di kota ini, terlanjur hidup diantara tembok yang bersekat-sekat, tanpa halaman. Beruntung sahabat saya ini, dapat berkebun di halaman belakang, yang bukan dimaksudkan bagian dari estetika atau keindahan, apalagi guna memenuhi kebutuhan cerita cerdas sebuah proyek. Akan tetapi, dibaca sebagai bagian sikap dan kritik dia atas sistem produksi pangan, selain untuk keperluan konsumsi sendiri. Atau, dalam bahasa ideologisnya, sebagai "konsumsi berkelanjutan". Sekitar 13 ribu kilometer dari tempat sahabat saya menulis sikapnya, tengah terj

Gudo, Lasem. Perjumpaan Negeri yang Berbeda

SAYA beruntung dapat menjejaki dua tempat: Gudo, Jombang dan Lasem, Rembang. Nah, bersiaplah dengan kisah perjalanan saya kali ini, menembus lorong waktu. Gudo dan Lasem, dua  tempat yang sebelumnya telah menggoda perhatian saya. Boleh jadi, karena keinginan perjumpaan akan ruang geografis etnis dan penghayatan subyektifnya yang berbeda dengan tempat lain di negeri ini, dalam memahami hubungan pasang-surut akibat pertikaian sosial. Atau , tertarik dengan kalimat akhir sebuah artikel yang mengutip tulisan para pecinta pemikiran Gus Dur di klenteng (untuk menyebut rumah ibadah Tionghoa) Gudo: "semakin kita berbeda, semakin jelas dimana titik persamaan kita". Di kedua tempat ini, Gudo dan Lasem, klenteng menjadi landmark (mercu-tanda) . Jarak keduanya,  cukup berjauhan. Jalan pintas terdekat, sekitar 180 kilometer, membelah punggung pegunungan kapur Kendeng. Dari Gudo menuju ke utara, lewat Tuban. Lalu ke arah barat, berjalan di atas jalanan warisan Gubernur Jenderal Hindia Bel

Ladang Tebu, Jalan Tol, Mojokerto

MOJOKERTO seperti borjuis kecil. Rasanya, saya tidak memiliki ungkapan yang lebih tepat. Perjalanan kembali ke kampung halaman, seperti menggeledah keranjang ingatan. Lebih sepekan, saya tinggal di sebuah tempat yang berada dalam narasi "sejarah besar" di republik ini. Tapi, saya tidak hendak bercerita soal itu. Lupakan sejenak mengenai  penemuan fosil tengkorak kanak-kanak purba, di Perning, sebuah desa kecil di timur laut Mojokerto, pada 1936. Atau, repihan kota tua Majapahit, di desa Trowulan (sebelumnya, bernama Trangwulan), di sebelah barat Mojokerto.  Saya penasaran mencari tahu lebih jauh. Saat bertemu sejumlah kawan lama semasa sekolah. Ketika percakapan yang tiba-tiba melompat pada: pabrik-pabrik mulai pindah ke tempat yang lebih rendah upah para pekerjanya.   Saya mendadak teringat akan penjelasan David Harvey, seorang geografer sekaligus antropolog. Aliran modal seperti proses molekuler, katanya. Dalam suatu percakapan mengenai buku yang ditulisnya: The New Imp