Skip to main content

Generasi Junk Food


ISTILAH junk-food (makanan-sampah) itu merujuk pada pangan yang padat kalori sekaligus memiliki sedikit kandungan nutrisi. Pangan yang lebih berupa timbunan makanan yang padat lemak, gula, dan garam. Walau agak gegabah, orang juga mengasosiasikannya dengan fast-food atau makanan cepat-saji. Keripik kentang bergaram, hamburger, dan minuman ringan berkarbonasi merupakan sejumlah jenis fast-food yang dikategorikan sebagai junk-food. Junk-food dan fast-food tetap saja membawa risiko serius. Sebutlah, soal obesitas atau kelebihan berat badan.
Studi Worldwatch Institute (2000) menggambarkan, untuk pertama kalinya, jumlah orang dewasa yang gemuk di dunia sama dengan orang kurus. Populasi malnutrisi dunia sejak tahun 1980 memang merosot hingga 1,1 miliar orang, tetapi pada saat yang bersamaan jumlah orang yang kelebihan berat badan meningkat dramatik sampai 1,1 miliar. Jumlah anak-anak yang mengalami obesitas juga meningkat secara tajam. Diperkirakan terdapat 17,6 juta anak-anak berusia lima-tahun dan di bawah lima-tahun mengalami kelebihan berat badan. Obesitas ibarat rangkaian gerbong kereta api yang membawa masalah baik secara psikis maupun psikologis. Kecenderungan ini bergerak sangat cepat dari negara-negara maju ke satu persatu negara berkembang.
Hal ini dapat dibaca, ketika relasi antara makanan dengan penyakit mulai meningkat, yang disebut juga sebagai “transisi nutrisi”. Hingga pertengahan 1950-an, masalah utama di Asia adalah hubungan erat antara kemiskinan dengan perkara malnutrisi. Namun saat ini, segala spektrum dari kekurangan sampai dengan kelebihan nutrisi berada di Asia.
Sejak tahun 1960, telah terjadi pergantian struktur pasar pangan global, yang membubarkan hubungan klasik antara pendapatan dengan asupan lemak. Faktanya, di negara-negara berpendapatan rendah terjadi peningkatan konsumsi lemak. Situasi paradoks ditunjukan negara-negara industri yang memiliki keuangan mapan, yang mestinya mampu mengkonsumsi makanan sehat. Tapi tengok saja, Amerika Utara dan Uni Eropa, yang justru mengalami peningkatan konsumsi lemak dan kalori. Pertumbuhan restoran dan waralaba makanan cepat-saji, sejak tahun 1950-an, bergerak cepat menyapu menu pangan yang sehat.
Ketika pasar makanan di Eropa Barat dan Amerika Utara sampai pada di tingkat kejenuhan, para pemasok multinasional mulai menjadikan negara-negara berkembang sebagai target peningkatan laba. Investasi luar negeri ini justru menjadi dasar penimbunan makanan padat lemak dan gula. Sekaligus menandai kelahiran generasi junk-food.
Mereka memiliki andil mengkreasi anak-anak masuk ke dalam lingkungan obesitas. Jika dikalkulasi, pada saat WHO mengeluarkan satu dollar Amerika Serikat untuk memperbaiki nutrisi populasi dunia, bersamaan pula dengan industri pangan yang merogoh kocek sekitar 500 dollar Amerika Serikat untuk promosi pangan-olahan.
Keadaan yang timpang ini diperparah oleh industri periklanan yang mengklaim, bahwa iklan adalah sesuatu yang tidak berbahaya bagi kehidupan sehari-hari dan menonton iklan tidak membuat kita menjadi gemuk. Namun fakt
a menunjukan, telah terjadi ekskalasi investasi untuk iklan makanan. Pada tahun 2006, perusahan-perusahan terbesar di dunia mengeluarkan anggaran 7,8 miliar dolar untuk belanja iklan makanan, 4 miliar dollar untuk belanja iklan minuman-ringan, dan 1,1 miliar dolar untuk iklan pakaian.
Anak-anak adalah kelompok rentan terhadap periklanan. Bagaimanapun juga, mereka lebih terbuka dengan bujuk-rayu dan bagian terakhir dari penjualan produk. Anak-anak menjadi target perusahaan periklanan. Paling tidak, dengan tiga alasan, mereka lebih gampang dipengaruhi, mereka loyal terhadap merek, dan mereka lebih cepat menghabiskan uang.
Ledakan iklan yang menyasar pada anak-anak dimulai sejak tahun 1980-an. Bagi korporasi pangan global, hal ini menjadi momen awal untuk konsumsi masa depan. Sekaligus, untuk menanamkan loyalitas terhadap merek semenjak kanak-kanak. Pendek kata, pilihan strategis hari ini bagi korporasi adalah mengatur bingkai pandangan dan pikiran anak-anak guna menuai jutaan miliar dollar. Bahkan beberapa tahun ini, industri periklanan mulai memfokuskan iklan yang sasarannya untuk anak-anak di bawah delapan tahun.
Korporasi global yang mempromosikan junk-food itu justru mengeksploitasi anak-anak dengan mempengaruhinya melalui iklan sebagai kekuatan yang dapat mengganggu orang tua. Mereka percaya, anak-anak memainkan peran penting dalam pemasaran. Di masa lalu, mungkin saja kekuatan-ibu yang sangatlah besar. Tapi saat ini, korporasi tengah menggunakan rengekan anak-anak guna mempengaruhi pengeluaran keuangan keluarga.

Popular posts from this blog

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis...

Kuasa-Kata, Semangkuk Pallubasa

KARENA Jawa adalah kuncinya.  Frasa politik ini begitu populer. Hal yang sama juga terjadi saat percakapan tentang elektoral, yang bertautan dengan pemilih. Jawa menjadi tulang punggung demografis Indonesia. Juga dianggap sebagai jantung kebudayaan dan politik. Kalau begitu, agak lebih jauh lagi, apakah budaya Jawa turut mengkonstruk imaji politik dalam frase tersebut. Saya agak tergoda mencari tahu. Apalagi mesin politik sudah menyala. Kick off, partai-partai politik mengajukan kandidat. Komunikasi politik mulai berjalan, terkadang menimbulkan ambiguitas, tak jarang menciptakan kesadaran magis. Itu pula yang membuat saya membaca kembali buku ini, buku tua. Tapi saya rasa, dapat memandu untuk keperluan itu. Diterjemahkan dari buku: Language and Power, Exploring Political Culture in Indonesia. Diterbitkan pertama kali, lebih dari 30 tahun lalu. Penulisnya, Benedict Anderson. Seorang antropolog sekaligus sejarawan politik. Buku ini kumpulan esainya.  Salah satu pencarian Anderso...

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Makassar, Subaltern

BETAPA sulitnya menulis masa lalu. Abdul Rasyid Idris, seorang kawan, memberi saya tiga buku berharga di ujung Syaban. Salah satu buku, dari tiga buku karyanya, bertajuk: Anging Mammiri, Jejak Makassar Tempo Dulu. Rasanya, buku ini bukan sebuah produk industri nostalgia yang dimaksudkan memicu perasaan melankolik setiap orang. Saya sendiri tak hendak mencari tahu dalam buku ini, ketika memenuhi kerinduan akan sebuah lapak kopi di selasar Pasar Cidu'. Sebuah lapak yang menjual kopi yang lebih enak dan harganya lebih murah berkali-kali lipat dari Starbucks. Secangkir kopi yang bikin mata melek, yang bisa menghidupkan ekonomi orang pasar siang malam. Saya pikir, kawan saya ini tidak terperangkap ke dalam kerinduan masa lalu. Akan tetapi, ia melakukan pembacaan kembali, hal-hal apa yang hadir menjadi ingatan. Apa yang dialaminya dalam ruang temporal (masa lalu). Hanya saja, bahasa menyimpan problem internal, ketika menghadirkan kembali (re-presentasi). Coba kita membayangkan denga...

Presiden, Budaya Pop

" Politics is just like show business " -Ronald Reagan, http://quotationsbook.com/quotes/author/6022/ SORE menjelang magrib. Dalam sebuah konser, di sebuah stadion olahraga yang dibangun dengan uang pinjaman dari Uni Soviet. Seorang calon presiden berlari ke ujung panggung, yang menjorok di depan, tepat dihadapan massa yang tumpah ruah.  Suara gitar mengelegar, mengiringi Si Bung, calon presiden itu, ketika hendak menyapa massa. Riuh m assa memekak telinga. Belasan bendera bergambar kupu-kupu, dikibarkan para penggemar sebuah group band, nampak melambai-lambai di udara. Yup, sebuah group band rock, yang bersinar di negeri ini lantaran predikat berbayaran tinggi dan memiliki jutaan penggemar fanatik anak muda. Sebelumnya, mereka telah menciptakan dan merekam sebuah lagu kampanye sang calon presiden. Lagu ini lantas disebar melalui jaringan televisi dan media-sosial. Si Bung, kabarnya, juga seorang penyuka musik rock Metallica, group band asal L.A California. And Justice fo...