Skip to main content

Ruang Kota, Leisure

Denyut di jantung kota/Pusat  gelisah dan tawa/Dalam selimut debu dan kabut/Hitam kelam warnanya//Sejuta janji kota/Menggoda wajah-wajah resah … Semua berkejaran dalam bising/Mengapa sejuta wajah engkau libatkan/Dalam himpitan kegelisahan/Adakah hari esok, makmur sentosa/Bagi wajah-wajah yang menghiba//(Balada Sejuta Wajah, God Bless)

GOD Bless, sebuah group band rock legendaris di negeri ini. Didirikan tahun 1973, dihitung sejak pementasan pertama kali mereka di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Dahsyatnya group band ini mampu bertahan hingga 40 tahun lebih.[1] Tumbuh dari panggung pementasan, sebelum masuk dapur rekaman. Mereka menjadi band pendamping konser group rock dunia Deep Purple di Senayan pada 1975. God Bless dianggap dapat menjadi patron (role model) bagi anak muda sebagai penikmat musik, sekaligus yang menaruh minat membuat band rock. Balada Sejuta Wajah merupakan salah satu lagu dalam album bertajuk “Cermin”, yang merupakan judul lagu pembuka. Sebuah album yang dikerjakan pada 1979, dipromosikan pada hari lebaran tahun 1980 di Balai Sidang Senayan.[2] Mereka dianggap cukup idealis, melawan selera pasar musik populer yang mendayu-dayu ketika itu. Album ini memang gagal di pasar, akan tetapi dicari para kolektor di kemudian hari. Album dengan genre rock progresif tersebut terasa rumit, janggal, ganjil di telinga pasar pada saat itu. Bagi komentator musik, album “Cermin” dianggap sebagai pencapaian terbaik, magnum opus, baik secara musikal maupun lirik dengan permainan diksi yang penuh warna.
Saya sendiri penikmat musik God Bless. Sebagian besar lagu God Bless mungkin saja mengandung kemarahan, kritik atas situasi sosial. Namun saya lebih melihatnya,  mereka memiliki visi kuat mengenai: urban, manusia kota, keterasingan di dunia nyata. Saya memang tidak sedang mengulas God Bless. Saya tiba-tiba saja teringat dengan God Bless, seusai percakapan dengan seorang kawan perempuan, penggiat literasi, di sebuah ruang yang dingin di fakultas ilmu budaya sebuah kampus di Makassar. Kami mempercakapkan proyek reklamasi di Makassar. Kami melakukan pembacaan atas praktik-praktik ruang kota. Lepas dari persoalan rejim regulasi, proyek itu memiliki relasi kuasa dengan narasi “ruang publik”. Jika ruang kota representasi ruang-hidup, maka bagaimana ruang itu diproduksi. Apakah perjumpaan mengenai kesenjangan dan keterasingan dinegosiasikan. Ataukah, ruang kota tak lebih sebagai situs atas sejarah okupasi, pembingkaian atau bahkan penghapusan memori kolektif.
Bagaimana melacak praktik ruang. Desain adalah salah satu jalan. Kita dapat membaca, bagaimana konsep sebuah desain ruang di dalam proyek reklamasi. Tarikan garis dalam desain menjelaskan hubungan antara ruang produksi dan ruang konsumsi. Di atas kertas itu, kita bisa menduga, atau bahkan memastikan, di sana tidak akan dibangun perumahan bersubsidi untuk rakyat. Kita bisa membayangkan kehadiran perumahan mewah, apartemen, hotel, sampai dengan pembangunan mall. Apalagi kemudian dihubungkan dengan kawasan perumahan mewah Tanjung Bunga. Desain juga merepresentasikan sejauh apa nilai dan akumulasi modal itu bergerak. Sekaligus, dalam kasus ini, menjelaskan narasi tunggal dari arsitek, urban-planner, pemerintah, dan pemilik modal. 
Tentu saja akan berbeda, dengan rancangan ruang di sebuah lorong di Pulau Lae Lae, yang jaraknya tak jauh dari proyek reklamasi. Saya memotret sebuah persimpangan lorong usai perayaan kemerdekaan negeri ini. Boleh jadi yang agak berbeda, cara mereka menuangkan imajinasi merancang ruang. Pilihan warna, cat murah, botol-botol bekas, gelas plastik bekas bergelantungan di langit, bekas sedotan minuman lengket di dinding, kursi plastik warna-warni, tangki air bersih berwarna jingga, mesin pompa air yang mulai berkarat, tempat sampah, kertas minyak warna merah dan putih, pohon yang rimbun, tiang lampu jalan, dapat menjadi penanda. Narasi yang majemuk. Ruang perjumpaan yang ramai. Untuk menyatakan, kampung milik kita.
Kembali ke desain ruang dalam proyek reklamasi. Ketika bayangan mengenai perumahan mewah hingga mall menjadi nyata. Bagaimana pemenuhan kebutuhan air bersih di tempat itu. Apakah di sisi yang lain di kota ini, air bersih sudah tercukupi. Jika standar pemakaian air bersih kota metropolitan seperti Makassar dengan jumlah penduduk menghampiri satu juta, dihitung sebesar 190 liter/orang/hari. Saya pun masih mendapatkan cerita, di sekitar sebuah kampus besar di Tamalanrea, para mahasiswa rela mandi air payau, menyebabkan sabun mandi yang mereka pakai tidak mengeluarkan busa. "Kalau gosok gigi, mulut rasanya bengkak-bengkak," cerita seorang kawan. Atau, cerita ibu-ibu rumah tangga di perumahan Mangga Tiga, Pacerakkang, yang bertahun-tahun meratapi air leding tidak berfungsi. Rasanya, kota-kota besar di Indonesia memang mengalami masalah sama: bagaimana mereka bisa mendapatkan air baku. Jakarta, misalnya, memikirkan berbagai alternatif mendapatkan air baku di luar teritorial mereka. Untuk soal ini, mungkin saja kita tidak bisa memuaskan setiap orang, akan tetapi kita harus berpikir jernih dan bersikap adil. Hak atas air adalah perkara keadilan, pemenuhan rasa keadilan. Rasanya, sulit kita nalar, jika memberikan hak khusus atau istimewa terhadap kawasan tertentu, menyangkut air bersih.
Dus, praktik-praktik ruang, bukan sesuatu yang netral, melainkan merujuk relasi kuasa. Bukan sekedar berkaitan dengan hubungan produksi, mentalitas, akan tetapi juga representasi pemaknaan. Para manusia-kota kerap kali dilekatkan dengan kata: leisure, waktu luang. Jika pengendali ruang kota adalah pemilik modal, bagaimana ruang mengkonstruk pemaknaan leisure, yang kemudian mengendap dalam kepala kita. Sudah barang tentu, kalkulasi soal akumulasi atau konsentrasi modal dengan mudah melekat dalam makna itu. Bagaimana jika sebagian warga sudah terbiasa meluangkan waktu dan gumpalan pengalaman di mall. Bagaimana respon mereka dalam proyek reklamasi. Ataukah, jangan-jangan ruang kota juga membentuk kita menjadi schizopherenic.

Pacerakkang, 24 Agustus 2016

Catatan
[1] Sejarah God Bless dapat dibaca dalam tulisan Denny Sakrie, seorang komentator musik dan kontributor Majalah Rolling Stone
(https://dennysakrie63.wordpress.com/2013/05/10/god-bless-god-bless/)
[2] Ulasan dibalik pembuatan album Cermin dapat dibaca dalam tulisan Elvin Hendratha di Kompasiana
(http://www.kompasiana.com/elvinhendrata/catatan-tentang-album-cermin-god-bless_55edaf41a623bd760ebf5325)



Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Negeri Kopra, Galela Utara

SERIBU ton kopra yang kita kirim ke istana mengapa tak punya harga. Sebait sajak yang ditulis Dino Umahuk, seorang penyair kelahiran Maluku, berjudul "Tentang Tanah yang Tak Berpusat di Jawa". Bait sajak yang memikat hati, saya temukan ketika mencari tahu perkara kopra di Halmahera. Sepulang saya dari Galela Utara, tempat para petani kelapa (Cocos nucifera) itu menjalani hidup. Hampir sepekan saya tinggal Desa Salimuli, di rumah sebuah keluarga yang mengandalkan sumber penghidupan dari kopra. Saya pikir, ini bukan soal keelokan nusantara, seperti dilukiskan dalam lagu Rayuan Pulau Kelapa. Tapi, harga kopra saat ini sedang terjun bebas.  Tuan rumah mengatakan pada saya,"satu kuintal kopra dulu itu 900 ribu, sekarang turun sampai 400 ribu". Ia mengisap rokok kreteknya dalam-dalam, seperti menahan amarah. "Di sini, satu karung beras, harganya 300 ribu," lanjutnya untuk menyakinkan saya, turunnya harga kopra turut menghajar habis penghidupan mereka. Kopra ...

Narmada dan Bili-bili

DESA Narmada, di India dan Bili-bili, di Indonesia, dua tempat berjauhan dengan satu kisah yang sama: soal pengorbanan dan proyek bendungan. Arundhati Roy, perempuan pemikir kelahiran India dan seorang sarjana arsitektur, dalam ”The Cost of Living”, menggambarkan dua perkara tersebut dapat dipersinggungkan, dirajut, dan dipertalikan: mistisfikasi nasionalisme dan eskalasi bantuan dari Lembaga Keuangan Internasional. Di Indonesia, “The Cost of Living” sudah dialih-bahasakan dan diedarkan sekitar dua tahun lalu, dalam bentuk novel non-fiksi (berisi fakta dan perasaan Arundhati Roy).

Ratu Belanda di Titik Pusat Indonesia

RATU Belanda nampak bersiap menguruk tanah di titik pusat Indonesia ( center point of Indonesia- CPI) , demikian tempat yang kerap kali disebut. Potretnya terpampang dalam poster berukuran besar di samping pintu masuk, lengkap dengan lampu sorot yang menyala setiap malam. Ratu Belanda, Queen of the Netherlands , adalah nama kapal keruk, yang dimiliki Royal Boskalis Westminister, sebuah maskapai yang berasal dari Negeri Belanda. Mereka memenangkan kontrak dari salah satu tentakel kelompok bisnis properti Ciputra, dengan nilai yang diperkirakan menghampiri 90 juta dollar Singapura, untuk mengerjakan proyek reklamasi di lepas pantai Kota Makassar. Kapal Queen of the Netherlands sendiri dikenal sebagai kapal keruk terbesar di dunia, yang mengerjakan operasi pengerukan mulai dari pembangunan pelabuhan di Dubai, Busan, Singapura, hingga reklamasi di Maladewa. Pada 2008, Herald Sun memberitakan kapal keruk ini menuai protes dengan masalah lingkungan yang hendak dikeruk, ketika bersandar di ...

Badai dalam Perjumpaan Budaya

PIDATO Sri Mulyani di sebuah kampus, sehari sebelum dilantik kembali menjadi Menteri Keuangan, mengusik perhatian saya. Mantan pejabat teras Bank Dunia ini membicarakan badai yang sempurna. Sebuah badai yang sedang melumpuhkan negara-negara yang semula menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia. Di sisi lain, kita mendiami sebuah dunia yang paradoks. Dunia yang kini banjir informasi, akan tetapi cenderung tidak membuka pikiran dan wawasan kita, bahkan memudahkan kita memuntahkan prasangka, menghilangkan sisi lain yang berseberangan dengan kita. Sri Mulyani juga membicarakan ketimpangan di luar kendali korban. Kesenjangan, baginya, bukan sekedar ketimpangan pendapatan, melainkan ketimpangan peluang. Apa yang menarik perhatian saya. Dia mempercakapkan ketimpangan itu, berada di tempat dimana kita lahir dan orang tua kita. Tentu saja, yang dimaksud bukan karena kita lahir di tempat yang salah, atau bukan pula karena salah bunda mengandung kita. Baiklah, kita membuka kembali peta negeri i...