Skip to main content

Bisakah Uang Membeli Kebahagiaan

MENGAPA selalu ada lemari yang memamerkan cangkir, piring keramik, sendok antikarat dan panci, di ruang tamu dalam rumah-rumah di kampung. Bukankah peralatan rumah tangga itu mestinya berada di dapur, bukannya malah disimpan di ruang tamu. Ini pertanyaan yang diajukan seorang kawan, beberapa tahun silam. Kawan saya ini memang tidak sedang bercanda, dia berada dalam ruang diskusi. Pertanyaannya memiliki dasar argumentatif. 
Jika hal ini ditafsirkan sebagai perilaku rumah tangga berkaitan dengan perbandingan sosial, maka pendapatan atau konsumsi rumah tangga menjadi relatif, menjadi tergantung sebenarnya dengan rumah tangga atau individu lainnya di kampung. Orang mengklaim dengan menyebutnya dalam sebuah literal sebagai "bandwagon effect" (efek ikut-ikutan, ikut yang populer), metafor yang berasal dari sebuah gerobak yang membawa band dalam rombongan sirkus guna menarik perhatian orang. Para pemikir ekonomi menjelaskan perilaku rapuh ini mudah sekali dibentuk, lantaran didasarkan informasi yang sangat terbatas dan gampang merujuk pada perilaku orang lain. 
Pertanyaan kawan di atas tadi, kemudian menjadi salah satu bagian yang menguatkan rasa penasaran kami atas kesejahteraan subjektif. Jika situasi kesejahteraan tidak mutlak diukur secara objektif dari tingkat kekayaan, maka penilaian subjektif terhadap kondisi yang dihadapi individu menjadi penting. Boleh jadi, kita berada di persimpangan antara ekonomi yang sesak dengan makro-ekonomi dan psikologi yang penuh dengan harapan. Padahal, suatu hal yang tidak mudah dilakukan, tidak mudah mengukur suasana hati atau pemikiran seseorang ketika dievaluasi kepuasan hidupnya. Setiap saat, sehari-hari bahkan, orang dapat saja menciptakan fluktuasi liar berkaitan dengan perasaan itu. Ada masalah yang melekat ketika kita menelisiknya, saya pikir, bukan sekedar kegalauan semata. Toh, saya dan seorang kawan lainnya, membawa rasa penasaran tersebut ke sejumlah tempat, dan bertanya pada lebih dari 2.000 perempuan di kota pesisir atau di desa pertanian.
Apakah kebahagiaan dapat diukur dengan uang atau tingkat kekayaan. Apakah orang di negara kaya lebih bahagia daripada orang di negara miskin, atau bahkan diuraikan lebih ke dalam pada tingkat individu. Saya kemudian mencermati analisis Abdullah Nasser dalam The Harvard Undergraduate Research Journal mengenai ekonomi kebahagiaan. Adalah Richard Easterlin, yang melakukan riset pada tahun 1974, menyelusuri hubungan kekayaan atau pendapatan per kapita dalam sebuah negara dengan kebahagiaan bangsa. Lantas, lahirlah konsep: Paradoks Easterlin. Paradoks ini bertujuan untuk memeriksa disparitas atau ketimpangan pendapatan per kapita (koefisien Gini) dan produk domestik bruto dengan kebahagiaan. Dalam kalimat ringkas, semakin kaya seseorang secara relatif terhadap orang di sekitarnya atau terdekatnya, semakin besar kemungkinan seseorang untuk melaporkan bahwa dirinya lebih bahagia. Pertanyaan Nasser, apakah hanya kesetaraan pendapatan mempengaruhi kebahagiaan. Apakah Paradoks Easterlin masih berlaku. Nasser memeriksa kembali perkara ini dalam skala global.
Kembali pada rasa penasaran kami. Saya dan seorang kawan sebenarnya berusaha mendalami pertanyaan sederhana, apakah semakin rentan ekonomi kesejahteraan rumah tangga seseorang, semakin besar pula kemungkinan dia akan bergantung pada pelayanan dan pelindungan pemerintah. Dalam perjalanan kami, memang ada hal-hal yang mengejutkan. Seseorang yang menyatakan "hidup berkecukupan", tapi menempatkan diri pada lapisan bawah di kampungnya. Atau, sebaliknya, seseorang yang menyatakan "merasa kesulitan", justru menempatkan dirinya di lapisan atas dibandingkan dengan situasi kesejahteraan orang lain di kampungnya. Boleh jadi, hal ini menjadi snapshot kesenjangan atau jurang antara harapan dan kenyataan. Dalam sejumlah studi, hal ini disebut sebagai aspirasi pendapatan, semacam adaptasi terhadap perubahan. Itu sebabnya, kami juga bertanya situasi ekonomi masa lalu dan refleksi situasi ekonomi di masa mendatang, serta pendapatan rata-rata di kampung.
Saya juga melihat dalam-dalam realisasi belanja pemerintah setempat, mana yang dianggap bermurah hati, mana yang berwajah suram, serta anggaran menurut fungsi. Memang terasa ada kelakuan "unik" pemerintah, menyuntikan banyak uang ke dalam sistem, lantas mempersandingkan "kesejahteraan" dengan wilayah lain dengan cara berlebihan. Padahal, hal ini belum tentu berhubungan dengan kebahagiaan bangsa. Uang memang bukan penentu, tapi dapat mempengaruhi kebahagiaan. Harapan memang sesuatu yang alamiah. Pekan lalu, dalam sebuah acara akad nikah, seorang kerabat dekat mengingatkan kembali pada saya soal: amalan-amalan yang kekal dan kesalehan, lebih baik untuk menjadi harapan.

Paccerakkang, 8 Mei 2015



Popular posts from this blog

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis...

Kuasa-Kata, Semangkuk Pallubasa

KARENA Jawa adalah kuncinya.  Frasa politik ini begitu populer. Hal yang sama juga terjadi saat percakapan tentang elektoral, yang bertautan dengan pemilih. Jawa menjadi tulang punggung demografis Indonesia. Juga dianggap sebagai jantung kebudayaan dan politik. Kalau begitu, agak lebih jauh lagi, apakah budaya Jawa turut mengkonstruk imaji politik dalam frase tersebut. Saya agak tergoda mencari tahu. Apalagi mesin politik sudah menyala. Kick off, partai-partai politik mengajukan kandidat. Komunikasi politik mulai berjalan, terkadang menimbulkan ambiguitas, tak jarang menciptakan kesadaran magis. Itu pula yang membuat saya membaca kembali buku ini, buku tua. Tapi saya rasa, dapat memandu untuk keperluan itu. Diterjemahkan dari buku: Language and Power, Exploring Political Culture in Indonesia. Diterbitkan pertama kali, lebih dari 30 tahun lalu. Penulisnya, Benedict Anderson. Seorang antropolog sekaligus sejarawan politik. Buku ini kumpulan esainya.  Salah satu pencarian Anderso...

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Makassar, Subaltern

BETAPA sulitnya menulis masa lalu. Abdul Rasyid Idris, seorang kawan, memberi saya tiga buku berharga di ujung Syaban. Salah satu buku, dari tiga buku karyanya, bertajuk: Anging Mammiri, Jejak Makassar Tempo Dulu. Rasanya, buku ini bukan sebuah produk industri nostalgia yang dimaksudkan memicu perasaan melankolik setiap orang. Saya sendiri tak hendak mencari tahu dalam buku ini, ketika memenuhi kerinduan akan sebuah lapak kopi di selasar Pasar Cidu'. Sebuah lapak yang menjual kopi yang lebih enak dan harganya lebih murah berkali-kali lipat dari Starbucks. Secangkir kopi yang bikin mata melek, yang bisa menghidupkan ekonomi orang pasar siang malam. Saya pikir, kawan saya ini tidak terperangkap ke dalam kerinduan masa lalu. Akan tetapi, ia melakukan pembacaan kembali, hal-hal apa yang hadir menjadi ingatan. Apa yang dialaminya dalam ruang temporal (masa lalu). Hanya saja, bahasa menyimpan problem internal, ketika menghadirkan kembali (re-presentasi). Coba kita membayangkan denga...

Presiden, Budaya Pop

" Politics is just like show business " -Ronald Reagan, http://quotationsbook.com/quotes/author/6022/ SORE menjelang magrib. Dalam sebuah konser, di sebuah stadion olahraga yang dibangun dengan uang pinjaman dari Uni Soviet. Seorang calon presiden berlari ke ujung panggung, yang menjorok di depan, tepat dihadapan massa yang tumpah ruah.  Suara gitar mengelegar, mengiringi Si Bung, calon presiden itu, ketika hendak menyapa massa. Riuh m assa memekak telinga. Belasan bendera bergambar kupu-kupu, dikibarkan para penggemar sebuah group band, nampak melambai-lambai di udara. Yup, sebuah group band rock, yang bersinar di negeri ini lantaran predikat berbayaran tinggi dan memiliki jutaan penggemar fanatik anak muda. Sebelumnya, mereka telah menciptakan dan merekam sebuah lagu kampanye sang calon presiden. Lagu ini lantas disebar melalui jaringan televisi dan media-sosial. Si Bung, kabarnya, juga seorang penyuka musik rock Metallica, group band asal L.A California. And Justice fo...