Skip to main content

Lord of War

There are over 550 million firearms in worldwide circulation. That's one firearm for every twelve people on the planet. The only question is: How do we arm the other 11? (Yuri Orlov-diperankan aktor Nicolas Cage, dalam film “Lord of War”, produksi 2005)

FARIZ Panghegar, seorang kawan, menyusupkan sejumlah film bioskop ke dalam laptop saya, di tengah-tengah keseriusan membaca buku Panen Lontar karya James J. Fox sampai larut malam. Semula, saya hanya memintanya menyimpan sebuah film tua yang populer saja, seperti "The Insider" atau "Fair Game". Esok paginya, saya sungguh terkejut, laptop saya seperti gudang penyimpanan film. Namun, koleksi film yang disimpan Fariz, saya pikir, bukanlah bersifat manasuka, melainkan memiliki jalinan yang mungkin tidak dibayangkan sebelumnya. Mulai dari film pemogokan buruh Inggris pada masa ortodoksi neo-liberal Margaret Thatcher, hingga rekonsiliasi Nelson Mandela alias Madiba. Tidak seluruhnya film bikinan Hollywood, tentu saja. 
Fariz juga menyimpan sebuah film berbahasa Jerman, The Lives of Others (Das Leben der Anderen), yang dirilis tahun 2006, 17 tahun setelah tembok Berlin runtuh. Film drama yang dibuka dengan narasi: 1984, East Berlin. Glasnost is nowhere in sight. The population of the GDR (Republik Demokratik Jerman) is kept under strict control by the Stasi, the East German Secret Police. Film ini mengajak kita untuk tahu bagaimana Stasi, melakukan kegiatan intelijen atas nama ideologi: mengawasi warga, menyadap percakapan orang hingga merekam aktivitas bercinta di ranjang, sampai dengan melakukan interogasi dan penahanan di kamar sempit tanpa jendela. Boleh jadi, rejim berkuasa tidak selalu memakai kekuatan represif, akan tetapi memelihara Stasi tetap bersemayam di kepala warga. Kita mungkin teringat dengan pembacaan filsuf Louis Althusser mengenai aparatur negara ideologis, bagaimana kekuatan ideologi bekerja dari dalam, secara mendalam, mengenkripsi cara berpikir dan cara hidup kelas sosial tertentu, menuntun mereka dan menguncinya dalam bingkai identitas yang telah di-konstruk, meski sejatinya berlawanan dengan kepentingan sosial politik mereka sendiri.

Ketika bom meledak, senjata api menyalak, baku tembak di jantung Jakarta, beberapa waktu lalu, saya tiba-tiba teringat sebuah film yang disimpan Fariz: Lord of War. Saya membayangkan betapa mudahnya orang menenteng, memperlihatkan senjata api dan meletupkan pelor di tengah keramaian, bahkan di tengah ramainya "generasi kamera". Lord of War, sebuah film komedi suram yang boleh jadi jarang kita temui. Film ini memang satir, penuh sindiran, bahkan hendak menertawakan betapa konyol kita. Yuri Orlov, tokoh protagonis film ini, digambarkan mirip seorang pramuniaga dari perusahaan mobil atau rokok dengan penampilan necis, berdasi, memakai jas, dan menenteng sebuah tas hitam, daripada sosok pedagang senjata ilegal yang kita bayangkan, meski dia beralasan kalau kedua produk itu lebih banyak membunuh orang setiap tahunnya dibanding orang tewas ditembak. 
Film ini disokong secara resmi organisasi hak asasi manusia, Amnesty International, yang berkait dengan kampanye mereka soal perdagangan senjata api internasional. Saya copas info-grafik mereka, agar membuat kita paham siapa para pemasok senjata terbesar dunia. Pada postscripts film ini tertulis sebuah pernyataan:  While private gunrunners continue to thrive, the world's biggest arms suppliers are the U.S., U.K., Russia, France, and China. The are also the five permanent members of the U.N. Security Council. Rupanya ada kombinasi kunci antara aliran fiskal dengan militer secara global. Latar lokasi dan peristiwa dalam film ini bukan sepenuhnya fiksi, Yuri Orlov menyelundupkan, menjual, mengedarkan senjata di lokasi yang benar-benar menjadi medan peperangan di Lebanon, Kolombia, Afganistan, hingga negara tanduk Afrika. Saat hari Natal 1991, dia mencium kening Mikhail Gorbachev di atas layar televisi. Nyatanya, Gorbachev memang sedang berpidato 10 menit pada saat itu, soal negara kehilangan asa lantaran menjalankan reformasi setengah hati, sesudah itu Gorbachev menghilang dari panggung politik. Lantas, Yuri Orlov pun berteriak: "perang dingin berakhir, Uni Soviet bubar". 


photo credit: DDR via photopin (license)

Dan, hal ini memberi petunjuk bagi penonton: paska perang dingin dan pecahnya Uni Soviet. Atau dalam bahasa Yuri Orlov, "bagi seorang pedagang senjata, tidak ada yang lebih baik dari kombinasi tentara yang tidak puas dan gudang penuh senjata". Dalam sebuah potongan film, kita diperlihatkan senjata api yang bertumpuk-tumpuk di sebuah gudang, dan sebuah timbangan besi. "Setelah Perang Dingin, AK-47 menjadi ekspor terbesar Russia. Setelah itu, barulah vodka, kaviar, dan novel bunuh-diri," ujar Yuri Orlov. Satu hal, betapa tidak mudah mengontrol peredaran senjata api di dunia, tanpa perjanjian yang ketat, apalagi industri senjata terbesar justru berasal dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB, ditambah Jerman. Ketika diinterogasi Jack Valentine (Ethan Hawke), seorang agen Interpol,  Yuri Orlov sembari menunjuk berita dalam sebuah koran mengatakan: "ini adalah musuh dari musuhmu.  Sementara pedagang senjata terbesar di dunia, adalah atasanmu, Presiden Amerika Serikat, yang mengisi kapal dengan barang dagangannya dalam satu hari lebih banyak daripada saya dalam satu tahun, kadang-kadang memalukan memiliki sidik jarinya pada senjata. Kadang-kadang dia membutuhkan tenaga lepas seperti saya untuk memasok senjata agar dia tidak terlihat sebagai pemasok ... saya, kejahatan yang diperlukan".
Film ini juga menyajikan fitur psikologi, selain agenda politik. Yuri Orlov mungkin seorang penyendiri, dia pun sangat menyadari betapa seriusnya kehidupan pribadinya. Yuri berasal dari keluarga imigran Ukraina yang datang ke Amerika Serikat, dan berkumpul di Bringthon Beach. "Ini mengingatkan kita dari Laut Hitam .... kami hanya bertukar neraka dengan orang lain," ujarnya. Lantaran diketahui sebagai pedagang senjata, keluarganya tidak mengakuinya, istri dan anaknya meninggalkannya, dan adiknya mati. Yuri Orlov nampak seperti seseorang yang sedang melarikan diri dari kehidupan yang kompleks, dan bertahan seperti reptil, menjadi pedagang senjata satu-satu keterampilan yang dimiliki untuk bertahan hidup. "Kau tahu siapa yang mewarisi bumi? Pedagang senjata. Karena orang lain terlalu sibuk saling membunuh satu dengan lainnya. Itu rahasia bertahan hidup,"katanya. Cukup satir, bukan. Itulah membuat saya, menonton beberapa kali film yang disimpan Fariz dalam laptop saya itu, komedi suram yang jarang saya temui.

Tamalanrea, 25 Januari 2015



Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Ratu Belanda di Titik Pusat Indonesia

RATU Belanda nampak bersiap menguruk tanah di titik pusat Indonesia ( center point of Indonesia- CPI) , demikian tempat yang kerap kali disebut. Potretnya terpampang dalam poster berukuran besar di samping pintu masuk, lengkap dengan lampu sorot yang menyala setiap malam. Ratu Belanda, Queen of the Netherlands , adalah nama kapal keruk, yang dimiliki Royal Boskalis Westminister, sebuah maskapai yang berasal dari Negeri Belanda. Mereka memenangkan kontrak dari salah satu tentakel kelompok bisnis properti Ciputra, dengan nilai yang diperkirakan menghampiri 90 juta dollar Singapura, untuk mengerjakan proyek reklamasi di lepas pantai Kota Makassar. Kapal Queen of the Netherlands sendiri dikenal sebagai kapal keruk terbesar di dunia, yang mengerjakan operasi pengerukan mulai dari pembangunan pelabuhan di Dubai, Busan, Singapura, hingga reklamasi di Maladewa. Pada 2008, Herald Sun memberitakan kapal keruk ini menuai protes dengan masalah lingkungan yang hendak dikeruk, ketika bersandar di ...

Negeri Kopra, Galela Utara

SERIBU ton kopra yang kita kirim ke istana mengapa tak punya harga. Sebait sajak yang ditulis Dino Umahuk, seorang penyair kelahiran Maluku, berjudul "Tentang Tanah yang Tak Berpusat di Jawa". Bait sajak yang memikat hati, saya temukan ketika mencari tahu perkara kopra di Halmahera. Sepulang saya dari Galela Utara, tempat para petani kelapa (Cocos nucifera) itu menjalani hidup. Hampir sepekan saya tinggal Desa Salimuli, di rumah sebuah keluarga yang mengandalkan sumber penghidupan dari kopra. Saya pikir, ini bukan soal keelokan nusantara, seperti dilukiskan dalam lagu Rayuan Pulau Kelapa. Tapi, harga kopra saat ini sedang terjun bebas.  Tuan rumah mengatakan pada saya,"satu kuintal kopra dulu itu 900 ribu, sekarang turun sampai 400 ribu". Ia mengisap rokok kreteknya dalam-dalam, seperti menahan amarah. "Di sini, satu karung beras, harganya 300 ribu," lanjutnya untuk menyakinkan saya, turunnya harga kopra turut menghajar habis penghidupan mereka. Kopra ...

Narmada dan Bili-bili

DESA Narmada, di India dan Bili-bili, di Indonesia, dua tempat berjauhan dengan satu kisah yang sama: soal pengorbanan dan proyek bendungan. Arundhati Roy, perempuan pemikir kelahiran India dan seorang sarjana arsitektur, dalam ”The Cost of Living”, menggambarkan dua perkara tersebut dapat dipersinggungkan, dirajut, dan dipertalikan: mistisfikasi nasionalisme dan eskalasi bantuan dari Lembaga Keuangan Internasional. Di Indonesia, “The Cost of Living” sudah dialih-bahasakan dan diedarkan sekitar dua tahun lalu, dalam bentuk novel non-fiksi (berisi fakta dan perasaan Arundhati Roy).

Badai dalam Perjumpaan Budaya

PIDATO Sri Mulyani di sebuah kampus, sehari sebelum dilantik kembali menjadi Menteri Keuangan, mengusik perhatian saya. Mantan pejabat teras Bank Dunia ini membicarakan badai yang sempurna. Sebuah badai yang sedang melumpuhkan negara-negara yang semula menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia. Di sisi lain, kita mendiami sebuah dunia yang paradoks. Dunia yang kini banjir informasi, akan tetapi cenderung tidak membuka pikiran dan wawasan kita, bahkan memudahkan kita memuntahkan prasangka, menghilangkan sisi lain yang berseberangan dengan kita. Sri Mulyani juga membicarakan ketimpangan di luar kendali korban. Kesenjangan, baginya, bukan sekedar ketimpangan pendapatan, melainkan ketimpangan peluang. Apa yang menarik perhatian saya. Dia mempercakapkan ketimpangan itu, berada di tempat dimana kita lahir dan orang tua kita. Tentu saja, yang dimaksud bukan karena kita lahir di tempat yang salah, atau bukan pula karena salah bunda mengandung kita. Baiklah, kita membuka kembali peta negeri i...