FOTO tua mungkin bukan untuk menghadirkan kembali kenangan lama. Bagi
para penganut teori lingkaran sejarah, boleh jadi menaifkan nilai dari sebuah
kenangan. Mereka memuji kata-kata klise: “tak ada hal yang baru di dunia”. Sejarah
hanyalah sebuah siklus, yang mengikuti pola yang berulang-ulang. Namun bagi
saya, foto tua dapat mengajukan tafsiran. Kita dapat mengajukan tafsiran baru,
rekonstruksi mengenai suatu zaman. Tidak sekedar untuk mengingat, agar tidak lupa. Setumpuk foto-foto tua saya temukan dalam sebuah kardus berdebu di sudut
kantor. Salah satu kardus kiriman dari kantor lama kami di Jalan Sunu,
Makassar.
Foto-foto tua yang tersimpan rapi itu, mengganggu perhatian saya.
Bahkan, saya meminta jeda untuk sebuah diskusi, nasib perlindungan konsumen di
era digital. Kami sedang mengamati secara serius, hiruk-pikuk para migran dan
pribumi digital. Foto-foto tua itu merepresentasikan apa yang sudah dikerjakan
pada dekade 1990-an. Saya jadi teringat dengan ungkapan saat itu: dari
pelayanan menuju advokasi. Atau, kitab kuning konsumen, maksudnya sampul buku berwarna kuning: menggeser neraca
kekuatan, yang menjadi panduan pendidikan konsumen. Foto-foto tua tidak sekedar sebuah arsip, saya pikir. Organisasi ini bekerja ketika pasar mulai agresif, sementara perlindungan konsumen di negeri ini, hanya bersifat "state voluntary". Apa yang dilakukan kawan-kawan, kerap kali melampaui zamannya.
Seingat saya, ketika itu, setiap kali pendidikan konsumen, kami menggunakan alat untuk menilai, mendeteksi tensi propaganda korporat, naik atau turun. Selain, studi framing atau analisis teks dalam pendidikan itu. Kita tidak perlu lagi menjadi terkejut, ketika korporat meminjam sosiologi perubahan sosial guna memperkuat para agen-perubahan mempengaruhi pasar. Atau, mereka yang menggunakan rezim regulasi di balik agenda tersembunyi. Saat ini, kita tiba satu masa, dimana perlindungan konsumen di negeri ini, menjadi "state-obligation". Perlindungan konsumen menjadi mandat, kewajiban bagi negara.
Manggala, 29 Agustus 2016