Skip to main content

Menjadi Generasi X

SETENGAH abad, rasanya luar biasa. Seperti cermin refleksi, menengok kembali perjalanan di belakang. Lahir setelah “peristiwa 1965”. Bagi ahli demografi dan analisis pasar di Amerika Serikat, melalui spektrum populasi kohor (cohort), boleh jadi akan memasukkan saya ke dalam kategori identitas “Generasi X” atau “Gen X”. Mereka melakukan pengelompokan populasi atas dasar kesamaan kurun tahun kelahiran biologis dengan karakteristik atau pengalaman sosial yang sama. Dalam pembicaraan orang awam, kerap kali kita dengar: “beda generasi” atau “kesenjangan antar generasi”. Di sisi lain, kita akan mendapatkan penjelasan sosiologis: bagaimana seseorang melakukan pemaknaan atas realitas yang dialami dan membentuk kesadaran secara umum, serta melekatkan dalam mental dan spiritual individu. Praktik mental itu dinyatakan dalam perilaku, etika kerja, bahkan pandangan hidup. Boleh jadi, teori generasi lantas menjadi pegangan bagi media dan ahli pemasaran dalam melakukan segmentasi konsumen guna menyokong pasar yang mereka ciptakan. Bahkan, hari-hari ini para konsultan sumberdaya manusia di negeri ini juga rajin menulis perihal generasi x, y dan z. 
Bagaimana pun juga, pesan penting dari teori ini: beda negara, beda generasi, kita mesti cari tahu polanya. Seolah-olah hendak menyatakan: seperti apa Anda tergantung dimana Anda berada pada saat kapan. Generasi X di Amerika Serikat, yang lahir 1966-1977, cenderung bersikap skeptis. Ketika berada pada masa kanak-kanak, negara mereka sedang defisit keuangan karena Perang Vietnam. Awal dasawarsa 1970, sistem keuangan internasional Bretton Wood mengalami kerusakan hebat. Kita tahu, sistem ini mengisyaratkan semua negara mematok nilai tukar terhadap dollar Amerika Serikat, dan mata uang tersebut ditetapkan dengan nilai emas, 35 dollar AS per ons emas. Namun, pertengahan 1971, Amerika Serikat secara sepihak tidak dapat memenuhi komitmen sendiri yang mematok dollar AS terhadap emas. Saya pikir, akan berbeda dengan konteks sosial Generasi X di Indonesia, yang lahir sejak peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Suharto, menikmati pertumbuhan ekonomi karena berkah harga minyak bumi, tanpa kemerdekaan berpikir, apalagi bersuara.
Pembicaraan teori generasi itu cukup menggoda saya, membawa saya pada demografi. Saya tergoda untuk kembali ke belakang, ketika berusia 20-an, dan bertanya: berapa jumlah populasi yang seumur saya berada di desa, sebaliknya berapa yang di kota, apakah berubah dalam rentang waktu 10, 20 tahunan. Dari hasil sensus penduduk Sulawesi Selatan tahun 1990, 2000, dan 2010, lepas dari perdebatan reklasifikasi masalah spasial "kota" dan "desa", tergambar seperti ini:
Ketiga diagram piramid ini, memberi kesan adanya perubahan terutama laju pertumbuhan populasi anak muda perkotaan (urban), sebaliknya mulai menyusut di wilayah pedesaan. Pada tahun 1990, saya belum genap 25, populasi seumur saya lebih dari 60 persen berada di wilayah pedesaan. Boleh jadi, generasi Y lahir pada dasawarsa ini. Kita tahu, akhir tahun 1980, produksi utama kakao mulai bergeser dari Jawa ke Sulawesi. Pemerintah Orde Baru seperti hendak menciptakan keajaiban kedua bagi pertumbuhan ekonomi negeri ini dengan cara ekstensifikasi (perluasan lahan) komoditi ekspor, salah satunya kakao, setelah harga minyak rontok. Lebih dari 60 persen area penanaman dan produksi nasional berada di Sulawesi, demikian data dari Direktorat Perkebunan tahun 2013. Namun, kakao menyisakan kerentanan. Kakao telah mendorong terjadinya alih-fungsi lahan secara meluas. Banyak rumah tangga petani di sektor tanaman pangan, yang terusik dengan propaganda keuntungan komoditi tersebut, dan mengubah lahan padi menjadi kakao. Mereka yang semula membawa beras dari lahan sendiri ke dapur, malah kemudian memilih untuk membeli beras. Berikut data kakao di Sulawesi Selatan dalam kurun 10 tahun:
Ingatan kita pasti pada adagium para petani: "biar tidak sokola (sekolah), yang penting ada sokolat (cokelat)". Di balik adagium "ekonomi kakao" ini, kita sebenarnya disuguhi sebuah pertunjukan mengenai karakter atau watak komoditi kakao. Di beberapa tempat, introduksi kakao mengubah formasi sosial yang semula memiliki moral ekonomi subsistensi dan resiprositas, menjadi terintegrasi dengan pasar kapitalistik. Secara nasional, area lahan dan produksi kakao sebagian besar berada di tangan petani skala kecil-menengah (smallholder). Watak komoditi ini butuh modal yang kuat, lihat data di atas, yang dibutuhkan untuk menjaga pasokan bagi para eksportir, broker, pabrikan (penggilingan), sampai industri pengolahan cokelat, bahan pangan lainnya dan kosmetik. Ilustrasi ini mirip sebuah piramida, para petani ini berada di dasar dan menyangga beberapa lapisan di atasnya, agar tidak roboh. Di beberapa tempat, para petani yang kehilangan harapan dengan harga kakao, harus merelakan kehilangan tanah garapan, atau bekerja di sektor non-pertanian, sebagai buruh tanam, buruh panen, atau buruh bangunan.
Tahun 2010, saya bayangkan Generasi Y saat ini berusia 20-an, atau usia memasuki dunia kerja, mereka mungkin sebagian melakukan urbanisasi. Saya bayangkan mereka menyaksikan bagaimana harga kakao itu "booming" hingga rontok di kemudian hari, yang membalikkan asa atas kisah "ekonomi kakao". Atau, kita dapat membaca jumlah rumah tangga usaha pertanian di Sulawesi Selatan yang menyusut dalam 10 tahun terakhir, sebagaimana dirilis hasil survei pertanian. Dari hasil sensus tersebut juga memberikan pemahaman pada kita, atas kesan atau indikasi konsentrasi kepemilikan lahan:
Ini tentu saja perkara yang serius.

Paccerakkang, 2 Juni 2016

Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Gudo, Lasem. Perjumpaan Negeri yang Berbeda

SAYA beruntung dapat menjejaki dua tempat: Gudo, Jombang dan Lasem, Rembang. Nah, bersiaplah dengan kisah perjalanan saya kali ini, menembus lorong waktu. Gudo dan Lasem, dua  tempat yang sebelumnya telah menggoda perhatian saya. Boleh jadi, karena keinginan perjumpaan akan ruang geografis etnis dan penghayatan subyektifnya yang berbeda dengan tempat lain di negeri ini, dalam memahami hubungan pasang-surut akibat pertikaian sosial. Atau , tertarik dengan kalimat akhir sebuah artikel yang mengutip tulisan para pecinta pemikiran Gus Dur di klenteng (untuk menyebut rumah ibadah Tionghoa) Gudo: "semakin kita berbeda, semakin jelas dimana titik persamaan kita". Di kedua tempat ini, Gudo dan Lasem, klenteng menjadi landmark (mercu-tanda) . Jarak keduanya,  cukup berjauhan. Jalan pintas terdekat, sekitar 180 kilometer, membelah punggung pegunungan kapur Kendeng. Dari Gudo menuju ke utara, lewat Tuban. Lalu ke arah barat, berjalan di atas jalanan warisan Gubernur Jenderal Hindia Bel...

Media Baru, Muslihat Lama

REVOLUSI datang secara mengejutkan. Revolusi adalah pementasan dramatik, waktunya cepat, dan mudah diingat. Seperti kata sosiolog Piort Sztompka: bak ledakan dinamit di tengah aliran lambat proses historis. Kita juga sering diingatkan agar tidak gegabah atau sembrono dengan ungkapan "revolusi", karena studi revolusi memiliki batasan-batasan mengenai basis dan komponen utamanya [*]. Revolusi mengacu pada perubahan fundamental. Bahkan, dalam sejumlah kenyataan di paska-revolusi, cara kita memandang sesuatu atau cara kita berpikir pun turut berubah. Saya sendiri seringkali terusik mengamati revolusi kontemporer, revolusi yang meletup pada abad 21, pada peranan media yang memanfatkan sentimen gerakan sosial yang spektakuler itu. Meski hal itu, saya sadari, bukan faktor tunggal lahirnya sebuah revolusi. Ketika benih revolusi mulai berkecambah, media bisa jadi membawa ancaman, bahkan mengakhiri rezim yang berkuasa, mengakselerasi transisi demokrasi, atau malah sebaliknya bersifa...

Gagasan Anarkisme Terhadap Ilmu Komunikasi

“ Apa skripsi saudara benar-benar merupakan skripsi ilmu komunikasi? ” [1] SAYA pikir ini bukan pertanyaan bodoh. Sejauh apa yang saya bayangkan kemudian terhadap pertanyaan tersebut adalah: apakah komunikasi itu pengetahuan [2] ? Dalam tradisi pemikiran Yunani purba, pengetahuan (“pengetahuan” yang dimaksud ketika itu bukan berada di dalam pengertian ilmu pengetahuan seperti yang saat ini) [3]  berpautan dengan kepentingan yang berhubungan dengan cita-cita etis, hal-ikhwal kebajikan atau kebijaksanaan. Pengetahuan ( theorea ) diyakini mendorong atau tidak terpisahkan dengan tingkah-laku praktis ( praxis ) dalam kehidupan kongrit.

Plutokrasi, Anti Logika

Mereka menyebutnya demokrasi. Tetapi, yang sebenarnya berjalan adalah plutokrasi. Pemerintahan yang mengabdi pada mereka yang berpunya, daulat uang. Hukum tertinggi adalah koneksi. Keputusan untuk rakyat banyak ditentukan oleh konsensus orang-orang tidak beradab. Negara adalah manifestasi keserakahan. ( Rahasia Meede, Misteri Harta Karun VOC, E.S. Ito, halaman 34 ) NOVEL thriller sejarah ini, saya rasa, mengantar kita sejenak mengenali kembali kemerdekaan  dan setumpuk utang. Novel ini dibuka dengan kalimat: "Tidak bisa, bung. Bukan kita, tetapi mereka yang seharusnya membayar. Kita berhak atas Batig Slot". Sepenggal percakapan antara seorang pemuda yang digambarkan revolusioner  berperawakan tinggi kurus dan berkacamata tebal, Sumitro Djojohadikusumo, dengan Bung Hatta, di Den Haag, November 1949. Kita pun tahu, ini babak akhir perundingan maraton Konferensi Meja Bundar. Belanda menyodorkan klausul, pihak Indonesia menanggung beban utang Hindia Belanda. Sebuah syarat be...