Skip to main content

Ratu Belanda di Titik Pusat Indonesia

RATU Belanda nampak bersiap menguruk tanah di titik pusat Indonesia (center point of Indonesia-CPI), demikian tempat yang kerap kali disebut. Potretnya terpampang dalam poster berukuran besar di samping pintu masuk, lengkap dengan lampu sorot yang menyala setiap malam. Ratu Belanda, Queen of the Netherlands, adalah nama kapal keruk, yang dimiliki Royal Boskalis Westminister, sebuah maskapai yang berasal dari Negeri Belanda. Mereka memenangkan kontrak dari salah satu tentakel kelompok bisnis properti Ciputra, dengan nilai yang diperkirakan menghampiri 90 juta dollar Singapura, untuk mengerjakan proyek reklamasi di lepas pantai Kota Makassar. Kapal Queen of the Netherlands sendiri dikenal sebagai kapal keruk terbesar di dunia, yang mengerjakan operasi pengerukan mulai dari pembangunan pelabuhan di Dubai, Busan, Singapura, hingga reklamasi di Maladewa. Pada 2008, Herald Sun memberitakan kapal keruk ini menuai protes dengan masalah lingkungan yang hendak dikeruk, ketika bersandar di Melbourne, Australia. Kapal ini memiliki pompa penyedot pasir bertenaga raksasa. Kita bisa membayangkan bak "vacuum cleaner" yang mengapung di laut. Proyek di Makassar itu, sesuai berita yang dilansir perseroan Biro Klasifikasi Indonesia, memerlukan 9 juta meter kubik pasir untuk membangun 75 hektar daratan yang direklamasi.
Tak jauh dari tempat reklamasi yang saat ini ramai dipercakapkan itu, hanya sepelemparan batu saja, terdapat Pulau Lae-Lae. Beberapa pekan lalu, saya ke sana. Lae-Lae termasuk pulau dalam gugusan kepulauan Spermonde, yang masuk dalam wilayah Makassar. Dari Dermaga Kayu Bangkoa, di Jalan Pasar Ikan (Jalan Penghibur), kita dapat menempuhnya kurang dari 10 menit dengan perahu bermotor, bergerak lurus menuju arah barat. Saya bertemu dengan Daeng Puji, seorang perempuan Lae-Lae. "Saya lupa tahun berapa itu, kira-kira bersamaan dengan jatuhnya Pak Harto," tuturnya. Saya berusaha untuk membangkitkan ingatannya kembali peristiwa "pengosongan" pemukiman penduduk Lae-Lae beberapa tahun silam. Belajar melawan lupa. Tak sekedar meruntut atau merangkai peristiwa satu dengan lainnya yang bermakna penting atau mempengaruhi sejarah hidup seseorang, baik cara pandang maupun cara bertindak, melainkan juga berkaitan dengan relasi kuasa.
Awal mulanya, Walikota Makassar saat itu memberi konsesi pada pengembang swasta: Latief Coorporation, yang didirikan pengusaha Minang, Abdul Latief, guna mengubah ruang Lae-Lae dalam bisnis turisme dan properti. Abdul Latief sendiri, kita juga tahu, adalah seorang menteri yang mengundurkan diri, dua hari setelah pesawat Soeharto mendarat kembali di Halim Perdana Kusuma seusai lawatan dari Kairo, dan empat hari sebelum Soeharto mundur dari kursi kepresidenan. Peristiwa yang diceritakan Daeng Puji menarik hati saya jika dikaitkan dengan kurun waktu, sehabis Pemilu Mei 1997 hingga kejatuhan Presiden Soeharto, Maret 1998. Boleh jadi, kurun waktu tersebut, menjadi semacam jejak untuk mengukur apakah rejim Orde Baru masih tetap berada dalam isi kepala kita, ataukah sebaliknya menjadi transisi perpindahan dari ujung satu ke ujung yang lainnya. Sebagaimana yang sering kita ketahui, fitur utama kehidupan politik Orde Baru adalah pengaburan analisis kelas dan pengelompokan fungsional (korporatisme) sebagai representasi kepentingan. Selain, peristiwa di Lae-Lae itu bagi saya, semacam kick-off para korporat raksasa itu masuk dalam medan perebutan ruang di Makassar di akhir sebuah rejim yang berkuasa selama 31 tahun.
Kembali kepada cerita Daeng Puji. Ketika itu, mereka hendak direlokasi ke sebuah kampung di Salodong, Untia, Makassar. Kalau kita ke sana, tak jauh dari sebuah panti sosial milik departemen sosial, yang dikenal banyak orang sebagai pusat rehabilitasi "anak-anak yang bermasalah". Tempat relokasi itu rupanya, tidak berkesesuaian atau berbeda dengan cara pandang orang Lae-Lae mengenai ruang. Coba tengok penuturan Daeng Puji,"di Salodong, tempat tambatan perahu jauh dari rumah, siapa jamin keamanannya, selain jauh dari tempat biasa mencari ikan".  Bagi, orang Lae-Lae, ruang tidak sekedar rumah, melainkan ruang-hidup, berkaitan dengan penghidupan (livelihood). 
Ruang bagi orang Lae-Lae, meminjam pengetahuan Henri Levebvre, baik secara spasial dan sosial, tidak sekedar soal kohesi atau mentalitas yang dipengaruhi ruang, akan tetapi juga representasi pemaknaan (artikulasi) atau kepemilikan atas sejarah dan hubungan produksi tengah yang berlangsung. Karenanya, ruang kerapkali menjadi arena pertarungan yang sengit dalam memproduksi dan mereproduksi pengetahuan. "Hanya 94 orang yang pindah ke Salodong, lainnya tetap bertahan," lanjut Daeng Puji. Konsesi itu memang kemudian tidak berlanjut, bersamaan dengan pergantian kekuasaan di Jakarta. Namun, Lae-Lae tetap saja rentan, saya pikir, jika gambar rencana ruang kota itu hendak direalisasikan, di mana sebuah jalan akan saling menghubungkan antara CPI, Lae-Lae hingga reklamasi pembangunan pelabuhan baru, di depan pelabuhan Soekarno-Hatta, Makassar. 
Di depan poster Ratu Belanda itu, saya mencoba berimajinasi dengan sebuah peta tua sebelum Perjanjian Bongaya, ketika kapal keruk itu membuang sauh kira-kira berada di depan sektor pos-pos perwakilan dagang asing yang berada di Kerajaan Kembar Gowa-Tallo pada waktu itu. Queen of the Netherlands rupanya memang tidak hanya di poster itu, kalau kita ke Watansoppeng, empat jam perjalanan dari Makassar, kita menemui nama Ratu Belanda, Juliana. Nama Juliana itu diabadikan pada nama sebuah bangunan kolonial yang dibangun Gubernur Hindia Belanda, CA Kroesen, pada tahun 1902. Orang menyebutnya sebagai Villa Juliana atau "Mess Tinggi". Kabarnya, pembangunan villa itu untuk menyambut kedatangan Ratu Wilhelmina, ibunda Juliana, ke Soppeng. Namun, situasi politik berubah memanas, yang membatalkan kedatangan Sang Ratu. Bangunan itu pun kini berubah menjadi sebuah museum. Saya sendiri memang belum pernah ke sana, namun saya masih menyimpan keinginan untuk berkunjung ke museum itu. Paling tidak melihat fosil gading gajah purba yang pernah hidup di Lembah Wallanae. Saya sungguh tertarik dengan argumen kawan saya, dosen arkeologi, bahwa penemuan gajah purba membawa implikasi pada jalur migrasi manusia purba Sulawesi.

Panakukkang, 25 April 2016

Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Negeri Kopra, Galela Utara

SERIBU ton kopra yang kita kirim ke istana mengapa tak punya harga. Sebait sajak yang ditulis Dino Umahuk, seorang penyair kelahiran Maluku, berjudul "Tentang Tanah yang Tak Berpusat di Jawa". Bait sajak yang memikat hati, saya temukan ketika mencari tahu perkara kopra di Halmahera. Sepulang saya dari Galela Utara, tempat para petani kelapa (Cocos nucifera) itu menjalani hidup. Hampir sepekan saya tinggal Desa Salimuli, di rumah sebuah keluarga yang mengandalkan sumber penghidupan dari kopra. Saya pikir, ini bukan soal keelokan nusantara, seperti dilukiskan dalam lagu Rayuan Pulau Kelapa. Tapi, harga kopra saat ini sedang terjun bebas.  Tuan rumah mengatakan pada saya,"satu kuintal kopra dulu itu 900 ribu, sekarang turun sampai 400 ribu". Ia mengisap rokok kreteknya dalam-dalam, seperti menahan amarah. "Di sini, satu karung beras, harganya 300 ribu," lanjutnya untuk menyakinkan saya, turunnya harga kopra turut menghajar habis penghidupan mereka. Kopra ...

Narmada dan Bili-bili

DESA Narmada, di India dan Bili-bili, di Indonesia, dua tempat berjauhan dengan satu kisah yang sama: soal pengorbanan dan proyek bendungan. Arundhati Roy, perempuan pemikir kelahiran India dan seorang sarjana arsitektur, dalam ”The Cost of Living”, menggambarkan dua perkara tersebut dapat dipersinggungkan, dirajut, dan dipertalikan: mistisfikasi nasionalisme dan eskalasi bantuan dari Lembaga Keuangan Internasional. Di Indonesia, “The Cost of Living” sudah dialih-bahasakan dan diedarkan sekitar dua tahun lalu, dalam bentuk novel non-fiksi (berisi fakta dan perasaan Arundhati Roy).

Badai dalam Perjumpaan Budaya

PIDATO Sri Mulyani di sebuah kampus, sehari sebelum dilantik kembali menjadi Menteri Keuangan, mengusik perhatian saya. Mantan pejabat teras Bank Dunia ini membicarakan badai yang sempurna. Sebuah badai yang sedang melumpuhkan negara-negara yang semula menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia. Di sisi lain, kita mendiami sebuah dunia yang paradoks. Dunia yang kini banjir informasi, akan tetapi cenderung tidak membuka pikiran dan wawasan kita, bahkan memudahkan kita memuntahkan prasangka, menghilangkan sisi lain yang berseberangan dengan kita. Sri Mulyani juga membicarakan ketimpangan di luar kendali korban. Kesenjangan, baginya, bukan sekedar ketimpangan pendapatan, melainkan ketimpangan peluang. Apa yang menarik perhatian saya. Dia mempercakapkan ketimpangan itu, berada di tempat dimana kita lahir dan orang tua kita. Tentu saja, yang dimaksud bukan karena kita lahir di tempat yang salah, atau bukan pula karena salah bunda mengandung kita. Baiklah, kita membuka kembali peta negeri i...