Skip to main content

Pemilu di Negara-Pasar (Belajar dari Pemilihan Legislatif di Makassar)


I think I can say, and say with pride that we have some legislatures that bring higher prices than any in the world (Mark Twain, penulis) - Speech 7/4/1873

BELAKANGAN ini, orang-ramai membicarakan transaksi politik, sekaitan peristiwa pemilihan legislatif tempo hari. Transaksi politik bagian yang tidak terpisahkan dalam politik distributif, sebagai arena pengalokasian dan distribusi sumberdaya. Di ujung pembicaraan adalah soal klientelisme (clientela), atau kalau boleh saya sederhanakan sebagai: perdagangan-suara (vote-trafficking). Tahun-tahun terakhir ini, terjadi lonjakan jumlah penelitian klientelisme dan memperoleh perhatian banyak orang. Perkara klientelisme memang menarik minat para ahli politik sejak akhir 1960-an.[1] Jika diuraikan lebih lanjut, studi klientelisme memiliki tahapan perkembangan “penjelasan” dari wilayah tradisional agraris sampai dengan respon terhadap demokrasi perwakilan pada saat ini.[2] Misalnya, pernyataan bahwa: orang miskin lebih cenderung menjual suara mereka, itu dianggap mengandung ketidaklengkapan penjelasan. Kita tidak memiliki penjelasan secara konsisten, mengapa hal ini bisa terjadi dan mengapa dinyatakan benar.

Dalam praktik politik (political realm), klientelisme dikaitkan dalam arena pemilihan umum dan penggunaan alokasi dan distribusi sumberdaya publik. Dalam banyak kasus, klientelisme dapat menjadi strategi ampuh dalam menarik suara (vote) pemilih guna memenangkan kontestasi atau mempertahankan posisi. Pada pemilihan legislatif kemarin nampak mengedepankan pribadi-pribadi kandidat atau individualisasi politik daripada peran mesin partai.[3]
Sejarawan Richard Graham menandai klientelisme, sebagai tindakan yang dibangun atas dasar prinsip “take there, give here”, dimana akan membuat klien dan patron mendapat keuntungan dari pola hubungan yang mereka mainkan secara paralel. Meski hal ini akan bergantung pada tingkat artikulasi yang berbeda: politik, sosial, atau administratif. Sejatinya, klientelisme merupakan hubungan asimetris, tetapi saling-menguntungkan dalam kaitan relasi-kuasa dan pertukaran, antara individu atau kelompok yang saling berhadapan dalam posisi yang sesungguhnya tidak setara. Klientelisme memang dikonstruk, dibentuk, di dalam kondisi sub-ordinasi, kepatuhan, dan bergantung pada niat-baik atau kedermawanan orang lain.
Susan Stokes, seorang professor ilmu politik Yale University, mengajak kita membayangkan kesamaan pasar dengan politik yang sama-sama mendistribusikan barang.[4] Akan tetapi, politik distributif jauh lebih kontroversial ketimbang distribusi melalui pasar. Kita kerap kali mengharapkan pasar dapat mengerakkan nilai sumberdaya melewati ruang dan populasi. Sementara politik memiliki otoritas dalam membuat pilihan atas distribusi. Otoritas ini akan didapatkan melalui kemenangan dalam pemilihan, maka mau-tidak-mau tumpuannya berada pada strategi politik. Sebagaimana prinsip transaksi (pertukaran), terdapat perikatan antara kandidat dengan pemilih yang terjalin sepanjang pelaksanaan Pemilu, misalnya, janji-janji kandidat ditukar dengan keputusan pemilih untuk menggunakan suaranya memilih kandidat di TPS. Namanya transaksi tentu saja, butuh skema strategi politik guna mengambil hati pemilih. Stokes membagi dua skema strategi: berorietasi pada kepentingan warga, atau sebaliknya, berbasis kemenangan kandidat.
Dengan melihat skema ini, klientelisme merupakan strategi berbasis kemenangan kandidat, dimana manfaat yang akan diterima pemilih akan tergantung pada dukungan suara mereka. Bentuk klientelisme bermacam-macam, dapat berupa jual-beli suara (politik-uang), dapat pula menjanjikan pemilih akan memperoleh imbalan atau fasilitas dengan syarat sepakat untuk memberikan dukungan suara. Atau, bersifat khas dengan berbagai variasi di tingkat politik lokal,  misalnya pengobatan gratis. Namun, harap ditafsirkan, bahwa klientelisme mengandung kompleksitas. Kandidat tetap butuh “mesin informasi”, mengetahui kebutuhan pertukaran, apakah harus pakai uang atau cukup dengan sembako, misalnya, dan juga untuk memantau laju pergerakan dukungan suara. Mesin informasi kandidat diperankan broker (calo, perantara) yang memiliki akar pengaruh di wilayah mereka, akan tetapi mesin ini juga dapat membuat masalah. Bisa jadi, materi pertukaran hanya sampai di tangan broker, tidak sampai ke tangan pemilih, atau broker malah melakukan “pembelotan” dan beralih memilih pesaing politik kandidat.
Di sisi lain, kandidat juga butuh mesin monitoring (pemantauan) prilaku pemilih, apakah pendukung mereka masih bersetia, mempertahankan dukungan suara sampai di bilik-suara? Ataukah, sebaliknya para pemilih melakukan “pembelotan”, disuap oleh kandidat A tapi memilih kandidat B, atau melelang uang-suap para kadidat sebagai dasar mereka memilih kandidat, biasanya kandidat yang paling tinggi menyuap. Beberapa penelitian menunjukan, bagaimana kemudian kandidat mengembangkan berbagai metode yang dapat memilah-milah siapa pendukung setia pada saat perhitungan suara dilakukan dan mencatat reputasi pembelotan pemilih di pemilihan pada masa depan.
Tulisan singkat ini sebenarnya hanya pengamatan atau penyelidikan awal, untuk mencoba mencari tahu bagaimana praktik klientelisme itu bekerja di tingkat politik lokal.[5] Jika transaksi politik sebagai aktifitas politik distributif, apakah angka-angka pemilih dapat menjadi petunjuk awal? Belajar dari pemilihan legislatif kemarin, saya cukup tergoda, penasaran dengan besaran presentase angka partisipasi politik pemilu lokal (pemilihan kepala daerah dan legislatif di tingkat lokal). 

Rasa penasaran ini juga saya bawa ke tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS),  melihat angka pengguna hak pilih yang menggunakan KTP dan KK di luar Daftar Pemilih Tetap (DPT), dengan angka partisipasi pengguna hak pilih dari DPT.[6] Kedua, kontestasi kandidat di masing-masing TPS sesuai Daerah Pemilihan (Dapil) dengan melihat pergerakan jumlah suara mereka. Apakah kedua hal ini dapat menjelaskan praktik klientelisme? Apa yang dapat membuat pola klientelisme dalam relasi kandidat dan pemilih dapat bertahan atau terawat sampai di TPS? Atau, sebaliknya, apakah justru terjadi “pembelotan” atau “pengkianatan” para pendukung yang dapat mengingkari ikatan klientelisme?
Saya mengambil secara acak hasil pindai (scan) form C1 dari dua kelurahan di kecamatan yang berbeda di dalam daerah pemilihan yang sama. Nama lokasi, Caleg, dan partai politik disamarkan, karena yang ingin dideskripsikan adalah pola yang terjadi. Saya mengambil data scan log C1 dari situs KPU. Kelurahan Perahu (nama samaran) memiliki 12 TPS. Namun, ketika saya mengakses data Kelurahan Perahu, saya hanya mendapati data scan form C1 10 TPS dari 12 TPS yang ada. Dari 10 TPS, hanya 9 TPS saja yang melengkapi scan lembar sertifikat hasil dan perinciannya. Berikut, data suara berdasar lembar sertifikat hasil dan rinciannya di 9 TPS Kelurahan Perahu:
Data ini menunjukan angka partisipasi pengguna hak pilih dalam DPT berkisar 55,54 persen. Jika perhatikan di TPS 3 mencapai 100 persen, sedangkan angka partisipasi yang rendah dibandingkan TPS lainnya berada di TPS 9, 41,92 persen. Data pengguna hak pilih dalam DPKTb/pengguna KTP dan KK yang paling banyak dibandingkan dengan TPS lainnya, berada di TPS 8, 43 orang. Sebaliknya, yang paling sedikit berada di TPS 9, 7 orang.
Hasil pemungutan suara di 10 TPS Kelurahan Perahu, dengan mengecualikan dua TPS yang belum ada scan form C1 dalam situs KPU, saya mengambil 3 caleg yang memiliki suara sah yang terbanyak. Nama mereka saya samarkan menjadi:  X, Y, dan Z. Ketiga caleg tersebut berasal dari partai yang berbeda. X merupakan caleg partai C, Y  berada di partai B, dan  Z berasal dari partai A. Dari daftar caleg tetap (DCT) hanya Z yang tempat tinggalnya berada di kecamatan dimana melingkupi juga Kelurahan Perahu. Sebaliknya, X dan Y bertempat tinggal di kecamatan yang lainnya. Berikut pergerakan suara mereka di masing-masing TPS:

Berapa kontribusi suara dari ketiga caleg bagi suara partainya? Hasil perhitungan suara di 10 TPS Kelurahan Perahu, partai A mendapatkan 375 suara. Partai B mendapatkan 477 suara. Dan, partai C mendapatkan 675 suara. Jumlah suara X memberikan kontribusi 92,15 persen   suara partai C di 10 TPS Kelurahan Perahu. Sementara jumlah suara Y memberi kontribusi 46,33 persen suara partai B. Kontribusi suara Z, 33,05 persen dari jumlah suara partai A. Besaran kontribusi caleg ini juga menunjukan adanya fenomena individualisasi politik daripada peran mesin partai.
Dari pembelajaran kasus Kelurahan Perahu ini, X cenderung memimpin pengumpulan suara terbanyak di setiap TPS. Paling nampak, di TPS 6, dimana X mendapat 110 suara, sementara pesaing terdekat, Y hanya 35 suara. Jumlah suara sah di TPS 6, 249 suara, hal ini juga menandai X menguasai hampir setengah jumlah suara di TPS tersebut. Dalam pergerakan suara, X relatif memimpin pengumpulan suara di TPS-TPS dengan cukup longgar dimana angka partisipasi pengguna hak pilih dalam DPT berada pada kisaran 50 persen. Sementara angka partisipasi 100 persen pengguna hak pilih dalam DPT, sebagaimana ditunjukkan di TPS 3, atau sebaliknya di TPS 9, meski X memperoleh suara terbanyak, tapi tingkat kontestasi untuk merebut suara relatif ketat. Mungkin terlampau dini untuk menyimpulkan, hubungan antara besaran angka partisipasi pengguna hak pilih dengan tinggi-rendahnya tingkat persaingan.
Namun di balik kemenangan X, adakah pola klientelisme? Saya menanyakan pada seorang ibu, Merah Delima (nama samaran). Rumah Merah Delima berada di sebuah lorong sempit, selebar motor gerobak bakso. Di sepanjang lorong, rumah-rumah petak berhimpitan, tanpa halaman. “Banyak serangan fajar di sini,”kata Merah Delima. Istilah yang merujuk pada jual-beli suara (politik-uang). “Saya, orang di sini banyak tidak kenal X, tapi ada orangnya X ada di sini,”lanjut Merah Delima,”orang di sini kuatir, kalau janji-janji itu tidak ditepati, atau kalau sudah jadi, kita tidak diperhatikan, mungkin itu alasan kita terima serangan fajar”.  Situasi sosial di wilayah tempat tinggal Merah Delima, masih tergolong kerabat, atau masih se-etnis (satu kampung-asal), atau cenderung memiliki status ekonomi yang sama.  Broker X nampak memanfaatkan segmentasi ini guna beroperasinya stategi berbasis kemenangan kandidat, termasuk menguatkan wacana “hanya janji-janji saja” di kalangan pemilih. Bapak Langit Biru (nama samaran), yang juga saya tanya, menceritakan strategi X lebih rinci. “Tidak seperti kebanyakan caleg, X itu tidak nge-bom (istilah, menghamburkan atau membagikan uang sekaligus kepada semua pemilih), boleh jadi dalam satu kampung, tidak semua orang kampung itu dapat uang. Jadi X dan pelapisnya (istilah untuk broker) pakai data, data orang miskin, dan dia turun untuk tahu apakah mereka benar miskin dan dapat mempertahankan suaranya,” ungkap Langit Biru.
Berikut cerita dari Kelurahan Layar (nama samaran), yang berbeda kecamatan dengan Kelurahan Perahu, tapi masih satu daerah pemilihan. Kelurahan Layar juga memiliki 12 TPS. Sejauh ini, saya hanya bisa mengakses log scan C1 11 TPS dari situs KPU. Berikut, data suara berdasar lembar sertifikat hasil dan rinciannya di 11 TPS Kelurahan Layar:
Data ini menunjukan angka partisipasi pengguna hak pilih dalam DPT berkisar 66,25 persen. Jika perhatikan di TPS 9 mencapai 92,61 persen, sedangkan angka partisipasi yang rendah dibandingkan TPS lainnya berada di TPS 5, 51,26 persen. Bagaimana pergerakan suara tiga caleg dengan perolehan terbanyak di 11 TPS? Sebagaimana di Kelurahan Perahu, saya mengambil tiga caleg X, Y, dan Z, saya samarkan nama mereka. Ketiga caleg ini, bukan orang sama dengan tiga caleg di Kelurahan Perahu, justru ketiga caleg yang meroleh suara terbanyak di Kelurahan Perahu, justru tidak berjaya di Kelurahan Layar. X, Y, dan Z  di Kelurahan Layar ini, juga bukan berasal partai yang sama dengan tiga caleg di Kelurahan Perahu.
Dari kontribusi suara, X memberikan kontribusi jumlah suara yang diperoleh, 44,44 persen dari jumlah perolehan suara partainya. Sedangkan Y, memberikan kontribusi 91,12 persen dari jumlah perolehan suara partainya. Dan, Z memberikan kontribusi 56,94 persen dari jumlah perolehan suara partainya.

Dari visualisasi, nampak pada angka partisipasi pengguna hak pilih dalam DPT yang rendah dibandingkan TPS lainnya, persaingan cukup ketat diantara X, Y, dan Z. Namun, Y cukup berjaya daripada kedua pesaingnya, pada TPS 10, dimana angka partisipasi pengguna hak pilih dalam DPT, 77,04 persen. Di TPS 9, yang memiliki angka partisipasi pengguna hak pilih dalam DPT yang tinggi daripada TPS lainnya, X dan Z justru tidak memperoleh suara sama sekali.
Pertanyaan yang sama, apakah terdapat pola klientelisme di balik kemenangan itu? Saya menanyakan hal ini pada Bapak Daun Hijau (nama samaran) yang tinggal di Kelurahan Layar. “Dalam pembacaan politik di kelurahan ini”, kata Daun Hijau,”caleg melakukan mobilisasi sangat intensif, ada berbagai tekanan, berkaitan dengan kepemilikan tanah, kepengurusan di posyandu”. Hanya saja, menurut Daun Hijau, faktor money-politic bukan yang sesuatu yang dominan. “Titik kritisnya sebenarnya berada pada TPS, kondisi penyelewangan suara di mulai dari TPS”, ujar Daun Hijau.
Dari pengamatan sekilas ini, bukan sebagai kesimpulan mengenai “kelaziman” klientelisme. Kalaupun harus memakai istilah antropologis: pemilihan di tingkat politik lokal di atas, tidak didasarkan pada imperatif kebudayaan. Maka, jual-beli suara, politik-uang, tidak memiliki makna apa-apa. Seperti kata seorang kawan, mungkin setengah bercanda, “politik itu soal garis tangan”. Jadi, pemilih hanyalah spectators (penonton) demokrasi belaka. Tidak ada jalan lain? Saya, tidak yakin.

Serpong, 15 Juni 2014

Istilah negara-pasar (market-state) ini saya pinjam dari konsepsi Philip Bobbitt. Lepas dari kontroversi gagasan Philip Bobbitt yang merekomendasikan negara-pasar menggantikan (shifting) negara-bangsa (nation-state). Lepas setuju atau tidak dengan rekomendasi itu, yang menggoda saya adalah argumentasi sarkasme Bobbitt berkaitan kehancuran keabsahan (disintegration of legitimacy) negara-bangsa. Jika boleh saya memakai bahasa sederhana, argumen Bobbitt seperti menyatakan: “buat apa negara hadir kalau negara tidak mampu melindungi warganya dari kejahatan”. Bobbitt adalah salah satu teoritisi yang memberi gambar-besar tipe negara dengan cara menelusuri dan menafsirkan perubahan negara moderen. Para teoritisi ini mendapatkan momen dan daya pesona, ketika orang-ramai sedang memperdebatkan dan tengah mencari alternatif “negara yang mampu bertahan di masa depan (viable)”. Berbeda dengan argumen Francis Fukuyama, peristiwa runtuhnya tembok Berlin menandai kemenangan demokrasi dalam pertarungan global atas komunisme, dan sejarah pun berakhir. Sebaliknya, Bobbitt menyatakan sejarah tidak berakhir, tetapi sedang berlanjut. Dalam bukunya, “The Shield of Achilles: War, Peace, and the Course of History” (2002), Bobbitt memetakan perubahan  alami tipe negara yang tak terhindarkan dalam rentang-waktu. Bobbitt berargumentasi mengenai “perang yang panjang” (long war) pada abad 20, yang menghasilkan negara-bangsa dalam bentuk: demokrasi, komunisme atau fasisme, sebagai dasar pembenaran dalam menyediakan kesejahteraan masyarakat. Temuan-temuan strategis Bobbitt, bahwa perang yang panjang hanya menghasilkan kesulitan negara-bangsa memenuhi janjinya, dan dapat menjelaskan mengapa terjadi pengingkaran terhadap keabsahan. Kesimpulan Bobbitt, perlu tatanan konstitusi hukum baru, guna memenuhi tuntutan keabsahan, dengan cara mengubah bangunan fundamental sehingga dapat menjadi landasan membangun asumsi kekuasaan yang absah (state-power). Bagi Bobbitt, negara-pasar memiliki kemampuan lebih baik dalam mengatasi tuntutan mendapatkan keabsahan setiap individu, berbeda dengan negara-bangsa yang melekatkan dengan makna “kesejahteraan bangsa”, negara-pasar memperoleh keabsahan dengan: “maximize the opportunities enjoyed by all member of society in exchange for a giving the state power”. Keberhasilan tujuan negara-pasar adalah negara yang mempromosikan kembali ke pasar sebagai proses alamiah yang tidak terhindarkan. Pasar adalah instrumen terbaik menawarkan kesempatan (oportunitas), termasuk di dalamnya pasar yang direduksi semata mode penawaran dan permintaan. Negara, bagi Bobbitt, akan mengubah warga negaranya menjadi seorang hamba bisnis. Dalam bukunya, Bobbitt juga menjelaskan, kemunculan negara-pasar tidak serta-merta, landasannya mulai diletakan oleh Margareth Thatcher dan Ronald Reagan. Penjelasan ini, secara ideologis, cukup menunjukan argumen yang dibangun Bobbitt sangat dekat dengan keyakinan para penganjur neo-liberalisme.

[1] Analisis antropologis yang dikembangkan mengenai patron-klien pada saat itu untuk mengatasi kesenjangan penjelasan atau uraian atas aksi-aksi politik di pedesaan, terutama gerakan agraria. Lihat,  James C. Scott, “Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia”, dalam The American Political Science Review, Vol. 66, No. 1 (Mar., 1972), pp. 91-113, yang diterbitkan American Political Science Association. Para ilmuwan politik Barat mencoba memahami pengalaman politik Dunia Ketiga, yang pada umumnya, mengandalkan salah satu model atau kombinasi analisis, dari model assosiatif dan konflik. Model konflik berbasis klas yang diwakili pemikiran Marxian, guna menjelaskan perubahan sosial di pedesaan. Model kedua, lebih dekat dengan kategori subyektif yang menekan sentimen primodialisme, namun bukan dalam ikatan klas horisontal, untuk membantu menjelaskan terjadinya ketegangan dan konflik. Sumbangan Scott, adalah membangun konsep patron-klien secara terstruktur membantu penjelasan aktivitas politik (relasi patron-kien), termasuk transformasi dari pola tradisional dan politik moderen Pemilu, yang tidak semata-mata pada analisis klas dan sentimen primodialisme yang sangat khas di Asia Tenggara. Misalnya, dalam sejumlah kasus, dapat dijelaskan melalui analisis klas seperti gerakan agraria yang berulang-luang di Central Luzon, Filipina. Namun kurang memadai dalam kasus tertentu, dan harus diuraikan dengan sentimen primodialisme, seperti gerakan pembangkangan di Thailand.
[2] Tulisan Luis Roniger, “Political Clientelism, Democracy, and Market Economy”, dalam Comparative Politics, Vol. 36, No. 3 (Apr., 2004), pp. 353-375, yang diterbitkan Program in Political Science of the City University of New York, yang menguraikan gelombang penelitian politik patronase dan praktik klientelisme dalam kurun-waktu mulai akhir tahun 1960 sampai dengan akhir dekade 2000, dan membaginya menjadi tiga gelombang. Secara ringkas, Roniger mengungkapkan dalam studi klientelisme pada akhir 1960 dan 1970, ilmuwan politik menerima andil dari para antropolog, termasuk metode grounded-analysis. Dalam periode ini, banyak studi patron-klien tradisional yang berhubungan dengan masyarakat pedesaan agraris, dan kaitannya dengan feodalisme (yang bersifat hirarkis). Relasi klientelisme mensyaratkan adanya distribusi sumberdaya dan pertukaran, yang dikaitkan dengan berbagai bentuk perlindungan dan organisasi perantara (broker). Pada tahun 1980 dan 1990 an, banyak studi yang memperluas pemahaman klientelisme, dengan mencoba menyusun konsepsinya dalam relasi “modernisme”. Bahwa klientelisme diidentifikasikan sebagai modal-sosial pertukaran, secara spesifik sebagai bagian strategi, mobilisasi dan kontrol politik. Hal ini melibatkan kompleksitas klientelisme, seperti jaringan patron dan broker yang beroperasi secara selektif, mengintegrasi ke dalam partai dan faksi-faksi politik, juga mencakup hubungan timbal-balik (resiprokal) manfaat dan komitmen sebagai prasyarat merawat hubungan yang berkelanjutan di dalam pola patron-klien. Sejumlah studi awal 2000 an, mencoba menjelaskan terjadinya institusionalisasi klientelisme.
[3] Seorang narasumber menggungkapkan tentang kekesalan kandidat (caleg) terhadap seorang caleg-perempuan yang separtai dengan dapil yang sama: “saya kira dia hanya mengisi kuota (affirmasi) saja, ternyata dia ikut juga bermain”. Caleg-perempuan yang dimaksud ini, memang kemudian ditetapkan KPUD Makassar menjadi anggota legislatif terpilih. Fenomena individualisasi politik dalam pemilihan legislatif juga memantik kontestasi antar kandidat dalam partai yang sama. Salah satunya, seperti yang diberitakan Tribun Timur Online:
[4] Susan C. Stokes, Thad Dunning, Marcelo Nazareno, dan Valeria Brusco dalam “Brokers, Voters, and Clientelism”, Yale University and Universidad Nacional de C´ordoba, draft dated March 21, 2012.
[5] Dinamika politik di Sulawesi Selatan oleh sejumlah studi dijadikan rujukan untuk menjelaskan fenomena “klan-politik” dalam transisi politik di tingkat lokal (paska Orde Baru). Banyak studi yang menguraikan desentralisasi di Indonesia telah melahirkan “orang-orang kuat” yang memiliki akar di daerah. Hal yang berbeda dengan masa sebelumnya, yang berada di bawah kontrol Jakarta. Arsitektur politik yang berubah ke arah pemilihan langsung, dalam sejumlah pandangan, menunjukan perkembangan di tingkat lokal dimana institusionalisasi partai berada pada titik terendah guna merujuk pada tahapan individualisasi politik. Argumen dalam studi Michael Buehler, seorang Assistant Professor Northern Illinois University, mengambarkan hal ini, bagaimana kekuatan jejaring lokal kandidat pada pemilihan yang lebih penting daripada mesin politik partai, dan kekuatan keluarga yang terkonsolidasi secara cepat untuk menginstalasi proksi (proxy) “klan-politik” mereka dalam pemerintahan dan parlemen. Lihat, Michael Buehler dan Paige Tan, “Party-Candidate Relationships In Indonesian Local Politics: A Case Study Of The 2005 Regional Elections In Gowa, South Sulawesi Province”, Indonesia 84 (October 2007), serta Michael Buehler, “Married with Children”, dalam Indonesia Inside.
[6] Jumlah penggunaan KTP dan KK, dapat dilihat dalam sertifikat hasil dan rincian perhitungan perolehan suara di tepat pemungutan suara dalam pemilu 2014, diletakan pada kolom pengguna hak pilih dalam Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb)/pengguna KTP dan KK/nama sejenis lainnya dalam lembar formulir model C1.

Popular posts from this blog

Long Loreh, Batubara

HAMPIR tengah malam, telepon genggam saya bergetar. Di seberang sana, terdengar suara isteri saya bertanya, "lagi dimana ini". "Malinau," kata saya pendek. "Apa ada dalam peta," tanyanya lagi. Saya tak menjawab. Saya lalu hentikan percakapan. Melalui whatsapp, saya kirim peta Malinau padanya. Ia membalas dengan emoji senyum. Malinau berada di jantung Borneo. Sebuah kabupaten di Kalimantan Utara, berbatasan dengan Serawak, negara bagian Malaysia. Garis batas yang mengikuti punggung sebuah taman nasional, Kayan Mentarang. Rimba menghijau yang kaya spesies di Malinau sangat berarti bagi penghidupan berkelanjutan. Selain, memberi sokongan dalam menyerap karbon dioksida, salah satu gas rumah kaca yang mempengaruhi perubahan iklim global. Namun, orang-orang Malinau mesti kerja keras menjaga peradaban mereka dalam ekologi hutan hujan tropis yang khas itu. Sebagai bagian dari Kalimantan yang merupakan penghasil kayu terbesar di Indonesia,  dimana lebih 10 juta he

Gudo, Lasem. Perjumpaan Negeri yang Berbeda

SAYA beruntung dapat menjejaki dua tempat: Gudo, Jombang dan Lasem, Rembang. Nah, bersiaplah dengan kisah perjalanan saya kali ini, menembus lorong waktu. Gudo dan Lasem, dua  tempat yang sebelumnya telah menggoda perhatian saya. Boleh jadi, karena keinginan perjumpaan akan ruang geografis etnis dan penghayatan subyektifnya yang berbeda dengan tempat lain di negeri ini, dalam memahami hubungan pasang-surut akibat pertikaian sosial. Atau , tertarik dengan kalimat akhir sebuah artikel yang mengutip tulisan para pecinta pemikiran Gus Dur di klenteng (untuk menyebut rumah ibadah Tionghoa) Gudo: "semakin kita berbeda, semakin jelas dimana titik persamaan kita". Di kedua tempat ini, Gudo dan Lasem, klenteng menjadi landmark (mercu-tanda) . Jarak keduanya,  cukup berjauhan. Jalan pintas terdekat, sekitar 180 kilometer, membelah punggung pegunungan kapur Kendeng. Dari Gudo menuju ke utara, lewat Tuban. Lalu ke arah barat, berjalan di atas jalanan warisan Gubernur Jenderal Hindia Bel

Kampiri, Ekonomi Kakao

AMELIA setengah berbisik di belakang punggung saya. “Itu yang katanya putus,” ujarnya. Saya menengok sekilas. Jarinya menunjuk sebuah kawat besi, yang terlilit pada penopang jembatan gantung. Sepeda motor kami berjalan tertatih, mengikuti pelat baja berlandas pada kayu-kayu yang menua.  Jembatan itu hanya selebar satu mobil. Terasa sedikit bergoyang, saat berpapasan dengan pengendara motor yang membawa ikatan besar rumput pakan sapi. Ketegangan baru terurai, lepas dari ujung jembatan, di Kampiri. Jembatan itu, orang menyebutnya: Jembatan Pacongkang, menghubungkan Desa Barang dan Desa Kampiri yang melintasi Sungai Walennae. Sungai besar yang sarat jejak arkeologis. Jembatan ini diresmikan Zaenal Basri Palaguna semasa menjadi Gubernur Sulawesi Selatan. Tanda tangan mantan Panglima Komando Daerah Militer Wirabuana itu tertera dalam prasasti, yang tertanam di sebuah beton tak jauh dari tiang penyangga jembatan. Kampiri adalah sejarah pemukiman tua. Sejauh apa yang saya pahami, ketika

Atambua

MOTA AIN, 22 kilometer. Begitu yang saya baca, tulisan papan petunjuk jalan, selepas menyelusuri jalan berkelok-kelok tajam menuruni punggung perbukitan dari Kota Atambua. Pohon-pohon asam besar berjejer di tepian jalan, tapi terik matahari Timor masih terasa menyengat. Di atas mobil, musik dangdut koplo belum juga habis menghentak-hentak. Berlari kencang di atas jalanan mulus, melewati Atapupu, pelabuhan kontainer di utara Belu, menuju garis depan negeri ini. Kawan saya, seorang anak muda keturunan Timor Leste, bilang kalau kapal-kapal yang sedang merapat itu, membawa beras dan semen dari Makassar. Mota Ain, titik paling ramai, diantara jalanan ke tapal batas Timor Leste lainnya, termasuk daerah eksklave, Oecusse. Seingat saya, ketika saya masuk dari desa Fatuketi, jalanan menuju pintu masuk Oecusse, tidak seramai Mota Ain. Beberapa ruas jalannya pun buruk. Kalau pun Mota Ain ramai, karena lebih dekat dengan Dili, hanya butuh waktu 2-3 jam saja. Menuju titik batas, jalan seki

Saat Korporasi Mengatur Perut Kita

SAHABAT saya, Al Mujahid Akmal, menulis di halaman  facebook -nya: "jika setiap orang berpikir, siapa dan dengan cara seperti apa makanan diproduksi sebelum mereka konsumsi ... ada baiknya kalau saya coba belajar menanam sendiri". Aneka tanaman sayuran dan tanaman pangan, tumbuh sehat di halaman belakang rumahnya. Rasanya, kata "halaman belakang" sudah lama menghilang di setiap-kali pameran rumah di Kota Makassar. Orang di kota ini, terlanjur hidup diantara tembok yang bersekat-sekat, tanpa halaman. Beruntung sahabat saya ini, dapat berkebun di halaman belakang, yang bukan dimaksudkan bagian dari estetika atau keindahan, apalagi guna memenuhi kebutuhan cerita cerdas sebuah proyek. Akan tetapi, dibaca sebagai bagian sikap dan kritik dia atas sistem produksi pangan, selain untuk keperluan konsumsi sendiri. Atau, dalam bahasa ideologisnya, sebagai "konsumsi berkelanjutan". Sekitar 13 ribu kilometer dari tempat sahabat saya menulis sikapnya, tengah terj