Skip to main content

Negeri Kopra, Galela Utara

SERIBU ton kopra yang kita kirim ke istana mengapa tak punya harga. Sebait sajak yang ditulis Dino Umahuk, seorang penyair kelahiran Maluku, berjudul "Tentang Tanah yang Tak Berpusat di Jawa". Bait sajak yang memikat hati, saya temukan ketika mencari tahu perkara kopra di Halmahera. Sepulang saya dari Galela Utara, tempat para petani kelapa (Cocos nucifera) itu menjalani hidup. Hampir sepekan saya tinggal Desa Salimuli, di rumah sebuah keluarga yang mengandalkan sumber penghidupan dari kopra. Saya pikir, ini bukan soal keelokan nusantara, seperti dilukiskan dalam lagu Rayuan Pulau Kelapa. Tapi, harga kopra saat ini sedang terjun bebas. 
Tuan rumah mengatakan pada saya,"satu kuintal kopra dulu itu 900 ribu, sekarang turun sampai 400 ribu". Ia mengisap rokok kreteknya dalam-dalam, seperti menahan amarah. "Di sini, satu karung beras, harganya 300 ribu," lanjutnya untuk menyakinkan saya, turunnya harga kopra turut menghajar habis penghidupan mereka. Kopra adalah daging kelapa yang dikeringkan, sebagai bahan baku minyak goreng. Mereka biasanya, melakukan pengeringan kopra dengan cara meletakan daging kelapa segar di atas para-para bambu. Di bawah para-para itu, digali lubang tempat tumpukan tempurung kelapa sebagai bahan bakar. Asap dari api yang membakar tempurung kelapa itu mengeringkan daging kelapa. Semua kopra dibawa pengepul ke pedagang besar kopra di Tobelo, ibukota Halmahera Utara. Jarak Salimuli dengan Tobelo sekitar 65 kilometer. Kita harus melewati jalanan aspal yang terkelupas, tidak sebaik jalanan dari pertigaan arah Sidangoli-Sofifi ke Tobelo, selepas pos jaga tentara satuan setingkat kompi.
Seperti halnya wangi pala dan cengkih yang aromatik itu, kopra juga menjadi komoditi yang diperebutkan sejak masa kolonial. Permintaan orang Eropa sejak 1880 an terhadap kopra mulai meningkat tajam sebagai bahan baku sabun dan mentega. Di kemudian hari, kopra nusantara ini merajai pasar dunia. Dalam catatan sejarah, disebutkan Residen Ternate bahkan menerbitkan peraturan penanaman kelapa dan perdagangan kopra, guna mencegah berkembangnya hama kumbang yang sering mematikan kelapa di Ternate, selain pembentukan badan pengawas ketertiban kebun kelapa. Sebuah artikel ditulis Abdul Rasyid Asba, dari departemen sejarah Universitas Hasanuddin: "Integrasi Ekspor Kopra Makassar diantara Kontinuitas dan Diskontinuitas", menjadi literatur berharga menjelaskan ekspansi dan kontraksi perdagangan kopra di Makassar serta pulau-pulau di kawasan timur. 
Dalam literatur itu, kita bisa tahu, ekspansi perdagangan kopra pada akhir abad 19 muncul sejumlah eksportir di kota-kota bandar: Menado, Ambon dan Ternate, mulai dari perusahaan kopra Jepang, Nanyo Buki Kaisha, eksportir Cina, hingga perusahaan milik orang Arab. Sedangkan di Makassar awalnya didominasi pedagang Cina, lalu muncul perusahaan Eropa seperti Manders Seeman, Oliefabreken Insulinde (OFI) Makassar, sebuah perusahaan pengolahan kopra menjadi minyak kelapa pabrikan. Pemerintah kolonial Belanda mengkonstruksi kebijakan khusus pengapalan ekspor kopra langsung dari pelabuhan Makassar ke Eropa, tanpa singgah di Batavia dan Singapura.  Selain itu, pembentukan Makassar sebagai pelabuhan enterport oleh pemerintah kolonial sebagai usaha mengimbangi laju ekonomi Singapura, yang dibekap pesaing mereka, Inggris. Kopra Sulawesi dan Maluku kemudian benar-benar terintegrasi dengan pasar internasional. Sekitar 40 persen pendapatan pemerintah Hindia Belanda disumbang oleh kopra. Pada 1930, pasar kopra mulai melemah, disamping akibat depresi ekonomi dunia, juga seiring beredarnya produksi minyak ikan paus, minyak biji kapas, serta minyak dari kacang-kacangan. Akan tetapi, melemahnya pasaran kopra dunia tidak serta merta menyurutkan ekonomi kopra. Seperti mengikuti takdir pulau-pulau nyiur melambai di Lautan Pasifik, kelapa menjadi semacam imperatif kebudayaan.
Ketika masa revolusi Indonesia, kopra menjadi komoditi politik. Kesemerawutan tata niaga kopra menyebabkan pergolakan pusat dan daerah. Pergolakan ini diwarnai dengan penyelundupan, lentupan pemberontakan. Meski reaksi kedaerahan itu menguat, akan tetapi nampaknya mencapai jalan tengah. Presiden Soekarno pada 1963 mengeluarkan beleid peraturan presiden tentang kopra, dimana presiden selaku panglima besar komando tertinggi operasi ekonomi. Masa itu, juga diwarnai hiruk-pikuk politik, paska Konferensi Meja Bundar di Den Haag, November 1949, ada satu soal yang belum terselesaikan mengenai status Papua bagian barat. Harusnya selesai satu tahun kemudian, namun selama 12 tahun soal ini terkatung-katung hingga penandatanganan Perjanjian New York, Agustus 1962. Di Maluku Utara, lahir gerakan Dana Kopra Maluku Irian Barat (Dakomib) sebagai dukungan kepada Soekarno ketika mencetuskan Trikora di Yogyakarta. Para petani kelapa dari Morotai, Loloda, Sula dan bagian Halmahera lainnya berhasil mengumpulkan seribu ton kopra untuk dana revolusi. Zainal Abidin Syah, Sultan Tidore, diangkat Soekarno sebagai gubernur pertama Irian Barat, yang berkedudukan di Soa Sio, Tidore, ditengah memanasnya hubungan Belanda-Indonesia. Alasannya, Papua memiliki hubungan kesejarahan dengan Kesultanan Tidore sejak ratusan tahun lalu.
Kini, harga kopra jatuh. Padahal tahun 2016, Indonesia menjadi produsen kelapa terbesar dunia dengan 18,3 juta ton, di atas Filipina dan India. Nampaknya, perhatian pemerintah masih setengah hati, dibandingkan dengan kelapa sawit (Elaeis) yang mulai merangsek masuk pada awal Pemerintahan Soeharto, lalu berkembang pesat tahun 1980 an. Hal ini juga diperburuk dengan serangan terhadap minyak kelapa oleh Amerika Serikat. Pada tahun 1988, jutawan dari Nebraska, Phil Sokolof, memasang seri iklan di suratkabar nasional, menuduh minyak tropis meracuni Amerika Serikat. Jika dilihat dari kasus-kasus yang ada, justru kelapa sawit penuh kontroversi: ekspansif dan padat modal. Sering memicu konflik antara perusahaan dengan masyarakat. Biasanya, melihat pola yang ada, berawal dari izin pengelolaan kayu kemudian berubah menjadi ekspansi kelapa sawit. 
Sore itu, diguyur hujan lebat, Camat Galela Utara mengantar saya kembali ke Tobelo. Ia bercerita kembali, hasil lawatannya ke Filipina. Ini soal komitmen pemerintah dan eksekusinya. "Di Filipina, ada departemen yang mengurus kelapa saja (maksudnya, Philippine Coconut Authority), ada laboratorium khusus kelapa," katanya memulai cerita. Mestinya ada kebijakan komprehensif menjaga keberlanjutan berkait dengan pembiayaan, riset, baik pasar dan kelembagaan, mengingat kelapa telah dikonsumsi sejak ribuan tahun lalu. "Saya yakin Galela Utara tempatnya kelapa di Halmahara Utara, tapi saya harus didukung data berapa jumlah produksi, berapa luas lahan, berapa banyak petani sampai siapa pemilik lahan, saya butuh pendamping atau kader desa yang tidak sekedar mendata, tapi juga bisa membaca data," lanjutnya.
Ya, Galela Utara. Nama kecamatan di ujung utara pulau Halmahera, letaknya memanjang di pesisir yang berhadapan Selat Morotai. Jere Tua, desa yang berada paling ujung utara kecamatan ini, bahkan berada di bibir Lautan Pasifik. Dari 12 desa di kecamatan ini, hanya setengahnya yang dilalui jalan aspal sekalipun beberapa bagian terkelupas. Selebihnya, hanya bisa dilalui mobil dobel gardan atau 4WD. Pilihan lainnya, lewat laut dengan perahu motor tempel. Galela Utara tidak sekedar membawa ingatan kita akan kopra, akan tetapi juga tempat produksi gula aren, orang juga menyebutnya "gula mera", yang dibungkus dengan daun woka. Gula hasil sadapan nira ini, diproduksi melalui usaha rumah tangga, di salah satu desa di Galela Utara, lebih dari 90 keluarga yang bekerja sehari-hari membuat gula merah.
Dari Tobelo menuju Kecamatan Galela Utara butuh waktu kurang dari dua jam. Desa pertama kita masuki, di ujung selatan kecamatan ini, Desa Limau. Sebelum mencapai pemukiman Desa Limau, terlihat sebuah hamparan luas yang mulai ditanami singkong. "Dulu di sini adalah perkebunan pisang," ujar sopir kami yang mengantar ke Salimuli. Tepatnya, perkebunan pisang cavendish seluas dua ribu hektar yang dikuasai Global Agronusa Indonesia (GAI), salah satu tentakel Sinar Mas Group milik taipan Eka Tjipta Widjaya, dengan nilai investasi 35,5 miliar rupiah. Pertimbangan lokasi perkebunan waktu itu, karena dekat jaraknya dengan negara tujuan ekspor: Cina, Jepang dan Korea Selatan. Perkebunan pisang ini mulai beroperasi sekitar 1991. "Tapi, perkebunan ini hancur dan berhenti, saat terjadi kerusuhan tahun 1999," kata sopir kami lagi. Meski, dari sisi analisis agroklimat, perkebunan pisang itu hancur bukan saja lantaran kerusuhan itu, akan tetapi juga dihajar penyakit tanaman. Hal ini dikarenakan Halmahera berada di garis khatulistiwa, kelembaban udaranya sangat tinggi, membuat perusahaan kerepotan mengatasi penyakit tanaman. Di bekas perkebunan pisang itu, PT KSO Capital Kasagro menggarap perkebunan singkong dan hendak mendirikan pabrik tapioka. Saya teringat dengan perkataan seorang kawan seusai kunjungannya dari Kecamatan Kao, Halmahera Utara. "Harga singkong satu kilo hanya 300 perak saja," katanya. Sepersepuluh dari tarif sekali parkir mobil di Makassar. Mengagetkan, tentu saja.
Saya kembali teringat dengan sepotong sajak Dino Umahuk, penulis buku Republik Rampa Rampa itu. Lagi-lagi soal kopra. Mungkin saja terasa subversif.

Indonesiakah yang melahirkanmu atau sejarah yang melupai ibu
Dan tanggal dua puluh delapan oktober itu tak seorangpun kita teken di situ
Tetapi kopra kita kirim jua ketika republik muda belia tak punya apa-apa
Dimana Irian beribukota kalau tidak di bumi Kie Raha, O ... Soa-Sio lama terlupa lama terlunta
Lalu dana kopra yang sampai sekarang gudangnya torang bilang Dakomib itu untuk siapa?


Paccerakkang, 16 April 2018


Popular posts from this blog

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis

Makassar, Subaltern

BETAPA sulitnya menulis masa lalu. Abdul Rasyid Idris, seorang kawan, memberi saya tiga buku berharga di ujung Syaban. Salah satu buku, dari tiga buku karyanya, bertajuk: Anging Mammiri, Jejak Makassar Tempo Dulu. Rasanya, buku ini bukan sebuah produk industri nostalgia yang dimaksudkan memicu perasaan melankolik setiap orang. Saya sendiri tak hendak mencari tahu dalam buku ini, ketika memenuhi kerinduan akan sebuah lapak kopi di selasar Pasar Cidu'. Sebuah lapak yang menjual kopi yang lebih enak dan harganya lebih murah berkali-kali lipat dari Starbucks. Secangkir kopi yang bikin mata melek, yang bisa menghidupkan ekonomi orang pasar siang malam. Saya pikir, kawan saya ini tidak terperangkap ke dalam kerinduan masa lalu. Akan tetapi, ia melakukan pembacaan kembali, hal-hal apa yang hadir menjadi ingatan. Apa yang dialaminya dalam ruang temporal (masa lalu). Hanya saja, bahasa menyimpan problem internal, ketika menghadirkan kembali (re-presentasi). Coba kita membayangkan denga

Saat Korporasi Mengatur Perut Kita

SAHABAT saya, Al Mujahid Akmal, menulis di halaman  facebook -nya: "jika setiap orang berpikir, siapa dan dengan cara seperti apa makanan diproduksi sebelum mereka konsumsi ... ada baiknya kalau saya coba belajar menanam sendiri". Aneka tanaman sayuran dan tanaman pangan, tumbuh sehat di halaman belakang rumahnya. Rasanya, kata "halaman belakang" sudah lama menghilang di setiap-kali pameran rumah di Kota Makassar. Orang di kota ini, terlanjur hidup diantara tembok yang bersekat-sekat, tanpa halaman. Beruntung sahabat saya ini, dapat berkebun di halaman belakang, yang bukan dimaksudkan bagian dari estetika atau keindahan, apalagi guna memenuhi kebutuhan cerita cerdas sebuah proyek. Akan tetapi, dibaca sebagai bagian sikap dan kritik dia atas sistem produksi pangan, selain untuk keperluan konsumsi sendiri. Atau, dalam bahasa ideologisnya, sebagai "konsumsi berkelanjutan". Sekitar 13 ribu kilometer dari tempat sahabat saya menulis sikapnya, tengah terj

Gudo, Lasem. Perjumpaan Negeri yang Berbeda

SAYA beruntung dapat menjejaki dua tempat: Gudo, Jombang dan Lasem, Rembang. Nah, bersiaplah dengan kisah perjalanan saya kali ini, menembus lorong waktu. Gudo dan Lasem, dua  tempat yang sebelumnya telah menggoda perhatian saya. Boleh jadi, karena keinginan perjumpaan akan ruang geografis etnis dan penghayatan subyektifnya yang berbeda dengan tempat lain di negeri ini, dalam memahami hubungan pasang-surut akibat pertikaian sosial. Atau , tertarik dengan kalimat akhir sebuah artikel yang mengutip tulisan para pecinta pemikiran Gus Dur di klenteng (untuk menyebut rumah ibadah Tionghoa) Gudo: "semakin kita berbeda, semakin jelas dimana titik persamaan kita". Di kedua tempat ini, Gudo dan Lasem, klenteng menjadi landmark (mercu-tanda) . Jarak keduanya,  cukup berjauhan. Jalan pintas terdekat, sekitar 180 kilometer, membelah punggung pegunungan kapur Kendeng. Dari Gudo menuju ke utara, lewat Tuban. Lalu ke arah barat, berjalan di atas jalanan warisan Gubernur Jenderal Hindia Bel

Ladang Tebu, Jalan Tol, Mojokerto

MOJOKERTO seperti borjuis kecil. Rasanya, saya tidak memiliki ungkapan yang lebih tepat. Perjalanan kembali ke kampung halaman, seperti menggeledah keranjang ingatan. Lebih sepekan, saya tinggal di sebuah tempat yang berada dalam narasi "sejarah besar" di republik ini. Tapi, saya tidak hendak bercerita soal itu. Lupakan sejenak mengenai  penemuan fosil tengkorak kanak-kanak purba, di Perning, sebuah desa kecil di timur laut Mojokerto, pada 1936. Atau, repihan kota tua Majapahit, di desa Trowulan (sebelumnya, bernama Trangwulan), di sebelah barat Mojokerto.  Saya penasaran mencari tahu lebih jauh. Saat bertemu sejumlah kawan lama semasa sekolah. Ketika percakapan yang tiba-tiba melompat pada: pabrik-pabrik mulai pindah ke tempat yang lebih rendah upah para pekerjanya.   Saya mendadak teringat akan penjelasan David Harvey, seorang geografer sekaligus antropolog. Aliran modal seperti proses molekuler, katanya. Dalam suatu percakapan mengenai buku yang ditulisnya: The New Imp