KARENA Jawa adalah kuncinya. Frasa politik ini begitu populer. Hal yang sama juga terjadi saat percakapan tentang elektoral, yang bertautan dengan pemilih. Jawa menjadi tulang punggung demografis Indonesia. Juga dianggap sebagai jantung kebudayaan dan politik. Kalau begitu, agak lebih jauh lagi, apakah budaya Jawa turut mengkonstruk imaji politik dalam frase tersebut.
Saya agak tergoda mencari tahu. Apalagi mesin politik sudah menyala. Kick off, partai-partai politik mengajukan kandidat. Komunikasi politik mulai berjalan, terkadang menimbulkan ambiguitas, tak jarang menciptakan kesadaran magis. Itu pula yang membuat saya membaca kembali buku ini, buku tua. Tapi saya rasa, dapat memandu untuk keperluan itu.
Diterjemahkan dari buku: Language and Power, Exploring Political Culture in Indonesia. Diterbitkan pertama kali, lebih dari 30 tahun lalu. Penulisnya, Benedict Anderson. Seorang antropolog sekaligus sejarawan politik. Buku ini kumpulan esainya. Salah satu pencarian Anderson sebelum menerbitkan magnum opus, Imagined Communities.
Lahir di China, 1936. Dibesarkan di tiga negara. Lama hidup di Asia Tenggara. Hingga, meninggal di Batu, Malang, 2015. Aslinya seorang poliglot, orang yang mahir menggunakan banyak bahasa. Tiba pertama kali di Jakarta, akhir tahun 1961. Ia membenamkan diri dalam masyarakat Jawa. Menonton pertunjukan wayang sepanjang malam. Mengunjungi candi-candi.
Ia terpesona dengan Jawa, jatuh cinta dengan budaya tradisional Jawa. Dengan penuh keyakinan dia sebut, Pemikiran Jawa tradisional, sepenuhnya rasional, memiliki teori politik yang menawarkan penjelasan sistematis dan logis tentang perilaku politik. Kontras dengan ilmu politik modern. Anderson balik kembali ke Amerika, akhir musim panas 1964. Lalu, terjadi peristiwa 1965. Berdarah-darah.
Argumentasinya mengenai budaya Jawa mulai goyah. Ia menyadari ada sesuatu yang terlewatkan. Sebagian besar orang yang terbunuh, adalah orang Jawa, begitu pula dengan para pembunuh mereka. Anderson berkata, serasa menemukan, bahwa orang yang dicintai adalah seorang pembunuh. Bagian populer dari mitologi Jawa, dalam versi pribumi Mahabarata, berkulminasi atau puncaknya pada: pemujaan pertumpahan darah antar-kerabat dekat.
Dalam persimpangan itu, membuat saya terkesan, cara Anderson mengajukan kembali pertanyaan-pertanyaan, cara menginterogasi naskah-naskah dan kejadian, cara memahami kontradiksi-kontradiksi. Dalam konsep Kuasa dalam budaya Jawa tradisional, katanya, kekuasaan itu nyata, tidak abstrak. Kekuasaan itu ada, bukan pada soal absah atau tidak absah. Besarnya kekuasaan itu konstan. Istilah pandangan Jawa, jagat raya itu tidaklah mengembang atau menyusut. Total jumlah kekuasaan alam semesta itu selalu tetap. Kalau ada konsentrasi kekuasaan di satu tempat memerlukan penyusutan yang sepadan di tempat lain.
Melalui gagasan itu, kita diajak memblejeti konsep Max Weber mengenai kepemimpinan kharismatik. Pada kalimat akhir esainya, yang saya suka, kharisma itu ungkapan khas ketika dunia sedang kehilangan daya pukau. Begitu pula dengan Kata (Bahasa). Dalam lanskap politik Jawa, yang memperlakukan kata-kata yang asli dari bahasa Jawa, menjadi imaji politik tentang topeng dan wayang. Kosakata bahasa politik Indonesia didominasi dengan dihadirkannya imaji politik itu: dalang, mendalangi, wayang, lakon, gara-gara, perang tanding. Begitu pula dengan kedok (topeng), dalam frasa: terbuka kedoknya.
Di samping buku, ada semangkuk pallubasa. Masakan kuah khas Makassar, dengan isian daging dan jeroan sapi, ditambah kuning telur mentah. Para penjual pallubasa menyebut kuning telur itu dengan kata: alas. Bagi saya, pallubasa juga adalah kunci. Kunci untuk membuka penjelasan mengenai sapi yang kaya kisah.
Dalam mitologi Jawa, penguasa dewa, Batara Guru, berpesiar melalang buana bersama isterinya, Dewi Umaranti, dengan menunggangi sapi. Di awal sejarah Majapahit, sejumlah orang memakai nama hewan sapi. Lembu Sora, orang dekat Raden Wijaya, memiliki peran penting berdirinya kerajaan Majapahit. Lembu Sora juga menuai kontroversi, menikam temannya sendiri dari belakang, Kebo Anabrang, saat menumpas pemberontakan Ronggolawe.
Pada tahun 1936, pemerintah kolonial Hindia Belanda mengharuskan sapi jantan Jawa dikebiri. Sedangkan sapi betina harus dikawin silang dengan sapi Ongole. Sapi Ongole diimpor besar-besaran dari India, sejak 1901 oleh pemerintah kolonial. Ada kebutuhan untuk mengembangkan sapi unggul. Di masa Soekarno, melalui Rencana Kesejahteraan Istimewa, pengembangbiakan sapi melalui inseminasi buatan. Sayangnya, hanya bertahan dua tahun.
Pada masa daripada presiden Suharto, dikembangkan peternakan sapi modern (ranch). Orang mengenang kisah itu dimulai pada akhir 1975. Ketika sejumlah kapal pendarat milik Angkatan Laut disuruh melanjutkan pelayaran ke Australia, seusai menurunkan tentara penyerbu di Timor Timur. Kapal-kapal ini menjemput sapi-sapi Australia, sesuai pesanan daripada presiden Suharto usai melawat ke Australia pertengahan 1975. Sapi-sapi impor itu mengisi peternakan di Tapos, Bogor, milik keluarga Suharto. Hasil persilangan sapi di sana kemudian disalurkan ke peternak kecil, disebut sebagai sapi Banpres (bantuan presiden).
Sapi, hewan yang dianggap suci di India itu, memiliki konotasi negatif di negeri ini. Mulai dari makna politis sapi perah, korupsi sapi, hingga politik dagang sapi. Istilah sapi perah dihubungkan dengan kelakuan pejabat atau politisi yang menjadikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai sumber meraup uang untuk kepentingan pribadi atau politik. Korupsi sapi berhubungan dengan urusan kongkalikong impor sapi. Frasa politik dagang sapi, biasanya menjadi pembicaraan orang awam menjelang Pemilu atau menuju pembentukan kabinet.
PaccerakMeig, awal Mei 2023