Skip to main content

Melintasi Sabana, Seram Barat

PAGI-PAGI benar saya sudah meninggalkan penginapan di depan mesjid negeri Passo, Ambon. Saya meluncur ke arah pelabuhan Hunimua, Liang, dimana kapal feri menuju Waipirit itu bersandar. Jalanan masih basah, hujan semalaman. Baliho para kandidat gubernur Maluku tampak berjejer di tiap sudut jalan. Pemilihan gubernur kali ini boleh jadi terasa penting, paling tidak menguji kembali semangat rekonsiliasi, penyelesaian politik identitas atau fitur oposisi perasaan "ke-kita-an" terhadap yang lain, yang sempat membakar masa lalu. Bukankah, sebagian dari pemilih tersebut, adalah mereka yang pernah menjadi kombatan saat masih berumur anak-anak dalam konflik kekerasan bersentimen etnis dan agama di Maluku pada 1999-2002. Data statistik struktur usia penduduk dalam sebuah dokumen rencana pembangunan tahun 2016 menggambarkan, jumlah penduduk terbesar di Kota Ambon, adalah yang berusia 20-24 tahun, diikuti mereka yang berusia 25-30 tahun.
Matahari pagi hangat dan laut tenang, penyeberangan menuju Seram Bagian Barat. Ini adalah perjalanan pertama kali saya ke Pulau Seram. Orang menyebut sebagai Nusa Ina, Pulau Ibu. Lebih satu tahun lalu, saya membeli sebuah buku dengan genre etno-ekologi, berjudul: Pulau Seram. Hasil disertasi Dyah Maria Wirawati Suharno, yang dibukukan, mengenai orang Alune, populasi yang terletak di sebelah barat Seram. Narasi buku yang memikat membuat saya berharap, kelak suatu hari nanti saya dapat melawat ke Seram. 
Tiba di Waipirit, kurang dari dua jam dari Liang. Perjalanan ke Piru, ibukota Seram Bagian Barat, sungguh lengang. Jalan raya nasional beraspal mulus. Kendaraan yang melintas dapat dihitung jari. Saya hanya agak terganggu, ketika berada di sebuah penginapan tak jauh dari pelabuhan Waipirit. Sebuah tulisan bercat merah menyolok di atas pintu belakang tempat karaoke: Dilarang Masuk Kecuali Pramuria dan Karyawan. Situasi sepi dengan teks seperti ini menjadi paradoks, kecuali semacam penanda atau situs. Situs keramaian industri. Benar, di tengah jalan menuju Piru, saya melihat cerobong pabrik dan bangunan gudang, dilengkapi dengan dermaga pelabuhan angkut. Kawan saya berujar pendek, "itu bekas pabrik kayu lapis Djajanti Group". 
Ya, sebuah pabrik kayu lapis besar di daerah aliran sungai (DAS) Ety, di Waisarisa, Kairatu Barat. Januari 1985, Presiden Soeharto meresmikan 10 pabrik kayu lapis di Maluku, melalui sebuah seremoni di Batugong, sebelah timur Kota Ambon. Saat itu, Soeharto membawa serta rombongan menteri, termasuk Panglima ABRI, Jenderal Benny Moerdani. Empat diantara sepuluh pabrik itu berada di Waisarisa, seperti Artika Optimal Inti dan Green Timber Jaya, yang merupakan tentakel Djajanti Group. Dimulainya babak baru peralihan ekspansif dari produksi kayu bulat ke arah kayu olahan tanpa memikirkan pasokan. Masuknya para pendatang menjadi pekerja pabrik telah memperluas pemukiman desa Waisarisa dan juga desa Kamal. Namun kini keadaan berubah menjadi dramatik, pabrik tersebut sudah tidak beroperasi lagi. Perusahaan kayu lapis, yang pernah berjaya di masa Orde Baru, itu dinyatakan pailit pada 2008, utangnya menumpuk.
Di wilayah DAS Ety juga dikenali sebagai daerah transmigrasi sukarela dari Sulawesi Selatan dan Kepulauan Lease (Saparua, Haruku, Nusalaut) yang berada di sebelah selatan Seram. Sementara lokasi transmigrasi pertama di Maluku, pada tahun 1954, berada di Kairatu, di desa Gemba, menghapus nama desa  sebelumnya, Waimital. Gemba adalah singkatan dari Gerakan Masyarakat Baru. Selain itu, sejak awal 1990, banyak pemukiman baru yang didirikan di tepi jalan nasional, sebagai bagian program pemerintah pada saat itu. Kita pun tahu, hal ini mereorganisasi ruang hidup masyarakat hukum adat (masyarakat tempatan) yang semula berdiam di wilayah pedalaman. Di kemudian hari, diketahui terjadi penghancuran hutan secara meluas di wilayah adat yang pernah mereka tinggali, di wilayah pedalaman, oleh perusahaan pengelola hutan baik yang legal maupun ilegal. 
Sekitar sejam kemudian, saya tiba di gerbang Kota Piru. Sekilas mirip Brandenburg Gate, pintu gerbang kota Berlin, Jerman. Mungkin saya terlampau berlebihan. Bangunan gerbang itu ditopang tiang penyangga bulat diletakan secara sejajar di sisi kanan dan kiri. Di atap bangunan, terdapat patung garuda sedang mengepakan kedua sayapnya. Saya tiba-tiba merasa sedang memasuki sebuah kota kecil yang sarat monumen.  Sebelum masuk ke jantung Piru, di sebuah lingkaran perempatan jalan, berdiri patung Jacubus (Bob) Puttileihalat, bupati Seram Bagian Barat yang pertama dan dua periode. Bob sendiri kelahiran Kataloka, sebuah negeri di ujung timur Seram. Kabupaten ini dibentuk 18 Desember 2003, dimana konflik sosial di Maluku belum benar-benar mereda. Seram Bagian Barat merupakan pemekaran dari Kabupaten Maluku Tengah.  Patung Bob sekaligus menjadi petunjuk arah jalan menuju ke kantor bupati.
Patung Bob pula mengingatkan, sejauh dari pembacaan saya, kontestasi politik pada saat pemilihan kepala daerah di kabupaten ini. Terutama peran signifikan keturunan pendatang asal Buton, Sulawesi Tenggara, di pentas politik Seram Bagian Barat Orang-orang Buton memiliki perjumpaan kultural yang sangat panjang dengan Seram. Paling tidak, kita dapat telusuri dari sejarah desa di Seram Bagian Barat, terutama di Luhu, Huamual, seperti kampung Amaholu yang berkait pelayaran tradisional orang-orang Buton. Faktor "Buton" juga dikonstruksikan sebagai penentu kemenangan dalam Pilkada Seram Bagian Barat. Misalnya Pilkada 2004, Bob Puttileihala berpasangan dengan La Kadir. Kandidat bupati lainnya saat itu adalah, Jabar Abdu, keturunan Buton yang berasal dari Limboro, Luhu. Selain itu, ada Subeno, anak transmigran Jawa dari Gemba yang sukses. Saya sendiri agak terkejut dengan dinamika politik semacam ini, padahal saat itu konflik penuh sentimen etnis dan agama di Maluku belum benar-benar reda. 
Saya melanjutkan perjalanan dari Piru menuju Pelita Jaya. Semula niatnya ke Pulau Ose, tapi hari sudah terbilang sore. Saya bersama seorang kawan dari desa Morekao. Ricky, namanya. Mantan pemain sepak bola. Kakinya patah, waktu bermain bola di Stadion Mandala, Ambon, melawan Persiter Ternate dan Persma Manado. Saat ini, ia membuka sekolah sepak bola untuk remaja di desanya, dengan dukungan dana desa. Kami berhenti sejenak di gedung kesenian Seram Bagian Barat, Nusa Ina Center. Sebuah bangunan yang tepat berada di pertigaan jalan. "Kalau terus pak ini ke kampungnya pak Bupati, Yasin Payapo, di Luhu, Huamual. Kalau mau ke kantor DPRD lewat jalan yang menanjak ini, nanti di sana ada jalan lagi ke tempatnya tambang nikel," jelas Ricky.
Besaran tambang nikel di Seram Barat nampak digandang-gadang sejumlah pihak sejak enam-lima tahun silam, mengharap ceruk keuntungan berlipat ganda. Pernyataan yang mengemuka, keuntungan tambang kerapkali tersembunyi di bawah karpet demokrasi. Industri ekstratif tambang selalu erat relasinya dengan kontestasi dalam Pilkada di suatu daerah. Lawatan saya ke sejumlah lokasi tambang, selalu saja makna ancaman terhadap ruang hidup rasanya berurat akar di benak masyarakat lingkar tambang. 
Menuju Pelita Jaya. Saya melewati padang rumput ilalang (sabana) yang lapang dan sejumlah tegakan pohon kayu putih. Padang rumput seperti menjadi pemandangan khas Seram Barat. Boleh jadi, meluasnya padang rumput itu lantaran terjadi kebakaran berulang-kali. Kebakaran bisa terjadi secara alami karena musim kering,  atau dipicu karena kegiatan pertanian dan pengelolaan hutan (eksploitasi). Tanah sedikit hara, vegetasi yang musnah akibat kebakaran berulang-ulang, regenerasi yang lambat, menjadi rangkaian penjelasan terbentuknya padang rumput ilalang. Dari balik bukit, berselimut sabana itu, nampak di kejauhan gugus pulau kecil.

Tiba di Pelita Jaya. Saya menikmati sore, berjalan di atas jembatan kayu di antara pohon mangrove, yang menjulur keluar menuju laut.  Jembatan ini saling terhubung dengan rumah apung dan karamba. Sebuah perahu dua mesin tempel merapat di jembatan. Mereka membongkar muatan ikan tuna. Saya tiba-tiba teringat keluhan kawan saya dari Kaibobo soal: pengeboman ikan di laut, juga pembalakan kayu yang mengancam keberadaan mata air di negeri mereka. 

Mandai, 6 Mei 2018



Popular posts from this blog

Long Loreh, Batubara

HAMPIR tengah malam, telepon genggam saya bergetar. Di seberang sana, terdengar suara isteri saya bertanya, "lagi dimana ini". "Malinau," kata saya pendek. "Apa ada dalam peta," tanyanya lagi. Saya tak menjawab. Saya lalu hentikan percakapan. Melalui whatsapp, saya kirim peta Malinau padanya. Ia membalas dengan emoji senyum. Malinau berada di jantung Borneo. Sebuah kabupaten di Kalimantan Utara, berbatasan dengan Serawak, negara bagian Malaysia. Garis batas yang mengikuti punggung sebuah taman nasional, Kayan Mentarang. Rimba menghijau yang kaya spesies di Malinau sangat berarti bagi penghidupan berkelanjutan. Selain, memberi sokongan dalam menyerap karbon dioksida, salah satu gas rumah kaca yang mempengaruhi perubahan iklim global. Namun, orang-orang Malinau mesti kerja keras menjaga peradaban mereka dalam ekologi hutan hujan tropis yang khas itu. Sebagai bagian dari Kalimantan yang merupakan penghasil kayu terbesar di Indonesia,  dimana lebih 10 juta he

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi".

Gudo, Lasem. Perjumpaan Negeri yang Berbeda

SAYA beruntung dapat menjejaki dua tempat: Gudo, Jombang dan Lasem, Rembang. Nah, bersiaplah dengan kisah perjalanan saya kali ini, menembus lorong waktu. Gudo dan Lasem, dua  tempat yang sebelumnya telah menggoda perhatian saya. Boleh jadi, karena keinginan perjumpaan akan ruang geografis etnis dan penghayatan subyektifnya yang berbeda dengan tempat lain di negeri ini, dalam memahami hubungan pasang-surut akibat pertikaian sosial. Atau , tertarik dengan kalimat akhir sebuah artikel yang mengutip tulisan para pecinta pemikiran Gus Dur di klenteng (untuk menyebut rumah ibadah Tionghoa) Gudo: "semakin kita berbeda, semakin jelas dimana titik persamaan kita". Di kedua tempat ini, Gudo dan Lasem, klenteng menjadi landmark (mercu-tanda) . Jarak keduanya,  cukup berjauhan. Jalan pintas terdekat, sekitar 180 kilometer, membelah punggung pegunungan kapur Kendeng. Dari Gudo menuju ke utara, lewat Tuban. Lalu ke arah barat, berjalan di atas jalanan warisan Gubernur Jenderal Hindia Bel

Kampiri, Ekonomi Kakao

AMELIA setengah berbisik di belakang punggung saya. “Itu yang katanya putus,” ujarnya. Saya menengok sekilas. Jarinya menunjuk sebuah kawat besi, yang terlilit pada penopang jembatan gantung. Sepeda motor kami berjalan tertatih, mengikuti pelat baja berlandas pada kayu-kayu yang menua.  Jembatan itu hanya selebar satu mobil. Terasa sedikit bergoyang, saat berpapasan dengan pengendara motor yang membawa ikatan besar rumput pakan sapi. Ketegangan baru terurai, lepas dari ujung jembatan, di Kampiri. Jembatan itu, orang menyebutnya: Jembatan Pacongkang, menghubungkan Desa Barang dan Desa Kampiri yang melintasi Sungai Walennae. Sungai besar yang sarat jejak arkeologis. Jembatan ini diresmikan Zaenal Basri Palaguna semasa menjadi Gubernur Sulawesi Selatan. Tanda tangan mantan Panglima Komando Daerah Militer Wirabuana itu tertera dalam prasasti, yang tertanam di sebuah beton tak jauh dari tiang penyangga jembatan. Kampiri adalah sejarah pemukiman tua. Sejauh apa yang saya pahami, ketika

Atambua

MOTA AIN, 22 kilometer. Begitu yang saya baca, tulisan papan petunjuk jalan, selepas menyelusuri jalan berkelok-kelok tajam menuruni punggung perbukitan dari Kota Atambua. Pohon-pohon asam besar berjejer di tepian jalan, tapi terik matahari Timor masih terasa menyengat. Di atas mobil, musik dangdut koplo belum juga habis menghentak-hentak. Berlari kencang di atas jalanan mulus, melewati Atapupu, pelabuhan kontainer di utara Belu, menuju garis depan negeri ini. Kawan saya, seorang anak muda keturunan Timor Leste, bilang kalau kapal-kapal yang sedang merapat itu, membawa beras dan semen dari Makassar. Mota Ain, titik paling ramai, diantara jalanan ke tapal batas Timor Leste lainnya, termasuk daerah eksklave, Oecusse. Seingat saya, ketika saya masuk dari desa Fatuketi, jalanan menuju pintu masuk Oecusse, tidak seramai Mota Ain. Beberapa ruas jalannya pun buruk. Kalau pun Mota Ain ramai, karena lebih dekat dengan Dili, hanya butuh waktu 2-3 jam saja. Menuju titik batas, jalan seki