Skip to main content

Narmada dan Bili-bili

DESA Narmada, di India dan Bili-bili, di Indonesia, dua tempat berjauhan dengan satu kisah yang sama: soal pengorbanan dan proyek bendungan. Arundhati Roy, perempuan pemikir kelahiran India dan seorang sarjana arsitektur, dalam ”The Cost of Living”, menggambarkan dua perkara tersebut dapat dipersinggungkan, dirajut, dan dipertalikan: mistisfikasi nasionalisme dan eskalasi bantuan dari Lembaga Keuangan Internasional. Di Indonesia, “The Cost of Living” sudah dialih-bahasakan dan diedarkan sekitar dua tahun lalu, dalam bentuk novel non-fiksi (berisi fakta dan perasaan Arundhati Roy).


“The Cost of Living”, ditulis Arundhati Roy dengan penuh hasrat dan sangat sarkastik, berisi dua esai yaitu “The Greater Common Good” dan “The End of Imagination”. Esai terakhir berbicara soal nuklir India-Pakistan. Sedangkan esai pertama melukiskan konstruksi bendungan di India. Arundhati Roy menelisik program bendungan besar India dari akar nasionalisme dan bantuan Bank Dunia melalui momentum birokrasi modern, tetapi bukan dari perspektif yang tidak memihak. India merupakan negara dunia ketiga yang memiliki bendungan terbesar, yang diinsipirasi dari kata-kata Nehru, empat puluh tahun silam, dimana bendungan dipuja-puji sebagai “Kuil Modern India”. Walaupun terdapat pembangunan 3.300 bendungan, namun 200 juta orang di India sedang mengalami kesulitan mendapatkan air bersih dan air minum, 600 juta orang tidak mendapatkan sanitasi dasar. Arundhati Roy mengkalkulasi dampak pembangunan dam besar India yang telah membuat 50 juta orang menjadi tuna-wisma karena kehilangan rumah. Pembangunan bendungan itu makan banyak ongkos dan racun bagi lingkungan.
Ketika menulis esai “The Greater Common Good”, Arundhati Roy melakukan perjalanan ke pedesaan di Sungai Narmada, yang ditenggelamkan oleh Bendungan Sardar Sarovar, Gujarat. Sungai ini memiliki panjang 1312 kilometer, dari distrik Shahdol, Madhya Pradesh, sampai ke Laut Arab. Gagasan membendung Sungai Narmada telah dibicarakan akhir abad 19. Bendungan di Narmada menjadi mimpi besar bagi menteri dalam negeri India yang pertama, Sardar Vallabhbhai Patel. Di desa Narmada, Arundhati Roy bertemu, berjalan bersama dan mendengarkan orang-orang Narmada mengenai perasaan kehilangan yang paling bermakna bagi kehidupan mereka –sungai, rumah dan lahan pertanian. Orang-orang Narmada itu pindah ke kota-kota yang penuh sesak, atau mencari kehidupan baru di desa terdekat, walaupun mereka tidak diterima sepenuh hati. Pemerintah tidak memberikan kompensasi apa-apa terhadap kesulitan yang umumnya mereka hadapi. Orang-orang Narmada telah membuat pengorbanan untuk “kebajikan terbesar” India.


Dari Dam Bili-bili, Gowa, Sulawesi Selatan, teman saya, Rais, bertanya,”apakah bendungan Bili-bili itu anugerah atau bencana”. Pertanyaan ini saya kutip dari surat elektronik Rais dalam mailing-list komunitas-riset. Rais memang tidak hendak menjawabnya, tetapi mengurai kompleksitas perasaan inferioritas orang-orang yang mengorbankan sungai, rumah dan lahan pertanian atas nama proyek bendungan. Faktanya, pembangunan bendungan seringkali menggambarkan kondisi pertukaran-tidak setara (unequal exchange).
Bendungan Bili-bili menyekat Sungai Jeneberang yang memiliki panjang 75 kilometer. Proyek bendungan ini mulai dicanangkan pada tahun 1992, menelan biaya 10.895 juta yen atau setara Rp 259.024.065.884 pada saat itu. Ongkos proyek berasal dari pinjaman Jepang (dulu OECF, sekarang JBIC), melalui Proyek Loan OECF/IP-359 dan IP-390. Tujuan proyek ini berkaitan dengan penyedaiaan air minum, pasokan listrik (sekitar 10 MW), mengatasi banjir dan pencegahan pendangkalan. Secara teknis, dam Bili Bili memiliki tinggi 73 meter, panjang 1.800 meter dan luas genangan waduk 18,50 kilometer per segi. Sepuluh tahun lebih paska peresmian bendungan, tulis Rais, tidak semua orang tertarik untuk mencerna lebih dalam kondisi sesungguhnya apa yang dialami dan dirasakan masyarakat korban. Sebagaimana Arundhati Roy yang berbeda perspektifnya dengan apa yang disediakan oleh media massa konvensional mengenai proyek bendungan di India, terutama kepeduliannya terhadap gerakan perlawanan akar rumput yang bernama Narmada Bachao Andolan.
Rais menceritakan soal sand-pocket (kantung pasir) yang dibangun sepanjang hulu DAS Jeneberang, yang bertujuan menahan laju sedimentasi yang akan masuk Dam Bili-bili. Pembangunan sandpocket (bendungan Bili-bili memiliki sabo-dam dan sand-pocket) mungkin akan menyelamatkan bendungan dari penetrasi sedimentasi, tetapi tidak bagi lahan pertanian di sepanjang DAS Jeneberang. Para petani menuai air bah dan timbunan sedimen di areal persawahan mereka. Apalagi, dua tahun terakhir, 80 persen sandpocket itu rusak. Pembangunan sandpocket itu juga yang menjadi penyebab kerusakan 25 hektar persawahan yang telah ditanami padi atau yang hendak dipanen.
Pada 22 Januari 2010, tutur Rais, di Dusun Tombongi, Desa Lonjoboko dan Dusun Bontojai, Desa Borisallo, Kecamatan Parangloe, kurang lebih 35 kepala keluarga meneteskan air mata ketika padi dan lahan sawah mereka tertimbun sedimen karena dampak sandpocket. Pelaksana proyek, BBWS Pompengan Jeneberang, justru berdalih sebagai kelalaian pemilik sawah dan kondisi alam. Dalam mailing-list, Rais menulis: saya teringat dua pertanyaan yang pernah saya lontarkan kepada Shimisu, PM CTIE, seorang konsultan,”apakah menurut Tuan Shimisu, Bendungan Bili-Bili itu berhasil atau gagal” dan ”apakah menurut Tuan Shimisu, Bendungan Bili-Bili dibangun tidak melanggar HAM”. Sambil menghembuskan napas panjang, Tuan Shimisu mengatakan bahwa dia tidak bisa menjawab.
Proyek Narmada dan Bili-bili berada di tempat gagasan demokrasi dan kesejahteraan sedang menjamur dan tumpah-ruah dimana-mana. Arundhati Roy ada benarnya. Dalam “The Cost of Living”, Arundhati Roy mengungkapkan perasaannya,”sedari awal saya menyatakan bahwa saya bukan anti-kota, saya bukan anti-pembangunan ... Rasa penasaranlah yang membawa saya ke lembah Narmada. Naluri saya menyatakan bahwa ini adalah kesalahan besar ... Satu-satunya yang mungkin akan menyeberangi rawa-rawa yang membekukan harapan, kemarahan, informasi, disinformasi ... dan, tentu saja, dimana-mana, selalu meragukan, politik bantuan internasional”.

Popular posts from this blog

Ladang Tebu, Jalan Tol, Mojokerto

MOJOKERTO seperti borjuis kecil. Rasanya, saya tidak memiliki ungkapan yang lebih tepat. Perjalanan kembali ke kampung halaman, seperti menggeledah keranjang ingatan. Lebih sepekan, saya tinggal di sebuah tempat yang berada dalam narasi "sejarah besar" di republik ini. Tapi, saya tidak hendak bercerita soal itu. Lupakan sejenak mengenai  penemuan fosil tengkorak kanak-kanak purba, di Perning, sebuah desa kecil di timur laut Mojokerto, pada 1936. Atau, repihan kota tua Majapahit, di desa Trowulan (sebelumnya, bernama Trangwulan), di sebelah barat Mojokerto.  Saya penasaran mencari tahu lebih jauh. Saat bertemu sejumlah kawan lama semasa sekolah. Ketika percakapan yang tiba-tiba melompat pada: pabrik-pabrik mulai pindah ke tempat yang lebih rendah upah para pekerjanya.   Saya mendadak teringat akan penjelasan David Harvey, seorang geografer sekaligus antropolog. Aliran modal seperti proses molekuler, katanya. Dalam suatu percakapan mengenai buku yang ditulisnya: The New...

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Lenyapnya Kampung Kota

APA arti kampung kota? Pengertiannya agak elusif. Kampung kota memiliki memori kolektif. Sebagian besar menautkan pembentukan kampung kota di kota-kota besar Indonesia dengan fenomena urbanisasi, bahkan terhubung dengan kisah para pelarian dari konflik sosial di tempat lain. Kita mungkin dapat segera mengidentifikasi penanda atas ruang geografis dengan memakai spektrum etnisitas. Kampung Melayu, Kampung Maluku, Pecinan, beberapa diantaranya. Tentu saja, tidak seluruhnya. Kalau kita membaca sebuah buku karya profesor Mattulada, “Menyelusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah 1510-1700”, kita dapat mengetahui penamaan kampung-kampung yang memiliki kisah yang khas. Kampung Lariang Bangi, misalnya, sebutan tempat anak muda membawa lari (menculik) anak gadis pada malam hari. Atau, kisah tempat perjumpaan orang Mandar yang ahli membuat tali, lantas ditukar dengan ikan hasil tangkapan para pelaut dari Turatea, sehingga terbentuk kampung Paotere sebagai tempat berlabuh perahu dan pasar ik...

Dia Bicara Lorong

BERAPA sebenarnya jumlah lorong di Kota Makassar. Saya berusaha keras mencari jawaban ini. Saya sudah sekian kali mengulik, menelusuri di internet. Rasanya tak ada sumber atau rujukan yang dapat memastikan jumlahnya secara tepat. Jumlah lorong di Makassar diestimasikan lebih dari 1.500. Saya sendiri tiba-tiba saja tertarik dengan pertanyaan ini, seusai sebuah pertemuan yang tak terduga dengan seorang kawan lama. Selepas magrib, di depan lapak penjual sate Mase Masea , sudut perempatan jalan Bandang dan Mesjid Raya. Sebuah lapak yang buka malam hari, yang tak terlupakan sejak kami kuliah pada paruh akhir dekade 1980-an. Dia bicara lorong, saat membuka percakapan. Ada keinginan kuatnya, menghentikan langkah orang untuk merampok, membegal uang rakyat, dalam "proyek pembangunan" di lorong-lorong Makassar. Saya menangkapnya pada kata "partisipasi", karena partisipasi menghindarkan orang akan keterkucilan, eksklusi sosial. Namun, mengeksekusi kata "partisipasi"...

Melintasi Sabana, Seram Barat

PAGI-PAGI benar saya sudah meninggalkan penginapan di depan mesjid negeri Passo, Ambon. Saya meluncur ke arah pelabuhan Hunimua, Liang, dimana kapal feri menuju Waipirit itu bersandar. Jalanan masih basah, hujan semalaman. B aliho para kandidat gubernur Maluku tampak berjejer di tiap sudut jalan. Pemilihan gubernur kali ini boleh jadi terasa penting, paling tidak menguji kembali semangat rekonsiliasi, penyelesaian politik identitas atau fitur oposisi perasaan "ke-kita-an" terhadap yang lain, yang sempat membakar masa lalu. Bukankah,  sebagian dari pemilih tersebut, adalah mereka yang pernah menjadi kombatan saat masih berumur anak-anak dalam konflik kekerasan bersentimen etnis dan agama di Maluku pada 1999-2002. Data statistik struktur usia penduduk dalam sebuah dokumen rencana pembangunan tahun 2016 menggambarkan, jumlah penduduk terbesar di Kota Ambon, adalah yang berusia 20-24 tahun, diikuti mereka yang berusia 25-30 tahun. Matahari pagi hangat dan laut tenang, penyebe...