Skip to main content

Kopi Kalosi, Beras Mandoti, Dangke

RAHMA membawa sebuah termos berisi kopi panas ke meja saya, di ruang rapat kantor BPS Kabupaten Enrekang. "Ini kopi tongan (dalam bahasa Duri/Toraja artinya, sebenarnya), kopi Kalosi yang bijinya diambil dari pohon kopi yang berumur tua dekat perbatasan Enrekang-Toraja," katanya sembari menuangkan kopi dalam cangkir. Aromanya mulai memantik. Saya bukanlah seorang pecinta kopi, melainkan hanya penikmat kopi biasa. Tapi, saya merasakan sensasi ketika menyeruput kopi hitam bikinan Rahma. Cita rasa kopi terasa menembus lidah, meninggalkan kenangan yang lama di rongga mulut. Secangkir kopi telah membagi kehangatan, mencairkan kebekuan, sepanjang pembahasan sebuah survai, dua pekan lalu. Betul yang dikatakan Rahma, bagi saya, inilah kopi sebenar-benarnya. Kalau boleh saya mengutip kalimat dari sebuah blog tetangga, cerita orang Turki memperkenalkan kopi pada orang Eropa: "sehitam neraka, sekuat kematian, semanis cinta, itulah nikmatnya kopi".
photo credit: Coffee Anyone? via photopin (license)

Secangkir kopi itu pula yang membuat saya terusik menelusuri cerita kopi Kalosi. Kalosi adalah nama sebuah tempat di Enrekang. Sebuah foto tua dikoleksi Tropenmuseum memperlihatkan Kalosi sudah menjadi pasar ramai pada 1920-an. Apabila dikaitkan tempat penghasil kopi di Duri/Enrekang dan Tana Toraja, boleh jadi Kalosi merupakan salah satu pasar kopi utama. Kopi mulai ditanam di daerah ketinggian Enrekang dan Toraja sekitar 1750. Kemungkinan pengenalan dan penanaman kopi di daerah ini memiliki relasi dengan keberadaan VOC (kongsi dagang Hindia Timur Belanda) dengan pos dagang mereka di Makassar. Tahun 1887 sampai 1898, penggalan sejarah bagi pasar kopi di Toraja, orang mencatat sebagai Perang Kopi, karena menimbulkan kerusakan. Merujuk periode waktu, saya menafsirkan, kopi diubah sebagai karakter atau watak komoditas atau komoditifikasi. Komoditi bukan sekedar barang yang dipertukarkan, dijual, dibeli di pasar. Persepsi nilai dan bentuk komoditas bisa jadi mengabaikan sifat fisik komoditas dan bahkan hubungan sosial dalam produksi, melainkan lebih pada hubungan ekonomi uang dan komoditas dalam pertukaran pasar. 
Perang Kopi sendiri bukan berkaitan karakter sosial produksi atau berhubungan dengan sejarah petani, melainkan persaingan dagang dan jalur perdagangan antara Kerajaan Sidenreng-Maiwa-Enrekang di satu sisi, dan Kerajaan Luwu dan terakhir kedatangan pasukan Kerajaan Bone di Toraja, di sisi lain. Kebijakan cultuurstelsel (tanam-paksa) negara kolonial abad 19, sebagai langkah menyelesaikan krisis ekonomi di negara-induk kolonial, jika dilihat dari catatan sejarah penaklukan, tidak berada di tempat ini. Namun, dalam waktu yang bersamaan, komoditas kopi di daerah ketinggian ini telah terintegrasi dengan pasar internasional. Perang kopi kemudian berakhir, ketika Raja Enrekang menghentikannya dan mengatur tata niaga kopi yang baru di Enrekang dan Toraja pada 1890. Namun, aroma bisnis komoditas kopi memang tidak berakhir.
Seiring dengan waktu, menjelang pergantian abad, ketika korporasi-korporasi lintas-negara (trans-nasional) menguasai benih dari yang sebagian besar berasal negara-negara Selatan, teknologi pertanian kimia dan rekayasa genetika, pengolahan dan hingga jalur distribusi, termasuk pasar ritel menuju rumah konsumen, mereka mempengaruhi persidangan organisasi perdagangan dunia (WTO). Ini merupakan pertarungan yang tidak seimbang antara negara-negara Utara, tempat markas besar korporasi raksasa, dengan negara-negara berkembang, tempat sumberdaya genetik (keanekaragaman hayati) terbesar, para petani-petani kecil dan masyarakat adat bermukim, serta pengetahuan tradisional berkembang. Pada akhirnya adalah: TRIPs (Trade Related aspect of Intellectual Property Right's), yang merupakan rejim pengaturan hak kekayaan intelektual (HaKI) memiliki cakupan yang luas dan ketat, meliputi paten, merek dagang, rahasia dagang, indikasi geografis, desain industri, sirkuit elektronik terpadu. Perjanjian ini membuat penyeragaman, negara peserta WTO mesti melakukan harmonisasi sistem hukum di negaranya. Namun, ini bukan pengaturan hukum-ekonomi yang kelihatan biasa-biasa saja, hanya berkisar soal penghargaan atas penemuan sebagai abstraksi kekayaan intelektual, selain mengeliminasi persaingan tidak sehat (monopoli). Lihat, peristiwa (event) yang menyertai, dimana menggambarkan kerja-kerja menggurita korporasi raksasa itu: take-over, akuisisi, oligarki, dan pasar-bebas sebagai gembok.

Kecenderungan pada saat ini, di era desentralisasi, adalah melihat sistem sui generis dalam indikasi geografis. Berbeda dengan paten, soal status kepemilikan, dalam indikasi geografis, status kepemilikan adalah komunal. Selain, kaitannya dengan identitas tempat, kualitas produksi, mungkin juga budaya. Bagi konsumen, hal ini mungkin saja bermanfaat untuk melacak (traceability) informasi sebuah produk. Pemerintah tentu saja tertarik dengan sertifikat indikasi geografis dikaitkan dengan penanggulangan kemiskinan. Meski kemiskinan yang dibayangkan itu masih dapat diperdebatkan. Kenyataannya, para petani dan pengerajin itu berada di ruang tunggu bernama sektor informal. Sektor informal seringkali diasosiasikan sebagai kondisi kerja yang tidak layak, tanpa jaminan kesehatan, sosial, hari tua, dan sistem pengupahan kerap tidak berjalan sesuai norma. Bahkan, tanpa asuransi bagi para petani yang gagal panen. Apabila dilihat dalam peta, indikasi geografis yang terdaftar di Indonesia termasuk anggur Perancis (champagne) dan keju Italia (Parmigiano Reggiano). 
Rasanya, sistem perdagangan bebas dengan rejim HaKI tetap memperoleh resistensi. Seperti mengutip filsuf Ivan Illich, protes yang diajukan para petani dan masyarakat adat terhadap perdagangan bebas bahwa: korporasi telah melakukan serangan total dengan merebut pengetahuan mereka, merampas visi dan cara mereka membangun makna, hidup bersama, dengan tujuan mengubah mereka  menjadi individu yang terisolasi, tanpa ikatan sosial, tidak memiliki akar kebudayaan, tidak ada alternatif lain selain menjadi buruh yang tunduk, murah, dan sekali dipakai. Rejim HaKI boleh jadi mengerosi keragaman hayati, bahkan kebudayaan. Saya sendiri meyakini cara kerja kebudayaan yang mengukuhkan ikatan sosial atau kekerabatan. Sebagaimana saya senantiasa menyimpan kenangan budaya saat acara-acara keluarga istri saya atau perkawinan adik ipar, merasakan nikmatnya beras ketan mandoti dan dangke (fermentasi susu kerbau atau sapi yang diolah secara tradisional, mirip  tekstur tahu dan rasanya seperti keju) khas Enrekang. Sohib saya, Armin, yang menginisiasi praktik dan gerakan pertanian organik di Sallasae Bulukumba, dalam sebuah diskusi, meyakini pengetahuan tradisional pertanian organik jauh dari hubungan ekonomi uang, apalagi komodifikasi. Boleh jadi, inilah cara kerja kebudayaan.

Tamalanrea, 27 Oktober 2015

Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Ratu Belanda di Titik Pusat Indonesia

RATU Belanda nampak bersiap menguruk tanah di titik pusat Indonesia ( center point of Indonesia- CPI) , demikian tempat yang kerap kali disebut. Potretnya terpampang dalam poster berukuran besar di samping pintu masuk, lengkap dengan lampu sorot yang menyala setiap malam. Ratu Belanda, Queen of the Netherlands , adalah nama kapal keruk, yang dimiliki Royal Boskalis Westminister, sebuah maskapai yang berasal dari Negeri Belanda. Mereka memenangkan kontrak dari salah satu tentakel kelompok bisnis properti Ciputra, dengan nilai yang diperkirakan menghampiri 90 juta dollar Singapura, untuk mengerjakan proyek reklamasi di lepas pantai Kota Makassar. Kapal Queen of the Netherlands sendiri dikenal sebagai kapal keruk terbesar di dunia, yang mengerjakan operasi pengerukan mulai dari pembangunan pelabuhan di Dubai, Busan, Singapura, hingga reklamasi di Maladewa. Pada 2008, Herald Sun memberitakan kapal keruk ini menuai protes dengan masalah lingkungan yang hendak dikeruk, ketika bersandar di ...

Negeri Kopra, Galela Utara

SERIBU ton kopra yang kita kirim ke istana mengapa tak punya harga. Sebait sajak yang ditulis Dino Umahuk, seorang penyair kelahiran Maluku, berjudul "Tentang Tanah yang Tak Berpusat di Jawa". Bait sajak yang memikat hati, saya temukan ketika mencari tahu perkara kopra di Halmahera. Sepulang saya dari Galela Utara, tempat para petani kelapa (Cocos nucifera) itu menjalani hidup. Hampir sepekan saya tinggal Desa Salimuli, di rumah sebuah keluarga yang mengandalkan sumber penghidupan dari kopra. Saya pikir, ini bukan soal keelokan nusantara, seperti dilukiskan dalam lagu Rayuan Pulau Kelapa. Tapi, harga kopra saat ini sedang terjun bebas.  Tuan rumah mengatakan pada saya,"satu kuintal kopra dulu itu 900 ribu, sekarang turun sampai 400 ribu". Ia mengisap rokok kreteknya dalam-dalam, seperti menahan amarah. "Di sini, satu karung beras, harganya 300 ribu," lanjutnya untuk menyakinkan saya, turunnya harga kopra turut menghajar habis penghidupan mereka. Kopra ...

Narmada dan Bili-bili

DESA Narmada, di India dan Bili-bili, di Indonesia, dua tempat berjauhan dengan satu kisah yang sama: soal pengorbanan dan proyek bendungan. Arundhati Roy, perempuan pemikir kelahiran India dan seorang sarjana arsitektur, dalam ”The Cost of Living”, menggambarkan dua perkara tersebut dapat dipersinggungkan, dirajut, dan dipertalikan: mistisfikasi nasionalisme dan eskalasi bantuan dari Lembaga Keuangan Internasional. Di Indonesia, “The Cost of Living” sudah dialih-bahasakan dan diedarkan sekitar dua tahun lalu, dalam bentuk novel non-fiksi (berisi fakta dan perasaan Arundhati Roy).

Badai dalam Perjumpaan Budaya

PIDATO Sri Mulyani di sebuah kampus, sehari sebelum dilantik kembali menjadi Menteri Keuangan, mengusik perhatian saya. Mantan pejabat teras Bank Dunia ini membicarakan badai yang sempurna. Sebuah badai yang sedang melumpuhkan negara-negara yang semula menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia. Di sisi lain, kita mendiami sebuah dunia yang paradoks. Dunia yang kini banjir informasi, akan tetapi cenderung tidak membuka pikiran dan wawasan kita, bahkan memudahkan kita memuntahkan prasangka, menghilangkan sisi lain yang berseberangan dengan kita. Sri Mulyani juga membicarakan ketimpangan di luar kendali korban. Kesenjangan, baginya, bukan sekedar ketimpangan pendapatan, melainkan ketimpangan peluang. Apa yang menarik perhatian saya. Dia mempercakapkan ketimpangan itu, berada di tempat dimana kita lahir dan orang tua kita. Tentu saja, yang dimaksud bukan karena kita lahir di tempat yang salah, atau bukan pula karena salah bunda mengandung kita. Baiklah, kita membuka kembali peta negeri i...