Skip to main content

Bone

BERAPA warung makan yang berada di tepi tikungan jalan? Seorang kawan bertanya, ketika melewati jalanan licin berkelok-kelok, di antara tebing batu cadas, menembus malam pekat, antara Camba dengan Mallawa, Kabupaten Maros. Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Rasanya, meski tidaklah terlalu tepat membandingkannya. Lebih mudah bagi seorang isteri Kepala Desa, sebuah desa di Awangpone, Kabupaten Bone, menjawab secara ringkas siapa warganya. Saat itu kami hendak melakukan sampling dalam sebuah survei, dengan sample framing yang bersandar pada buku induk penduduk, yang berisi kartu keluarga warga desa. Sang isteri Kepala Desa ini, membuka secara cepat lembar demi lembar buku itu, sembari mengatakan pada saya: “pak … ini sudah lewat umurnya,  kalau yang ini sudah tidak ada lagi, sudah ke Malaysia”.
Bagi saya, yang agak mengejutkan, adalah betapa besar harapan warga desa menjadi pekerja migran di negeri jiran. Majalah National Geographic, dalam sebuah edisi, memperluas istilah refugee, yang awalnya dipakai guna mengenali para pengungsi akibat peperangan, kemudian dilekatkan kepada para imigran yang melewati batas-batas negara. Majalah ini mencatat, mereka berimigrasi lantaran di tempat asalnya terjadi ketimpangan alokasi dan distribusi sumberdaya. Jumlah mereka cenderung berlipat ganda dari tahun ke tahun. Seperti manusia-perahu, kebanyakan mereka tidak berbekal dokumen imigrasi dan tanpa kemampuan yang cukup. Mereka bergerak ke wilayah yang dianggap surplus. 
Kita pun jadi teringat dengan para pemikir Marxian dari Amerika Latin pada pertengahan tahun 1960an seperti, Andre Guther Frank dan Cordoso. Keduanya dikenali dengan teori ketergatungan, juga relasi asimetris antara kapitalisme metropolis dengan satelitnya. Mungkin kita juga teringat dengan teori sistem dunia Immanuel Wallerstein, pada awal tahun 1970an, yang membagi dunia menjadi tiga: inti, pinggiran dan semi-pinggiran. Sebuah dunia yang terintegrasi, atau dipaksa berintegrasi, dengan ekonomi pasar kapitalis. Saling tergantung, akan tetapi melestarikan perkembangan yang tidak sama cepat. Jadi, keadaannya tetap sama, asimetris. Paling tidak, melalui kontribusi ketiga pemikir itu, meski memiliki kelemahan, dapat memberi penjelasan mengenai fenomena pergerakan para imigran itu di dalam konteks globalisasi ekonomi pasar, bahkan ketimpangan kelas secara internasional. 
Di sebuah museum, di tengah Kota Watampone. Saya terpesona dengan kebudayaan Bugis Bone, di salah satu sudut museum terdapat presentasi: alat tenun, peralatan pertanian, alat penangkap ikan. Bagi saya, kebudayaan ini memberi isyarat akan sumberdaya atau makna mendalam mengenai: optimisme hidup di tanah Bone. Tentu saja, bukan sekedar alat-alat, melainkan kebudayaan telah merawat pengetahuan mengenai pangan-olahan tradisional. Saya jadi teringat akan nikmatnya makanan lawa' bale (makanan khas bugis, yang berbahan pokok ikan mentah segar yang dicampur parutan kelapa, yang diberi garam dan ditetesi jeruk nipis) dari sebuah warung di Bajoe, Bone. Makanan tidaklah semata-mata mengisi perut, lebih jauh lagi, berkaitan bagaimana hubungan sosial dimulai, dibangun, dirawat. Apakah jejak-jejak kebudayaan ini, direspon, bahkan dikuatkan, di dalam konsep atau strategi pembangunan?
Dengarkan kisah Halimah, dalam sebuah buku yang diterbitkan Komnas Perempuan, Maret 2005, "Migrasi Tanpa Dokumen". Buku ini merekam kisah lima buruh migran perempuan yang bekerja di Malaysia, dan memotret tekanan hidup yang dialami buruh migran tak berdokumen. Salah satunya, Halimah, perempuan Desa Kawerang, Bone. Sebuah desa, di Kecamatan Cina, yang digambarkan oleh Badan Pusat Statistik, sebagai sentra penghasil beras. Angka rata-rata dalam statistik, jika kita tidak berhati-hati, bisa jadi menyesatkan karena berbagai alasan. Nyatanya, daerah lumbung padi itu lengang dari harapan kesejahteraan, beberapa warga menyatakan: hasil habis untuk makan sehari-hari, banyak yang dapat Raskin, tidak dapat menyekolahkan anak.
Arief Anshory Yusuf, Direktur CEDS Universitas Padjadjaran, Bandung, memberikan sumbangan berharga bagi kita mengenai angka-angka statistik guna menggambarkan kondisi ketimpangan dan kemiskinan, dalam buku "Ketimpangan Pembangunan Indonesia", yang diterbitkan INFID dan OXFAM, Juli 2014. Arief menghitung ulang berdasar sumber data, mengoptimalkan, mensinkronkan, mengurai dan mengelompokkan ke dalam kelompok yang berbeda seperti, kelompok pedesaan-perkotaan, kelompok jender, kelompok 20% termiskin versus 20% terkaya. Usaha-usaha seperti ini memudahkan kita untuk menelaah kondisi ketimpangan yang terjadi, baik ketimpangan hasil pembangunan maupun ketimpangan kesempatan. Ketimpangan adalah kata yang merujuk pada perbedaan atau selisih. Seperti halnya tabel statistik yang saya ambil dari tulisan Arief dalam buku itu, berkaitan ketimpangan kesempatan dalam pasar-kerja sektor formal di negeri ini, yang dikelompokkan menurut daerah perkotaan dan pedesaan, masyarakat miskin dan kaya. Dengan demikian, kita mudah memahami kesimpulan Arief, bahwa masyarakat miskin terbatas aksesnya terhadap pasar kerja formal khususnya di daerah perkotaan, dan mereka semakin sulit mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi di perkotaan.
Kembali ke kisah Halimah. Pertama, kisah ini memberitahu kepada kita soal mulai susut optimisme hidup di kampung. Kedua, tekanan hidup yang tak tertahankan, yang mendera para buruh migran yang tak berdokumen, terutama buruh migran perempuan. Mereka bak berjalan dalam labirin tanpa akhir: rumit, penuh risiko, penuh keraguan, dan dalam kondisi ketidakpastian. Terakhir, kisah ini juga menyiratkan perkara ketimpangan, perbedaan perlakuan, atau kesenjangan kesempatan. Kita mungkin juga perlu mencermati naik-turunnya jumlah orang miskin. Seorang pendamping program perlindungan sosial mencoba mengaitkan turunnya jumlah orang miskin dengan kepergian orang miskin menjadi buruh migran.  Atau, sebaliknya penuturan seorang teman dari Desa Mallari, Bone, mengenai besarnya pengharapan orang terhadap "musim bantuan".  
Ada yang salah dalam konsep pembangunan kita. Bukan hanya soal kebijakan, akan tetapi juga, mestinya institusi politik dan ekonomi di negara ini bersifat inklusif. Membuka ruang, kesempatan yang sama, bagi semua orang, menutup perbedaan perlakuan. Kesejahteraan untuk semua. Kesejahteraan kolektif.

Tamalanrea, 13 Desember 2014

Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Narmada dan Bili-bili

DESA Narmada, di India dan Bili-bili, di Indonesia, dua tempat berjauhan dengan satu kisah yang sama: soal pengorbanan dan proyek bendungan. Arundhati Roy, perempuan pemikir kelahiran India dan seorang sarjana arsitektur, dalam ”The Cost of Living”, menggambarkan dua perkara tersebut dapat dipersinggungkan, dirajut, dan dipertalikan: mistisfikasi nasionalisme dan eskalasi bantuan dari Lembaga Keuangan Internasional. Di Indonesia, “The Cost of Living” sudah dialih-bahasakan dan diedarkan sekitar dua tahun lalu, dalam bentuk novel non-fiksi (berisi fakta dan perasaan Arundhati Roy).

Pangan, Antibiotika, Oligarki

" ANTIBIOTICS off the menu ", demikian kampanye yang diluncurkan organisasi konsumen internasional pada tahun ini. Penggunaan antibiotika yang berlebihan menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan global, kita akan berhadapan dengan bakteri (mikroba) yang resisten (kebal) terhadap antibiotika. Hingga pada suatu hari, kita menjumpai kenyataan, antibiotik tidak lagi bisa melawan bakteri. Hanya sedikit goresan saja, orang bisa saja mati terbunuh. Boleh jadi, Alexander Fleming penemu antibiotika penisilin, yang mengobati infeksi, tidak menyangka kalau produksi antibotika tidak saja berada lini industri farmasi, namun berlipat ganda dengan industrialisasi pertanian dan peternakan. Fleming pun menyebutnya sebagai penemuan secara kebetulan. " Ketika saya bangun tidur, setelah fajar menyingsing, 28 September 1928, saya sama sekali tidak berniat merevolusi semua obat dengan penemuan antibiotik atau bakteri pembunuh ,"ujarnya. Sekitar setengah dari produk antibi...

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis...

Negeri Pelepah Sagu

“ The beginning of the conquest and looting of East Indies … signalized the rosy dawn of the era capitalist production ”[1] SETUJU berlari kencang menembus kegelapan. Saya dibuatnya sesekali terguncang-guncang. Angin malam menyergap masuk melewati rongga atas pintu belakang. Setuju, demikian nama otobis kelas ekonomi, non-AC, berwarna putih kusam, melayani trayek Malili-Makassar. Bis berangkat jam lima   sore dari Malili, Luwu Timur, tiba di perempatan lampu-merah Pasar Daya, Makassar, jam empat pagi esok harinya.   Saya dan seorang kawan   naik   bis Setuju   d ari   Senga, Belopa, malam itu . Sebelumnya, kami   baku-tawar ongkos dengan kenek bis, dari 80 ribu turun menjadi 60 ribu   rupiah   sampai   ke   Makassar. Sebagian besar bangku bis diisi   orang   Pangkep. Mereka, para pekerja tambak di pesisir Teluk Bone yang mengapit Tana Luwu. Sedikit diantaranya, adalah kerabat pemilik warung sop   daging sapi ...