Skip to main content

Posts

Menjadi Generasi X

SETENGAH abad, rasanya luar biasa. Seperti cermin refleksi, menengok kembali perjalanan di belakang. Lahir setelah “peristiwa 1965”. Bagi ahli demografi dan analisis pasar di Amerika Serikat, melalui spektrum populasi kohor ( cohort ), boleh jadi akan memasukkan saya ke dalam kategori identitas “Generasi X” atau “Gen X”. Mereka melakukan pengelompokan populasi atas dasar kesamaan kurun tahun kelahiran biologis dengan karakteristik atau pengalaman sosial yang sama. Dalam pembicaraan orang awam, kerap kali kita dengar: “beda generasi” atau “kesenjangan antar generasi”. Di sisi lain, kita akan mendapatkan penjelasan sosiologis: bagaimana seseorang melakukan pemaknaan atas realitas yang dialami dan membentuk kesadaran secara umum, serta melekatkan dalam mental dan spiritual individu. Praktik mental itu dinyatakan dalam perilaku, etika kerja, bahkan pandangan hidup. Boleh jadi, teori generasi lantas menjadi pegangan bagi media dan ahli pemasaran dalam melakukan segmentasi konsumen guna me...

Dia Bicara Lorong

BERAPA sebenarnya jumlah lorong di Kota Makassar. Saya berusaha keras mencari jawaban ini. Saya sudah sekian kali mengulik, menelusuri di internet. Rasanya tak ada sumber atau rujukan yang dapat memastikan jumlahnya secara tepat. Jumlah lorong di Makassar diestimasikan lebih dari 1.500. Saya sendiri tiba-tiba saja tertarik dengan pertanyaan ini, seusai sebuah pertemuan yang tak terduga dengan seorang kawan lama. Selepas magrib, di depan lapak penjual sate Mase Masea , sudut perempatan jalan Bandang dan Mesjid Raya. Sebuah lapak yang buka malam hari, yang tak terlupakan sejak kami kuliah pada paruh akhir dekade 1980-an. Dia bicara lorong, saat membuka percakapan. Ada keinginan kuatnya, menghentikan langkah orang untuk merampok, membegal uang rakyat, dalam "proyek pembangunan" di lorong-lorong Makassar. Saya menangkapnya pada kata "partisipasi", karena partisipasi menghindarkan orang akan keterkucilan, eksklusi sosial. Namun, mengeksekusi kata "partisipasi"...

Ratu Belanda di Titik Pusat Indonesia

RATU Belanda nampak bersiap menguruk tanah di titik pusat Indonesia ( center point of Indonesia- CPI) , demikian tempat yang kerap kali disebut. Potretnya terpampang dalam poster berukuran besar di samping pintu masuk, lengkap dengan lampu sorot yang menyala setiap malam. Ratu Belanda, Queen of the Netherlands , adalah nama kapal keruk, yang dimiliki Royal Boskalis Westminister, sebuah maskapai yang berasal dari Negeri Belanda. Mereka memenangkan kontrak dari salah satu tentakel kelompok bisnis properti Ciputra, dengan nilai yang diperkirakan menghampiri 90 juta dollar Singapura, untuk mengerjakan proyek reklamasi di lepas pantai Kota Makassar. Kapal Queen of the Netherlands sendiri dikenal sebagai kapal keruk terbesar di dunia, yang mengerjakan operasi pengerukan mulai dari pembangunan pelabuhan di Dubai, Busan, Singapura, hingga reklamasi di Maladewa. Pada 2008, Herald Sun memberitakan kapal keruk ini menuai protes dengan masalah lingkungan yang hendak dikeruk, ketika bersandar di ...

Pulau Tunda, Keruk Pasir Reklamasi

SAYA sungguh terkejut membaca berita, para pengembang proyek reklamasi teluk Jakarta itu mengeruk pasir dari Pulau Tunda. Sebuah pulau kecil yang mengapung di atas Laut Jawa. Letaknya sekitar 16 mil, sekitar dua setengah jam perjalanan, kalau kondisi laut sedang teduh, dari pelabuhan Karangangtu, Banten Lama, Kabupaten Serang. Sebuah kabupaten di Banten, 70 kilometer dari Jakarta. Saya bersyukur mendapat kesempatan pergi ke Pulau Tunda atau Pulau Babi, pada tahun 2007, ketika bekerja dengan sebuah LSM internasional. Saya menangkap nuansa Tunda, sebagai sebuah pulau yang rentan, dengan suasana inferior yang suram. Setahun sebelum saya tiba di sana, terjadi peristiwa rawan pangan dan kelaparan, akibat musim barat yang berat membuat para nelayan tidak bisa melaut. Selain itu, teror bajak laut menjadi momok, yang merampas tangkapan laut mereka dan tak segan-segan melukai bahkan membunuh nelayan dengan senjata organik. Saya pun tersenyum getir, ketika suatu sore sebelum matahari tenggelam ...

Kerumunan

SEBUAH kedai kopi, di sebuah pusat perbelanjaan, di jantung Jakarta. Di tengah kerumunan ramai para pecinta kopi pada petang hari. Kursi di samping saya tiba-tiba tersenggol seseorang yang bergegas. Percakapan saya dengan seorang kawan terhenti sejenak. Seseorang yang memakai jas warna kelabu, kopiah hitam, dengan sepatu mengkilap.  “ I’m sorry ,”katanya pendek seraya memperbaiki posisi kursi.  Mata saya, entah mengapa, terus mengikutinya. Dia bergerak menuju sebuah meja di sudut kedai. Di sana, menunggu seorang perempuan berkulit bersih memakai baju kebaya merah, berkerudung putih. Mereka lalu duduk berdekatan, saling berbisik. Waiters kedai kopi merapikan meja mereka. Tepat di depan mereka, seseorang memakai jas hitam terbuka, kopiah hitam, membuka sebuah map yang berisi kertas-kertas. Syahrir Rasyid, kawan saya minum kopi, berujar," mereka lagi akad nikah ". Menikah di tengah kerumunan di kedai kopi, mungkin peristiwa yang tak lazim bagi saya, di luar kebiasaan yang ada....

Pangan, Antibiotika, Oligarki

" ANTIBIOTICS off the menu ", demikian kampanye yang diluncurkan organisasi konsumen internasional pada tahun ini. Penggunaan antibiotika yang berlebihan menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan global, kita akan berhadapan dengan bakteri (mikroba) yang resisten (kebal) terhadap antibiotika. Hingga pada suatu hari, kita menjumpai kenyataan, antibiotik tidak lagi bisa melawan bakteri. Hanya sedikit goresan saja, orang bisa saja mati terbunuh. Boleh jadi, Alexander Fleming penemu antibiotika penisilin, yang mengobati infeksi, tidak menyangka kalau produksi antibotika tidak saja berada lini industri farmasi, namun berlipat ganda dengan industrialisasi pertanian dan peternakan. Fleming pun menyebutnya sebagai penemuan secara kebetulan. " Ketika saya bangun tidur, setelah fajar menyingsing, 28 September 1928, saya sama sekali tidak berniat merevolusi semua obat dengan penemuan antibiotik atau bakteri pembunuh ,"ujarnya. Sekitar setengah dari produk antibi...

Diaspora, Ekonomi Politik, Makassar

APAKAH Kota Makassar punya hati bagi penghuninya? Coba kita bayangkan, kota ini seperti sebuah rumah, atau ruang ( spatial ) geometris. Ruang membentuk cerita, ingatan, bahkan kesadaran. Sebagaimana lemari, misalnya, kita memiliki kesadaran berbeda, di ruang mana diletakkan atau disimpan arsip surat-surat berharga, uang, hingga pakaian dalam. Maka, ruang tidak dipandang hanya merujuk lokasi semata, melainkan berisi kesadaran atau pengalaman subjektif. Kiki, teman kerja istri saya, di sebuah kantor bantuan hukum, memiliki kesadaran ruang yang berbeda, sejak dia ditodong perampok di atas sebuah pete-pete , angkutan umum kota ini. “Seluruh penumpang pete-pete melaporkan peristiwa ini ke Polsek, tapi tidak ada respon, tidak ada tindakan apa-apa, polisi malah bilang kasus itu sudah biasa terjadi, seolah-olah polisi itu mau bilang, itu sudah nasib kalian,” cerita Kiki.  Pekan lalu, Kiki mendampingi seorang anak berusia 9 tahun, yang dilaporkan di kantor Polsek yang sama, lantaran...