Skip to main content

Desa Pesisir, Narasi Besar

MATAHARI sudah di atas kepala. Air sungai menuju muara mulai beranjak surut. Dua lelaki melompat turun dari atas sampan, ketika sampan mereka kandas diantara bongkahan lumpur sungai. Mereka lantas mendorongnya sampai di bawah pohon mangrove, tempat sampan bersandar. Tak jauh dari sampan-sampan yang berbaris rapi itu, suara musik dangdut koplo menghentak-hentak liar dari sebuah rumah panggung. Di seberang sana, beberapa perempuan berwajah riang sibuk membibit magrove dalam kantung-kantung plastik hitam. Semua orang kampung tahu, ikan-ikan di sungai sudah mulai habis, sejak keberadaan jaring berlubang halus, mirip kawat kasa hijau penghalau nyamuk di atas jendela rumah. Jaring itu dibentang di pinggir sungai menuju muara. Bak mulut raksasa, menelan semua ikan yang dilempar air pasang. Ketika surut tiba, ikan-ikan itu terperangkap masuk ke dalam lumpur. Tak ada lagi ikan tersisa, bahkan udang halus sekalipun.
Hanya satu dua dari belasan sampan yang berjejer itu, merupakan sampan nelayan yang digunakan melaut. Selebihnya, sampan para pekerja tambak. Apabila ditengok dengan mengikuti garis batas desa dari jendela google earth, saya membayangkannya seperti sebuah botol berleher pendek. Alas botol berada di sepanjang pesisir Selat Makassar, sementara mulut botol menyentuh jalan negara antara Maros dan Pangkajene Kepulauan. Di leher botol, tempat rumah-rumah orang desa berkumpul, saling berhadapan, hanya dipisahkan sebuah jalan desa. Dari google earth, kita juga dapat menaksir lebih dari 80 persen luas desa ini, terdiri dari petak-petak datar berwarna gelap kehijauan dan kekuning-kuningan. Benar, sebagian besar desa ini adalah lahan-lahan tambak (empang) yang menjorok sampai ke pesisir, dan hamparan sawah, dengan sedikit area pemukiman. Sungai menuju muara itu, menjadi jalanan menuju lahan-lahan tambak. Data BPS menyebutkan luas desa ini, 21,8 kilometer persegi.
Saya beruntung, seorang kawan yang bekerja pada sebuah LSM Internasional menawarkan, untuk berkunjung ke desa ini. Ketika pertama kali saya datang, di sepanjang jalan masuk desa, nampak orang ramai menjemur gabah memenuhi jalan rabat beton, yang dibangun oleh sebuah program nasional pedesaan. Mungkin saja, orang akan mengira, kalau penduduk desa memiliki lahan sawah yang luas itu. Namun faktanya, ada 170 kepala keluarga desa ini menjadi penerima Raskin, program beras bersubsidi dari pemerintah. Desa ini dihuni lebih dari dua ribu jiwa. Lebih setengah penduduknya, menjadi peserta sebuah program jaminan kesehatan dari pemerintah pusat, Jamkesmas.
Saya teringat kembali perjalanan di sebuah desa di Kabupaten Bone, sekitar satu pekan sebelumnya. Sebuah desa dengan hamparan sawah hijau yang luas, pohon-pohon lontar yang menjadi batas petak-petak sawah. Salah satu dusun desa ini, berada di pantai Teluk Bone, lahan tambak dan ikan tangkap menjadi mata-pencaharian mereka. Tidak seperti bayangan orang mengenai besaran aset desa yang berkontribusi pada ukuran kesejahteraan. Di desa ini, justru menjadi pekerja migran ke Sabah, Malaysia, adalah bagian hidup penduduk. Kepala desanya pun, sebelumnya adalah pekerja migran.
Sementara di desa di pesisir Selat Makassar itu, sebagian besar anak mudanya lebih memilih menjadi buruh bangunan, terutama bangunan tinggi berkerangka baja di Kota Makassar. Waktu tempuh ke Makassar, kurang dari satu jam. Waktu tempuh yang sama, saat sampan mereka bergerak menuju mulut muara dari tempat sampan-sampan itu bersandar. Bekerja menjadi buruh yang berjuntai di atas bangunan tinggi, penuh dengan risiko. Seorang diantara mereka, tewas. Dia terpeleset jatuh dari ketinggian, saat mengerjakan menara bangunan sebuah hotel, dekat sebuah mal di Jalan Ratulangi, Makassar. Kematian itu ternyata tak menyurutkan jumlah mereka menjadi buruh bangunan.
Lahan desa yang sebagian besar tambak itu, tentu menyisakan soal air bersih. Tidak semua dusun mendapat pasokan air dari pipa ledeng PDAM. Di salah satu dusun, satu jerigen air bersih, yang berasal dari mobil tangki air, harganya dua ribu rupiah. Sebuah harga untuk kebutuhan air minum saja. Soal mandi dan mencuci, mereka mengandalkan sumur air payau. Ketika memasuki bulan Agustus, persediaan air payau di sumur-sumur mereka itu mulai menipis. Sampai akhirnya menjadi habis sama sekali pada akhir Oktober. Bulan-bulan dimana air irigasi mengering, orang-orang tak lagi pergi ke sawah.
Hari-hari ini, saya berusaha menyimak cerita para ibu di desa ini. Mengapa sebagian besar penduduk desa membukakan pintu rumah bagi para pendata penerima bantuan pemerintah. Mengapa mereka menanti kedatangan para anak muda, yang bekerja sebagai buruh di Makassar, setiap akhir pekan. Adakah yang gagal dalam narasi besar: pembangunan. Saya beruntung mendapatkan kesempatan belajar dari para perempuan di desa ini yang tidak mudah tumbang. Mereka terus menerus mencari data, mengusut akar kegagalan, mengurai hubungan-hubungan yang mengacaukan harapan besar orang-orang desa pesisir. Mereka yang melawan pemiskinan.

Marannu, Lau, Maros, 5 September 2014



Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Ratu Belanda di Titik Pusat Indonesia

RATU Belanda nampak bersiap menguruk tanah di titik pusat Indonesia ( center point of Indonesia- CPI) , demikian tempat yang kerap kali disebut. Potretnya terpampang dalam poster berukuran besar di samping pintu masuk, lengkap dengan lampu sorot yang menyala setiap malam. Ratu Belanda, Queen of the Netherlands , adalah nama kapal keruk, yang dimiliki Royal Boskalis Westminister, sebuah maskapai yang berasal dari Negeri Belanda. Mereka memenangkan kontrak dari salah satu tentakel kelompok bisnis properti Ciputra, dengan nilai yang diperkirakan menghampiri 90 juta dollar Singapura, untuk mengerjakan proyek reklamasi di lepas pantai Kota Makassar. Kapal Queen of the Netherlands sendiri dikenal sebagai kapal keruk terbesar di dunia, yang mengerjakan operasi pengerukan mulai dari pembangunan pelabuhan di Dubai, Busan, Singapura, hingga reklamasi di Maladewa. Pada 2008, Herald Sun memberitakan kapal keruk ini menuai protes dengan masalah lingkungan yang hendak dikeruk, ketika bersandar di ...

Negeri Kopra, Galela Utara

SERIBU ton kopra yang kita kirim ke istana mengapa tak punya harga. Sebait sajak yang ditulis Dino Umahuk, seorang penyair kelahiran Maluku, berjudul "Tentang Tanah yang Tak Berpusat di Jawa". Bait sajak yang memikat hati, saya temukan ketika mencari tahu perkara kopra di Halmahera. Sepulang saya dari Galela Utara, tempat para petani kelapa (Cocos nucifera) itu menjalani hidup. Hampir sepekan saya tinggal Desa Salimuli, di rumah sebuah keluarga yang mengandalkan sumber penghidupan dari kopra. Saya pikir, ini bukan soal keelokan nusantara, seperti dilukiskan dalam lagu Rayuan Pulau Kelapa. Tapi, harga kopra saat ini sedang terjun bebas.  Tuan rumah mengatakan pada saya,"satu kuintal kopra dulu itu 900 ribu, sekarang turun sampai 400 ribu". Ia mengisap rokok kreteknya dalam-dalam, seperti menahan amarah. "Di sini, satu karung beras, harganya 300 ribu," lanjutnya untuk menyakinkan saya, turunnya harga kopra turut menghajar habis penghidupan mereka. Kopra ...

Narmada dan Bili-bili

DESA Narmada, di India dan Bili-bili, di Indonesia, dua tempat berjauhan dengan satu kisah yang sama: soal pengorbanan dan proyek bendungan. Arundhati Roy, perempuan pemikir kelahiran India dan seorang sarjana arsitektur, dalam ”The Cost of Living”, menggambarkan dua perkara tersebut dapat dipersinggungkan, dirajut, dan dipertalikan: mistisfikasi nasionalisme dan eskalasi bantuan dari Lembaga Keuangan Internasional. Di Indonesia, “The Cost of Living” sudah dialih-bahasakan dan diedarkan sekitar dua tahun lalu, dalam bentuk novel non-fiksi (berisi fakta dan perasaan Arundhati Roy).

Badai dalam Perjumpaan Budaya

PIDATO Sri Mulyani di sebuah kampus, sehari sebelum dilantik kembali menjadi Menteri Keuangan, mengusik perhatian saya. Mantan pejabat teras Bank Dunia ini membicarakan badai yang sempurna. Sebuah badai yang sedang melumpuhkan negara-negara yang semula menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia. Di sisi lain, kita mendiami sebuah dunia yang paradoks. Dunia yang kini banjir informasi, akan tetapi cenderung tidak membuka pikiran dan wawasan kita, bahkan memudahkan kita memuntahkan prasangka, menghilangkan sisi lain yang berseberangan dengan kita. Sri Mulyani juga membicarakan ketimpangan di luar kendali korban. Kesenjangan, baginya, bukan sekedar ketimpangan pendapatan, melainkan ketimpangan peluang. Apa yang menarik perhatian saya. Dia mempercakapkan ketimpangan itu, berada di tempat dimana kita lahir dan orang tua kita. Tentu saja, yang dimaksud bukan karena kita lahir di tempat yang salah, atau bukan pula karena salah bunda mengandung kita. Baiklah, kita membuka kembali peta negeri i...