"Orang ini pasti lahir dalam posisi offside" (Sir Alexander Chapman Ferguson, Pelatih Manchester United 1986-2013, wikipedia)
BANYAK orang tahu,
yang dimaksud Ferguson adalah, Fillipo Inzaghi, mantan striker Italia. Kalau kita searching
melalui google, cukup banyak cerita yang mengenai sosok Inzaghi, atau kita bisa
menonton aksinya melalui youtube. Lelaki kelahiran Piacenza, Italia, 9 Agustus
1973, ini memang memiliki daya tarik orang berkomentar. Kisah yang kerap kali muncul,
Inzaghi digambarkan jauh dari tipikal ideal seorang pemain depan, tubuhnya
ringkih, kerempeng ─Jaap Stam, mantan pemain belakang asal Belanda, bilang:
sedikit saja dia disentuh, maka dia jatuh seperti terkena peluru, kecepatannya
(sprint) payah, teknik (skill) di bawah standar, apalagi bicara soal
talenta. Johan Cruyff, pemain legendaris dan pelatih Belanda, meledek Inzaghi
sebagai orang "yang benar-benar tidak bisa bermain sepak bola sama
sekali". Inzaghi dikenal suka melakukan diving untuk mendapat tendangan bebas atau penalti.
Hidup di garis
offside, butuh keahlian. Bukan berarti Inzaghi tidak pernah terperangkap
offiside, faktanya malah terjadi berkali-kali. Entah bagaimana, Inzaghi cukup
berani untuk siap tampil seperti “orang bodoh” yang berperang di garis ini.
Butuh kerja keras membuka ruang dan perlu kemampuan naluriah memanfaatkan
margin yang sempit seper-sekian milimeter, dengan peluang yang datang hanya
satu kali saja dalam 90 menit. Inzaghi sudah membuktikannya, sekali lepas dari
cengkraman offiside, dia berubah menjadi predator.
Sosok Inzaghi memang
kontroversi. Para penikmat bola juga sering mendiskripsikan, area 18 meter bak rumah
Inzaghi. Kalau diruntut sejarah karir Inzaghi, kita menemukan pesonanya. Debut profesional
Inzaghi dimulai dari klub kota kelahirannya, Piacenza, pada tahun 1991. Di
Piancenza, Inzaghi hanya bermain di dua pertandingan, sebelum akhirnya dipinjam
dua klub, Leffe dan Verona. Kemudian, balik ke Piancenza, dan menolong klubnya promosi
di Serie A. Karirnya mulai bersinar ketika Atlanta meminjamnya dari Parma. Bersama
Atlanta, Inzaghi menjadi Capocannonieri
(gelar top score di Italia) Serie A, 24 gol dalam 33 pertandingan.
Kisah penuh warna
justru ketika memperkuat Milan, setelah Fatih Terim, manajer Milan, mengambil
keputusan membelinya dari Juventus. Sekitar 11 tahun (2001-2012) lamanya, Inzaghi
membela rossoneri (merah-hitam, warna
kostum Milan). Inzaghi juga terlibat dalam laga-laga penting, salah satunya, 23
Juni 2007, sewaktu Milan melumat Liverpool 2-1. Dua gol dicetak Inzaghi. Milan
berhasil menjuarai kompetisi bergengsi dunia, Liga Champion. Gelar ini
menuntaskan dendam Milan. Dua tahun sebelumnya, Milan dikalahkan Liverpool
melalui adu penalti di final, di Stadion Olimpiade Attaturk, Istambul, Turki.
Saat itu, Inzaghi tidak bermain karena cedera. Pertandingan melawan Novara, Mei
2013, menutup halaman akhir sebagai pemain bola, usianya mendekati 39. Sepanjang
karirnya, Inzaghi sedikitnya telah membukukan 300 gol. Basis pendukung Milan (Milanisti), yang mayoritas berhaluan
politik sayap kiri, menjulukinya Pippo
atau Superpippo. “Jika Anda tidak
dilahirkan sebagai seorang Ronaldo atau Kaka, Anda masih bisa menjadi pemain
besar melalui komitmen, ketenangan, ketekunan, dan mencintai apa yang Anda lakukan,”kata
Superpippo.
Inilah sepak bola. Sebuah
dunia persegi panjang yang harus dilihat melalui sudut yang berbeda. Bayangkanlah lapangan
hijau, adalah sebuah panggung. Saya jadi teringat dengan dramaturgi, dramaturgi
superpippo. Jika merujuk Erving
Goffman, panggung adalah metafor mengenai drama kehidupan. Panggung itu sengaja
dibentuk, diciptakan, ketika identitas individual sesungguhnya tidaklah stabil. Keterasingan menjadi perhatian serius bagi Goffman. Panggung mempresentasikan realitas sistem yang kompleks dalam interaksi sosial. Lewat bagian depan (front stage),
para “aktor” memainkan peran personal masing-masing sebaik-baiknya di depan penonton. Sebaliknya, di bagian belakang (back stage), panggung tanpa penonton, adalah wilayah tersembunyi "diri" (the self). Sebagaimana memakai konsep George Herbert Mead mengenai "the self", bahwa "diri" aktor sejatinya merupakan hasil interaksi sosial secara dramatik antara aktor dengan penonton, guna mencapai "kesamaan" atau "kesepakatan". So, dramaturgi merupakan realitas sosial yang beroperasi secara individual dan kolektif memadukannya ke dalam sebuah pertunjukan, yang mengaduk-aduk emosi kita dan memberikan kesan: inilah kenyataan sebenarnya. Kesan yang dibentuk juga akan tergantung pada komponen atau properti panggung yang dapat menyakinkan. Di luar itu semua, bisa jadi, dramaturgi tidak sekedar melekat pada wilayah sosiologis, akan tetapi juga politik.
Kembali ke Milan. Jika dilekatkan dengan nama Silvio Berlusconi, Milan tidak sekedar klub sepak bola. Berlusconi, seorang pemilik media raksasa Italia, membeli Milan pada tahun 1986, saat klub ini sedang dirundung berbagai masalah, salah satunya skandal perjudian. Berlusconi menjadi sinar harapan bagi Milanisti, lantaran dapat mengembalikan kejayaan Milan. Bagi sebagian orang, Milan menjadi kunci sukses Berlusconi masuk dalam gelanggang politik, sebelum partai Forza Italia didirikan. Forza Italia dibentuk secara khusus Berlusconi sebagai kendaraan politik menuju perdana menteri. Motif politik Berlusconi sesungguhnya masih diperdebatkan, orang menghubungkan dengan penyelamatan bisnisnya yang sedang berada di ambang kebangkrutan. Seiring dengan waktu, Berlusconi menjadi perdana menteri Italia yang terlama, 17 tahun. Pada tahun 2011, popularitas Berlusconi mengalami fluktuasi yang tajam, dihadapkan dengan berbagai tuduhan hukum, skandal seks, dan Italia sendang terperangkap badai krisis karena menumpuknya utang. Atas desakan parlemen dan partai, Berlusconi mundur. Jutaan rakyat Italia merayakan mundurnya Berlusconi, yang dianggap selama 17 tahun menenggelamkan Italia dalam krisis.
Kalaupun ada hubungan bola dan politik seperti ini, maka kita juga dalam hari-hari ini terperangkap untuk mengaitkan pesta bola dunia, piala dunia, dan Pilpres. Mungkin semacam dramaturgi. Akan tetapi, sosok Superpippo, Fillipo Inzaghi, memberikan pelajaran bagi kita, untuk memahami hal-hal tertentu yang kita tidak perhitungkan sama sekali. Dengarkan sorak sorai para Milanisti, ketika Superpippo, berlari ke samping, menerima umpan lambung, menipu langkah kiper, dan melesakkan bola ke gawang Novara. Pippo inzaghi segna per noi.
Panakkukang, 21 Juni 2014
Kembali ke Milan. Jika dilekatkan dengan nama Silvio Berlusconi, Milan tidak sekedar klub sepak bola. Berlusconi, seorang pemilik media raksasa Italia, membeli Milan pada tahun 1986, saat klub ini sedang dirundung berbagai masalah, salah satunya skandal perjudian. Berlusconi menjadi sinar harapan bagi Milanisti, lantaran dapat mengembalikan kejayaan Milan. Bagi sebagian orang, Milan menjadi kunci sukses Berlusconi masuk dalam gelanggang politik, sebelum partai Forza Italia didirikan. Forza Italia dibentuk secara khusus Berlusconi sebagai kendaraan politik menuju perdana menteri. Motif politik Berlusconi sesungguhnya masih diperdebatkan, orang menghubungkan dengan penyelamatan bisnisnya yang sedang berada di ambang kebangkrutan. Seiring dengan waktu, Berlusconi menjadi perdana menteri Italia yang terlama, 17 tahun. Pada tahun 2011, popularitas Berlusconi mengalami fluktuasi yang tajam, dihadapkan dengan berbagai tuduhan hukum, skandal seks, dan Italia sendang terperangkap badai krisis karena menumpuknya utang. Atas desakan parlemen dan partai, Berlusconi mundur. Jutaan rakyat Italia merayakan mundurnya Berlusconi, yang dianggap selama 17 tahun menenggelamkan Italia dalam krisis.
Kalaupun ada hubungan bola dan politik seperti ini, maka kita juga dalam hari-hari ini terperangkap untuk mengaitkan pesta bola dunia, piala dunia, dan Pilpres. Mungkin semacam dramaturgi. Akan tetapi, sosok Superpippo, Fillipo Inzaghi, memberikan pelajaran bagi kita, untuk memahami hal-hal tertentu yang kita tidak perhitungkan sama sekali. Dengarkan sorak sorai para Milanisti, ketika Superpippo, berlari ke samping, menerima umpan lambung, menipu langkah kiper, dan melesakkan bola ke gawang Novara. Pippo inzaghi segna per noi.
Panakkukang, 21 Juni 2014