BETAPA
sulitnya menulis masa lalu. Abdul Rasyid Idris, seorang kawan, memberi saya
tiga buku berharga di ujung Syaban. Salah satu buku, dari tiga buku karyanya,
bertajuk: Anging Mammiri, Jejak Makassar Tempo Dulu. Rasanya, buku ini bukan
sebuah produk industri nostalgia yang dimaksudkan memicu perasaan melankolik
setiap orang. Saya sendiri tak hendak mencari tahu dalam buku ini, ketika
memenuhi kerinduan akan sebuah lapak kopi di selasar Pasar Cidu'. Sebuah lapak
yang menjual kopi yang lebih enak dan harganya lebih murah berkali-kali lipat
dari Starbucks. Secangkir kopi yang bikin mata melek, yang bisa menghidupkan
ekonomi orang pasar siang malam. Saya pikir, kawan saya ini tidak terperangkap ke
dalam kerinduan masa lalu. Akan tetapi, ia melakukan pembacaan kembali, hal-hal
apa yang hadir menjadi ingatan. Apa yang dialaminya dalam ruang temporal (masa
lalu). Hanya saja, bahasa menyimpan problem internal, ketika menghadirkan
kembali (re-presentasi).
Coba kita
membayangkan dengan apa yang dipikirkan Julia Kristeva dan Helene Cixous, seperti pemikir perempuan lainnya, Luce Irigaray. Mereka memang membicarakan bahasa dalam tradisi metafisika Barat, namun secara umum bahasa menyimpan ketidakstabilan makna. Bagaimana kita bisa memahami kesulitan para perempuan yang trauma kekerasan
seksual ketika menghadirkan kembali masa lalu ke dalam teks (tulisan). Melalui tulisan, pemikiran kita terwujud atau tersusun dengan karakter material (grafis, bunyi) melalui proses pemaknaan yang kompleks. Makna dalam teks, bukan berada pada kata atau kalimat, melainkan pada kumpulan kalimat yang bertautan dengan teks lainnya. Sebagaimana oposisi biner hirarkis (laki-laki/perempuan) yang dilekatkan atau dikaitkan dengan oposisi biner lainnya seperti: rasional/perasaan; kuat/lemah. Konstruksi yang mesti dibongkar (de-konstruksi) dimana logika kuasa (power) senantiasa meletakkan
terma tertentu pada posisi privilege. Selain, bahasa juga kerap melahirkan
semacam kecanduan kita akan teks-teks otoritatif (authoritative), sebagaimana hari-hari ini terutama di media sosial. Alih-alih teks mengantarkan kita ke dalam dunia transenden. Selain itu, apakah history (sejarah) menghadirkan sebagai her-story (narasi perempuan) yang didefinisikan, dibicarakan perempuan. Perempuan mematerialisasikan apa yang dipikirkan, apa yang menjadi makna, dalam praktik teks. Perempuan dilahirkan menjadi perempuan, bukan sebagai perempuan.
Bahasa menjadi semacam labirin saat mengkonseptualisasi cara kita memandang dunia. Bak kita berjalan di jalan licin, yang mudah membuat kita tergelincir. Tapi, sebagaimana kata orang bijak: tanpa representasi, dunia lain tak dikenali. Sejauh apa yang saya pahami dan apa yang menarik buku ini bagi saya adalah, perjumpaan kawan saya dalam kerangka temporal masa lalu. Ia berusaha mengenali kembali perjumpaan itu, dan menghadirkan kembali dunia yang inferior, dunia yang tersubordinasi. Mungkin orang mendefinisikan sebagai: subaltern. Kawan saya tumbuh di utara kota. Kota bandar kolonial, hanya sebuah terma untuk mendeskripsikan kampung-kampung kota yang lahir dengan spektrum etnis. Sejauh apa, kawan saya menghayati pengalaman sosialnya dalam spasial beragam etnis. Sekaligus, membantu kita menyelusuri sejarah tanda-tanda kolonial dalam buku ini.
Buku ini juga dapat kita baca sebagai landskap geografis akan ruang (spasial), waktu (temporal), dan aktor. Para aktor atau tokoh dalam perjumpaan kawan saya, sebagian besar berada dalam posisi inferior. Boleh jadi, ditujukan pada mereka yang bungkam, tak bersuara, di tengah kegaduhan politik atau perubahan sosial. Lantaran, mereka akut dalam kemiskinan. Padahal mereka yang paling disasar oleh perubahan sosial, mereka yang lebih dulu digilas oleh kuasa teritorial dan logika kapital ketika merebutkan atau memproduksi ruang kota. Mereka yang diklaim suaranya oleh para intelektual, tapi absen diperjuangkan.
Mereka yang tak memiki akses sejarah, meski sejarah mereka tak kalah kompleks dengan sejarah formal. Seperti perjumpaan kawan saya dengan Daeng Torro, "pakappala tallang" (pelaut kapal karam), dalam idiom Makassar sebagai penipu, terorganisir, tidak segan-segan melukai orang. Tapi hidup bukan hitam-putih, selalu saja ada cahaya kemanusiaan. Begitu pula dengan Baba Kambussulu, yang tubuhnya penuh bisul, pengangkut sisa makanan dan sayur mayur untuk pakan ternak babi. Kita juga diajak masuk mengenali ruang yang hilang, seperti bioskop Ampera, di pasar Butung, bioskop tanpa atap. Kita dapat belajar, bagaimana fisik ruang yang hilang, sekaligus melenyapkan ruang hidup orang. Seperti di sisi luar bioskop, ada Mbak Aminah, penjual nasi campur. Ada pacato' (calo) karcis bioskop, Sersan Naping, seorang Babinsa Koramil.
Bagi saya, buku ini sedang menantang kita, kepekaan kita, membaca kembali kelompok-kelompok subaltern yang mengalami kekerasan epistemologi, ketika relasi mereka dengan intelektual tak ubahnya seperti "tuan dan hamba". Intelektual itu bukan semata-mata akademisi juga aktivis LSM. Mereka juga mengalami kekerasan infrastruktur, ketika ruang hidup mereka dilenyapkan oleh skema kemitraan negara dengan korporasi global. Maka, seperti kata Gayatri Spivak, mesti hadir intelektual yang disertai skeptisme filosofis yang dapat memulihkan keagenan kelompok subaltern, dan optimisme politis guna menunjukan posisi mereka terpinggirkan.
Paccerakkang, 3 Juli 2017
Bahasa menjadi semacam labirin saat mengkonseptualisasi cara kita memandang dunia. Bak kita berjalan di jalan licin, yang mudah membuat kita tergelincir. Tapi, sebagaimana kata orang bijak: tanpa representasi, dunia lain tak dikenali. Sejauh apa yang saya pahami dan apa yang menarik buku ini bagi saya adalah, perjumpaan kawan saya dalam kerangka temporal masa lalu. Ia berusaha mengenali kembali perjumpaan itu, dan menghadirkan kembali dunia yang inferior, dunia yang tersubordinasi. Mungkin orang mendefinisikan sebagai: subaltern. Kawan saya tumbuh di utara kota. Kota bandar kolonial, hanya sebuah terma untuk mendeskripsikan kampung-kampung kota yang lahir dengan spektrum etnis. Sejauh apa, kawan saya menghayati pengalaman sosialnya dalam spasial beragam etnis. Sekaligus, membantu kita menyelusuri sejarah tanda-tanda kolonial dalam buku ini.
Buku ini juga dapat kita baca sebagai landskap geografis akan ruang (spasial), waktu (temporal), dan aktor. Para aktor atau tokoh dalam perjumpaan kawan saya, sebagian besar berada dalam posisi inferior. Boleh jadi, ditujukan pada mereka yang bungkam, tak bersuara, di tengah kegaduhan politik atau perubahan sosial. Lantaran, mereka akut dalam kemiskinan. Padahal mereka yang paling disasar oleh perubahan sosial, mereka yang lebih dulu digilas oleh kuasa teritorial dan logika kapital ketika merebutkan atau memproduksi ruang kota. Mereka yang diklaim suaranya oleh para intelektual, tapi absen diperjuangkan.
Mereka yang tak memiki akses sejarah, meski sejarah mereka tak kalah kompleks dengan sejarah formal. Seperti perjumpaan kawan saya dengan Daeng Torro, "pakappala tallang" (pelaut kapal karam), dalam idiom Makassar sebagai penipu, terorganisir, tidak segan-segan melukai orang. Tapi hidup bukan hitam-putih, selalu saja ada cahaya kemanusiaan. Begitu pula dengan Baba Kambussulu, yang tubuhnya penuh bisul, pengangkut sisa makanan dan sayur mayur untuk pakan ternak babi. Kita juga diajak masuk mengenali ruang yang hilang, seperti bioskop Ampera, di pasar Butung, bioskop tanpa atap. Kita dapat belajar, bagaimana fisik ruang yang hilang, sekaligus melenyapkan ruang hidup orang. Seperti di sisi luar bioskop, ada Mbak Aminah, penjual nasi campur. Ada pacato' (calo) karcis bioskop, Sersan Naping, seorang Babinsa Koramil.
Bagi saya, buku ini sedang menantang kita, kepekaan kita, membaca kembali kelompok-kelompok subaltern yang mengalami kekerasan epistemologi, ketika relasi mereka dengan intelektual tak ubahnya seperti "tuan dan hamba". Intelektual itu bukan semata-mata akademisi juga aktivis LSM. Mereka juga mengalami kekerasan infrastruktur, ketika ruang hidup mereka dilenyapkan oleh skema kemitraan negara dengan korporasi global. Maka, seperti kata Gayatri Spivak, mesti hadir intelektual yang disertai skeptisme filosofis yang dapat memulihkan keagenan kelompok subaltern, dan optimisme politis guna menunjukan posisi mereka terpinggirkan.
Paccerakkang, 3 Juli 2017