“Siasat adalah seni melawan kaum papa”
SULAWESI SELATAN memiliki angka-angka surplus beras yang dapat menguatkan target lumbung pangan nasional.[1] Sebuah pesan pendek yang terus-menerus menjadi pengetahuan yang telah terlembagakan dan menyakinkan, meminjam istilah Alain Badiou, sebagai peristiwa-kebenaran (truth-event). Surplus beras, pertama-tama, memberitahu kita tentang cadangan pangan. Pembingkaian target surplus beras itu dijelaskan melalui kacamata statistik mengenai laju produksi beras, serta penggunaan kaca pembesar masalah perlakuan tanaman. Peningkatan produksi, melalui mobilisasi kekuasaan, menjadi pendekatan kunci surplus beras. Tidak terlalu sulit untuk mendapatkan angka statistik mengenai luas areal sawah dan produksi padi.
Akan tetapi, bagaimana mungkin, membicarakan kemajuan atas angka-angka surplus beras, tanpa mengetahui data penyakapan (land-tenure) lahan sawah yang telah dikonversi. Berapa jumlah petani (tuna-kisma) yang kehilangan lahan pertanian. Berapa orang yang kelaparan, malnutrisi dan kesakitan, akibat penghancuran akses terhadap sumberdaya pangan. Berapa orang yang berada di bawah ancaman pangan yang terkonsentrasi asupan kimia. Lebih tepatnya, sebagai orang-orang yang dikorbankan di altar pemujaan modernisasi pertanian. Bagaimana mungkin mengaitkan surplus beras dengan kesejahteraan petani, jika karung-karung beras itu diberi label harga di pasar, tetapi tidak mengkalkulasi nilai ril di tingkat petani. Peristiwa ini menunjukan, di belakang agenda surplus beras itulah bermain kekuatan kapital.
Coba tengok, di hulu, di tempat pangan ini diproduksi. Di tempat dimana kebudayaan petani dilumpuhkan oleh revolusi hijau, para petani memendam kekecewaan besar terhadap kehilangan produksi hasil panenan tanaman padi mereka. Jika mereka tidak kehilangan, mengapa jumlah buruh musiman melonjak naik, atau jumlah pekerja lepas dari desa-desa itu semakin membanjiri kota.
Berikut, suatu taksiran sederhana. Jumlah pestisida dan pupuk kimia melaju lebih cepat daripada yang kita duga, sekalipun luasan lahan produksi tanaman pangan mulai kian merosot tajam. Korporasi-korporasi agro-kimia itu memang secara sangat agresif memperkenalkan benih hibrida dan racun pestisida sampai di dapur rumah petani. Harga panenan mungkin saja cenderung meningkat, akan tetapi petani terlanjur bergantung secara kuat dengan produk-produk korporasi agro-kimia, bahkan sebagai tempat bergantungnya kesempatan hidup. Jadi, dalam keadaan sebenarnya, para petani, terutama para petani kecil, hanya melarikan sebagian besar uang hasil panenan ke dalam peti uangnya korporasi.
Situasi ini memaksa para petani jatuh terjerembab dalam perangkap kemiskinan yang tak terperikan. Hubungan petani dengan tanah pun menjadi semakin memburuk. Bukan hanya menenggelamkan tanah pertanian dengan racun pestisida dan pupuk kimia, melainkan juga memaksakan tanah sebagai barang komoditi. Pandangan orang-orang tua di tanah Bugis-Makassar mengenai tanah sebagai sari-pati kehidupan ini dilumpuhkan. Logika modal telah memberangus, bahkan menghancurkan imajinasi subsisten petani. Peralihan atau transisi keadaan-keadaan itu selalu ditandai dengan fakta-fakta pengambil-alihan kuasa petani atas kepemilikan aset atau alat produksi dan pengintegrasian bisnis kapital di lahan-lahan pertanian. Bagaimana pembacaan jalan peralihan keadaan-keadaan itu dalam konteks Sulawesi Selatan saat ini? Apa tanggapan petani, apa yang dipikirkan, apa yang menjadi siasat mereka?
Jalan Menuju Pasar Tanah
SULAWESI SELATAN memiliki angka-angka surplus beras yang dapat menguatkan target lumbung pangan nasional.[1] Sebuah pesan pendek yang terus-menerus menjadi pengetahuan yang telah terlembagakan dan menyakinkan, meminjam istilah Alain Badiou, sebagai peristiwa-kebenaran (truth-event). Surplus beras, pertama-tama, memberitahu kita tentang cadangan pangan. Pembingkaian target surplus beras itu dijelaskan melalui kacamata statistik mengenai laju produksi beras, serta penggunaan kaca pembesar masalah perlakuan tanaman. Peningkatan produksi, melalui mobilisasi kekuasaan, menjadi pendekatan kunci surplus beras. Tidak terlalu sulit untuk mendapatkan angka statistik mengenai luas areal sawah dan produksi padi.
Akan tetapi, bagaimana mungkin, membicarakan kemajuan atas angka-angka surplus beras, tanpa mengetahui data penyakapan (land-tenure) lahan sawah yang telah dikonversi. Berapa jumlah petani (tuna-kisma) yang kehilangan lahan pertanian. Berapa orang yang kelaparan, malnutrisi dan kesakitan, akibat penghancuran akses terhadap sumberdaya pangan. Berapa orang yang berada di bawah ancaman pangan yang terkonsentrasi asupan kimia. Lebih tepatnya, sebagai orang-orang yang dikorbankan di altar pemujaan modernisasi pertanian. Bagaimana mungkin mengaitkan surplus beras dengan kesejahteraan petani, jika karung-karung beras itu diberi label harga di pasar, tetapi tidak mengkalkulasi nilai ril di tingkat petani. Peristiwa ini menunjukan, di belakang agenda surplus beras itulah bermain kekuatan kapital.
Coba tengok, di hulu, di tempat pangan ini diproduksi. Di tempat dimana kebudayaan petani dilumpuhkan oleh revolusi hijau, para petani memendam kekecewaan besar terhadap kehilangan produksi hasil panenan tanaman padi mereka. Jika mereka tidak kehilangan, mengapa jumlah buruh musiman melonjak naik, atau jumlah pekerja lepas dari desa-desa itu semakin membanjiri kota.
Berikut, suatu taksiran sederhana. Jumlah pestisida dan pupuk kimia melaju lebih cepat daripada yang kita duga, sekalipun luasan lahan produksi tanaman pangan mulai kian merosot tajam. Korporasi-korporasi agro-kimia itu memang secara sangat agresif memperkenalkan benih hibrida dan racun pestisida sampai di dapur rumah petani. Harga panenan mungkin saja cenderung meningkat, akan tetapi petani terlanjur bergantung secara kuat dengan produk-produk korporasi agro-kimia, bahkan sebagai tempat bergantungnya kesempatan hidup. Jadi, dalam keadaan sebenarnya, para petani, terutama para petani kecil, hanya melarikan sebagian besar uang hasil panenan ke dalam peti uangnya korporasi.
Situasi ini memaksa para petani jatuh terjerembab dalam perangkap kemiskinan yang tak terperikan. Hubungan petani dengan tanah pun menjadi semakin memburuk. Bukan hanya menenggelamkan tanah pertanian dengan racun pestisida dan pupuk kimia, melainkan juga memaksakan tanah sebagai barang komoditi. Pandangan orang-orang tua di tanah Bugis-Makassar mengenai tanah sebagai sari-pati kehidupan ini dilumpuhkan. Logika modal telah memberangus, bahkan menghancurkan imajinasi subsisten petani. Peralihan atau transisi keadaan-keadaan itu selalu ditandai dengan fakta-fakta pengambil-alihan kuasa petani atas kepemilikan aset atau alat produksi dan pengintegrasian bisnis kapital di lahan-lahan pertanian. Bagaimana pembacaan jalan peralihan keadaan-keadaan itu dalam konteks Sulawesi Selatan saat ini? Apa tanggapan petani, apa yang dipikirkan, apa yang menjadi siasat mereka?
Jalan Menuju Pasar Tanah
Sebuah jalan tol sedang diusahakan memecah kesunyian halaman belakang Kota Makassar. Jalanan besar yang membelah perkampungan petani dan menggilas lahan-lahan pertanian, sekaligus melibas sumberdaya pangan. Jalan Trans-Sulawesi Mamminasata, demikian namanya, lebih 60 kilometer melingkar dari Takalar, melewati Makassar, sampai di Maros, Sulawesi Selatan. Kata Mamminasata merupakan singkatan yang mempertalikan nama wilayah Kota Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Takalar. Jalan tol ini dirumuskan dalam Rencana Tata Ruang Metropolitan Mamminasata 2003-2012.Rumusan kawasan metropolitan Mamminasata lahir dari hasil studi JICA, agensi pembangunan Jepang, pada tahun 1985, mengenai pengembangan jalan raya Ujung Pandang. Pada April 2005 sampai dengan Oktober 2006, JICA membuat studi implementasi tata ruang terpadu Mamminasata. JBIC (Japan Bank for International Cooperation) kemudian menindaklanjuti hasil studi JICA tersebut. Jalan tol ini juga tidak jauh letaknya dari proyek-proyek yang didanai pemerintah Jepang sebelumnya, seperti proyek yang mendatangkan air minum bagi sekitar dua juta orang di Kota Makassar. Paling tidak, ada dua proyek untuk itu, Dam Bilibili, Parangloe, Gowa, dan proyek saluran PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) Kota Makassar yang digelontorkan dari Sungai Lekopacing, Tanralili, Maros.
Lahan yang terkena dampak proyek pengembangan jaringan jalan Mamminasata, ditaksir secara kasar akan memakan lahan sawah sekitar 36, hekto are dan menelan 43,7 ribu hekto are pemukiman.[2] Berapa jumlah kehilangan yang ada. Coba kita kalkulasi dengan aritmatika sederhana, jika satu hektar sawah menghasilkan 5 ton, hitungan paling sedikit dari angka statistik Sulawesi Selatan, yang senantiasa dinyatakan 8 ton gabah kering panen (GKP) per hektar, maka 5 x 36,2 = 181 ton. Dengan angka ini, akan menghasilkan beras sekitar 144,8 ton. Jika memakai angka statistik (BPS,2003), pada 1990-2003 konsumsi per kapita (kg/tahun) pada kisaran 130-132 kg/tahun. Kalau kita memakai angka 131 kg/tahun dengan angka besaran beras 144,8 ton, maka dapat memberikan makan untuk sekitar 1.105 orang pertahunnya. Jumlah orang miskin di kota di Sulawesi Selatan, dalam Berita Resmi Statistik Maret 2009, menyebutkan angka 124.500 orang miskin pada tahun 2009. Paling tidak, jika kita tidak kehilangan 181 ton beras tersebut, sekitar satu persen orang miskin tersebut dapat diberi beras untuk konsumsi satu tahun.
Di Dam Bilibili, yang diresmikan presiden kelima Indonesia, Nyonya Megawati, tahun 1999, ada tiga kecamatan yang ditenggelamkan, di tempat ribuan orang bertempat tinggal dan bercocok tanam, yang kemudian ”berkorban” untuk menyelamatkan kebutuhan air minum dan listrik orang-orang di Kota Makassar. Sebagian dari mereka berakhir nasibnya sebagai buruh kasar dan sopir truk. Sementara saluran air PDAM dari Sungai Lekopacing, yang dibangun sekitar tahun 1970-an, kerap kali menciptakan ironi. Saluran ini dibangun membelah sawah-sawah tadah hujan. Di atas saluran, berserakan tanda-tanda larangan mengambil air saluran PDAM tersebut. ”Bila musim kemarau tiba, para polisi berjaga untuk menangkap petani yang mengambil air dari saluran PDAM,” kata seorang petani yang lahan sawahnya dibelah saluran tersebut.
JICA juga membikin program kredit-mikro dan pertanian sayuran di Galesong Utara, Takalar. Terkait dengan proyek-proyek untuk Mamminasata, salah satunya adalah tempat pembuangan akhir (TPA) sekaligus pengolahan sampah di Takalar, dimana pemerintah Jepang telah menggelontorkan pinjaman senilai Rp 113 miliar.[3] Bukan suatu kebetulan nampaknya, jika letak proyek-proyek Jepang ini, di Parangloe, Galesong Utara, dan Tantralili, dalam rencana struktur kawasan Mamminasata, kelak akan menjadi kawasan kota baru.[4]
Jalan tol Trans-Sulawesi Mamminasata menjadi bagian yang terpenting menggelembungkan kota. Sebuah proyek yang ambisius dalam menghubungkan satu kota inti Makassar, tiga kota satelit (Takalar, Sungguminasa, dan Maros), serta empat kawasan kota baru. Penggelembungan itu selaras dengan subtansi kertas-kerja Bank Dunia mengenai sektor perkotaan di Indonesia, yang saling mengaitkan dua hal: desentralisasi dan urbanisasi. Sebagaimana narasi awal kertas kerja tersebut, bahwa laju urbanisasi yang meledak semenjak awal desentralisasi, sangat merumitkan kota-kota di Indonesia, terutama arus migran miskin-pedesaan yang datang berbondong-bondong itu menciptakan sumber keretanan di wilayah perkotaan.
Proyek-proyek Bank Dunia, juga lembaga multilateral lainnya, kelihatannya menolong orang-orang miskin untuk keluar dari perangkap kemiskinan dan melawan ancaman lingkungan yang berisiko mengurangi aset dan kemampuan mereka bertahan-hidup. Apakah benar-benar demikian. Kampung Improvement Program (KIP), yang dibiayai oleh Bank Dunia untuk perbaikan infrastuktur dasar perkotaan, misalnya, justru memiliki target-akhir pada komoditifikasi tanah. Kertas-kerja tersebut menggambarkan,”penduduk kampung KIP menikmati nilai tanah yang lebih tinggi dari pada mereka yang tinggal di kampung-kampung non-KIP. Tetapi cepatnya perkembangan real-estate, banyak menggantikan kampung-kampung yang ada, sehingga banyak yang mempertanyakan apakah investasi KIP membawa keuntungan ... Namun banyak dari penduduk kampung yang tidak mendapatkan nilai yang sesungguhnya dari tanah dan rumah mereka, karena keterbatasan kemampuan bisnis dan klaim yang lemah atas kepemilikan.”. Argumentasi pasar lahan tanah perkotaan dan perumahan itulah menjadi dasar logika sesungguhnya dalam proyek-proyek Bank Dunia di sektor perkotaan. Sebagaimana dinyatakan dalam kertas-kerja tersebut,”lahan kota, sebuah komoditas yang berada di bawah tekanan urbanisasi, merupakan dasar dari pembangunan daerah”. Logika investasi nilai-tanah dan akses pada pembiayaan hipotik juga bekerja dalam proyek-proyek dibiayai Bank Dunia lainnya, seperti PNPM, WATSAL (Water Sectoral Adjustment Loan) dan NUSS (Neighborhood Upgrading and Sheelter Sector Project) yang didanai ADB. Proyek-proyek ini memberikan dukungan kuat pada proyek yang dibiayai Bank Dunia dan AusAID yaitu, Land Administration Project (LAP) yang dimulai 1995, sebagai upaya pemberian sertifikasi lahan di perkotaan.
Proyek-proyek tersebut menciptakan situasi yang dapat mendorong percepatan mekanisme pasar di bidang pertanahan. Mekanisme semacam ini cukup untuk menjamin bekerjanya jaringan bisnis oligarki para pemodal besar di sektor pembiayaan keuangan dan pengembang, ketika mereka melakukan ekspansi lahan secara luas dan besar-besaran. Kemudahan transaksi atau jual-beli tanah selalu bersanding dengan lokasi proyek infrastuktur yang dirancang dan dibiayai para kapital internasional. Proyek NUSS di Makassar, misalnya saja, berdasar temuan anggota SBB (Simpul Belajar Bersama) Sulawesi Selatan, menunjukan lokasi proyek itu berdekatan atau berada di dalam patok-patok rencana proyek pelebaran pelabuhan Soekarno-Hatta dan jalan tol.
Pengelembungan kawasan kota, seperti Mamminasata, cenderung bergerak simultan dengan orientasi kebutuhan akan pasokan tanah, pasar tanah dan perumahan. Struktur ruang kawasan dirancang menyerupai kipas, untuk mengembangkan daerah-daerah pemukiman baru di luar Kota Makkasar. Satu hal yang memudahkan investor besar melakukan ekspansi lahan, terkonsentrasi dan merancang disparitas harga tanah. Sekaligus sebagai pembentuk atau penetrasi kesadaran untuk memperkuat watak komoditi tanah. Semakin kuat watak komoditi, semakin lebar ruang pergerakan akumulasi modal. ”Biasanya, yang menawar harga tanah milik orang kampung untuk jadi tanah kapling, itu ada tiga orang, calo tanah, orangnya pengembang dan tentara. Kalau orang kampungnya sudah patah pensil, tidak sekolah, langsung kasih sertifikat, padahal uangnya belum dikasih semua, baru sedikit, lalu dijanji-janji. Jadi pengembang itu untung tiga kali, keluar ongkos sedikit, ada sertifikat mungkin akan dianggunkan ke bank, dan dapat uang dari pembeli tanah kapling,” tutur seorang petani dari Desa Madeceng (nama desa yang disamarkan).
Kalau Sapi Bisa Dimasukan dalam Rumah
Proyek Mamminasata dapat dibaca sebagai salah satu penetrasi mengisi ruang transisi subsisten menjadi kapital di desa-desa pinggiran Makassar. Fakta yang nampak adalah komoditifikasi tanah. Petani sendiri kian teralienasi dengan tanah, terlebih ketika mereka berada dalam tekanan situasi kemiskinan yang memuncak. Tanah tidak lagi dihargai dan dilindungi sebagai alat produksi yang dapat menjaga kehidupan. Jumlah pestisida naik berlipat-lipat disiram ke tanah. Pupuk kimia yang digelontorkan ke dalam tanah itu semakin meningkat tajam. Kebudayaan yang dibangun petani selama berabad-abad demi menjaga keberlanjutan sumberdaya, menggerakkan pengetahuan asli (indigenousness knowledge) dan memelihara sistem komunal untuk bertahan-hidup ini, nyata sekali sedang dihancurkan secara brutal oleh logika modal. Petani kehilangan kuasa atas tanah, sumberdaya benih, dan sistem budidaya pertanian, bahkan kolektifitas di antara mereka. Kehidupan petani penuh sesak dengan berbagai sumber kerentanan. Perampasan terhadap sumberdaya meneror mereka setiap saat. Salah satu petikan penuturan seorang petani Desa Madeceng,”sapi-sapi di sini memang tidak dikandangkan, kalau bisa dimasukan dalam rumah, kami sudah lama masukan sapi-sapi itu ke rumah”.
Pengambil-alihan kuasa petani di lahan pertanian, sebagian besar kelihatanya dikendalikan melalui kombinasi kekuatan koersif dan non-koersif. Petani dibujuk-rayu, diiming-imingi, dan dilucuti kesadaran dan pengetahuannya, kemudian dipaksa mengikuti logika cara produksi kapital. Pernyataan seorang petani yang berasal dari Gowa dapat memberikan penafsiran bagaimana cara kekuatan kapital melucuti kesadarannya,”coba bandingkan kalau kita menanam jagung di lahan yang kecil dengan di lahan yang luas, kita sama-sama menunggu jagung itu selama empat bulan untuk dipanen. Tapi hasilnya beda, di lahan yang kecil kita hanya dapat hasil kecil, beda di lahan yang luas. Kalau kita mau dapat hasil banyak, kita harus punya modal besar juga. Jadi kutanami jagung semuanya di lahan yang luas, supaya hasilnya besar juga.”
Dalam sejarah pengintegrasian bisnis kapital di lahan pertanian, benih menjadi pintu masuk bagi pengambil-alihan kuasa petani. Selama berabad-abad, petani telah memelihara sumberdaya benih melalui konservasi lekat-lahan (on-farm) atau in-situ, dengan cara menyimpannya, menggunakan, dan melakukan pertukaran. Konservasi lekat-lahan menyebabkan benih dapat beradaptasi dan berevolusi terhadap perubahan lingkungan. Begitu benih berada dalam konsentrasi kapital, benih berada di luar kuasa petani.[5] Pilihan terhadap benih menjadi amat terbatas bagi petani dan bersifat eksploitatif. Petani dipaksa membeli atau menggunakan benih baru setiap setiap musim tanam. Ekspansi seperti ini membutuhkan logika kapital.
Program surplus beras dan bantuan benih padi dan jagung hibrida di Sulawesi Selatan dapat menjelaskan hal ini.[6] Pola-pola ekspansi perbenihan yang dapat digambarkan adalah kombinasi kekuatan antara kapital internasional, kapital nasional/lokal, dengan perangkat negara, termasuk lembaga penelitian benih dan perusahaan perbenihan. Pengujicobaan 13 varietas non-hibrida di Balitsereal (Balitjas), Maros, melibatkan Balitsereal, Bosowa, dan Pemda Maros. Bosowa juga melakukan kongsi dengan Grup Artha Graha, milik pengusaha Tommy Winata, melalui PT Sumber Alam Sutera (SAS) untuk mengembangkan padi hibrida.[7] Tommy Winata sebelumnya telah menggandeng perusahaan benih Cina, Sichuan Guo Hao Seed Industry Co Ltd. PT SAS menanamkan uang 5 juta dollar Amerika Serikat untuk membangun Pusat Studi Padi Hibrida yang bekerjasama dengan Balitpa Departemen Pertanian (sekarang, Balai Besar Penelitian Padi, Sukamandi). PT SAS telah memproduksi benih padi hibrida, diantaranya varietas padi hibrida Rokan dan dua varietas padi hibrida produk Cina, Bernas Prima dan Bernas Super.[8] Selain sektor swasta, PT Sang Hyang Seri (Persero) juga menyiapkan benih padi hibrida, seperti SL-8-SHS. Selain benih padi hibrida, PT SHS juga memasok benih jagung hibrida, yang berkongsi dengan PT Syngenta Thailand dan PT Andalas Agro Mandiri.[9]
Bentuk pengintegrasian lahan oleh kapital besar menggambarkan, petani pada akhirnya hanya menjual tenaganya saja. Selain pengambil-alihan sumberdaya benih, korporasi juga memecah hubungan petani dengan tanah melalui paket Saprodi, yaitu pasokan benih, pupuk kimia dan pestisida. Paket Saprodi juga menunjukan integrasi bisnis kapital yang terkait. Petani kemudian dikelompok-kelompokan menurut logika modal, menurut kepentingan industrialisasi, bahkan sampai menyingkirkan sumberdaya pangan. Nilai-lebih korporasi, yang tidak untuk petani, adalah tanah. Korporasi tidak menanggung sewa tanah.
Kasus petani jagung hibrida di Desa Madeceng dapat menjelaskan hal tersebut. Petani ini menyewa lahan sekitar 5 hektar untuk penanaman jagung hibrida dari seorang pemilik lahan di desa yang sama. ”Jagung ini tidak untuk dimakan, kalau dimakan keras sekali, ini untuk makanan ternak, kalau mau makan jagung, ya makan jagung pulut,” katanya. Pembelian benih jagung hibrida, BISI-2, menurutnya, selalu dibekali dengan pupuk kimia dan racun pestisida, di salah satu toko yang menjual produk pertanian di Jalan Veteran Selatan, Makassar.[10] Sistem utang untuk pembelian Saprodi itu menjadi bagian paling melekat sepanjang musim tanam. ”Ada saja yang kasih utang, bukan cuma penjual racun, orang lain juga banyak, tidak pakai apa-apa, yang penting kita sudah tanam jagung dia sudah percaya,” katanya lagi.
Pengintegrasian bisnis kapital secara brutal juga telah membekali sebuah kesadaran: modal besar adalah sebuah keniscayaan. Petani ini percaya, kalau jumlah benih yang banyak, lahan luas, banyak pupuk kimia dan racun dipakai, akan memberikan keuntungan berlipat-lipat. ”Untuk 5 hektar jagung ini, butuh 100 kilo bibit jagung, saya kasih pupuk sekitar 80 sak, ya sampai juga 100 sak. Kalau racunnya, disemprot dulu dengan ridox 40 liter, baru gramoxone 40 liter, karena ridox itu kurang kuat,” hitungnya.[11][12] Petani ini tahu kalau racun ini tidak sekedar mematikan rumput,”waktu saya semprot, pohon jati yang baru tumbuh itu pun mati juga”. Apa benar petani ini beruntung dengan hasil panenan jagung hibridanya, seharga Rp 1.300 per kilo, yang dijual di salah satu gudang pengumpul di jalan tol Sutami, Makassar. ”Biasanya, kebutuhan beras untuk keluarga, habis 100 liter per bulan, tapi kalau dipikir-pikir terus, bisa pusing saya, itu perlu tambahan, seperti potong kayu, kayu apa saja, biar bukan kayu jati, biar kayu kapuk kan ada pembelinya, yang mau bikin cor beton, juga bantu-bantu orang tanam padi,” katanya. Menurut seorang petani lainnya, upah tanam padi di Desa Madeceng, Rp 30.000 per hari., sementara kalau upah panen, dilakukan dengan cara bagi hasil, upah panen dihargai dengan satu ember setiap 8 ember gabah. Kebutuhan akan upah tambahan itu menggambarkan, nilai lebih hasil produksi tidak sampai ke tangan petani. Para petani menelan begitu saja retorika kesejahteraan dari cara produksi kapital yang tidak pernah terbukti.
Lebih Mudah Dapat Lima Juta Daripada Lima Ratus Ribu
Dusun Layar (nama dusun yang disamarkan), Desa Madeceng, terdapat 94 kepala keluarga. Sekitar seperlima jumlah kepala keluarga Desa Madeceng. Rata-rata dalam satu keluarga terdapat 4-5 anggota keluarga. Dari jumlah kepala keluarga, 20 persennya adalah petani penggarap. Selain memiliki mata pencaharian sebagai petani, penduduk dusun ini juga banyak bekerja sebagai buruh kasar di Makassar, sedikitnya 30 persen dari jumlah kepala keluarga. Di dusun ini, hanya ada sawah tadah hujan dengan luasan yang sempit, selebihnya kebun sayur dan tanah yang tidak ditanami, tanah kavling, yang dimiliki bukan orang Desa Madeceng.
Di sepanjang wilayah Desa Madeceng, sejak lima tahun terakhir, banyak ditemukan lahan pertanian yang sudah dikonversi, dikavling menjadi tanah matang yang kelak menjadi perumahan. “Kalau ditaksir, tanah milik orang Madeceng, hanya sekitar 20 persen saja dari jumlah luas tanah,” kata seorang petani Madeceng. Sekarang ini nilai tanah per meter berkisar Rp 10.000 di sekitar tanah yang berbukit, dan di pusat desa sudah berkisar Rp 300.000 per meter persegi. Sepuluh tahun sebelumnya, konon tanah di desa ini sama sekali tak ada nilainya. “Ditawarkan seribu rupiah per meter saja tidak ada yang mau beli,” demikian penuturan salah seorang warga di salah satu dusun. Laju harga tanah ini berkaitan dengan proyek Mamminasata. Walaupun sudah dijual, namun sebagian petani masih menggarap lahan tersebut, hasil pertaniannya nantinya dibagi dengan pemilik tanah. Motif penjualan tanah sering dinyatakan untuk,”ongkos perkawinan” atau “membeli motor”. Seorang petani menyebutkan, ongkos perkawinan di Madeceng sekitar Rp 30 juta. Seorang petani lainnya mencoba membandingkannya,”harga tanah itu tidak seberapa untuk itu dibandingkan kalau menjual sapi.”
Di Dusun Layar, banyak ditanam tanaman jangka panjang seperti, mente dan tanaman kayu jati putih. Musim tanam padi berlangsung pada Januari-April. Musim berikutnya, Mei-Juli, ditanam palawija. Kepemilikan lahan paling luas 7 Ha, sedangkan yang paling sempit, 20 are. Tidak ada pasar di dusun ini. Jalur perdagangan hasil bumi mereka ke Pasar Terong dan Pasar Daya, Makassar. Jalanan aspal yang terkelupas dan jalanan tanah merah mewarnai Dusun Layar. Kondisi jalanan itu yang menyebabkan akses ke pasar menjadi jauh dan mahal bagi orang Dusun Layar. Seorang warga mengungkapkan,”desa ini merupakan kantong kemiskinan, dan Dusun Layar yang paling miskin”. Kemiskinan bagi orang Madeceng, berkaitan dengan uang tunai (cash). “Lebih mudah dapat uang lima juta daripada lima ratus ribu”, menjadi ungkapan sehari-hari. Maksudnya, terdapat kemudahan untuk melakukan jual-beli tanah dan sapi di Madeceng.
Selain berkaitan dengan uang tunai, kemiskinan ditafsir sebagai “mudah ditipu”. Setahun lalu, mereka mendapat bantuan benih tanaman jarak dan bantuan ongkos pemeliharaan Rp 500.000 untuk petani yang mengolah lahan satu hektar. Tapi, pada akhirnya, mereka kecewa, hasil panennya hanya dihargai Rp 700 per kilo. Sekitar tahun 2001-2002, melalui program DAFET, berkaitan dengan agroforestry, yang dibiayai Bank Dunia, petani Madeceng diminta menanam kapas.[13] Tapi, nyatanya, penanaman kapas gagal, tanaman itu tidak berbuah. Begitu pula dengan program Bank Dunia lainnya, yang saat ini sedang berjalan, Farmer Empowerment trough Agriculture Technology and Information (FEATI). Program ini mengintroduksir pembentukan Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani), walaupun seorang petani di Madeceng menyatakan,”saya tidak tahu kapan dibentuknya Gapoktan, tiba-tiba kelompok tani diundang untuk bikin rencana dan ada acara kunjungan ke Barru untuk melihat penggemukan sapi.” Informasi soal program atau proyek yang ada tidak pernah utuh diterima masyarakat desa. Pemerintah setempat juga menggunakan Gapoktan sebagai penyalur pupuk bersubsidi, Rp 55.000 per sak untuk kelompok tani, tetapi sampai di tangan anggota kelompok tani seharga Rp 65.000. Kekecewaaan yang lainnya adalah, soal pinjaman Rp 100 juta setiap Gapoktan, dengan bunga 0,9 persen tetapi sampai di tingkat petani menjadi satu persen. Seorang petani lainnya mengungkapkan kekecewaaan soal FEATI,”kelompok tani disuruh buka rekening di BRI, memang ada masuk uang 700 ribu dan disuruh ambil, tapi di depan pintu BRI, sudah ada penyuluh yang minta seluruh uang itu. Saya lalu tanyakan di kantor kecamatan, di sana saya dapat informasi kalau uang itu untuk honor fasilitator, uang konsumsi, untuk SLPHT. Jadi saya kira ini bisnisnya penyuluh. FEATI itu cuma buang-buang uang saja, seperti penggemukan sapi itu untuk apa, tidak ada monitoringnya.”
Gambaran Dusun Layar menunjukan bagaimana integrasi bisnis kapital itu berjalan. Coba tengok, peta kecenderungan produksi yang digambarkan dalam diskusi bersama sekelompok petani dusun tersebut.
Lahan yang terkena dampak proyek pengembangan jaringan jalan Mamminasata, ditaksir secara kasar akan memakan lahan sawah sekitar 36, hekto are dan menelan 43,7 ribu hekto are pemukiman.[2] Berapa jumlah kehilangan yang ada. Coba kita kalkulasi dengan aritmatika sederhana, jika satu hektar sawah menghasilkan 5 ton, hitungan paling sedikit dari angka statistik Sulawesi Selatan, yang senantiasa dinyatakan 8 ton gabah kering panen (GKP) per hektar, maka 5 x 36,2 = 181 ton. Dengan angka ini, akan menghasilkan beras sekitar 144,8 ton. Jika memakai angka statistik (BPS,2003), pada 1990-2003 konsumsi per kapita (kg/tahun) pada kisaran 130-132 kg/tahun. Kalau kita memakai angka 131 kg/tahun dengan angka besaran beras 144,8 ton, maka dapat memberikan makan untuk sekitar 1.105 orang pertahunnya. Jumlah orang miskin di kota di Sulawesi Selatan, dalam Berita Resmi Statistik Maret 2009, menyebutkan angka 124.500 orang miskin pada tahun 2009. Paling tidak, jika kita tidak kehilangan 181 ton beras tersebut, sekitar satu persen orang miskin tersebut dapat diberi beras untuk konsumsi satu tahun.
Di Dam Bilibili, yang diresmikan presiden kelima Indonesia, Nyonya Megawati, tahun 1999, ada tiga kecamatan yang ditenggelamkan, di tempat ribuan orang bertempat tinggal dan bercocok tanam, yang kemudian ”berkorban” untuk menyelamatkan kebutuhan air minum dan listrik orang-orang di Kota Makassar. Sebagian dari mereka berakhir nasibnya sebagai buruh kasar dan sopir truk. Sementara saluran air PDAM dari Sungai Lekopacing, yang dibangun sekitar tahun 1970-an, kerap kali menciptakan ironi. Saluran ini dibangun membelah sawah-sawah tadah hujan. Di atas saluran, berserakan tanda-tanda larangan mengambil air saluran PDAM tersebut. ”Bila musim kemarau tiba, para polisi berjaga untuk menangkap petani yang mengambil air dari saluran PDAM,” kata seorang petani yang lahan sawahnya dibelah saluran tersebut.
JICA juga membikin program kredit-mikro dan pertanian sayuran di Galesong Utara, Takalar. Terkait dengan proyek-proyek untuk Mamminasata, salah satunya adalah tempat pembuangan akhir (TPA) sekaligus pengolahan sampah di Takalar, dimana pemerintah Jepang telah menggelontorkan pinjaman senilai Rp 113 miliar.[3] Bukan suatu kebetulan nampaknya, jika letak proyek-proyek Jepang ini, di Parangloe, Galesong Utara, dan Tantralili, dalam rencana struktur kawasan Mamminasata, kelak akan menjadi kawasan kota baru.[4]
Jalan tol Trans-Sulawesi Mamminasata menjadi bagian yang terpenting menggelembungkan kota. Sebuah proyek yang ambisius dalam menghubungkan satu kota inti Makassar, tiga kota satelit (Takalar, Sungguminasa, dan Maros), serta empat kawasan kota baru. Penggelembungan itu selaras dengan subtansi kertas-kerja Bank Dunia mengenai sektor perkotaan di Indonesia, yang saling mengaitkan dua hal: desentralisasi dan urbanisasi. Sebagaimana narasi awal kertas kerja tersebut, bahwa laju urbanisasi yang meledak semenjak awal desentralisasi, sangat merumitkan kota-kota di Indonesia, terutama arus migran miskin-pedesaan yang datang berbondong-bondong itu menciptakan sumber keretanan di wilayah perkotaan.
Proyek-proyek Bank Dunia, juga lembaga multilateral lainnya, kelihatannya menolong orang-orang miskin untuk keluar dari perangkap kemiskinan dan melawan ancaman lingkungan yang berisiko mengurangi aset dan kemampuan mereka bertahan-hidup. Apakah benar-benar demikian. Kampung Improvement Program (KIP), yang dibiayai oleh Bank Dunia untuk perbaikan infrastuktur dasar perkotaan, misalnya, justru memiliki target-akhir pada komoditifikasi tanah. Kertas-kerja tersebut menggambarkan,”penduduk kampung KIP menikmati nilai tanah yang lebih tinggi dari pada mereka yang tinggal di kampung-kampung non-KIP. Tetapi cepatnya perkembangan real-estate, banyak menggantikan kampung-kampung yang ada, sehingga banyak yang mempertanyakan apakah investasi KIP membawa keuntungan ... Namun banyak dari penduduk kampung yang tidak mendapatkan nilai yang sesungguhnya dari tanah dan rumah mereka, karena keterbatasan kemampuan bisnis dan klaim yang lemah atas kepemilikan.”. Argumentasi pasar lahan tanah perkotaan dan perumahan itulah menjadi dasar logika sesungguhnya dalam proyek-proyek Bank Dunia di sektor perkotaan. Sebagaimana dinyatakan dalam kertas-kerja tersebut,”lahan kota, sebuah komoditas yang berada di bawah tekanan urbanisasi, merupakan dasar dari pembangunan daerah”. Logika investasi nilai-tanah dan akses pada pembiayaan hipotik juga bekerja dalam proyek-proyek dibiayai Bank Dunia lainnya, seperti PNPM, WATSAL (Water Sectoral Adjustment Loan) dan NUSS (Neighborhood Upgrading and Sheelter Sector Project) yang didanai ADB. Proyek-proyek ini memberikan dukungan kuat pada proyek yang dibiayai Bank Dunia dan AusAID yaitu, Land Administration Project (LAP) yang dimulai 1995, sebagai upaya pemberian sertifikasi lahan di perkotaan.
Proyek-proyek tersebut menciptakan situasi yang dapat mendorong percepatan mekanisme pasar di bidang pertanahan. Mekanisme semacam ini cukup untuk menjamin bekerjanya jaringan bisnis oligarki para pemodal besar di sektor pembiayaan keuangan dan pengembang, ketika mereka melakukan ekspansi lahan secara luas dan besar-besaran. Kemudahan transaksi atau jual-beli tanah selalu bersanding dengan lokasi proyek infrastuktur yang dirancang dan dibiayai para kapital internasional. Proyek NUSS di Makassar, misalnya saja, berdasar temuan anggota SBB (Simpul Belajar Bersama) Sulawesi Selatan, menunjukan lokasi proyek itu berdekatan atau berada di dalam patok-patok rencana proyek pelebaran pelabuhan Soekarno-Hatta dan jalan tol.
Pengelembungan kawasan kota, seperti Mamminasata, cenderung bergerak simultan dengan orientasi kebutuhan akan pasokan tanah, pasar tanah dan perumahan. Struktur ruang kawasan dirancang menyerupai kipas, untuk mengembangkan daerah-daerah pemukiman baru di luar Kota Makkasar. Satu hal yang memudahkan investor besar melakukan ekspansi lahan, terkonsentrasi dan merancang disparitas harga tanah. Sekaligus sebagai pembentuk atau penetrasi kesadaran untuk memperkuat watak komoditi tanah. Semakin kuat watak komoditi, semakin lebar ruang pergerakan akumulasi modal. ”Biasanya, yang menawar harga tanah milik orang kampung untuk jadi tanah kapling, itu ada tiga orang, calo tanah, orangnya pengembang dan tentara. Kalau orang kampungnya sudah patah pensil, tidak sekolah, langsung kasih sertifikat, padahal uangnya belum dikasih semua, baru sedikit, lalu dijanji-janji. Jadi pengembang itu untung tiga kali, keluar ongkos sedikit, ada sertifikat mungkin akan dianggunkan ke bank, dan dapat uang dari pembeli tanah kapling,” tutur seorang petani dari Desa Madeceng (nama desa yang disamarkan).
Kalau Sapi Bisa Dimasukan dalam Rumah
Proyek Mamminasata dapat dibaca sebagai salah satu penetrasi mengisi ruang transisi subsisten menjadi kapital di desa-desa pinggiran Makassar. Fakta yang nampak adalah komoditifikasi tanah. Petani sendiri kian teralienasi dengan tanah, terlebih ketika mereka berada dalam tekanan situasi kemiskinan yang memuncak. Tanah tidak lagi dihargai dan dilindungi sebagai alat produksi yang dapat menjaga kehidupan. Jumlah pestisida naik berlipat-lipat disiram ke tanah. Pupuk kimia yang digelontorkan ke dalam tanah itu semakin meningkat tajam. Kebudayaan yang dibangun petani selama berabad-abad demi menjaga keberlanjutan sumberdaya, menggerakkan pengetahuan asli (indigenousness knowledge) dan memelihara sistem komunal untuk bertahan-hidup ini, nyata sekali sedang dihancurkan secara brutal oleh logika modal. Petani kehilangan kuasa atas tanah, sumberdaya benih, dan sistem budidaya pertanian, bahkan kolektifitas di antara mereka. Kehidupan petani penuh sesak dengan berbagai sumber kerentanan. Perampasan terhadap sumberdaya meneror mereka setiap saat. Salah satu petikan penuturan seorang petani Desa Madeceng,”sapi-sapi di sini memang tidak dikandangkan, kalau bisa dimasukan dalam rumah, kami sudah lama masukan sapi-sapi itu ke rumah”.
Pengambil-alihan kuasa petani di lahan pertanian, sebagian besar kelihatanya dikendalikan melalui kombinasi kekuatan koersif dan non-koersif. Petani dibujuk-rayu, diiming-imingi, dan dilucuti kesadaran dan pengetahuannya, kemudian dipaksa mengikuti logika cara produksi kapital. Pernyataan seorang petani yang berasal dari Gowa dapat memberikan penafsiran bagaimana cara kekuatan kapital melucuti kesadarannya,”coba bandingkan kalau kita menanam jagung di lahan yang kecil dengan di lahan yang luas, kita sama-sama menunggu jagung itu selama empat bulan untuk dipanen. Tapi hasilnya beda, di lahan yang kecil kita hanya dapat hasil kecil, beda di lahan yang luas. Kalau kita mau dapat hasil banyak, kita harus punya modal besar juga. Jadi kutanami jagung semuanya di lahan yang luas, supaya hasilnya besar juga.”
Dalam sejarah pengintegrasian bisnis kapital di lahan pertanian, benih menjadi pintu masuk bagi pengambil-alihan kuasa petani. Selama berabad-abad, petani telah memelihara sumberdaya benih melalui konservasi lekat-lahan (on-farm) atau in-situ, dengan cara menyimpannya, menggunakan, dan melakukan pertukaran. Konservasi lekat-lahan menyebabkan benih dapat beradaptasi dan berevolusi terhadap perubahan lingkungan. Begitu benih berada dalam konsentrasi kapital, benih berada di luar kuasa petani.[5] Pilihan terhadap benih menjadi amat terbatas bagi petani dan bersifat eksploitatif. Petani dipaksa membeli atau menggunakan benih baru setiap setiap musim tanam. Ekspansi seperti ini membutuhkan logika kapital.
Program surplus beras dan bantuan benih padi dan jagung hibrida di Sulawesi Selatan dapat menjelaskan hal ini.[6] Pola-pola ekspansi perbenihan yang dapat digambarkan adalah kombinasi kekuatan antara kapital internasional, kapital nasional/lokal, dengan perangkat negara, termasuk lembaga penelitian benih dan perusahaan perbenihan. Pengujicobaan 13 varietas non-hibrida di Balitsereal (Balitjas), Maros, melibatkan Balitsereal, Bosowa, dan Pemda Maros. Bosowa juga melakukan kongsi dengan Grup Artha Graha, milik pengusaha Tommy Winata, melalui PT Sumber Alam Sutera (SAS) untuk mengembangkan padi hibrida.[7] Tommy Winata sebelumnya telah menggandeng perusahaan benih Cina, Sichuan Guo Hao Seed Industry Co Ltd. PT SAS menanamkan uang 5 juta dollar Amerika Serikat untuk membangun Pusat Studi Padi Hibrida yang bekerjasama dengan Balitpa Departemen Pertanian (sekarang, Balai Besar Penelitian Padi, Sukamandi). PT SAS telah memproduksi benih padi hibrida, diantaranya varietas padi hibrida Rokan dan dua varietas padi hibrida produk Cina, Bernas Prima dan Bernas Super.[8] Selain sektor swasta, PT Sang Hyang Seri (Persero) juga menyiapkan benih padi hibrida, seperti SL-8-SHS. Selain benih padi hibrida, PT SHS juga memasok benih jagung hibrida, yang berkongsi dengan PT Syngenta Thailand dan PT Andalas Agro Mandiri.[9]
Bentuk pengintegrasian lahan oleh kapital besar menggambarkan, petani pada akhirnya hanya menjual tenaganya saja. Selain pengambil-alihan sumberdaya benih, korporasi juga memecah hubungan petani dengan tanah melalui paket Saprodi, yaitu pasokan benih, pupuk kimia dan pestisida. Paket Saprodi juga menunjukan integrasi bisnis kapital yang terkait. Petani kemudian dikelompok-kelompokan menurut logika modal, menurut kepentingan industrialisasi, bahkan sampai menyingkirkan sumberdaya pangan. Nilai-lebih korporasi, yang tidak untuk petani, adalah tanah. Korporasi tidak menanggung sewa tanah.
Kasus petani jagung hibrida di Desa Madeceng dapat menjelaskan hal tersebut. Petani ini menyewa lahan sekitar 5 hektar untuk penanaman jagung hibrida dari seorang pemilik lahan di desa yang sama. ”Jagung ini tidak untuk dimakan, kalau dimakan keras sekali, ini untuk makanan ternak, kalau mau makan jagung, ya makan jagung pulut,” katanya. Pembelian benih jagung hibrida, BISI-2, menurutnya, selalu dibekali dengan pupuk kimia dan racun pestisida, di salah satu toko yang menjual produk pertanian di Jalan Veteran Selatan, Makassar.[10] Sistem utang untuk pembelian Saprodi itu menjadi bagian paling melekat sepanjang musim tanam. ”Ada saja yang kasih utang, bukan cuma penjual racun, orang lain juga banyak, tidak pakai apa-apa, yang penting kita sudah tanam jagung dia sudah percaya,” katanya lagi.
Pengintegrasian bisnis kapital secara brutal juga telah membekali sebuah kesadaran: modal besar adalah sebuah keniscayaan. Petani ini percaya, kalau jumlah benih yang banyak, lahan luas, banyak pupuk kimia dan racun dipakai, akan memberikan keuntungan berlipat-lipat. ”Untuk 5 hektar jagung ini, butuh 100 kilo bibit jagung, saya kasih pupuk sekitar 80 sak, ya sampai juga 100 sak. Kalau racunnya, disemprot dulu dengan ridox 40 liter, baru gramoxone 40 liter, karena ridox itu kurang kuat,” hitungnya.[11][12] Petani ini tahu kalau racun ini tidak sekedar mematikan rumput,”waktu saya semprot, pohon jati yang baru tumbuh itu pun mati juga”. Apa benar petani ini beruntung dengan hasil panenan jagung hibridanya, seharga Rp 1.300 per kilo, yang dijual di salah satu gudang pengumpul di jalan tol Sutami, Makassar. ”Biasanya, kebutuhan beras untuk keluarga, habis 100 liter per bulan, tapi kalau dipikir-pikir terus, bisa pusing saya, itu perlu tambahan, seperti potong kayu, kayu apa saja, biar bukan kayu jati, biar kayu kapuk kan ada pembelinya, yang mau bikin cor beton, juga bantu-bantu orang tanam padi,” katanya. Menurut seorang petani lainnya, upah tanam padi di Desa Madeceng, Rp 30.000 per hari., sementara kalau upah panen, dilakukan dengan cara bagi hasil, upah panen dihargai dengan satu ember setiap 8 ember gabah. Kebutuhan akan upah tambahan itu menggambarkan, nilai lebih hasil produksi tidak sampai ke tangan petani. Para petani menelan begitu saja retorika kesejahteraan dari cara produksi kapital yang tidak pernah terbukti.
Lebih Mudah Dapat Lima Juta Daripada Lima Ratus Ribu
Dusun Layar (nama dusun yang disamarkan), Desa Madeceng, terdapat 94 kepala keluarga. Sekitar seperlima jumlah kepala keluarga Desa Madeceng. Rata-rata dalam satu keluarga terdapat 4-5 anggota keluarga. Dari jumlah kepala keluarga, 20 persennya adalah petani penggarap. Selain memiliki mata pencaharian sebagai petani, penduduk dusun ini juga banyak bekerja sebagai buruh kasar di Makassar, sedikitnya 30 persen dari jumlah kepala keluarga. Di dusun ini, hanya ada sawah tadah hujan dengan luasan yang sempit, selebihnya kebun sayur dan tanah yang tidak ditanami, tanah kavling, yang dimiliki bukan orang Desa Madeceng.
Di sepanjang wilayah Desa Madeceng, sejak lima tahun terakhir, banyak ditemukan lahan pertanian yang sudah dikonversi, dikavling menjadi tanah matang yang kelak menjadi perumahan. “Kalau ditaksir, tanah milik orang Madeceng, hanya sekitar 20 persen saja dari jumlah luas tanah,” kata seorang petani Madeceng. Sekarang ini nilai tanah per meter berkisar Rp 10.000 di sekitar tanah yang berbukit, dan di pusat desa sudah berkisar Rp 300.000 per meter persegi. Sepuluh tahun sebelumnya, konon tanah di desa ini sama sekali tak ada nilainya. “Ditawarkan seribu rupiah per meter saja tidak ada yang mau beli,” demikian penuturan salah seorang warga di salah satu dusun. Laju harga tanah ini berkaitan dengan proyek Mamminasata. Walaupun sudah dijual, namun sebagian petani masih menggarap lahan tersebut, hasil pertaniannya nantinya dibagi dengan pemilik tanah. Motif penjualan tanah sering dinyatakan untuk,”ongkos perkawinan” atau “membeli motor”. Seorang petani menyebutkan, ongkos perkawinan di Madeceng sekitar Rp 30 juta. Seorang petani lainnya mencoba membandingkannya,”harga tanah itu tidak seberapa untuk itu dibandingkan kalau menjual sapi.”
Di Dusun Layar, banyak ditanam tanaman jangka panjang seperti, mente dan tanaman kayu jati putih. Musim tanam padi berlangsung pada Januari-April. Musim berikutnya, Mei-Juli, ditanam palawija. Kepemilikan lahan paling luas 7 Ha, sedangkan yang paling sempit, 20 are. Tidak ada pasar di dusun ini. Jalur perdagangan hasil bumi mereka ke Pasar Terong dan Pasar Daya, Makassar. Jalanan aspal yang terkelupas dan jalanan tanah merah mewarnai Dusun Layar. Kondisi jalanan itu yang menyebabkan akses ke pasar menjadi jauh dan mahal bagi orang Dusun Layar. Seorang warga mengungkapkan,”desa ini merupakan kantong kemiskinan, dan Dusun Layar yang paling miskin”. Kemiskinan bagi orang Madeceng, berkaitan dengan uang tunai (cash). “Lebih mudah dapat uang lima juta daripada lima ratus ribu”, menjadi ungkapan sehari-hari. Maksudnya, terdapat kemudahan untuk melakukan jual-beli tanah dan sapi di Madeceng.
Selain berkaitan dengan uang tunai, kemiskinan ditafsir sebagai “mudah ditipu”. Setahun lalu, mereka mendapat bantuan benih tanaman jarak dan bantuan ongkos pemeliharaan Rp 500.000 untuk petani yang mengolah lahan satu hektar. Tapi, pada akhirnya, mereka kecewa, hasil panennya hanya dihargai Rp 700 per kilo. Sekitar tahun 2001-2002, melalui program DAFET, berkaitan dengan agroforestry, yang dibiayai Bank Dunia, petani Madeceng diminta menanam kapas.[13] Tapi, nyatanya, penanaman kapas gagal, tanaman itu tidak berbuah. Begitu pula dengan program Bank Dunia lainnya, yang saat ini sedang berjalan, Farmer Empowerment trough Agriculture Technology and Information (FEATI). Program ini mengintroduksir pembentukan Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani), walaupun seorang petani di Madeceng menyatakan,”saya tidak tahu kapan dibentuknya Gapoktan, tiba-tiba kelompok tani diundang untuk bikin rencana dan ada acara kunjungan ke Barru untuk melihat penggemukan sapi.” Informasi soal program atau proyek yang ada tidak pernah utuh diterima masyarakat desa. Pemerintah setempat juga menggunakan Gapoktan sebagai penyalur pupuk bersubsidi, Rp 55.000 per sak untuk kelompok tani, tetapi sampai di tangan anggota kelompok tani seharga Rp 65.000. Kekecewaaan yang lainnya adalah, soal pinjaman Rp 100 juta setiap Gapoktan, dengan bunga 0,9 persen tetapi sampai di tingkat petani menjadi satu persen. Seorang petani lainnya mengungkapkan kekecewaaan soal FEATI,”kelompok tani disuruh buka rekening di BRI, memang ada masuk uang 700 ribu dan disuruh ambil, tapi di depan pintu BRI, sudah ada penyuluh yang minta seluruh uang itu. Saya lalu tanyakan di kantor kecamatan, di sana saya dapat informasi kalau uang itu untuk honor fasilitator, uang konsumsi, untuk SLPHT. Jadi saya kira ini bisnisnya penyuluh. FEATI itu cuma buang-buang uang saja, seperti penggemukan sapi itu untuk apa, tidak ada monitoringnya.”
Gambaran Dusun Layar menunjukan bagaimana integrasi bisnis kapital itu berjalan. Coba tengok, peta kecenderungan produksi yang digambarkan dalam diskusi bersama sekelompok petani dusun tersebut.
Kecenderungan merosotnya lahan pangan, sekaligus kecenderungan merosotnya hasil panen, tapi ada kecenderungan meningkatnya penggunaan pupuk kimia dan pestisida, sesungguhnya dapat mengancam sistem pangan lokal. Kelakuan melakukan aplikasi pestisida cenderung mengabaikan keamanan, seperti dinyatakan seorang petani,”saya tidak pakai penutup, saya semprot ke udara, supaya dibawa angin, supaya semuanya bisa mati”. Begitu pula dengan gambaran makin tingginya konsumsi makanan-olahan pabrikan. Tinggi harga gabah tidak menjamin peningkatan kesejahteraan dengan melihat kecenderungan merosotnya hasil produksi. “Kalau dihitung secara cermat, bagaimanapun caranya kita selalu rugi. Itu sebabnya petani di sini tidak mau mengitung-hitung biaya produksi usaha pertaniannya. Kesyukuran kami karena kami tidak pernah kesulitan untuk masak. Itu saja sudah cukup,” cerita seorang petani.
Kecenderungan hanya untuk bertahan hidup, bagian paling subtil bagi kehidupan petani, terutama petani kecil yang sedang digilas dengan retorika surplus beras. Paling mencemaskan adalah, petani perempuan. Jika terdapat gambaran piramida pengorbanan, maka para petani perempuan berada pada tempat yang paling terbawah, dilempar ke dalam lorong-lorong buntu yang paling gelap, mereka sama sekali tidak punya kendali dan posisi tawar apapun. Mereka lah yang pertama kali mendapatkan serangan brutal cara produksi kapital.
Bangkai Anjing Dibuang Saja Di Saluran PDAM
Apa yang menjadi siasat petani Dusun Layar untuk bertahan, atau bahkan melawan apa yang diungkapkan petani,”kami yang tinggal di sini, di sini sungguh menjemukan, hidup serba susah, semuanya terasa membosankan”. Banyak petani tidak dapat membayang seperti apa kira-kira Dusun Layar, ketika proyek Mamminasata itu membelah Desa Madeceng. Hal ini menunjukan, cara produksi kapital telah menamatkan imajinasi subsisten mereka. Dalam diskusi dengan para petani pola-pola bersiasat mereka, untuk bertahan atau melawan walaupun tidak menyebabkan perubahan yang subtantif atau dampak yang revolusioner. Setiap siasat selalu menjadi pelajaran berharga bagi mereka. Pola-polanya dapat dibagi dua bagian. Pola siasat yang berkaitan dengan wilayah internal mereka, orang-orang dalam Madeceng. Dan, pola siasat yang berkaitan dengan wilayah eksternal.
Biasanya, pola siasat yang berhubungan dengan orang-orang dalam, dilakukan secara hati-hati, gampang dipatahkan, bahkan terkesan dilakukan secara laten. Kemungkinan penjelasannya adalah, berkaitan dengan strategi bertahan hidup. Seperti kritik terhadap masa jabatan Kepala Dusun Layar, yang belum tergantikan sampai sekarang. “Saat itu, saya dan seorang teman mengumpulkan tanda tangan untuk membuat pemilihan kepala dusun, hampir sebagian besar kepala keluarga Dusun Layar sudah bertanda tangan, sekitar 90 kepala keluarga. Tapi kepala dusun marah-marah. Saya bilang, apa yang saya lakukan bukan untuk menggantinya, tapi ada pemilihan kepala dusun, soalnya pemilihan kepala dusun yang di sebelah sudah dilakukan. Sampai saat ini memang tidak ada pemilihan kepala dusun Layar. Tapi dengan peristiwa ini menyebabkan hubungan saya dengan teman saya, yang juga termasuk sepupu, menjadi berbeda sampai sekarang, Kita tidak pernah lagi baku sapa, diam-diam saja. Tapi, saya tetap berhubungan dengan kepala dusun seperti biasa,” cerita seorang warga di Dusun Layar.
Hal yang sama dengan cerita mengenai pemilihan Kepala Desa Madeceng tiga tahun yang lalu. Dalam pemilihan itu, ada empat calon kepala desa. Untuk mengikuti pemilihan kepala desa, setiap calon dikenai bayaran Rp 3 juta oleh panitia pemilihan. Kabarnya, subuh menjelang pemilihan, kepala desa yang terpilih itu membagi-bagi daging di setiap rumah, sebagai strategi pemenangan. “Dia itu punya keluarga yang kerja di pamolongan, tempat pemotongan sapi, di Makassar,” kata seorang warga. Saat ini, kebijakan kepala desa yang terpilih tidak mendapatkan respon atau dukungan positif oleh dua orang rival dalam pemilihan tersebut. Di mata sebagian warga, kepala desa yang terpilih, adalah calo atau makelar tanah kavling. “Kalau menurut banyak orang, kepala desa itu tidak baik, tapi bagi saya dia itu baik. Saya tidak tahu apa sebabnya mereka bilang tidak baik. Biar kepala desa diganti-ganti, tapi tetap saja soal jalanan ini tidak bisa baik,” kata seorang kepala dusun. Sampai saat ini, kedua rival tersebut tidak pernah lagi baku sapa dengan kepala desa terpilih. Jika ada kebijakan kepala desa terpilih yang dianggap tidak aspiratif, maka pendukung kedua rival tersebut biasanya menyatakan,”itu bukan urusanku, kan kamu yang pilih kepala desa sekarang.” Dua peristiwa ini menggambarkan, pola-pola perlawanan petani Madeceng memang relatif tidak menyebabkan dampak perubahan yang berarti bagi petani sendiri, kecuali tidak baku sapa, tidak saling bicara.
Sementara dalam siasat pola perlawanan di wilayah eksternal menunjukan gambaran yang agak berbeda, walaupun kurang memiliki pengaruh atau dampak dengan perubahan. Seperti respon mereka dengan saluran PDAM sebagai bentuk kekecewaan terhadap larangan mengambil air. “Karena tidak boleh ambil air, baru kita kekurangan air saat musim kemarau, ya kita buang saja bangkai anjing, bangkai kucing dan tinja ke dalam saluran PDAM itu,” tutur seorang warga. Kelakuan ini dianggap biasa-biasa saja bagi warga desa. Demikian pula, kekecewaan mereka dengan harga hasil panen jarak. Mereka lampiaskan dengan membabat semua tanaman jarak. Soal pengambilan uang oleh penyuluh dalam program FEATI, sebagian besar anggota kelompok tidak mau hadir dalam SLPHT. “Hanya saya dan seorang teman saja yang hadir waktu itu, yang lain itu marah-marah karena uangnya diambil penyuluh,” kata seorang petani.
Siasat-siasat bertahan hidup, walaupun kelihatannya ironi, menjadi siasat utama bagi mereka. “Petani yang sewa lahan saya itu, bukan orang sini. Pernah mereka bilang begini, jujur saja pak, saya ke sini, karena ada utang di kampung. Kalau kebutuhan pupuk mereka itu di sini banyak, ya kalau dapat bantuan pupuk, pupuk itu dibawa ke kampung mereka. Mungkin mereka masih utang di kampungnya. Kalau di kampung mereka, utang satu sak pupuk, harus dibayar dua sak pupuk. Pernah saya mau tagih hasil panen jagung, subuh-subuh mereka sudah lari dari rumah, bawa rantang-rantangnya sekalian, mereka takut saya tagih. Saya lalu bilang, kalau tidak punya uang ya nanti saja dibayarnya, tidak usah lari,” cerita seorang pemilik lahan. Kasus poligami di Dusun Layar, juga menggambarkan bagian dari siasat. Seorang petani memiliki tujuh anak, dari tujuh kali perkawinan.”Isteri ketiga sampai kelima tidak punya anak, ya saya suruh cari suami lainnya saja,” katanya. Poligami petani ini, nampak tidak didasarkan pada soal seksualitas atau landasan agama, akan tetapi soal beban kerja di lahan jagung hibrida. “Mereka semua kerja, yang penting bisa berdiri, bisa kerja, kerja apa saja, kerja jagung, kerja tanam padi,” katanya lagi. Karena, perempuan lah yang bekerja menanam, memupuk, dan memanen. Tapi sekali lagi, perempuan tidak punya kuasa atas tanah, mengubah peruntukan lahan, atau mengurangi asupan kimia. Mereka bertahan hidup, di bawah kendali laki-laki, dalam retorika surplus beras.
Jaringan Isu Pangan
Jaringan Isu Pangan ini muncul dari keprihatinan kalangan aktivis di Sulawesi Selatan yang melihat banyaknya kasus-kasus kekurangan gizi dan gizi buruk yang terjadi di Sulawesi Selatan yang selama ini dianggap sebagai lumbung pangan di Indonesia. Apalagi realitas sosial yang terjadi ini sangat bertolak belakang dengan laporan pencapaian prestasi dibidang ekonomi dengan indikator yang diukur dengan angka-angka statistik.
Lebih jauh, isu-isu tentang pangan ini kemudian terlihat bukan persoalan yang sederhana dan sepele tetapi mencakup segala aspek dan bidang yang menyebabkan terjadinya gizi buruk, konflik sosial, diskriminasi, dan lebih jauh kejahatan dibidang kemanusiaan. Beberapa hal yang melatarbelakangi konteks masalah tersebut terkait masalah infrastruktur, ketersediaan asset dan sumber daya, anggaran, distrosi kebijakan, koordinasi lintas sektoral, tekanan rezim pasar global dan penagakan hukum terhadap pengabaian HAM.
Dengan berbagai masalah dan isu-isu pangan yang selama ini digeluti dan menjadi perhatian NGO di Sulsel yang mendorong untuk membangun suatu wadah jaringan bersama untuk mengusung suatu gerakan advokasi mengembalikan kedaulatan pangan di tangan rakyat. Sebagai contoh, pengalaman teman-teman di YLK Sulsel yang bergerak dalam isu advokasi konsumen sangat erat terkait dengan isu pangan. Pengalaman LBH Makassar dan YLBH Makassar, yang selama ini banyak melakukan advokasi, pendampingan dan perorganisasian terhadap berbagai konflik pertanahan antara masyarakat dengan pihak pemerintah atau korporat terkait erat dengan masalah asset dan sumber daya pangan. Pengalaman FPMP Sulsel, Solidaritas Perempuan (SP) Anging Mammiri, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Sulsel, LBH Apik yang terkait dengan isu keadilan gender dan hak-hak perempuan juga sangat terkait dengan masalah pangan. WALHI Sulsel selama sangat dekat advokasi di bidang lingkungan yang umumnya terkait dengan asset, sumber daya, dan kualitas lingkungan. YASMIB selama ini aktif dalam advokasi pemberdayaan masyarakat dan advokasi anggaran banyak melakukan kajian terhadap masalah anggaran yang tidak berpihak kepada rakyat miskin. Dan beberapa lembaga lain yang selama ini juga telah melakukan advokasi baik secara langsung atau tidak langsung dengan isu pangan. Dengan pengalaman dan berbagai modal pemihakan yang ada pada aktivis NGO tesebut maka perlawanan terhadap berbagai rintangan yang menghalangi pemenuhan hak atas pangan rakyat, diharapkan dapat lebih bersinergi dan lebih kuat. Oxfam GB Indonesia-Makassar juga berperan penting dalam menunjang kegiatan Jaringan Isu Pangan (JIP) Sulsel.
Simpul Belajar Bersama Sulawesi Selatan
Makassar, 22 Januari 2009
Catatan Kaki
[1] Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Lompo, mencetuskan surplus dua juta ton tahun 2009, di Rantepao, Tana Toraja, 2 Mei 2008. Sekaligus memprogramkannya melalui Gerakan Masyarakat untuk Surplus Beras (GEMPAR) 2 juta tonKecenderungan hanya untuk bertahan hidup, bagian paling subtil bagi kehidupan petani, terutama petani kecil yang sedang digilas dengan retorika surplus beras. Paling mencemaskan adalah, petani perempuan. Jika terdapat gambaran piramida pengorbanan, maka para petani perempuan berada pada tempat yang paling terbawah, dilempar ke dalam lorong-lorong buntu yang paling gelap, mereka sama sekali tidak punya kendali dan posisi tawar apapun. Mereka lah yang pertama kali mendapatkan serangan brutal cara produksi kapital.
Bangkai Anjing Dibuang Saja Di Saluran PDAM
Apa yang menjadi siasat petani Dusun Layar untuk bertahan, atau bahkan melawan apa yang diungkapkan petani,”kami yang tinggal di sini, di sini sungguh menjemukan, hidup serba susah, semuanya terasa membosankan”. Banyak petani tidak dapat membayang seperti apa kira-kira Dusun Layar, ketika proyek Mamminasata itu membelah Desa Madeceng. Hal ini menunjukan, cara produksi kapital telah menamatkan imajinasi subsisten mereka. Dalam diskusi dengan para petani pola-pola bersiasat mereka, untuk bertahan atau melawan walaupun tidak menyebabkan perubahan yang subtantif atau dampak yang revolusioner. Setiap siasat selalu menjadi pelajaran berharga bagi mereka. Pola-polanya dapat dibagi dua bagian. Pola siasat yang berkaitan dengan wilayah internal mereka, orang-orang dalam Madeceng. Dan, pola siasat yang berkaitan dengan wilayah eksternal.
Biasanya, pola siasat yang berhubungan dengan orang-orang dalam, dilakukan secara hati-hati, gampang dipatahkan, bahkan terkesan dilakukan secara laten. Kemungkinan penjelasannya adalah, berkaitan dengan strategi bertahan hidup. Seperti kritik terhadap masa jabatan Kepala Dusun Layar, yang belum tergantikan sampai sekarang. “Saat itu, saya dan seorang teman mengumpulkan tanda tangan untuk membuat pemilihan kepala dusun, hampir sebagian besar kepala keluarga Dusun Layar sudah bertanda tangan, sekitar 90 kepala keluarga. Tapi kepala dusun marah-marah. Saya bilang, apa yang saya lakukan bukan untuk menggantinya, tapi ada pemilihan kepala dusun, soalnya pemilihan kepala dusun yang di sebelah sudah dilakukan. Sampai saat ini memang tidak ada pemilihan kepala dusun Layar. Tapi dengan peristiwa ini menyebabkan hubungan saya dengan teman saya, yang juga termasuk sepupu, menjadi berbeda sampai sekarang, Kita tidak pernah lagi baku sapa, diam-diam saja. Tapi, saya tetap berhubungan dengan kepala dusun seperti biasa,” cerita seorang warga di Dusun Layar.
Hal yang sama dengan cerita mengenai pemilihan Kepala Desa Madeceng tiga tahun yang lalu. Dalam pemilihan itu, ada empat calon kepala desa. Untuk mengikuti pemilihan kepala desa, setiap calon dikenai bayaran Rp 3 juta oleh panitia pemilihan. Kabarnya, subuh menjelang pemilihan, kepala desa yang terpilih itu membagi-bagi daging di setiap rumah, sebagai strategi pemenangan. “Dia itu punya keluarga yang kerja di pamolongan, tempat pemotongan sapi, di Makassar,” kata seorang warga. Saat ini, kebijakan kepala desa yang terpilih tidak mendapatkan respon atau dukungan positif oleh dua orang rival dalam pemilihan tersebut. Di mata sebagian warga, kepala desa yang terpilih, adalah calo atau makelar tanah kavling. “Kalau menurut banyak orang, kepala desa itu tidak baik, tapi bagi saya dia itu baik. Saya tidak tahu apa sebabnya mereka bilang tidak baik. Biar kepala desa diganti-ganti, tapi tetap saja soal jalanan ini tidak bisa baik,” kata seorang kepala dusun. Sampai saat ini, kedua rival tersebut tidak pernah lagi baku sapa dengan kepala desa terpilih. Jika ada kebijakan kepala desa terpilih yang dianggap tidak aspiratif, maka pendukung kedua rival tersebut biasanya menyatakan,”itu bukan urusanku, kan kamu yang pilih kepala desa sekarang.” Dua peristiwa ini menggambarkan, pola-pola perlawanan petani Madeceng memang relatif tidak menyebabkan dampak perubahan yang berarti bagi petani sendiri, kecuali tidak baku sapa, tidak saling bicara.
Sementara dalam siasat pola perlawanan di wilayah eksternal menunjukan gambaran yang agak berbeda, walaupun kurang memiliki pengaruh atau dampak dengan perubahan. Seperti respon mereka dengan saluran PDAM sebagai bentuk kekecewaan terhadap larangan mengambil air. “Karena tidak boleh ambil air, baru kita kekurangan air saat musim kemarau, ya kita buang saja bangkai anjing, bangkai kucing dan tinja ke dalam saluran PDAM itu,” tutur seorang warga. Kelakuan ini dianggap biasa-biasa saja bagi warga desa. Demikian pula, kekecewaan mereka dengan harga hasil panen jarak. Mereka lampiaskan dengan membabat semua tanaman jarak. Soal pengambilan uang oleh penyuluh dalam program FEATI, sebagian besar anggota kelompok tidak mau hadir dalam SLPHT. “Hanya saya dan seorang teman saja yang hadir waktu itu, yang lain itu marah-marah karena uangnya diambil penyuluh,” kata seorang petani.
Siasat-siasat bertahan hidup, walaupun kelihatannya ironi, menjadi siasat utama bagi mereka. “Petani yang sewa lahan saya itu, bukan orang sini. Pernah mereka bilang begini, jujur saja pak, saya ke sini, karena ada utang di kampung. Kalau kebutuhan pupuk mereka itu di sini banyak, ya kalau dapat bantuan pupuk, pupuk itu dibawa ke kampung mereka. Mungkin mereka masih utang di kampungnya. Kalau di kampung mereka, utang satu sak pupuk, harus dibayar dua sak pupuk. Pernah saya mau tagih hasil panen jagung, subuh-subuh mereka sudah lari dari rumah, bawa rantang-rantangnya sekalian, mereka takut saya tagih. Saya lalu bilang, kalau tidak punya uang ya nanti saja dibayarnya, tidak usah lari,” cerita seorang pemilik lahan. Kasus poligami di Dusun Layar, juga menggambarkan bagian dari siasat. Seorang petani memiliki tujuh anak, dari tujuh kali perkawinan.”Isteri ketiga sampai kelima tidak punya anak, ya saya suruh cari suami lainnya saja,” katanya. Poligami petani ini, nampak tidak didasarkan pada soal seksualitas atau landasan agama, akan tetapi soal beban kerja di lahan jagung hibrida. “Mereka semua kerja, yang penting bisa berdiri, bisa kerja, kerja apa saja, kerja jagung, kerja tanam padi,” katanya lagi. Karena, perempuan lah yang bekerja menanam, memupuk, dan memanen. Tapi sekali lagi, perempuan tidak punya kuasa atas tanah, mengubah peruntukan lahan, atau mengurangi asupan kimia. Mereka bertahan hidup, di bawah kendali laki-laki, dalam retorika surplus beras.
Jaringan Isu Pangan
Jaringan Isu Pangan ini muncul dari keprihatinan kalangan aktivis di Sulawesi Selatan yang melihat banyaknya kasus-kasus kekurangan gizi dan gizi buruk yang terjadi di Sulawesi Selatan yang selama ini dianggap sebagai lumbung pangan di Indonesia. Apalagi realitas sosial yang terjadi ini sangat bertolak belakang dengan laporan pencapaian prestasi dibidang ekonomi dengan indikator yang diukur dengan angka-angka statistik.
Lebih jauh, isu-isu tentang pangan ini kemudian terlihat bukan persoalan yang sederhana dan sepele tetapi mencakup segala aspek dan bidang yang menyebabkan terjadinya gizi buruk, konflik sosial, diskriminasi, dan lebih jauh kejahatan dibidang kemanusiaan. Beberapa hal yang melatarbelakangi konteks masalah tersebut terkait masalah infrastruktur, ketersediaan asset dan sumber daya, anggaran, distrosi kebijakan, koordinasi lintas sektoral, tekanan rezim pasar global dan penagakan hukum terhadap pengabaian HAM.
Dengan berbagai masalah dan isu-isu pangan yang selama ini digeluti dan menjadi perhatian NGO di Sulsel yang mendorong untuk membangun suatu wadah jaringan bersama untuk mengusung suatu gerakan advokasi mengembalikan kedaulatan pangan di tangan rakyat. Sebagai contoh, pengalaman teman-teman di YLK Sulsel yang bergerak dalam isu advokasi konsumen sangat erat terkait dengan isu pangan. Pengalaman LBH Makassar dan YLBH Makassar, yang selama ini banyak melakukan advokasi, pendampingan dan perorganisasian terhadap berbagai konflik pertanahan antara masyarakat dengan pihak pemerintah atau korporat terkait erat dengan masalah asset dan sumber daya pangan. Pengalaman FPMP Sulsel, Solidaritas Perempuan (SP) Anging Mammiri, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Sulsel, LBH Apik yang terkait dengan isu keadilan gender dan hak-hak perempuan juga sangat terkait dengan masalah pangan. WALHI Sulsel selama sangat dekat advokasi di bidang lingkungan yang umumnya terkait dengan asset, sumber daya, dan kualitas lingkungan. YASMIB selama ini aktif dalam advokasi pemberdayaan masyarakat dan advokasi anggaran banyak melakukan kajian terhadap masalah anggaran yang tidak berpihak kepada rakyat miskin. Dan beberapa lembaga lain yang selama ini juga telah melakukan advokasi baik secara langsung atau tidak langsung dengan isu pangan. Dengan pengalaman dan berbagai modal pemihakan yang ada pada aktivis NGO tesebut maka perlawanan terhadap berbagai rintangan yang menghalangi pemenuhan hak atas pangan rakyat, diharapkan dapat lebih bersinergi dan lebih kuat. Oxfam GB Indonesia-Makassar juga berperan penting dalam menunjang kegiatan Jaringan Isu Pangan (JIP) Sulsel.
Simpul Belajar Bersama Sulawesi Selatan
Makassar, 22 Januari 2009
Catatan Kaki
[2] Dihitung kembali berdasar Interim Report: The study on Arterial Network Development Plan for Sulawesi Island and Feasibility Study on Priority Arterial Road Development in South Sulawesi Province, June 2007
[3] Investor Jepang dan Hongkong membentuk PT Gikoko Kogyo Indonesia yang mengusahakan pembangkitan listrik skala-kecil yang mengekstraksi gas metana dari lahan timbunan sampah di beberapa TPA di Indonesia. Salah satunya, di TPA Tamangapa, Antang, Makassar. Proyek pembangkitan listrik ini dibiayai Netherlands Clean Development Mechanism Facility (NCDMF) melalui Bank Dunia (IBRD), dengan nilai proyek sekitar 6 milliar dollar Amerika Serikat
[4] Kepentingan bisnis Jepang, yang signifikan dengan proyek jalanan, berkaitan dengan industri otomotif. Kabarnya, otoritas di Jakarta sudah mengisyaratkan tanda persetujuan untuk pembukaan filial production plant bagi tiga merek kendaraan bermotor roda dua (Honda, Suzuki, dan Yamaha) di Makassar. Pangsa pasar otomotif memang mengelembung secara cepat. Hingga Juni 2009, tercatat ada 460.483 unit sepeda motor di Sulawesi Selatan. Di Makassar, pada tahun 2008, tercatat 360.122 unit sepeda motor. Jika dikalkulasi, setiap 5 orang terdapat satu unit sepeda motor di Kota Makassar.
[5] Penguasaan materi perkembang-biakan tanaman (benih, embrio, serbuk sari) oleh sektor formal (perangkat Negara, lembaga riset internasional dan swasta), dimulai sekitar tahun 1960-an melalui program konservasi internasional. Pengkoleksian benih dilakukan dengan konservasi ex-situ (bank gen) karena di luar lingkungan asli dengan cara membekukannya. Konservasi ex-situ ternyata juga memfasilitasi eksploitasi korporasi terhadap materi tradisional. Korporasi melakukan kendali teknologi dengan mengembangkan benih hibrida dan terminator (benih bunuh-diri), selain kendali hukum atas benih (paten). Benih hibrida dan terminator memang dimaksudkan agar petani tidak menanam kembali pada musim berikutnya dari benih hasil panenan sebelumnya. Jika ditanam kembali, maka hasilnya jelek atau tidak dapat menghasilkan.
[6] Padi hibrida dianggap memiliki "keunggulan" untuk menghasilkan 10-12 ton per hektar. Namun, padi hibrida mendapatkan banyak kritik tajam, salah satunya dari Kasumbogo Untung, entimologis Universitas Gajah Mada."Padi hibrida itu varietas mewah butuh perhatian lebih dari merawat bayi," katanya (lebih jauh lihat: www.grain.org)
[7] Bisnis Indonesia, 28 April 2008. Bosowa milik pengusaha Aksa Mahmud, tidak saja menggandeng Tommy Winata untuk mengembangkan padi hibrida, juga dengan PT Sampoerna Strategic untuk menggarap lahan sawit 20 ribu hektar di tiga propinsi.
[8] Tommy Winata telah membangun Integrited Hybrid Center, di Desa Trimurjo, Lampung Tengah. PT SAS membentuk kelompok-kelompok tani hibrida dan menyiapkan paket Saprodi. Sampai tahun 2009, areal penanaman padi hibrida kelompok tani PT SAS, sudah mencapai 1.700 hektar. Panen perdana padi hibrida dilakukan secara simbolis oleh Wapres Jusuf Kalla.
[9] Syngenta dikenal sebagai korporasi racun rumput herbisida Gramoxone. Racun ini populer dipakai ketika Proyek Lahan Gambut (PLG), proyek ambisius Soeharto, di Kalimantan Tengah. Proyek satu juta hektar sawah ini membutuhkan tiga liter Gramoxone per hektarnya untuk mematikan gulma. Artinya, dalam satu musim tanam, dibutuhkan tiga juta liter Gramoxone yang berbahan aktif paraquat, di PLG.
[10]BISI-2 diproduksi PT Bisi Internasional, anak perusahaan Charoen Pokphand, Thailand. Tahun 1999, affiliasi Charoen Pokphand-DeKalb(Monsanto)melakukan penelitian dan pengembangan jagung hibrida di ASEAN. PT Charoen Pokphand Indonesia, dikenal sebagai industri, penjualan dan distribusi pakan ternak. Bisnis lainnya, berkaitan dengan industri dan penjualan peralatan peternakan dan prosesing daging ayam potong.
[11] Ridox, herbisida berbahan aktif glifosat (glyphosate), diedarkan di Indonesia oleh PT Asiana Chemical Indo Lestari. Herbisida glifosat diproduksi secara masif oleh Monsanto, korporasi agro-kimia Amerika Serikat. WHO mengklasifikasikan glifosat ke dalam kelas III (peringatan kehati-hatian). Walaupun kelas III, komersialisasi glifosat secara luas dapat memicu keracunan akut. Glifosat dalam sejumlah kajian memiliki dampak lingkungan, salah satunya bersifat persisten lebih dari tiga tahun dalam tanah, tergantung pada jenis tanah, iklim, serta tergantung pada permukaan air dan air tanah. Glifosat cukup persisten pada air dan tidak dapat dihilangkan dalam proses normal pembuatan air minum.
[12] Gramoxone, herbisida berbahan aktif paraquat, merupakan herbisida kontak non-selektif, diproduksi dan diedarkan oleh Syngenta (dulu bernama, Novartis), korporasi agro-kimia Eropa Barat. WHO mengkalsifikasi paraquat ke dalam kelas II (cukup berbahaya). Secara spesifik, paraquat dapat memicu keracunan kronis dan akut. Dalam keracunan paraquat di tingkat rendah, umumnya terjadi perubahan warna dan bentuk kuku yang tidak rata, bahkan copot. Paraquat melakukan penetrasi pada kulit dan pernafasan. Pebruari 1997, di Gowa Sulawesi Selatan, dua petani jagung, Said dan Bana, menderita atau terancam kebutaan akibat terpecik paraquat dengan merek dagang Para-Col, dengan formulator korporasi agro-kimia Inggris Zeneca (sebelumnya, bernama ICI), yang tertiup angin, saat membasmi gulma sebelum ditanami jagung.
[13] Kisaran tahun 2001-2002, Monsanto melakukan introduksi kapas transgenik Bt Delta Pine (Bollgard) di tujuh kabupaten Sulawesi Selatan, berbekal Surat Keputusan Menteri Pertanian, Bungaran Saragih, 7 Pebruari 2001. Namun SK Mentan itu digugat oleh Koalisi Ornop untuk Keanekaragaman Hayati di PTUN Jakarta. Koalisi ini beranggapan SK Mentan itu sebagai trik untuk menghapus pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Monsanto. Putusan PTUN menyatakan gugatan koalisi tersebut tidak berdasar, beberapa hari setelah petani Kajang, Bulukumba, membakar kapas transgenik di lahannya, seluas 50 hektar. Monsanto sebelumnya telah melakukan uji-lapang dan produksi kapas transgenik secara diam-diam tanpa diketahui publik sejak 1998 di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Peristiwa pelepasan kapas transgenik di lahan pertanian di Sulawesi Selatan cukup mengundang kontroversi. Benih kapas transgenik, yang berasal dari Afrika Selatan, dikirim dengan pesawat kargo buatan Rusia, mendarat di pangkalan TNI AU Mandai, Maros. Kemudian diangkut dengan tiga truk bertuliskan “Pengangkutan Beras Dolog” dan dikawal oleh Polisi Militer Kodam Wirabuana ke lahan utama penanaman di Bulukumba. Terakhir, para petani kapas Bulukumba merasa ditipu oleh propaganda Monsanto, empat ton dalam satu hektar. Para petani mengaku, hanya mendapatkan hasil rata-rata 500 kilogram saja dalam satu hektar. Mereka juga mengeluhkan perjanjian sepihak yang dilakukan Monsanto, soal harga, mutu, force-majure dan sebagainya.