Skip to main content

Kampiri, Ekonomi Kakao

AMELIA setengah berbisik di belakang punggung saya. “Itu yang katanya putus,” ujarnya. Saya menengok sekilas. Jarinya menunjuk sebuah kawat besi, yang terlilit pada penopang jembatan gantung. Sepeda motor kami berjalan tertatih, mengikuti pelat baja berlandas pada kayu-kayu yang menua. Jembatan itu hanya selebar satu mobil. Terasa sedikit bergoyang, saat berpapasan dengan pengendara motor yang membawa ikatan besar rumput pakan sapi. Ketegangan baru terurai, lepas dari ujung jembatan, di Kampiri. Jembatan itu, orang menyebutnya: Jembatan Pacongkang, menghubungkan Desa Barang dan Desa Kampiri yang melintasi Sungai Walennae. Sungai besar yang sarat jejak arkeologis. Jembatan ini diresmikan Zaenal Basri Palaguna semasa menjadi Gubernur Sulawesi Selatan. Tanda tangan mantan Panglima Komando Daerah Militer Wirabuana itu tertera dalam prasasti, yang tertanam di sebuah beton tak jauh dari tiang penyangga jembatan.
Kampiri adalah sejarah pemukiman tua. Sejauh apa yang saya pahami, ketika melihat sebuah peta dalam tulisan Ian Caldwell: Power, State and Society Among the Pre-Islamic Bugis. Tulisan yang bersumber pada teks-teks historis berbahasa Bugis. Peta ini memikat hati saya ketika menelusuri sejarah asal-usul Soppeng. Dalam peta, terlihat Kampiri  bertetangga dengan Jampu dan Citta di sisi Walennae. Bagi saya, peta geografis ini mengupayakan kita dapat menginterpretasi topografi kekuasaan. Pemukiman (domain, perkauman) yang tersebar diantara Sungai Wallenae, dataran lahan padi-sawah, dan perbukitan rendah. Serta, arsiran penanda Watassopeng, diatas Bila, Botto dan Ujung. Caldwell menerangkan ibukota ganda kerajaan Soppeng sebelum abad 16, yang berdiri di perbukitan rendah di mulut lembah kecil, yang membujur dari perbukitan barat hingga lembah Walennae. Di Tinco pada bibir lembah utara, dan di Watansoppeng (yang kini menjadi ibukota Soppeng) yang berada pada sebuah bukit rendah di kaki lembah selatan. Posisi kedua ibukota memiliki keistimewaan. Tempat ideal mengarahkan produksi pertanian di dataran sebelah timur, serta pergerakan manusia dan barang dari dataran ini ke daerah-daerah pantai di barat.
Topografi ini menujukkan Kerajaan Soppeng mendominasi lembah Walennae. Lembah yang tidak cukup banyak kandungan mineral. Tapi, tanah subur yang menghasilkan beras. Sekaligus menunjukkan, penataan ruang kekuasaan dengan melalui ekspansi dan intensifikasi pertanian secara terpusat. Potensi ekonomi pertanian, kata Caldwell, berkaitan dengan ketersediaan lahan yang dapat ditanami dan tenaga yang mengerjakan. Pertanian yang berhasil, tidak semata-mata menarik para pengikut baru dan mengikat kesetiaan. Tetapi juga memberi makan bagi orang yang membuka lahan. Hal ini, tentu saja, tidak serta-merta dapat dilakukan atau dengan kata lain, terdapat rangkaian kejadian, selain kemungkinan yang disediakan oleh alam. Seperti, dimanakah mereka mendapatkan peralatan pertanian jika dilakukan ekspansi.
Caldwell, dalam tulisan yang lain, menyebutkan temuan arkeologis industri barang besi di Luwu, yang sudah dimulai sebelum tahun 1000 hingga 1200. Situs-situs industri besi itu memiliki wilayah luas, di seputar ujung utara Teluk Bone hingga ke pedalaman di lembah hulu Sungai Rongkong, dan di tepi Danau Matano. Masyarakat di situs-situs tersebut menyantap sagu sebagai makanan pokok. Caldwell mengaitkannya dengan ekspansi pertanian padi-basah di tempat lain di Sulawesi Selatan. Paling tidak, ini berarti terdapat sumber yang mudah mendapatkan peralatan besi untuk mengerjakan lahan pertanian, yang kemudian ditukar dengan beras. Sekalipun beras diutamakan sebagai makanan berstatus tinggi, tapi masyarakat yang menyantap sagu tersebut memperoleh kemakmuran dari ekstraksi, peleburan, penempaan, dan ekspor besi. Lagi-lagi satu hal yang selalu memantik perhatian saya, perkembangan sejarah hubungan produksi berbasis geografi. Lebih khusus lagi, sirkulasi kapital dalam diferensiasi geografis. Itu pula yang menggoda saya sesampai di Kampiri.
Kalau kita membuka Google Map, Sungai Walennae seperti gelombang kurva yang mengapit Desa Kampiri. Di sejumlah titik merupakan area rawan banjir dan tergenang. Keadaan ini mungkin mempengaruhi penggunaan atau peruntukan lahan. Desa ini seluas 8 kilometer persegi, dihuni lebih 1650 warga, sekitar 375 rumah tangga, kalau boleh merujuk sensus penduduk 2010. Pemukiman penduduk berjejer mengikuti jalan kolektor dari Lajjoa hingga perbatasan Kabupaten Bone. Luas lahan padi-sawah, hanya sekitar seperempat luas desa. Sebagian besar lahan di Kampiri, berupa ladang dan kebun. Tanaman kakao banyak mengisi kebun mereka di sela-sela pohon kelapa. Tidak menutup kemungkinan, pengalaman menanam kakao itu didapatkan dari Malaysia, tujuan migrasi mereka ketika terjadi kekacauan pada tahun 1950 an hingga 1960 an. 
Dari literatur kita tahu, biji kakao yang baik berasal dari tanaman kakao yang tumbuh di daerah tropis di dekat garis khatulistiwa. Sekitar 90 persen kakao di seluruh dunia ditanam di lahan milik para petani kecil. Mula-mula, mereka adalah petani independen, kakao hanyalah tanaman sampingan. Ketika terjadi ekspansi dan intensifikasi produksi kakao, para petani kecil ini justru didorong menjadi aktor utama dalam sebuah situasi yang bukan di bawah kendali mereka, bahkan mungkin pula bukan pilihan sadar mereka. Kita juga tahu, Indonesia menjadi produsen biji kakao ketiga, setelah Pantai Gading (Ivory Coast) dan Ghana. Di Indonesia, sekitar 65 persen dari total produksi biji kering kakao per tahun secara nasional, dipasok dari Sulawesi. Namun di sisi industri hilir, yang mengolah biji kakao dan kemudian menghasilkan produk kakao dan turunannya, sebagian besar adalah perusahaan transnasional yang berasal dari negara-negara importir terdepan seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat. Mereka yang memasok pasar cokelat dunia, termasuk untuk memenuhi konsumsi cokelat di negeri ini yang tumbuh lebih dari 20 persen. Itu sebabnya, perusahaan transnasional seperti Cargill, Barry Callebaut dan Olam International bergegas untuk memperluas operasi penggilingan (grinding) di Indonesia. Beberapa diantara pabrik penggilingan itu bahkan menambah kapasitas mesin. Tapi, sepuluh tahun terakhir produksi biji kakao dalam negeri sedang bergerak defisit secara dramatik, dari 600.000 ton per tahun hingga sampai ke tingkat 320.000 ton per tahun. Sebagai gantinya, volume impor Indonesia terhadap biji kakao meningkat lebih dari tiga kali lipat dalam kurun waktu yang sama.
Firma-firma kakao transnasional itu telah masuk di Kampiri dan di desa-desa sekitar. Mereka melakukan intervensi dengan memakai skema kemitraan publik-swasta (Public Private Partnership). Skema tersebut menguat bersamaan dengan kebangkitan negara transnasional, jaringan yang mengintegrasikan negara nasional dengan institusi ekonomi politik supra-nasional, yang memudahkan sirkulasi kapital global. Skema ini melibatkan faksi kapital yang beragam dari penyalur input pertanian (bibit, pupuk, dan pestisida), pabrik pengolahan (processing), institusi keuangan, hingga perusahaan kudapan kelas dunia. Desa-desa itu benar-benar menjadi mata rantai pasokan global. Sekaligus, sistem rantai pasokan yang dapat terlacak. Para petani di desa-desa itu kini tengah berada dalam pasar cokelat yang lapar. Saya jadi teringat akan rempah-rempah yang menjadi kisah pilu kita. 

Paccerakkang, 2 Juni 2017

Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Narmada dan Bili-bili

DESA Narmada, di India dan Bili-bili, di Indonesia, dua tempat berjauhan dengan satu kisah yang sama: soal pengorbanan dan proyek bendungan. Arundhati Roy, perempuan pemikir kelahiran India dan seorang sarjana arsitektur, dalam ”The Cost of Living”, menggambarkan dua perkara tersebut dapat dipersinggungkan, dirajut, dan dipertalikan: mistisfikasi nasionalisme dan eskalasi bantuan dari Lembaga Keuangan Internasional. Di Indonesia, “The Cost of Living” sudah dialih-bahasakan dan diedarkan sekitar dua tahun lalu, dalam bentuk novel non-fiksi (berisi fakta dan perasaan Arundhati Roy).

Pangan, Antibiotika, Oligarki

" ANTIBIOTICS off the menu ", demikian kampanye yang diluncurkan organisasi konsumen internasional pada tahun ini. Penggunaan antibiotika yang berlebihan menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan global, kita akan berhadapan dengan bakteri (mikroba) yang resisten (kebal) terhadap antibiotika. Hingga pada suatu hari, kita menjumpai kenyataan, antibiotik tidak lagi bisa melawan bakteri. Hanya sedikit goresan saja, orang bisa saja mati terbunuh. Boleh jadi, Alexander Fleming penemu antibiotika penisilin, yang mengobati infeksi, tidak menyangka kalau produksi antibotika tidak saja berada lini industri farmasi, namun berlipat ganda dengan industrialisasi pertanian dan peternakan. Fleming pun menyebutnya sebagai penemuan secara kebetulan. " Ketika saya bangun tidur, setelah fajar menyingsing, 28 September 1928, saya sama sekali tidak berniat merevolusi semua obat dengan penemuan antibiotik atau bakteri pembunuh ,"ujarnya. Sekitar setengah dari produk antibi...

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis...

Negeri Pelepah Sagu

“ The beginning of the conquest and looting of East Indies … signalized the rosy dawn of the era capitalist production ”[1] SETUJU berlari kencang menembus kegelapan. Saya dibuatnya sesekali terguncang-guncang. Angin malam menyergap masuk melewati rongga atas pintu belakang. Setuju, demikian nama otobis kelas ekonomi, non-AC, berwarna putih kusam, melayani trayek Malili-Makassar. Bis berangkat jam lima   sore dari Malili, Luwu Timur, tiba di perempatan lampu-merah Pasar Daya, Makassar, jam empat pagi esok harinya.   Saya dan seorang kawan   naik   bis Setuju   d ari   Senga, Belopa, malam itu . Sebelumnya, kami   baku-tawar ongkos dengan kenek bis, dari 80 ribu turun menjadi 60 ribu   rupiah   sampai   ke   Makassar. Sebagian besar bangku bis diisi   orang   Pangkep. Mereka, para pekerja tambak di pesisir Teluk Bone yang mengapit Tana Luwu. Sedikit diantaranya, adalah kerabat pemilik warung sop   daging sapi ...