Skip to main content

Cerita dari Tual

PESAWAT yang membawa saya dari Makassar itu tiba-tiba terguncang keras. Tak lama setelah terperangkap dalam awan kelabu. Lantas, terasa meluncur turun dengan cepat sekali dari ketinggian. Hingga akhirnya menyentuh ujung landasan, menghempas genangan air hujan. Musim timur di Ambon rupanya mengirim hujan deras sejak pagi-pagi buta. Saya singgah transit beberapa jam di Bandara Pattimura. Siang hari baru menuju Ibra-Langgur, Maluku Tenggara. Lebih dari sepuluh tahun lalu, saya hanya transit sejenak di pangkalan angkatan udara Dumatubun, Langgur, dalam sebuah perjalanan ke Saumlaki, Tanimbar dari Ambon.
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/0/02/Topographic_map_of_the_Kai_Islands-en.svg
Hujan ternyata belum juga reda, ketika mesin baling-baling (turboprop) pesawat ATR itu menyala. Perjalanan ke Ibra-Langgur tidak sampai dua jam. Di atas Laut Banda, langit kembali cerah, meski sedikit berawan. Sebelum mendarat di Bandara Karel Sadsuitubun, dari balik jendela pesawat, nampak laut biru pirus melingkari gugusan nusa berpasir putih yang berserakan di Maluku Tenggara. Orang terlanjur menyebut tempat ini, Kepulauan Kai atau Kei. Sebutan yang berasal dari zaman kolonial Hindia Belanda. Orang Kai sendiri menyebut kepulauan mereka, Nuhu Evav atau Tanat Evav. Saya agak susah mengejanya secara benar, saya rasa seperti bahasa Rusia. Mungkin suatu hari kelak, saya belajar Bahasa Kai (Veveu Evav). Ya, rasanya seperti baru kemarin, letak kepulauan ini mulai dikenali banyak orang. Barangkali  lewat tulisan, juga foto dan video, soal Kai itu mulai bertebaran dan dikulik. Boleh jadi, sebagian kita mengenali negeri orang-orang Kai, lewat sebuah novel yang memikat hati: Kei. Bagaimana orang Kai menjaga peradabannya. Novel karya Erni Aladjai, lulusan sastra Perancis Universitas Hasanuddin ini, yang mendapat penghargaan literasi dari Dewan Kesenian Jakarta pada 2012. 
Hari masih terang saat tiba di bandara yang terletak di Desa Ibra. Ini adalah negeri pulau-pulau yang disekat Laut Banda dan Laut Arafura. Sebelum mengambil bagasi dan keluar melalui pintu kedatangan, dari pelataran pesawat (apron), kita bisa melihat jelas gambar perahu tradisional orang Kai: habo. Satu hal yang mengilustrasikan orang-orang Kai bukan sekedar pelaut tetapi juga memiliki kemampuan membuat perahu. Apa yang menarik dari perahu mereka? Bagi saya, adalah morfologi perahu yang melekatkan struktur tubuh manusia, seperti bagian lunas perahu diibaratkan tulang belakang manusia. Hal yang mengingatkan kita pada karakter Austronesia dalam budaya bahari. Para pembuat perahu ini juga membatinkan tema filosofis oposisi biner: perempuan dan laki-laki. Jenis perahu untuk mata pencaharian dipersonifikasikan sebagai perempuan. Begitu pula sebaliknya, jenis perahu yang digunakan untuk berperang. Perbedaan lainnya adalah, ukuran dan cara mengukur lunas berdasar bagian tubuh dengan melihat personifikasi perempuan dan laki-laki pada perahu. 
Dari Ibra, saya menyusur jalan raya di Langgur, ibukota Maluku Tenggara. Ini kali pertama saya menginjak Negeri (Tanat) Evav untuk beberapa hari. Saya lalu meluncur ke Kota Tual. Langgur dan Tual, dua kota di dua pulau yang berbeda. Langgur berada di Kai Kecil (Nuhu Roa), sedangkan Tual di Kei Dullah (Du). Keduanya dihubungkan sebuah jembatan. Jembatan besi yang melintas di atas Selat Rosenberg. Usdek, demikian nama jembatan itu. Bagi sebagian orang, nama ini akan mengingatkan mereka pada manifesto politik Bung Karno dalam pidatonya: Penemuan Kembali Revolusi Kita. Usdek adalah sebuah singkatan selepas Dekrit 1959, berkait sosialisme dan demokrasi terpimpin. Bung Karno memang pernah melawat ke Tual, tak lupa berpidato di lapangan Lodar El. Pada masa itu, semangat konfrontasi dengan Belanda soal Papua memang lagi menyala-nyala. Tanat Evav terletak di sebelah selatan jazirah "kepala burung" Papua. 
Tual, kota lama. Ruang yang membujur dari selatan hingga ke utara, mengikuti garis pantai Selat Rosenberg. Rumah-rumah kayu yang menjulur di tepi pantai. Jalanan sempit di antara pemukiman padat. Kendaraan yang ramai, seringkali membuat kita harus berhati-hati berjalan. Di daerah Pasar Tual, kita melihat undakan batu pejalan kaki mengikuti garis kontur. Di sejumlah lapak kita bisa temui kudapan atau panganan khas orang-orang Kai, seperti kacang merah dan enbal. 

Enbal, nama panganan berbahan dasar jenis singkong (Manihot utilisima) yang berasa pahit dan memiliki kadar hidrogen sianida (HCN) atau asam sianida yang tinggi, yang tumbuh subur di Tanat Evav. Singkong itu tentu saja diolah dulu sebelum dikonsumsi, mulai dari menghilangkan racun sianida hingga menjadi tepung putih, yang bertekstur kasar, dan tak berasa, lantas terakhir dicetak berbentuk seperti sagu lempeng atau kue wafel. Enbal tidak sekedar kudapan menemani kita minum kopi atau teh. Tapi, salah satu makanan pokok bagi orang-orang Kai, selain ubi jalar, talas dan keladi. Ya, makanan pokok yang disantap bersama lauk ikan kuah kuning, sayur sirsir sayuran berkuah santan yang terbuat dari daun singkong dan pepaya, juga lat atau lad, jenis rumput laut, orang Makassar menyebut lawi-lawi, yang dicampur dengan parutan kelapa berbumbu rempah. Saya masih terbayang nikmatnya, ketika menjadi makanan berbuka puasa di Desa Dullah, tempat saya tinggal beberapa hari.
Pasar, pelabuhan, dan terminal angkutan kota menjadi titik nadi persinggungan. Saya menikmati keramaian denyut ekonomi ini. Saya sengaja menginap semalam di sebuah penginapan milik orang Bugis Sengkang yang terselip di Pasar Tual. Sebuah pasar yang penuh dengan pedagang Bugis dan Buton. Dari catatan sejarah, Tanat Evav menjadi wilayah pelintasan kelompok-kelompok migran, bahkan kemudian mereka beramai-ramai menetap. Seperti gelombang migrasi penduduk Kepulauan Banda, menyusul peristiwa pembataian di Banda yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen, pada 1621. Selain, di tenggara dan selatan Maluku adalah jalur pelayaran dan perdagangan  tradisional bagi orang Bugis Makassar, Banda, Jawa, Arab dan Cina. Juga, menjadi jalur legendaris para pelaut Bugis Makassar membawa teripang (timun laut) dari utara Australia (mereka menyebut daerah ini: "Marege" dan "Kayu Jawa") ke Makassar, ketika memenuhi permintaan teripang para pedagang Cina pada abad 17 hingga tahun-tahun pertama abad 20. Kolonial Hindia Belanda nyaris mengabaikan kepulauan ini karena tidak menghasilkan rempah-rempah dan emas.  Meski sejarah rempah-rempah tak hadir di sini, akan tetapi negeri ini kaya raya akan ikan dan mutiara. Terutama, di Laut Arafura, yang memiliki sumberdaya perikanan terbesar di Indonesia. Kekayaan itu menjadi magnet bagi armada kapal ikan, sehingga datang ramai-ramai mengeruk ikan. Majalah Mingguan Tempo dalam sebuah laporan investigasinya menyebut, istilah yang beredar luas: "Raja Ampat", tentu tidak untuk merujuk sebuah nama kabupaten di Papua Barat. Ini julukan bagi empat penguasa Laut Arafura. Mereka memiliki pangkalan di Ambon, Tual, Benjina dan Wanam, Papua.
Sehari di Kota Tual, saya melanjutkan perjalanan ke arah utara. Sebelum sampai di pemukiman Desa Ngadi. Saya melewati sebuah jalan yang rindang. Sepi. Saya hanya sesekali saja berpapasan dengan kendaraan lain. Semak belukar liar meninggi di tepi jalan. Sebuah plang menjadi petunjuk yang memberitahu, bahwa kita sedang berada di kawasan indusri perikanan yang dikelola Maritim Timur Jaya, perusahaan yang bertalian dengan jaringan Artha Graha milik taipan Tomy Winata.  Sebuah industri perikanan terpadu mulai dari pabrik ikan beku (surimi), tepung ikan, pengalengan, hingga galangan kapal. Letaknya, hanya beberapa kilometer dari Pelabuhan Perikanan Nusantara Tual. 
Perusahaan ini memang sudah berhenti beroperasi. Tak lama, ketika Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti memuat moratorium izin usaha perikanan tangkap, melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 56 tahun 2014. Selain untuk verifikasi izin kapal tangkap. Ini akibat maraknya pencurian ikan di perairan Indonesia. Banyak kapal tangkap ikan berbendera Indonesia tapi bukan milik pengusaha Indonesia, bukanlah hal yang baru. Susi juga mencabut suat izin usaha perikanan (SIUP) lima perusahaan besar perikanan di Maluku dan Papua, termasuk Maritim Timur Jaya. Secara umum, berkait penangkapan ikan tidak sesuai ketentuan (illegal fishing) dan hasil tangkapan ikan tanpa laporan (unreported fishing). Saya agak tergoda untuk mencari tahu apa yang terjadi saat perusahaan itu belum ditutup. "Dulu tempat ini ramai sekali, ada ratusan orang yang kerja, hilir mudik di jalan ini. Yang jaga perusahaan pakai seragam tentara. Banyak kapal tangkap sandar. Nelayan di sini juga jual ikan ke perusahaan. Soalnya, mereka mau beli ikan apa saja," cerita seorang kawan yang menemani saya ke Desa Dullah.
Desa Ngadi. Pemukiman dan jalan yang teratur. Kita bisa bayangkan seperti sebuah papan catur. Lebar jalan desa selebar dua kendaraan beroda empat. Tembok pagar rumah dengan bentuk yang seragam dan sewarna. Saya melewati kuburan Kristen Katolik, tidak jauh dari situ berdiri sebuah masjid besar, di seberangnya ada sebuah bangunan gereja, tak lama kemudian saya melewati kuburan Islam di tepi pantai, sebelum batas Desa Dullah. Negeri ini kelihatan cukup terbuka dan toleran. Kawan saya bercerita soal hikayat yang diyakini orang Kai mengenai negeri asal leluhur mereka. "Orang Kai itu berasal dari Bali (Bal), ada pura di sini, orang Kai juga ada yang beragama Hindu," cerita kawan saya. Tuan rumah, tempat saya menginap beberapa hari di Desa Dullah menyebutkan asal nama "Dullah" itu berasal dari Kesultanan Jailolo dan Ternate (Dalo Ternat). Nampaknya, menjadi tanda bahwa Dalo Tenat adalah negeri asal leluhur orang-orang Kai. Meski, dalam cerita yang lainnya menyebutkan, leluhur mereka juga berasal dari Seram (Seran), Sumbawa (Sumbau), dan Buton (Vutun). Bukti Bali adalah negeri asal lelulur dinyatakan dengan adanya hukum adat, Larvul Ngabal (Darah Merah, Tombak Bali). Tradisi adat ini diyakini telah membentuk sistem sosial, juga stratifikasi, sebelum agama-agama besar hadir. Migrasi orang-orang Banda di Kepulauan Kai, yang sebelumnya bersentuhan dengan pedagang Jawa dan Arab di Banda Naira, menjadi bagian penting dalam penyebaran Islam di kalangan orang-orang Kai. Tentunya, jauh sebelum misi Katolik di Kepulauan Kai dimulai. Bermula ketika seorang partikelir Jerman, Adoft Langen, di Tual, pada 1887 mengirim surat ke Uskup di Batavia untuk mengirim misi Katolik. Namun, Islam di Tual sudah berakar kuat. Mereka kemudian memindahkan misinya ke Ohoingur, di pesisir Kai Kecil. Dari cerita yang ada, Ohoingur  kemudian disebut Langgur, yang berpangkal dari nama Langen.
Di Maluku, juga di Maluku Utara, sepanjang perjalanan saya, "lanskap" yang merepresentasi segregasi, selalu membuat saya merasa ringkih, serasa membuka kembali ingatan akan konflik. Saya membayangkan ketika konflik bersentimen agama itu telah membakar amarah orang di Tual pada 1999 dalam tempo tiga bulan. Mula-mula api itu dipantik di Ambon, lalu merembet ke Dobo, Aru, lantas menjalar sampai Tual. Api berkobar, suara ledakan, dan letupan kebencian tiba-tiba saja merangsek masuk dalam ruang-ruang kehidupan di Tual. Kalau boleh saya kutip percakapan dalam novel berjudul Kei: "... kita makan sepiring, tidur bersama tapi kerusuhan membuat kita berpisah" atau "... seperti Belanda menjadikan agama sebagai alat politik untuk menjajah Maluku di masa lalu". Namun, yang menarik perhatian bagi saya, bagaimana orang-orang Kai menemukan kembali kebudayaannya. Dan, menyakini bahwa kebudayaan mereka dapat memutuskan spiral kekerasan dan memulihkan luka luka akibat konflik. 
Kita tahu, rezim Orde Baru telah memutilasi makna kebudayaan lokal. Bahkan, menyederhanakan kebudayaan itu hanya bermakna sekedar tari-tarian dan bangunan arsitektur. Kita juga tahu bagaimana struktur teritorial dalam landskap politik telah mengisolasi atau menggerus wilayah dan kepemimpinan dalam kebudayaan lokal. Boleh jadi, dalam menemukan kembali kebudayaan itu,  bukan hal yang mudah bagi orang-orang Kai. Bagaimana hukum adat mereka bersinggungan atau beririsan dengan dialektika gerak kapital dan politik di sisi yang lain. Atau, bagaimana strategi kebudayaan mereka merespon usaha ekstratif di wilayah petuanan adat. Saya tertegun melihat penambangan pasir pantai, sesampai di Tanjung Sorbat, Desa Tamedan.  Sebuah tanjung berpasir putih,  lembut seperti tepung terigu, dengan pepohonan cemara laut yang rindang, di ujung utara Pulau Dullah (Kei Dullah).

Kepulauan Kai, pulau-pulau karang yang disekat Laut Banda dan Laut Arafura. Tempat terumbu karang bersebaran. Tempat kita bisa tangkap ikan, kala laut surut, meti kata orang Kai, dimana ikan terlihat terjebak di antara batu karang. Setahun sekali, terjadi Meti Kei, laut surut yang besar, sehingga terumbu karang bermunculan, ikan-ikan besar yang terjebak di permukaan, sehingga mudah kita tangkap. Di Pulau Baer, di sela-sela tebing batu karst, saya menikmati laguna, anggrek, dan burung-burung putih berparuh panjang, bersayap panjang dengan bercak di leher berwarna toska. Saya berharap berumur panjang, bisa kembali berjalan ke satu tempat di Kepulauan Kai yang belum saya kunjungi. Di Ohoidertawun, di tempat lukisan cadas (rock art) itu. Lukisan di dinding tebing karang di pantai Ohoidertawun, tempat meti terpanjang di Kei Kecil. Kata orang, seperti lukisan telapak tangan di Maros. Boleh jadi, semacam puzzle dari lukisan cadas yang membentang dari Pulau Kisar, Kei, Aru, hingga Papua dan utara Australia. Mungkin, puzzle kebudayaan di jalur selatan Nusantara. Ingin rasanya melihatnya.

Paccerakkang, 11 Juli 2018

Popular posts from this blog

Long Loreh, Batubara

HAMPIR tengah malam, telepon genggam saya bergetar. Di seberang sana, terdengar suara isteri saya bertanya, "lagi dimana ini". "Malinau," kata saya pendek. "Apa ada dalam peta," tanyanya lagi. Saya tak menjawab. Saya lalu hentikan percakapan. Melalui whatsapp, saya kirim peta Malinau padanya. Ia membalas dengan emoji senyum. Malinau berada di jantung Borneo. Sebuah kabupaten di Kalimantan Utara, berbatasan dengan Serawak, negara bagian Malaysia. Garis batas yang mengikuti punggung sebuah taman nasional, Kayan Mentarang. Rimba menghijau yang kaya spesies di Malinau sangat berarti bagi penghidupan berkelanjutan. Selain, memberi sokongan dalam menyerap karbon dioksida, salah satu gas rumah kaca yang mempengaruhi perubahan iklim global. Namun, orang-orang Malinau mesti kerja keras menjaga peradaban mereka dalam ekologi hutan hujan tropis yang khas itu. Sebagai bagian dari Kalimantan yang merupakan penghasil kayu terbesar di Indonesia,  dimana lebih 10 juta he

Kampiri, Ekonomi Kakao

AMELIA setengah berbisik di belakang punggung saya. “Itu yang katanya putus,” ujarnya. Saya menengok sekilas. Jarinya menunjuk sebuah kawat besi, yang terlilit pada penopang jembatan gantung. Sepeda motor kami berjalan tertatih, mengikuti pelat baja berlandas pada kayu-kayu yang menua.  Jembatan itu hanya selebar satu mobil. Terasa sedikit bergoyang, saat berpapasan dengan pengendara motor yang membawa ikatan besar rumput pakan sapi. Ketegangan baru terurai, lepas dari ujung jembatan, di Kampiri. Jembatan itu, orang menyebutnya: Jembatan Pacongkang, menghubungkan Desa Barang dan Desa Kampiri yang melintasi Sungai Walennae. Sungai besar yang sarat jejak arkeologis. Jembatan ini diresmikan Zaenal Basri Palaguna semasa menjadi Gubernur Sulawesi Selatan. Tanda tangan mantan Panglima Komando Daerah Militer Wirabuana itu tertera dalam prasasti, yang tertanam di sebuah beton tak jauh dari tiang penyangga jembatan. Kampiri adalah sejarah pemukiman tua. Sejauh apa yang saya pahami, ketika

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi".

Atambua

MOTA AIN, 22 kilometer. Begitu yang saya baca, tulisan papan petunjuk jalan, selepas menyelusuri jalan berkelok-kelok tajam menuruni punggung perbukitan dari Kota Atambua. Pohon-pohon asam besar berjejer di tepian jalan, tapi terik matahari Timor masih terasa menyengat. Di atas mobil, musik dangdut koplo belum juga habis menghentak-hentak. Berlari kencang di atas jalanan mulus, melewati Atapupu, pelabuhan kontainer di utara Belu, menuju garis depan negeri ini. Kawan saya, seorang anak muda keturunan Timor Leste, bilang kalau kapal-kapal yang sedang merapat itu, membawa beras dan semen dari Makassar. Mota Ain, titik paling ramai, diantara jalanan ke tapal batas Timor Leste lainnya, termasuk daerah eksklave, Oecusse. Seingat saya, ketika saya masuk dari desa Fatuketi, jalanan menuju pintu masuk Oecusse, tidak seramai Mota Ain. Beberapa ruas jalannya pun buruk. Kalau pun Mota Ain ramai, karena lebih dekat dengan Dili, hanya butuh waktu 2-3 jam saja. Menuju titik batas, jalan seki

Buru

BURU. Sebuah nama, lekat dalam ingatan sejarah. Buru mengingatkan kita pertama pada, tahanan politik (Tapol) paska peristiwa 1965. Terakhir, para penambang liar yang memburu emas. Untuk pertama kalinya, saya menjejakan kaki di tanah Buru, di Namlea. Sebelum subuh tiba.  Sehabis melaut delapan jam dari Galala, Ambon. Tidak semua orang bisa naik kapal laut. Kita seperti dikocok-kocok. Selepas Tanjung Allang, di Laut Banda, kapal besi yang saya tumpangi mulai berjalan terhuyung dihantam gelombang besar. Sekitar 49 tahun silam, dari cerita-cerita yang ada. Sebuah kapal apkiran Perang Dunia II yang berkarat, hampir karam di laut ini. Kapal itu yang mengirim "orang-orang merah" dari dermaga Sodong, Nusakambangan ke Pulau Buru, pada 17 Agustus 1969. Mereka diasingkan, dibuang begitu saja, tanpa pernah diadili. "Aku menuju ke happy land somewhare,"  tulis Pramoedya Ananta Toer dengan nada satire, dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. " Kami berangkat bersama lebih delapan