Skip to main content

November Rain, Demografi

SLASH memainkan solo gitar di depan sebuah kapel dan makam tua. Sendirian, sebelum prosesi pernikahan itu usai. Do you need some time ... on your own/Do you need some time ... all alone/Everbody needs some time ... on their own// Lantunan suara gitar Slash terasa menyayat hati. Debu-debu beterbangan di atas tanah kering. Awan hitam bergelayut di langit. Dan, hujan badai pun datang tiba-tiba, mengoyak sebuah perhelatan. Cause nothin' last forever/And we both know hearts can change/And it's hard to hold a candle/In the cold November rain// Suara gitar Slash kembali meraung saat prosesi pemakaman, dan hujan bulan November pun turun dari langit. Benar, ini nukilan video klip lagu November Rain, yang dibesut sutradara Andy Morahan. Lagu balada epik yang berdurasi lebih dari 8 menit ini, dirilis grup band rock Gun N' Roses pada Juni 1992. Syahdan, November Rain memenuhi hasrat Axl Rose, sang penulis lagu, pianis dan lead vocal grup tersebut, membuatnya sejajar secara musikal seperti Stairway To Heaven (Led Zepplin) dan Bohemian Rhapsody (Queen). Matt Sorum, drumer Gun N' Roses, memberi sentuhan orkestra klasik dalam lagu ini: "seperti mengajak orang melakukan perjalanan dalam lagu ini".

Entah mengapa saya mengulik cerita dan mendengarkan kembali lagu tua November Rain. Barangkali, karena hujan datang kesorean, bau tanah basah mulai terasa, kemarin. Udara dingin menyergap membuat saya teringat percakapan dengan sohib saya, Ado, pertengahan Oktober. Dia menyuruh tukang batu agar mempercepat pemasangan atap di rumahnya, karena,"hujan akan datang awal November," ujarnya. Kemarau panjang, terik matahari, api dan asap menyebar dimana-mana, seperti menabuh kerinduan orang banyak akan datangnya rinai hujan. Di tempat saya tinggal, bisnis bor air tanah bertebaran. Kemarau panjang telah menyurutkan air bersih. Istri saya mencoba meyakinkan saya, dengan cara memperbandingkan dan menggambar perubahan, ketika kami pertama kali bertempat tinggal, hampir 15 tahun lalu, hingga pada saat ini, soal sebaran pemukiman yang mulai berdesakan dan jumlah penduduk kian padat. Hampir tak tersisa untuk tanah yang kosong guna menyerap air. Kebijakan yang mengabaikan perubahan ruang dan waktu berkaitan kependudukan, tidak akan sempurna menjawab kualitas, kuantitas dan keberlanjutan air bersih dalam pemenuhan hak warga. Laksana percakapan demografi.
Dua hari lalu, dalam sebuah percakapan soal ragam data statistik, dengan teman-teman saya di kantor BPS Parepare dan Sidenreng Rappang. Sebuah survei menggambarkan kebutuhan orang lebih tinggi akan data demografi, terutama jenis data populasi penduduk, dibandingkan ragam data lainnya seperti statistik produksi, statistik distribusi, atau neraca statistik, misalnya. Motif mereka boleh jadi sangat beragam, mungkin saja sebagai keharusan meletakannya dalam halaman karya tulis seperti skripsi, atau mungkin juga bagian dari kalkulasi politik tim pemenangan Pilkada. Atau, barangkali tidak sesederhana itu. Apapun motif akan kebutuhan data, demografi boleh jadi menjadi studi yang menarik minat. Demografi merupakan studi yang memiliki karakteristik kuantitatif, matematis dan statistik,  meliputi ukuran, struktur dan distribusi penduduk. Hal-hal yang mungkin menarik perhatian, ketika dipersilangkan atau dihubungkan, dengan studi lain atau kajian non-demografi, ekonomi-politik, misalnya.
Survei itu juga menggambarkan minat orang mulai menelusuri, melacak, sejumlah jenis data, yang saya tafsir, memiliki hubungan. Saya sendiri, merasakan optimisme keaktifan warga untuk mencari tahu, dapat memberi penjelasan atau pencerahan mengenai kebutuhan warga mencapai kesejahteraan. Misalnya, ada orang yang mulai memperhatikan data kependudukan, fertilitas, mortalitas, produk domestik bruto, dan kemiskinan. Mungkin saja, dia tertarik dengan demografi ekonomi, sebagaimana istilah atau perspektif yang menyertai: paradoks demografi, perangkap demografi, atau bencana demografi. Saya berseloroh, mungkin saja dia tertarik dengan kisah Cicero, filsuf Romawi, yang meratapi tingginya tingkat kematian para bangsawan. Secara serius, kemungkinan ketertarikan pada sejauh mana pemenuhan kesejahteraan warga atau kesetaraan. Ada pula orang yang menghubungkan jenis data kependudukan, mobilitas, etnisitas, agama, yang mungkin saja berkaitan dengan demografi politik. Atau sebaliknya, politik demografi, siapa tahu.

Paccerakkang, 1 November 2015

Popular posts from this blog

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis

Gudo, Lasem. Perjumpaan Negeri yang Berbeda

SAYA beruntung dapat menjejaki dua tempat: Gudo, Jombang dan Lasem, Rembang. Nah, bersiaplah dengan kisah perjalanan saya kali ini, menembus lorong waktu. Gudo dan Lasem, dua  tempat yang sebelumnya telah menggoda perhatian saya. Boleh jadi, karena keinginan perjumpaan akan ruang geografis etnis dan penghayatan subyektifnya yang berbeda dengan tempat lain di negeri ini, dalam memahami hubungan pasang-surut akibat pertikaian sosial. Atau , tertarik dengan kalimat akhir sebuah artikel yang mengutip tulisan para pecinta pemikiran Gus Dur di klenteng (untuk menyebut rumah ibadah Tionghoa) Gudo: "semakin kita berbeda, semakin jelas dimana titik persamaan kita". Di kedua tempat ini, Gudo dan Lasem, klenteng menjadi landmark (mercu-tanda) . Jarak keduanya,  cukup berjauhan. Jalan pintas terdekat, sekitar 180 kilometer, membelah punggung pegunungan kapur Kendeng. Dari Gudo menuju ke utara, lewat Tuban. Lalu ke arah barat, berjalan di atas jalanan warisan Gubernur Jenderal Hindia Bel

Saat Korporasi Mengatur Perut Kita

SAHABAT saya, Al Mujahid Akmal, menulis di halaman  facebook -nya: "jika setiap orang berpikir, siapa dan dengan cara seperti apa makanan diproduksi sebelum mereka konsumsi ... ada baiknya kalau saya coba belajar menanam sendiri". Aneka tanaman sayuran dan tanaman pangan, tumbuh sehat di halaman belakang rumahnya. Rasanya, kata "halaman belakang" sudah lama menghilang di setiap-kali pameran rumah di Kota Makassar. Orang di kota ini, terlanjur hidup diantara tembok yang bersekat-sekat, tanpa halaman. Beruntung sahabat saya ini, dapat berkebun di halaman belakang, yang bukan dimaksudkan bagian dari estetika atau keindahan, apalagi guna memenuhi kebutuhan cerita cerdas sebuah proyek. Akan tetapi, dibaca sebagai bagian sikap dan kritik dia atas sistem produksi pangan, selain untuk keperluan konsumsi sendiri. Atau, dalam bahasa ideologisnya, sebagai "konsumsi berkelanjutan". Sekitar 13 ribu kilometer dari tempat sahabat saya menulis sikapnya, tengah terj

Kampiri, Ekonomi Kakao

AMELIA setengah berbisik di belakang punggung saya. “Itu yang katanya putus,” ujarnya. Saya menengok sekilas. Jarinya menunjuk sebuah kawat besi, yang terlilit pada penopang jembatan gantung. Sepeda motor kami berjalan tertatih, mengikuti pelat baja berlandas pada kayu-kayu yang menua.  Jembatan itu hanya selebar satu mobil. Terasa sedikit bergoyang, saat berpapasan dengan pengendara motor yang membawa ikatan besar rumput pakan sapi. Ketegangan baru terurai, lepas dari ujung jembatan, di Kampiri. Jembatan itu, orang menyebutnya: Jembatan Pacongkang, menghubungkan Desa Barang dan Desa Kampiri yang melintasi Sungai Walennae. Sungai besar yang sarat jejak arkeologis. Jembatan ini diresmikan Zaenal Basri Palaguna semasa menjadi Gubernur Sulawesi Selatan. Tanda tangan mantan Panglima Komando Daerah Militer Wirabuana itu tertera dalam prasasti, yang tertanam di sebuah beton tak jauh dari tiang penyangga jembatan. Kampiri adalah sejarah pemukiman tua. Sejauh apa yang saya pahami, ketika

Long Loreh, Batubara

HAMPIR tengah malam, telepon genggam saya bergetar. Di seberang sana, terdengar suara isteri saya bertanya, "lagi dimana ini". "Malinau," kata saya pendek. "Apa ada dalam peta," tanyanya lagi. Saya tak menjawab. Saya lalu hentikan percakapan. Melalui whatsapp, saya kirim peta Malinau padanya. Ia membalas dengan emoji senyum. Malinau berada di jantung Borneo. Sebuah kabupaten di Kalimantan Utara, berbatasan dengan Serawak, negara bagian Malaysia. Garis batas yang mengikuti punggung sebuah taman nasional, Kayan Mentarang. Rimba menghijau yang kaya spesies di Malinau sangat berarti bagi penghidupan berkelanjutan. Selain, memberi sokongan dalam menyerap karbon dioksida, salah satu gas rumah kaca yang mempengaruhi perubahan iklim global. Namun, orang-orang Malinau mesti kerja keras menjaga peradaban mereka dalam ekologi hutan hujan tropis yang khas itu. Sebagai bagian dari Kalimantan yang merupakan penghasil kayu terbesar di Indonesia,  dimana lebih 10 juta he