Skip to main content

Belabori, Eksklusi Sosial, Emansipasi Politik

KEMBALI ke Belabori. Bukan sekedar untuk sebuah diskusi, tapi menjaga percakapan agar tidak putus. Belabori, nama sebuah kampung (desa), yang kita bisa tandai dengan membuat segitiga perbatasan: Gowa, Maros, dan Makassar. Sebuah kampung yang tak jauh jaraknya dari waduk Bili-bili, sebuah padang golf, dan ratusan hektar lahan yang dipersiapkan untuk sebuah kawasan industri. Saya mendapat pembelajaran berharga dari para perempuan di kampung ini, soal-soal yang seringkali luput dari perhatian seperti pengalaman intuitif melintasi demarkarsi jender, atau "politik yang baik" yang kerap bersembunyi di bawah alam kesadaran dan harapan. Namun, menjaga aksioma: rakyat itu bisa berpikir, bukan perkara yang mudah.
Beberapa pekan lalu, saya ke kampung ini. Saya melewati jalanan rabat beton Moncongloe, Maros. Sebuah jalur ramai truk pengangkut tanah timbunan, dan juga jalanan menuju ke arah dua markas tentara. Hampir ujung batas Maros-Gowa, ada pengerjaan rabat beton sekitar 100 meter, membuat saya harus berbelok ke arah jalan lain, yang tidak pernah saya kenali sebelumnya. Saya sempat melewati sebuah makam tua, yang kata orang setempat, tempat para tahanan politik (Tapol) dikubur. Toh, pada akhirnya, sampai juga di Belabori, Parangloe, menjelang tengah hari. Sebuah kampung dengan jalan sempit, aspal terkelupas, dan penuh tanjakan. Kita memang belum sampai di ujung kemarau. Tapi sungai kampung ini sudah lama mengering. Rumput kering meranggas menjadi santapan puluhan sapi di sela-sela pohon Mahoni (swietenia mahagoni). Pohon-pohon berbatang lurus silindris Mahoni itu sering kita jumpai di sisi kanan-kiri jalan. Balai benih di bawah kementerian kehutanan, beberapa tahun silam menempatkan demonstration-plotting (demplot) Mahoni di desa ini, sekitar 2,5 hektar.
Desa yang dihuni sekitar 419 kepala keluarga, demikian data BPS yang ter-update di sebuah situs kementerian kesehatan. Di desa ini juga menjadi tempat bermukim bagi puluhan keluarga dari dua desa di Tinggimoncong sejak 2004. Mereka dipindahkan pemerintah dari desanya karena terjadi bencana longsor Gunung Bawakaraeng pada 2003. Pemukiman baru, dengan infrastruktur terbatas seperti air bersih dan sanitasi, bisa jadi membuat mereka terhambat untuk melanjutkan hidup yang layak. Sebuah jurnal kesehatan masyarakat yang terbit pada 2010, memuat hasil penelitian kejadian penyakit diare di pemukiman mereka. Para penelitinya juga menghubungkan dengan perilaku kurang higienis dan ketidakcukupan pengetahuan, serta insiden kemiskinan. Pemenuhan hak-hak dasar memang masih menjadi percakapan sampai hari ini di Belabori. Kita tahu, pemenuhan adalah jaminan tidak terjadinya penyangkalan atas hak-hak warga. Baru dua tahun lalu, aliran listrik desa, melalui biaya yang bersumber dari APBN tahun 2013, masuk di kampung ini.
Dalam sebuah percakapan, saya mendengar cerita bayi-bayi yang lahir di atas mobil pick-up, lantaran Puskesmas yang dijadikan rujukan terlampau jauh dari jangkauan. Saya pikir bukan pula soal keterkucilan belaka. Apakah lingkungan sosial, ekonomi, politik di kampung ini cukup bersahabat, tidak melakukan penyingkiran (eksklusi). Misalnya, apakah perempuan dapat menghadirkan kebutuhannya yang berbeda? Apakah lingkungan dapat membuat perempuan percaya diri mempraktikan dan menegoisasikan pengambilan keputusan kolektif atau terlibat dalam politik (relasi kuasa). Saya sendiri berusaha untuk menghayati setiap periode percakapan dalam ruang dan waktu yang berbeda. Mula-mula, mereka mempercakapkan kebutuhan (layanan) dasar bersama dengan warga di setiap dusun. Awalnya, saya agak ragu. Retaknya hubungan sosial atau kekerabatan dan ruang yang terisolasi adalah tanda-tanda eksklusi sosial. Selain, melawan eksklusi sosial, tanpa dukungan proyek bantuan, merupakan tantangan tersendiri.
Setiap pertemuan, setiap percakapan dalam "ruang" yang berbeda, yang terjadi, termasuk kerelaan meluangkan waktu untuk bertemu, bercerita dalam bahasa yang sama, tidak samar dalam memanifeskan "mimpi" atau harapan mereka, bagi saya, menggambarkan jaringan sosial masih bekerja. Ini bukan aset (modal) yang biasa-biasa saja, melainkan modal yang dapat memperluas kesempatan (kapabilitas) guna melumerkan berbagai hambatan pada setiap tingkat. Dalam sejumlah pertemuan, mereka membaca hasil percakapan, diisyaratkan adanya tanda-tanda perbedaan atau "ketidaksetaraan", padahal mereka satu ruang, satu kampung. Air bersih misalnya, dalam sebuah percakapan. Mengapa ada orang yang memiliki air sampai tumpah-tumpah, sementara yang lain sumurnya kering. Perbedaan yang mungkin jarang dipercakapkan. Ketika sebuah proyek sarana air bersih dikucurkan dari APBD Provinsi tahun 2015, mestinya setiap orang tahu: dimana, kapan, siapa saja yang mendapatkan manfaat, apakah ini bagian pemenuhan aspirasi mereka. Saya melihat tanda-tanda asimetri, ini terjadi dimana-mana, setiap orang hanya memiliki potongan-potongan kecil informasi, tidak utuh, serba samar. Keputusan atas kesejahteraan sosial butuh basis informasi yang memadai, bukan berdasar preferensi individual. UU Desa dapat menjadi moment atau event untuk mengejawantahkan kesetaraan, atau memantik lingkungan sosial, ekonomi, dan politik mengatasi deprivasi.

Belabori, 14 Oktober 2015 



kredit foto: LP2EM, Parepare



Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Ratu Belanda di Titik Pusat Indonesia

RATU Belanda nampak bersiap menguruk tanah di titik pusat Indonesia ( center point of Indonesia- CPI) , demikian tempat yang kerap kali disebut. Potretnya terpampang dalam poster berukuran besar di samping pintu masuk, lengkap dengan lampu sorot yang menyala setiap malam. Ratu Belanda, Queen of the Netherlands , adalah nama kapal keruk, yang dimiliki Royal Boskalis Westminister, sebuah maskapai yang berasal dari Negeri Belanda. Mereka memenangkan kontrak dari salah satu tentakel kelompok bisnis properti Ciputra, dengan nilai yang diperkirakan menghampiri 90 juta dollar Singapura, untuk mengerjakan proyek reklamasi di lepas pantai Kota Makassar. Kapal Queen of the Netherlands sendiri dikenal sebagai kapal keruk terbesar di dunia, yang mengerjakan operasi pengerukan mulai dari pembangunan pelabuhan di Dubai, Busan, Singapura, hingga reklamasi di Maladewa. Pada 2008, Herald Sun memberitakan kapal keruk ini menuai protes dengan masalah lingkungan yang hendak dikeruk, ketika bersandar di ...

Negeri Kopra, Galela Utara

SERIBU ton kopra yang kita kirim ke istana mengapa tak punya harga. Sebait sajak yang ditulis Dino Umahuk, seorang penyair kelahiran Maluku, berjudul "Tentang Tanah yang Tak Berpusat di Jawa". Bait sajak yang memikat hati, saya temukan ketika mencari tahu perkara kopra di Halmahera. Sepulang saya dari Galela Utara, tempat para petani kelapa (Cocos nucifera) itu menjalani hidup. Hampir sepekan saya tinggal Desa Salimuli, di rumah sebuah keluarga yang mengandalkan sumber penghidupan dari kopra. Saya pikir, ini bukan soal keelokan nusantara, seperti dilukiskan dalam lagu Rayuan Pulau Kelapa. Tapi, harga kopra saat ini sedang terjun bebas.  Tuan rumah mengatakan pada saya,"satu kuintal kopra dulu itu 900 ribu, sekarang turun sampai 400 ribu". Ia mengisap rokok kreteknya dalam-dalam, seperti menahan amarah. "Di sini, satu karung beras, harganya 300 ribu," lanjutnya untuk menyakinkan saya, turunnya harga kopra turut menghajar habis penghidupan mereka. Kopra ...

Narmada dan Bili-bili

DESA Narmada, di India dan Bili-bili, di Indonesia, dua tempat berjauhan dengan satu kisah yang sama: soal pengorbanan dan proyek bendungan. Arundhati Roy, perempuan pemikir kelahiran India dan seorang sarjana arsitektur, dalam ”The Cost of Living”, menggambarkan dua perkara tersebut dapat dipersinggungkan, dirajut, dan dipertalikan: mistisfikasi nasionalisme dan eskalasi bantuan dari Lembaga Keuangan Internasional. Di Indonesia, “The Cost of Living” sudah dialih-bahasakan dan diedarkan sekitar dua tahun lalu, dalam bentuk novel non-fiksi (berisi fakta dan perasaan Arundhati Roy).

Badai dalam Perjumpaan Budaya

PIDATO Sri Mulyani di sebuah kampus, sehari sebelum dilantik kembali menjadi Menteri Keuangan, mengusik perhatian saya. Mantan pejabat teras Bank Dunia ini membicarakan badai yang sempurna. Sebuah badai yang sedang melumpuhkan negara-negara yang semula menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia. Di sisi lain, kita mendiami sebuah dunia yang paradoks. Dunia yang kini banjir informasi, akan tetapi cenderung tidak membuka pikiran dan wawasan kita, bahkan memudahkan kita memuntahkan prasangka, menghilangkan sisi lain yang berseberangan dengan kita. Sri Mulyani juga membicarakan ketimpangan di luar kendali korban. Kesenjangan, baginya, bukan sekedar ketimpangan pendapatan, melainkan ketimpangan peluang. Apa yang menarik perhatian saya. Dia mempercakapkan ketimpangan itu, berada di tempat dimana kita lahir dan orang tua kita. Tentu saja, yang dimaksud bukan karena kita lahir di tempat yang salah, atau bukan pula karena salah bunda mengandung kita. Baiklah, kita membuka kembali peta negeri i...